Believe Me © Tanaka Aira
Disclaimer : Kuroko no Basuke ©Fujimaki Tadatoshi-sensei.
Pairing : Murasakibara X Reader
Chapter 5 : Feelings
.
"You have attempted to tinge it ["A Study in Scarlet"] with romanticism, which produces much the same effect as if you worked a love-story... Some facts should be suppressed, or, at least, a just sense of proportion should be observed in treating them."
Sherlock Holmes
.
.
.
Satu kata yang dapat mendeskripsikan situasiku saat ini,
Bosan.
Ya, aku dihukum ayah dengan dikurung di kamar selama dua hari penuh karena pingsan waktu itu. Ibu memang berprinsip untuk membuat aku 'Hidup' dalam arti sebenarnya, tapi lain dengan prinsip ayah. Ayah selalu berpikir 'Hidup tidak ada gunanya jika tidak ada waktu untuk menikmatinya'. Sebenarnya tujuannya memang sama yaitu untuk membuatku tetap hidup, tetapi Ayah sangat keras terhadap hal itu. Aku dilarang keluar dari kamar sama seperti 8 tahun yang lalu.
Apa yang terjadi setelah aku pingsan waktu itu, ya? Aku tidak ingat apapun. Hari ini masih dalam jadwal liburan musim panas, yang berarti sebuah waktu yang sangat tepat untuk bisa bertemu lagi dengan mereka, khususnya dia. Aku memang sudah dua kali membuatnya melihat diriku yang terjulur lemah karena sakit, tapi tidak pernah sampai pingsan seperti waktu itu. Pandangan seperti apa yang ia lihat saat aku tiba-tiba kehilangan kesadaran tepat di depannya, atau lebih tepatnya di depan iris navy-blue yang menatapku begitu lekat?
Apa yang sekarang sedang dilakuka– sepertinya tidak ada opsi lain kalau dia sekarang sedang makan cemilan yang jumlahnya sangat banyak itu. Yang dia pikirkan hanyalah makanan, makanan, dan makanan, sama sekali tak berminat untuk mengalihkan pandangannya dari cemilan sehari-harinya itu. Setiap kali bertemu dengannya, selalu dengan sosok yang memeluk kantong plastik berisi cemilan dalam berbagai macam jenis dan rasa, tidak pernah absen dengan semua itu. Tetapi justru sosok itulah yang menjadikanku rindu akan kehadirannya. Walau ia tak selalu melihatku dengan iris violet-nya itu, tetapi aku yakin ia selalu memperhatikanku.
Kenapa aku begitu yakin? Entahlah, ia mungkin selalu memandang malas dan terlihat tidak peduli dengan situasi di sekitarnya, tapi cahaya pada sepasang permata orchid itu selalu berkilat. Aku dapat melihat refleksi bayangan semua teman-temannya pada pupil mata itu. Ia mungkin tak berbohong kalau yang ia katakan selalu seputar pada topik makanan, tetapi bukan berarti ia tak memperhatikan, bukan? Ia hanya….. bukan, bukan rasa malu untuk mengungkapkannya seperti yang dilakukan pemuda bersurai hijau itu, tetapi sesuatu yang…. lebih dari sekedar hanya melihat, tetapi benar-benar memperhatikan semua yang dilihatnya. Mungkin ia berpikir untuk tak berkata apapun supaya tak membuat masalah semakin dalam dan rumit jika ia membuka suara. Suatu sikap diam untuk tidak semakin membebani pikiran yang akan menimbulkan kelelahan batin.
Ahh, aku jadi teringat kembali pada saat ia hanya duduk diam memakan sekantong keripik kentang, melihat dan mendengarkanku bernyanyi di depan padang bunga mawar. Dia diam untuk tak menginterupsi keluarnya melodi-melodi yang mengelun dari bibirku. Dia diam dan tak memberikanku beragam pertanyaan yang justru membuatku merasa terpojok. Semua yang ia lakukan untuk membuatku merasa nyaman. Tak sekalipun aku merasa canggung di dekatnya, padahal baru beberapa kali kami bertemu. Rasanya sangat berbeda dengan orang itu.
Ciit…cuuuiit….
"Ah, Ruby."
Seekor burung mungil berwarna putih dan bemata merah masuk lewat jendela yang terbuka. Hinggap begitu saja dipangkuanku. Kalau diingat-ingat, baru pertama kalinya aku berinteraksi dengan banyak orang waktu itu. Selama ini, aku selalu bersendau gurau dengan berbagai macam binatang dan bercerita dengan berbagai macam tumbuhan. Aku tidak punya teman manusia sama sekali. Semenjak dia mulai berada di dalam kehidupanku, duniaku semakin meluas. Manusia, panorama alam, ilmu pengetahuan, dan berbagai macam perasaan mulai mewarnai pandanganku yang selama ini hanya berputar pada film bisu, film hitam-putih yang selalu memperlihatkan kehidupan yang sama setiap hari.
Jemariku mencabik roti tawar menjadi potongan-potongan kecil dan meletakannya di atas tanganku yang mengadah, tepat di depan Ruby. Ruby mengepakan sayap kecilnya dan kembali melipatnya saat kakinya menapak pada permukaan tanganku, ia mulai memakan serpihan-serpihan roti. Cakar dan paruh kecilnya memang cukup tajam, tetapi tak sampai membuatku terluka ataupun meringis kesakitan.
"Enak?"
Kepala itu hanya mengangguk kecil dan kembali mematuk serpihan roti sampai habis. Dia memang burung yang lucu dan penurut. Berapa kali ia masuk ke kamarku sekedar untuk berkicau di jendela, membuatku selalu terbangun pagi. Aku menyadari nada yang mengalun merdu dari paruhnya, dan aku menamakan lagu itu sebagai, "Selamat pagi." untuk matahari yang terbit di ufuk timur.
Cuuiitt….."Pagi….cahaya membelah langit biru…"
"Hitam malam…." ….ciiitt…"…kau sinari dengan cahaya…."
Cuuiitt…." Pagi…..selamat pagi, semua…"
"Matahari menyambut…."…cuuiiit…" kehidupanmu yang baru, ….hari ini…"
Terus, berlalu begitu saja rasa bosanku. Aku terus bernyanyi diiringi kicauan Ruby. Rasanya seperti bermain orchestra di dalam ruangan sempit. Kepala Ruby terangguk-angguk ke arah jendela, Ah, ia pasti ingin keluar setelah berada dalam ruangan yang sesak. Aku berdiri dan berjalan ke arah jendela, Ruby yang hinggap dijariku langsung mengepakkan sayapnya. Dia terbang bebas membelah udara. Di luar, di sebuah ruangan luas tanpa batas, tanpa tembok yang menghalanginya dan tanpa pintu yang terkunci dari luar. Begitu bebas sampai aku merasa iri dengannya.
Mataku menangkap buku album foto yang tergeletak di atas meja. Buku album siapa? Rasanya aku tak punya buku album foto yang bersampul merah bata dan beludru hitam yang menjadi bingkainya. Aku perlahan membukanya, rasa penasaran yang menjadi kebiasaan burukku mulai keluar lagi. Sebuah foto dengan ukuran 12x20 cm menjadi foto pertama yang ditempel di halaman pertama.
Pemuda bersurai light-blue dan pemuda bersurai navy-blue direngkuh sebelah lengannya oleh kedua lengan perempuan bersurai sakura. Tangan pemuda bersurai blonde mengalungi leher pemuda bersurai light-blue dengan mulut yang seolah meneriakan sesuatu. Di sisi paling kiri, pemuda bersurai hijau memeluk erat sebuah boneka penguin dan berusaha melindungi benda itu dengan tubuhnya. Sementara itu, pemuda bersurai crimson hanya berdiri diam, sebelah tangannya mengangkat sebuah gunting merah ke arah pemuda yang lainnya dan pemuda bersurai violet itu menundukkan tubuhnya supaya bisa muat dalam foto tersebut, dengan wajah kesal karena sulit membuka sekantong keripik kentang.
Rupanya ini milik Seijuurou-sama, ya. Kenapa ada di sini? Mereka semua terlihat akrab sekali, ya. Dan rasanya begitu lucu, membuatku ingin tertawa. Tanganku pun menutup buku itu, setidaknya aku tahu kalau sebuah buku album foto pasti sebuah privasi yang tak boleh dilihat oleh sembarang orang. Mungkin Ayah disuruh untuk mencari buku ini oleh Seijuurou-sama dan sekarang justru buku album-nya tertinggal di sini. Ayah terkadang bisa ceroboh juga, meletakkan sembarang di sini dan lupa untuk mengembalikannya. Kalau ini hilang lagi bagaima–
PRANG!
Ahhh!….. tanpa sadar aku menggeser tanganku dan justru menjatuhkan cangkir yang terletak manis di samping buku album. Bodohnya….! Cangkir itu pecah berkeping-keping. Di dalamnya masih ada kopi yang –entah kenapa– masih panas dan sekarang cairan hitam itu juga ikut tumpah. Aku berjongkok dan memungut pecahan cangkir itu,
"Ouch!"
Ittai….. jari telunjukku tak sengaja tertusuk ujung runcing pecahan dan panasnya kopi menimbulkan luka. Tidak parah, hanya saja sakitnya mampu membuatku meringis. Rasanya perih dan panas. Tapi, aku harus membereskan semua kekacauan ini sebelum Ayah atau Ibu datang–
Tiba-tiba aku mendengar suara kunci yang berputar, pintu terbuka dan memperlihatkan seorang pemuda bersurai crimson yang masih dengan napas terengah-engah. Dia melihatku dengan sepasang permata ruby-nya. Entah kenapa tatapannya itu berkilat marah saat irisnya menangkap pecahan cangkir dan tumpahan kopi panas di lantai, serta tanganku yang masih membereskan pecahan itu. Aku mengalihkan pandangan ke arah pecahan cangkir, menghindari kontak dengan permata ruby itu. Lagi, aku membuat Seijuurou-sama marah padaku lagi.
Suara langkah kaki terdengar mendekat.
"A…ano…" Aku harus minta maaf. Semua ini salahku yang sangat ceroboh. "….maaf..ini–"
"Lepaskan…."
"….A-aku akan segera membereskan…. ke-kekacauan ini…." Takut. Aku dapat merasakan jari-jariku gemetar saat mengambil pecahan cangkir itu, "….ma…maafkan aku, Sei–"
"LEPASKAN TANGANMU DARI PECAHAN ITU!"
Dia berteriak keras dan menarik pergelangan tanganku dengan kasar dan cepat. Sa…sakit…. Genggamannya terlalu keras. Tanganku langsung melepas kembali pecahan cangkir yang baru saja kuambil, menimbulkan bunyi berdenting saat pecahan itu jatuh ke lantai. Aku memandang kedua tangan besar itu yang terus menggenggam pergelangan tanganku dengan kuat.
Ba-bagaimana ini? Se-Seijuurou-sama marah. Dia berteriak marah padaku. Takut. Aku takut. Pasti pergelangan tanganku memerah karena genggamannya. Aku menutup mata. Tak berani menatap wajahnya, iris scarlet itu yang pasti berkilat marah. Biarpun mataku tak menampilkan sosoknya, aura di sekitarnya masih terasa menekan, mengintimidasi, dan penuh absolutisme. Ini dia. Inilah hal yang selalu kutakuti selama ini. Aura yang mencekam, pandangan yang mengintimidasi, dan semua hal yang mutlak ada pada dirinya. Rasanya sesak, rasanya udara begitu menekanku sampai batas minimal saat ia berada dekat–
Eh? Apa? Hangat…. Sesuatu yang hangat dan basah menyapa indraku, berasal dari tanganku. Aku berusaha melihat apa yang terjadi dengan sedikit membuka mataku, melihat ke depan, ke arah jari telunjukku yang terluka. Jari yang ujungnya didominasi oleh bibir dan lidah-nya. Warna merah darah berbekas pada lidah merah pucat yang ia gunakan untuk menjilat luka di ujung jariku. Ke-kenapa–
–Hah ?!
Sekejap. Aku dapat melihat sekejap, sepasang permata ruby miliknya yang memandang cermat tanganku, jemariku yang terluka. Secara refleks, aku menengok ke arah lain, memandang tembok di sampingku. Aku berusaha menarik tanganku dari genggamannya. Te-terlalu erat, aku tak bisa menariknya. Lepaskan. Tolong lepaskan tanganku, Seijuurou-sama.
Entah kenapa genggaman tangannya itu mengendur dan berhenti memainkan lidahnya di atas jemariku. Tapi tidak, ia hanya mengendurkannya saja, tak berarti melepaskan tanganku.
"Sakit….."
Eh? Dia bertanya tentang lukaku?
Aku menggeleng pelan, "…ha-hanya sedikit perih dan panas… tapi tak apa. Aku baik-baik saja….hanya luka kecil."
Ada apa? Kenapa jari-jari yang menggenggam pergelangan tanganku itu terlihat bergetar? Tidak biasanya, Seijuurou-sama bersikap seperti ini. Ada apa? Ma-masaka….
"…Se-seijuurou-sama, tanganmu… " Tadi dia mengatakan sakit mungkin bukanlah sebuah pertanyaan tetapi sebuah pernyataan kalau dirinya sedang terluka, "Apakah ada sesuatu yang terjadi? Apa Seijuurou-sama …..terluka?"
Aku berhasil melepaskan genggaman tangannya dan kini beralih tanganku memegang tangannya. Kulihat begitu detil semua bagian tangannya; jemarinya, telapak tangannya, punggung tangannya, dan pergelangan tangannya. Tapi aku tak menemukan sesuatu yang terluka. Lalu kenapa jemarinya bergetar? Ia bukan seseorang yang mudah merasakan takut sepertiku. Apa yang sebenarnya terjadi denganmu, Seijuurou-sama?
Tangan kirinya menarik tanganku secara perlahan dan hati-hati untuk melepaskan genggamanku pada pergelangan tangan kanannya. Setelah itu, dia berdiri dan berbalik ke arah pintu masuk. Ah, mungkin jemarinya yang tadi bergetar itu hanya ilusiku. Dia berdiri tegap dan tak menghilangkan aura kemutlakan yang selalu berpendar di sekitarnya. Ah, iya. Itu pasti ilusi. Seijuurou-sama tak mungkin bersikap seperti itu.
"Jangan sentuh lagi pecahan cangkir itu, [Name]." Suara dengan nada memerintah yang mutlak, "Akan kupanggilkan yang lain untuk membereskannya."
Aku hanya sanggup untuk mengangguk. Meng-iyakan perintahnya. Dan mataku hanya bisa melihat punggung bidang yang tegap itu berjalan keluar dari kamarku. Angin segar memasuki pintu yang terbuka lebar, menyibak helaian suraiku. Aroma kopi yang tumpah berputar di sekelilingku. Semua terasa begitu asing. Aku seolah merasakan sesuatu yang lain pada diri Seijuurou-sama.
"Ah!" Mataku menatap buku yang tergeletak di atas meja, "Aku lupa mengembalikan buku albumnya…."
"[Name]-cchi!"
"Ki-kise-san?!" Ke-kenapa Kise-san bisa berada di sini?
Pemuda bersurai blonde yang berprofesi sebagai model itu langsung memelukku, membuat aroma parfum mawar yang dipakainya menyapa indra penciumanku. Tapi entah kenapa kali ini tak begitu sesak dan erat, mungkin ia belajar sesuatu karena dimarahi waktu itu.
"[Name]-cchi." Iris honey-nya menatap lurus kepadaku, dan begitu dekat. Ke-kenapa semua orang yang kutemui selalu menatapku dekat? A-aku tidak terbiasa dengan itu. Aku sangat gugup jika ditatap langsung seperti ini, apalagi wajahnya hanya berjarak beberapa centi di depanku.
"Jadikan aku muridmu-ssu!"
Hah?
"A-apa maksudmu…Kise-san?" Apa yang ia katakan? Aku tidak mengerti maksudnya.
"[Name]-cchi hebat sekali bisa langsung meng-copy gerakan Aominecchi dan Midorimacchi waktu itu-ssu. Perfect copy-mu membuatku kagum."
Perfect copy? Maksudnya gerakan Aomine-san dan Midorima-san yang kutiru waktu itu? Tapi aku hanya melakukan apa yang kulihat saja. Aku bahkan tidak tahu kalau gerakan tiruan itu sempurna seperti apa yang dia katakan. Setelah aku mengatakan itu, dia justru semakin memohon-mohon dengan tambahan efek mata berkilat-kilat dan aura bling-bling di sekitarnya. Ma-manisnya…. rasanya aku bisa melihat telinga dan ekor anjing imajiner yang bergoyang kiri-kanan. Lucu sekali, baru kali ini aku melihat ekspresi manis dan lucu seperti ini.
"Apa yang kau lakukan di sini, Ryouta? Ini rumahku dan ini kamarku, kau tahu."
Kise-san hanya bisa mengerucutkan bibirnya dan itu membuatnya semakin lucu. Apa yang dilakukan para fans-nya jika dia selalu bertingkah manis seperti ini? Bukankah dia model dengan modal utama parasnya yang tampan? Kupikir semua orang yang mempunyai paras tampan akan menjaga imej dewasa dan bisa diandalkan, tapi lain dengannya, Kise-san sangat ramah, kekanak-kanakan, dan justru membuat orang lain ingin memanjakannya. Tapi aku suka itu. Auranya hangat dan secerah matahari.
"Lalu kenapa Akashicchi mengizinkan [Name]-cchi masuk ke kamarmu-ssu?"
"Dia sedang bertugas membersihkan kamarku. Kau tidak lihat kemoceng di tangannya?"
Iris madu itu menatapku, "Ah, iya. Benar juga-ssu."
Kise-san, kamu baru sadar kalau aku memegang kemoceng, ya? Padahal daritadi aku ada dihadapanmu. Aku memang sedang membersihkan kamar Seijuurou-sama yang menjadi rutinitas-ku sehari-hari. Entah kenapa, tugas ini justru membuat pembantu yang lain menatap iri padaku. Aku juga awalnya sempat bingung saat Seijuurou-sama menunjukku sebagai satu-satunya orang yang boleh menginjakan kaki di wilayah yang menjadi privasi-nya.
Dengan langkah terseret-seret Kise-san pergi keluar setelah Seijuurou-sama mengatakannya untuk pergi karena mengganggu. Lagipula apa yang sebenarnya Kise-san lakukan di sini? Dia datang hanya untuk menemuiku?
"A…ano…" Langkah Sang Model itu terhenti saat suaraku keluar, "…a..aku tak tahu apa yang sebenarnya kulakukan waktu itu tapi…. jika Kise-san ada masalah dengan kemampuan copycat milikmu, a…aku akan berusaha membantu."
Satu pelukan erat, dan satu buah gunting melayang bersamaan.
"[Name], dimana kau letakkan dasi seragamku?"
Eh? Rasanya aku sudah meletakkannya di tempat biasa. Kenapa bisa hilang? Apa mungkin belum dicuci?
"Ma…maaf, akan kucari."
Di tumpukan pakaian yang belum dicuci, tidak ada. Di lemari pakaian Seijuurou-sama, tidak ada. Di kamarku, karena mungkin aku memiliki sifat ceroboh seperti Ayah, tidak ada juga. Ke-kemana hilangnya dasi itu? Benda mati seperti itu tak mungkin berjalan sendiri 'kan? Aku mencoba bertanya kepada pembantu yang lain, mereka juga tidak tahu. Gawat. Ini benar-benar bencana. Sudah 10 menit aku mencarinya tetapi belum ditemukan juga. Kalau aku tak segera menemukannya, Seijuurou-sama bisa terlambat.
"Sudahlah, aku akan membeli yang baru di koperasi sekolah."
"Ma-maafkan aku…A-aku benar-benar minta maaf…"
Huwaaa! Untuk kesekian kalinya aku membuat kesalahan. Membuat Seijuurou-sama marah lagi padaku. Aku memang tidak bisa melakukan apapun. Aku benar-benar payah. Mobil Seijuurou-sama pergi berlalu begitu saja. Hhhhh….. aku harus intropeksi diri. Ini semua salahku.
Cuiitt…cuiitt….
Seekor burung putih bermata merah bertengger di atas ranting pohon sakura dengan membawa dasi biru tua di paruhnya.
….
Aaaaaahhhhh!
"Ruby! Ternyata kamu yang mencuri dasi Seijuurou-sama?!" Aku berteriak kesal. Pantas saja dasi itu tak kutemukan sedari tadi, ternyata ada yang mencurinya. Dan kenapa harus dicuri disaat-saat yang penting seperti ini?! Oh ya ampun…
"Ruby…! Kembalikan dasi itu. Hei, tunggu dulu….mau kemana kamu?" Ruby terbang ke arah luar melewati pintu kecil setinggi 50 cm yang tersembunyi di balik semak-semak. Hei, sejak kapan pintu itu terbuka? Bukankah waktu itu aku sudah menutupnya? Aku berjalan merangkak melewati semak-semak. Aroma embun pagi menyapa hidung dan tanaman rumput menusuk kulit betisku. Aku menyesal tidak memakai celana panjang, hanya baju terusan selutut berwarna softpink. Aku terus merangkak sambil memanggil nama burung pencuri itu. Aduh, kemana perginya dia? Cepat sekali terbangnya, dan kenapa harus lewat tempat rahasia-ku?
"Ruby….. cepatlah kembalikan dasinya. Aku janji tak akan marah lagi" Sudahlah, marah pun percuma, "….Ruby?"
"He? Jadi kau selalu keluar-masuk lewat sini, [Name]?"
"[Name]-chin, *nyam* ternyata biasa kabur dari rumah, ya?"
Eh? Suara ini… rasanya familiar…..
Aku mendongak ke sekeliling dimana tempatku keluar dari balik pintu rahasia. Pemuda beriris navy-blue duduk bersandar di tembok, tepat disamping pintu keluar. Pemuda beriris light-blue dan honey berdiri tepat di depanku, sedangkan pemuda beriris violet itu mengulurkan tangan membantuku berdiri tapi aku mengacuhkan uluran itu. Aku hanya menatap mereka dengan tatapan kenapa-mereka-ada-di-sini?
Bukankah mereka harusnya pergi ke sekolah? Walaupun mereka memang terlihat sedang memakai seragam sekolah. Dan…. Ini sudah waktunya berangkat sekolah, bahkan Seijuurou-sama sudah terburu-buru.
Dan yang lebih penting…..
Kenapa mereka ada di depan pintu rahasia-ku?!
Untuk apa mereka berada di sini? Apa mereka menungguku? Apa Ruby menuntunku untuk berjalan ke luar, dimana mereka menunggu? Lalu untuk apa mereka menung–
"Kyaaaa!"
Tiba-tiba pemuda beriris violet itu mengangkat tubuhku. Persendian antara paha dan betis serta lingkar pundak, diangkat oleh kedua lengannya, tepat ke atas dan sejajar dengan dada bidangnya.(*) Lenganku spontan mengalungi lehernya. Aku tahu wajahku pasti memerah. Aku tahu. Aku sangat tahu kalau jantungku berdetak cepat, entah karena takut jatuh atau karena digendong olehnya, atau mungkin keduanya.
"Yak, Tuan Putri sudah diculik jadi..." Eh? Jadi aku benar-benar diculik oleh mereka? "…Let's go!"
SESEORANG TOLONG JELASKAN PADAKU APA YANG TERJADI!
.
.
.
"Yak, kita sampai-ssu."
"Murasakibara, turunkan dia."
"Hai~"
"…..[Name]-san, apa kamu baik-baik saja?"
Berguncang. Tadi itu benar-benar bagaikan gempa bumi, semua berguncang. Saat mereka semua lari, pandangan mataku langsung berguncang, atas-bawah bergantian dengan begitu cepat. Berada pada gendongan orang yang tingginya hampir 2 meter itu memang sangat menakutkan. Sepanjang perjalanan lari marathon mereka, aku terus memeluk lehernya dan tak sekalipun berani untuk membuka mata. Aku tak bisa berpikir. Otakku rasanya seperti diaduk. Ukh….. aku merasa mual….
"Dasar, sudah kukatakan supaya tak membawanya dengan berlari seperti itu –nodayo." Pemuda beriris emerald berjalan mendekat ke arah kami, "Ini obat mual untukmu, [Name]"
"Te…terima kasih….Mi-midorima-san." Dia sudah memperkirakan aku akan merasa mual? Sampai repot-repot menyiapkan obat dan segelas air putih.
"Ja-jangan salah paham. Ini kulakukan karena mereka terlalu bodoh untuk berpikir panjang seperti ini –nanodayo."
Ah, matamu berkilat penuh rasa cemas, Midorima-san, "…sekali lagi kuucapkan…. terima kasih."
Setelah aku mengatakan itu Midorima-san justru terlihat semakin panik. Aku hanya terkekeh kecil dan segera meminum obat yang dia persiapkan. Ahh….. rasanya aku jadi lega.
"Maaf, [Name]-san. Kami tak bermaksud untuk membuatmu mual-mual seperti ini."
"Ah, tidak apa. Hanya aku saja….. yang terlalu ….lemah, Kuroko-san." Aku menggeleng dan secara bergantian menatap mereka, "…umm…. Sebenarnya ….. kenapa kalian…menculikku?"
Semuanya langsung menatap ke arah Sang Model. Ada apa dengan Kise-san? Apa dia dalang yang menculikku?
"Bu-bukan menculik-ssu. Lebih tepatnya mengajakmu secara paksa." Itu sama saja artinya, Kise-san.
"Kami sudah lama menunggumu di depan gerbang tapi kau tak kelihatan. Akhirnya Tetsu punya ide untuk memancingmu keluar lewat pintu rahasia. Karena sebentar lagi acara-nya akan dimulai maka kami berlari ke sini."
Itu bisa memang bisa menjelaskan kenapa mereka berlari tapi….."Menunggu? Untuk…apa menungguku?" Aku tidak bisa memprediksi apa yang membuat mereka menungguku dan membawaku ke sini.
"Mou~….[Name]-chin coba lihat baik-baik sekolah kami *nyam*"
Aku berbalik mengarahkan pandanganku ke arah sekolah. Oh iya, ya. Aku sedang berdiri di depan sekolah mereka, SMP Teikou. Jadi mereka berlari membawaku ke sini? Berbagai hiasan warna-warni dapat kulihat. Siswa-siswi berlalu lalang, beberapa mengenakan kostum dan berteriak mengenai sesuatu, sepertinya sebuah promosi. Stand-stand makanan berjejer dan spanduk tersebar di berbagai sudut. Gerbang masuk tempatku berdiri dihias sedemikian rupa dan bertuliskan 'Selamat Datang di Festival Teikou'.
"….Festival?" aku bertanya memastikan apa yang kulihat.
Mereka semua menggangguk meng-iyakan. Jadi….. mereka menculikku untuk datang melihat festival sekolah mereka? Tapi…kenapa….
"[Name]-cchi di dalam rumah terus-ssu. Kami pikir pasti kamu bosan dan setuju untuk mengundangmu ke festival sekolah kami-ssu."
Eh? Jadi mereka…
"Festival sekolah itu menyenangkan~*nyam*. Ada banyak makanan~. [Name]-chin mau apa? Takoyaki~? *nyam* Tapi aku lebih suka Maiubo, sih."
Selalu….
"Tidak ada stand Maiubo –nanodayo."
Memikirkan keadaanku…
"He~...kenapa tidak ada, Mido-chin~? Membosankan sekali~"
Selalu…
"Pada dasarnya memang tidak mungkin ada yang menjual Maiubo di festival sekolah, Murasakibara-kun."
Menciptakan kebahagiaan untukku….
"Bagaimana menurutmu festival-nya, [Name]? Ini semua hasil kerja keras kami karena dipaksa oleh Akashi, lho. Oh, iya. Jangan sampai kau ketemu dengan Akashi di sini. Kami bisa mati ditusuk gunting kalau ketahuan membawamu ke sini–….Hoi, kau dengar tidak?"
"Te-terima ka-ka…sih…" Aduh, su-suaraku bergetar.
"Ha? Apa yang kau katakan?"
"Te-terima kasih, Minna-san. A-aku….." Kata terima kasih sama sekali tidak cukup. Mereka semua begitu baik dan perhatian padaku. Padahal aku hanya anak seorang pelayan, tapi… tapi mereka…tidak memandangku rendah. Terima kasih. Terima kasih banyak. Beribu-ribu kali akan selalu kuteriakan rasa terima kasih ini. Hangat sekali….. lebih hangat daripada duduk di depan perapian sambil meminum segelas cokelat panas. Hangat….. rasanya nyaman sekali.
Mereka semua langsung panik saat air mataku mengalir dan bertanya tentang keadaanku. Entahlah, air mata ini terus mengalir. Tak bisa berhenti. Walaupun pelupuk mata kutekan dengan punggung tangan, hanya dapat mengapus jejak air mata, namun terus saja keluar. Keluar begitu saja.
Hal yang selalu kuimpikan; Sekolah, melihat dunia luar, berteman, dan….dan…. Semua bisa terwujud dengan kehadiran mereka. Dengan semua perlakuan sayang mereka. 10 tahun yang lalu, kupikir aku tak akan menghirup udara segar. 8 tahun lalu, kupikir aku tak akan bisa bebas. Selalu, aku selalu bermimpi. Hanya sebuah mimpi tanpa kenyataan. Semua hanya harapan yang kosong. Mimpiku tak akan terwujud, Semua itu mustahil akan terwujud. Tapi… ini kenyataan 'kan? Aku tidak bermimpi lagi 'kan? Aku tidak lagi membuat bantalku basah karena mimpi yang sangat menyenangkan sampai air mata bahagia ini tak berhenti mengalir 'kan? Jika ini hanya bunga tidur, jangan bangunkan aku. Jangan kembalikan aku pada kenyataan bisu. Jangan biarkan aku membuka mata melihat kenyataan palsu. Kumohon, untuk kali ini. Hidup dalam mimpi seperti ini, sangat indah. Aku tak ingin bangun.
Rasanya menyesakkan, nafasku tersenggal-senggal. Tapi disaat bersamaan, rasa hangat menyelimutiku. Nafas lega dihempaskan begitu saja. Semua kenyataan ini, terlalu indah. Terlalu indah jika ini sebuah kenyataan baru. Sebuah langkah baru pada dunia yang lebih luas. Sebuah takdir baru yang lebih membahagiakan.
Aku ingin. Aku ingin selamanya seperti ini. Semenjak kehadirannya, semua kebahagiaan muncul. Semenjak kehadirannya, mimpiku satu per satu menjadi kenyataan. Karena dia, semua terlihat berkilauan. Karena dia, aku bisa merubah takdirku.
Karena dia, aku kini mengerti, apa artinya sebuah 'Kehidupan'.
Ne, Murasakibara-san, Apa yang sedang terjadi denganku? Perasaan apa ini? Apakah ini yang dinamakan perasaan yang tabu? Sebuah perasaan yang dilarang oleh mereka yang selalu menjagaku dari perbatasan dengan dunia luar? Aku dapat merasakannya. Sebuah perasaan yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Rasanya aneh… tidak familiar….. aku tidak mengenal perasaan ini. Aku tidak pernah merasakan perasaan seperti ini. Jika kutanyakan hal ini padamu, apa jawaban yang akan kau berikan?
.
.
.
.
TBC
hehehe...maaf nunggu lama ya. akhir-akhir ini banyak j-fest dan saya sibuk sipkan kustum cosplay. Yak, mudah-mudahan ini tidak mengecewakan.