Aku kembali kedalam rumahku yang terletak tidak jauh dari tempat pemberhentian bus. Segera setelah aku membuka pintu, aku disambut dengan kehadiran seorang pria berambut hitam. Ia tengah menonton susunan acara yang ada ditelevisi. Menyadari kedatanganku, ia segera menyambutku.
"Kenapa kau pulang selarut ini, Ryouta?"
"Ano ne, Ojii-san… Hari ini aku mendapat teman baru. Ia mengenalkanku pada hal-hal yang belum pernah kutemui atau kulakukan sebelumnya, ia bahkan memberikanku boneka ini, lucu bukan? " Kataku dengan riang begitu menunjukan objek lucu ditanganku ini.
"Tapi, Ryouta. Kau seharusnya sadar akan kondisi tubuhmu. Karena kau pulang telat hari ini, maka kita akan pergi ke dokter untuk Medical Check-up besok. " sahutnya sembari menepuk bahuku pelan.
Aku menundukan kepalaku. Akibat ulahku, beban yang ditanggung pamanku semakin berat. Aku menambahkan satu kegiatan lagi dalam daftar aktifitasnya.
"Kembalilah ke kamarmu. Aku yakin kau sangat lelah dengan aktifitas yang kau lakukan hari ini. Aku akan membuatkanmu teh hangat." Ia tersenyum tipis sembari melangkahkan kakinya menuju dapur.
"Baiklah. Nijimura-oji-san."
.
.
.
Heart Beat
"Take my hand and bring me back."
— The Beginning by One Ok Rock.
Warning : AU, OOC, TYPO(S), RANDOMNESS, MULTI-POV, GENRE MAY CHANGE IN THE FUTURE.
Pairing : Aomine Daiki and Kise Ryouta.
Enjoy Reading!
.
.
.
"Sepertinya belakangan ini kau kelelahan ya, Kise?" Tanya pria bersurai hijau dengan stetoskop dikalungkan di lehernya.
"Hm… mungkin?" jawabku dengan ragu-ragu.
"Kise, kau tidak boleh bohong. Kesehatanmu menurun belakangan ini. Kau harus lebih berhati-hati dalam melakukan aktifitas sekolah. Kalau tidak salah, kau tidak Home Schooling lagi bukan?"
"Hm… Iya.. mulai sekarang aku bersekolah di SMA Touo. Disana aku telah menemukan teman baru, lho!" jawabku dengan semangat.
Yang diajak bicara hanya menghela nafas pelan. "Aku tahu kau sangat bersemangat karena telah mendapat teman baru. Tapi, kau tetap harus mengingat kondisimu. "
"Iya.. Maafkan aku…" Aku menundukan kepalaku sebagai tanda penyesalan.
"Untungnya, ini tidak parah. Jadi, tenang saja." katanya sambil menepuk kepalaku pelan dan menyiratkan seulas senyuman. "Kau bisa pulang sekarang."
Aku mengangguk pelan dan segera merapikan bajuku serta barang-barang yang kubawa. Sembari melangkah keluar aku mengarahkan pandanganku pada dokter muda itu.
"Terima kasih, Midorima-sensei. Sampai jumpa."
"Sampai jumpa minggu depan, Kise."
-xxxx-
Aku kembali masuk ke sekolah walaupun kondisi kesehatanku tidak terlalu meyakinkan. Alasannya tentu saja aku ingin bertemu teman baruku dan mengucap terima kasih dengan layak padanya. Ya, aku harap tubuh ini dapat bertahan sampai pulang sekolah.
Seperti biasa, ia hadir sesuai dengan keinginannya di pelajaraan olahraga, dimana semuanya telah bersiap-siap pemanasan untuk melakukan olahraga yang bertemakan basket di lapangan Indoor hari ini.
Ia sudah berganti pakaian dan mengenakan pakaian yang sesuai dengan kegiatan kali ini. Untuk sesaat ia menatapku, aku hanya membalasnya dengan sebuah senyuman kecil dan ia pun berjalan mendekatiku.
"Hoi, Kise." Panggilnya.
"Ada apa, Aominecchi?"
"Karena aku telat kali ini, ayo bantu aku melakukan pemanasan!" nada bicaranya terdengar seperti perintah bagiku.
"Tidak mau! Aominecchi yang telat kok aku yang repot?"
"Cih. Mendokusai. Kau tak lihat mereka melakukan pemanasan secara berpasangan? Dan aku satu-satunya yang tak mempunyai pasangan!" aku dapat melihat segaris tipis kemerahan melintasi wajahnya.
"Ta-tapi, Aominecchi 'kan tahu kalau aku—"
"Aku tahu. Karena itu, hanya aku yang melakukan pemanasan. Kau bantu pegangi kakiku saja."
Aku hanya mengangguk pelan mendengar perkataan yang ia ucapkan.
Ia melakukan stretching, push up, sit up dan pemanasan lainnya. Kau dapat melihat bagaimana lekukan tubuhnya yang terbentuk dari aktifitas olahraga berat merenggang, menampilkan sebuah pemandangan yang mengikat hati para gadis dikelasku untuk sekedar menoleh menganggumi tubuhnya. Apalagi butiran-butiran peluh yang menetes itu semakin memperindah raganya.
Tapi, ini membuatku frustasi. Ritme detakan jantungku menjadi semakin cepat. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku. Tapi kalau begini terus, aku dapat pingsan dengan pelan-pelan.
"Yosh, aku sudah melakukan semua pemanasannya. Terima kasih, Kise." Katanya seraya melontarkan senyuman padaku.
Aku kembali membalas senyumannya.
Merasa ada yang tidak beres, ia mendekatkan wajahnya padaku, "Kau tak apa, Kise?"
Tangan besar itu meraih kepalaku dan menempatkan posisi tetapnya didahiku. Aku yang terkejut dengan apa yang dilakukan oleh sosok dihadapanku ini, langsung menepis pelan tangannya secara spontan.
"Aku tidak apa-apa." sebuah senyum kulontarkan padanya. "Aku hanya kelelahan saja."
Ia menautkan alisnya sebelah, "Kau yakin?"
Anggukan kuberikan sebagai respon atas pertanyaanya dan ia pun berjalan pergi menuju kerumunan untuk memulai puncak kegiatan olahraga hari ini—Olahraga Basket.
Aku terkagum atas pemandangan yang disajikan olahraga ini. Ini benar-benar membuat bakat yang ada dalam diri seorang Aomine Daiki menjadi sangat menonjol. Kalau kau berada di bench atau kursi penonton, kau dapat melihat jelas bagaimana seorang remaja dengan marga Aomine itu melewati lawannya dengan dribble yang memukau dan memasukkan bola ke dalam Ring dengan Dunk yang luar biasa.
Alur permainan yang luar biasa membuat semua orang bersorak-sorak mendukung pihak yang mereka pilih. Tanpa sadar aku menyoraki tim remaja bersurai biru tersebut hingga suaraku tak dapat kukenali lagi. Ditambah lagi penglihatanku yang mulai kabur.
Dan tanpa sadar. Kegelapanlah yang menemuiku.
-xxxx-
Aku membuka mataku. Dan yang kulihat pertama kali adalah cahaya terbenamnya matahari yang menghiasi langit-langit ruangan. Aku menyadari bahwa posisiku berada di atas sebuah tempat tidur di dalam sebuah ruangan beraroma antiseptic. Aku mengarahkan pandanganku pada sisi kananku, dan disana terlihat seorang remaja laki-laki berkulit tan itu tengah memandangiku dengan khawatir.
"….Kau… Tidak apa-apa, Kise?" tanyanya dengan pelan.
"Hn… " Aku beranjak duduk agar bisa menatapnya dengan sejajar.
"O-oi, lebih baik kau tiduran saja. Jangan memaksakan dirimu, Kise." Katanya seraya memegang pundakku.
"Tidak apa, Aominecchi. Aku tidak apa-apa, kok."
"Tapi, kau pingsan dan terkulai lemas tadi... " ia mengalihkan pandangannya dariku "…Apa karena kemarin kau kelelahan?"
"Tidak kok, Aominecchi. Bukan karena kemarin. Aku rasa karena aku terlalu bersemangat meneriaki nama Aominecchi yang bermain dengan keren tadi." Jawabku terkekeh pelan.
Ia menghela nafasnya, "Baiklah kalau begitu. Tapi, kau tetap membutuhkan istirahat yang cukup, Kise."
"Iya, Iya, Aominecchi." Kataku seraya tersenyum.
"Sudah sore. Sebaiknya kau pulang ke rumah dan beristirahat dengan benar." Katanya sambil bangkit berdiri menuju pintu. "Kau mau kemana, Aominecchi?"
"Aku akan mengambilkan barang-barangmu yang tertinggal di kelas." Dan ia pun berjalan pergi.
Aku hanya merespon dengan anggukan kecil. Aku kembali berbaring di kasur, memikirkan kenapa tubuhku menjadi lemah hanya karena menyoraki Aominecchi? Ya, kuakui aku memang diperingatkan untuk tidak melakukan segala sesuatu secara berlebihan, tetap saja ini aneh bagiku.
Tak lama kemudian, Aominecchi datang sembari menenteng dua tas dan baju gantiku.
"Terima kasih, Aominecchi." Kataku yang mendapat balasan berupa anggukan. "Ganti bajulah, Kise. Aku akan menunggumu di luar." Ia kembali berjalan keluar dan menutup pintu yang menjadi batas ruangan ini dan koridor.
Aku segera mengganti bajuku dengan cepat agar Aominecchi tidak menunggu lama. Dan saat aku beranjak untuk membuka pintu, sebuah suara yang hampir berbisik menghentikanku.
"Heh. Nyalimu cukup besar untuk melanggar perintah yang diberikan, Akashi-sama." Suara asing yang berujar itu terdengar sinis.
"Aku tidak melanggarnya. Yang Akashi-sama inginkan adalah prestasi yang tinggi. Dan aku akan membuktikannya." Sahut suara berat milik Aominecchi. "Karena itu, untuk sementara jangan ganggu aku, Haizaki."
"Kau tahu ada bayarannya 'kan?" jawab suara asing itu dengan tegas.
"Ka-kau… Kau masih mengonsumsi itu?!" suara Aominecchi terdengar terkejut dan bergetar. "Kau gila! Apa yang akan terjadi padamu kalau Akashi-sama sampai mengetahuinya! Sebaiknya kau berhenti mengonsumsi benda haram itu!"
"Cih. Bukan urusanmu! Kalau kau tidak mau memberikanku benda yang kau sebut haram itu, sebaiknya kau berikan bayaranku dalam bentuk materi saja. Paling tidak, itu akan membuatku tutup mulut dari Akashi-sama."
Aomine hanya berdecik pelan. Aku tak dapat melihat yang ia lakukan, tapi, kurasa ia memberikan apa yang orang asing itu inginkan daripadanya.
"Nah. Begitu dong. Dengan begini aku tidak akan memberitahukannya pada Akashi." Katanya sembari melangkah pergi.
Aku dapat mendengar Aominecchi kembali berdecik pelan. Mungkin hal yg baru saja pria itu katakan membuatnya kesal.
"Kise, aku tahu kau sudah selesai. Ayo, kita pulang."
Aku bergidik begitu mendengar apa yang dikatakan pria yang bersandar di balik pintu ini, segera kuputar knop pintu dan melangkah keluar bersamanya.
"Ha'i.. Aominecchi…"
Dalam perjalanan dari sekolah menuju halte bus, ia tidak mengatakan sepatah katapun tentang apa yang terjadi barusan. Ini membuat situasi ini semakin canggung. Aku yakin ia tahu betul bahwa aku mendengar pembicaraan mereka dengan jelas. Tapi, ia tidak berusaha menjelaskan ataupun menanyakan sesuatu padaku. Aku sendiri tidak tahu cara untuk melepas kecanggungan ini.
Bagaimana kalau ku tanyakan saja secara langsung, ya? Biar tidak penasaran dan situasi ini dapat mencair.
"Aominecchi—"
"Soal yang tadi lupakan saja, ya." Potongnya secara tiba-tiba.
"Eh? Tapi—"
"Pembicaraan kami… bukan hal yang penting kok. Jadi… lupakan saja, ya?" Permintaan itu hampir terdengar seperti memohon. Aku mungkin tidak mengenalnya secara lebih lanjut. Tapi kalau seperti ini, ini bukanlah Aominecchi yang kukenal. Sifat Aominecchi keras, bagaimana mungkin ia menjadi melemah hanya karena pembicaraan yang menurutnya sepele itu? Pasti ada alasan dibalik ini semua.
"Hm.. Tapi, maukah kau memberitahukan alasan kenapa aku harus melupakannya?"
Ia seperti terhenyak menghadapi pertanyaanku, "…Akan kukatakan alasannya padamu saat waktunya tiba…"
"Kapan?"
Segera saat kata tanya itu aku lontarkan, bus pun berhenti di tempat yang kutuju. Mau tak mau aku segera menuju ke pintu untuk turun dari bus. Aku menoleh sejenak ke arah Aominecchi, "Sebaiknya kau beritahu aku secepatnya, Aominecchi. Sampai Jumpa."
Tanpa sepatah katapun, ia pergi bersama bus yang melaju.
Sebenarnya, siapa itu Haizaki ?
-xxxx-
Aku kembali memulai keseharianku. Sudah saatnya istirahat siang. Seperti biasa, aku melihat pemuda berkulit gelap tengah beristirahat dan berteduh dibawah pohon sakura. Aku menghampirinya. Tanpa perlu memanggilnya, ia langsung menoleh kepadaku.
"Hai, Aominecchi~"
Ia mengerutkan dahinya, "Cih. Rasanya benar-benar aneh saat dipanggil dengan nama seperti itu."
"Eh..? Maaf… aku.." gawat. Sepertinya ia mulai marah lagi.
"Aku tidak bilang aku membencinya. Hanya saja itu terkesan aneh. Belum pernah ada orang yang memanggilku seperti itu, kau tahu?"
Eh? Benarkah? Apa itu berarti dia menyukainya?
"Itu juga bukan berarti aku menyukainya." Lanjutnya.
"Jadi yang benar yang mana, Aominecchi?" sahutku sembari menggembungkan pipiku.
"Menurutmu saja. " jawabnya dan ia kembali terlelap dalam tidurnya.
Dasar. Singkat sekali jawabannya. Tapi, sesuai pengalamanku kemarin. Aku rasa luka batinnya itu masih terbesit didalam dirinya. Membuatnya menjadi tertutup akan kehadiran setiap orang. Aku ingin sekali mencoba membuatnya terbuka kepadaku.
"Aominecchi? Masih bangun?" tanyaku pada pemuda yang tengah tidur bersandar pada batang pohon dibelakangnya.
"…Masih. Kenapa.?"
"Kau mau tidur dipangkuanku?"
Matanya yang tengah terpejam langsung terbuka lebar seketika kalimat itu aku lontarkan kearahnya. Ia langsung menatapku dengan pandangan panik dan rona kemerahan yang tipis diwajahnya.
"Hah?! U-untuk a-apa aku tidur dipangkuanmu?!" tuturnya tergagap.
Aku bingung kenapa ia bertanya seperti itu padaku. Bukankah ini yang biasa dilakukan seorang teman?
"Hm? Memangnya kenapa? Di manga yang aku baca semuanya seperti ini kok."
"Manga seperti apa yang kau baca, Kise?!" tanyanya, nyaris berteriak.
"Manga… persahabatan…?"
"Biar kutebak. Didalam manga itu, kedua karakternya perempuan?"
"Hm… iya. Di dalam manga itu, mereka tidak terlihat keberatan satu sama lain." Jawabku spontan. Kenapa dia panik seperti itu?
"Itu perempuan, Kise! Kita laki-laki!"
"Lantas kenapa? Bukankah itu yang teman dekat lakukan?" tanyaku dengan polos. Aku masih tidak mengerti kenapa ia bertingkah seperti itu.
"Tapi tetap saja, Kise! Itu untuk perempuan! Laki-laki tidak melakukan hal seperti itu!" rona kemerahan semakin terpancar diwajahnya.
"Ya, tidak apa-apa 'kan? Memangnya apa salahnya? Apakah Aominecchi pernah mencoba ini sebelumnya?" jawabku sembari menggembungkan pipiku.
"Te-tentu saja tidak pernah! Itu 'kan yang dilakukan sepasang kekasih atau perempuan! Bukan teman laki-laki!" katanya dengan meninggikan nada suaranya.
"De-demo, Aominecchi…. Aku ingin mencobanya." Kataku dengan suara memelas. Aku juga melakukan bentuk usaha lain dengan menarik ujung baju lengannya.
Aominecchi yang tampaknya jengkel dan salah tingkah pun menghela nafas. Seperti sebuah tanda isyarat bahwa ia akan menyerah dan melakukan apa yang aku inginkan. "Baiklah. Tapi, kali ini saja, ya?"
Aku langsung tersenyum lebar dengan respon yang ia berikan dan memberikan sebuah anggukan pasti. Aku langsung mengubah posisi dudukku. Dan sosok disampingku segera meletakkan kepalanya diatas pangkuanku.
Aku hanya dapat terkikik pelan melihat pemandangan yang disajikan ini. Aominecchi yang merasa terganggu dengan suara yang kuhasilkan hanya menatapku dengan tajam.
"Berisik kau, Kise! Kalau kau tidak diam, aku akan kembali ke posisi dudukku!" ancamnya.
"Eh?! Jangan! Iya-iya, aku akan diam!" sahutku memastikan agar ia tidak bangun dari posisinya itu.
Sembari menghembuskan nafasnya pelan, ia memejamkan matanya. Sepertinya sudah merasa nyaman di pangkuanku. Secara perlahan, aku dapat merasakan bahwa ia mulai terlelap ke dalam alam mimpi. Aku pun memanfaatkan kesempatan itu untuk menelusuri wajahnya.
Dia benar-benar tampan. Aku menyempatkan jariku diantara surai biru laut itu. Rambutnya yang berantakan itu terasa sangat halus ketika aku merapikannya sehelai demi sehelai. Sosoknya benar-benar membuatku terbungkam. Aku merasa aku terjatuh kepada pesonanya. Ia menjeratku.
Seraya aku melanjutkan gerakanku, aku dapat mengetahui sosok dalam pangkuanku ini menikmatinya. Seulas senyuman ia timbulkan secara spontan. Membuatku ingin tersenyum melihat ekspresi yang tidak biasa ini.
Andai aku bisa merasakan hal-hal seperti ini setiap saat.
"Kise." Suara berat itu mematahkan lamunanku.
"Iya?"
"Aku—"
"Kenapa, Aominecchi?"
Oke. Ini aneh. Tidak biasanya remaja dipangkuanku ini memotong pembicaraannya sendiri.
Keheningan kembali menjadi jawabanku sebelum ia membuka mulutnya.
"…. Tidak… aku hanya ingin bertanya apakah kau ada acara setelah ini? Kalau tidak ada, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat."
Pertanyaan itu sontak membuatku terkejut. Apakah Aominecchi akan mengajakku ke tempat yang menarik seperti kemarin?
"Tentu! Aku mau!" jawabku kegirangan.
Ia hanya tersenyum simpul, "Kau mau kemana?"
"Hm… Aku tidak tahu… Tapi, aku ingin pergi ke tempat-tempat yang menarik dan belum pernah kukunjungi sebelumnya!"
Ia terdiam sambil meletakan tangannya diujung dagunya, tanda sedang memikirkan sesuatu. "…Kau…Apakah kau suka dengan bunga sakura, Kise?" tanyanya sembari menatapku.
Aku mengangguk pelan. Bunga sakura merupakan bunga yang pertama kali aku liat secara langsung. Sontak itu membuatku merasa bahwa bunga itu adalah bunga tercantik yang pernah kutemui.
"Bagaimana kalau kita melihat Bunga sakura yang mekar seutuhnya? Di ujung kota ini, ada sebuah tempat dimana kita bisa melihat bunga sakura yang mekar secara keseluruhan."
Mendengar pernyataan Aominecchi langsung membuatku antusias seketika. Aku dapat melihat ratusan atau bahkan ribuan kelopak bunga sakura yang bermekaran, bagaikan salju yang kembali turun di tengah musim semi.
"Aku mau!" jawabku dengan penuh semangat.
Ia kembali tersenyum, "Bagaimana kita langsung pergi dari sekolah saat istirahat siang? Biar nanti kita tidak dicurigai saat pulang malam."
Eh, berarti aku membolos dong? Aku takut ketahuan Nijimura-ojii-san membolos… Tapi, aku lebih takut lagi kalau kesempatan yang diberikan oleh Aominecchi lolos begitu saja. Jadi—
"Oke!"
—Bolos sesekali, tidak apa 'kan?
Sosok yang dihadapanku hanya terkekeh pelan melihatku yang langsung mengkonfirmasi ajakannya. Aku senang melihatnya seperti ini. Tapi, tetap saja ada satu hal yang menganjalku.
"Oh ya, Aominecchi."
"Apa?"
"Kenapa Aominecchi tiba-tiba mengajakku pergi?" tanyaku pelan.
Ia terdiam sejenak. "Bukan apa-apa."
"Aku hanya ingin mengisi waktuku. "
Mengisi waku Aominecchi? Seharusnya Aominecchi mengisi waktunya dengan sekolah. Kenapa malah jalan-jalan?
"Dan.. anggap saja ini balasan untuk pangkuanmu tadi." Sahutnya sembari tersenyum.
DEGH.
Ah. Perasaan ini lagi. Detakan ini lagi. Mengejutkan namun tak menyakitkan, malah terasa begitu nyaman. Kenapa... perasaan ini sering terjadi?
A/N :
Minna, apa kabar? xD
Udah lama sejak terakhir kali aku update di fanfiction *hiks*. Akhirnya setelah UTS kelar, baru bisa update lagi (lebih tepatnya baru dapet inspirasi lagi) ohohoho x"D.
Btw, chapter kali ini sengaja aku panjangin soalnya kita kekurangan asupan AoKise di Fanfiction QAQ. Jujur aku sendiri merasa sedih /heh. Jadi semoga chapter yang baru ini dapat memuaskan hasrat kita terhadap pairing paling unyu sedunia ini ohohoho.
Kai kemungkinan bakal langsung update dua cerita yang terbengkalai mumpung ada hasrat untuk mengetik dan kekurangan asupan AoKise xD.
Thnx for Reading xD! Don't forget to write review :3 and Have a Nice Day!
-Kaizumielric2210-