Previous Chap

"Dia guruku."

"Guru? Kenapa kau sempat berpegangan tangan dengannya?"

Sakura berdesis sekalipun pinggangnya serasa tergelitik. "Tadi aku hampir jatuh." Katanya, cepat. "Dan sudahlah, abaikan saja orang itu. Aku juga baru papasan dengannya tadi."

Sasori mengangguk singkat. Dia berjalan pelan menuju ruang tamu, namun foto wajah sang ibu yang terpajang di dinding membuatnya kembali terdiam. Ia menoleh ke Sakura sekali lagi. "Asal kau jangan berhubungan apa-apa dengannya, oke? Kau tau sendiri Ibu sangat membenci profesi guru."

Sakura terdiam dan membalas pandangan Sasori dengan sendu. Apa ini karena permasalahan keluarga mereka dimulai sejak ayahnya, yang merupakan seorang dosen, dikabarkan selingkuh dengan seorang mahasiswi universitasnya?

"Tentu saja. Mana mungkin juga kami berhubungan..." Sakura meletakkan gelas kacanya di depan meja makan, kemudian ia duduk dan berbisik lirih.

"Iya, kan? Mana mungkin..."

.

.

'Ne, Kakashi-sensei...'

'Hn?"

'Sebenarnya... dulu aku sempat suka padamu.'

'Err, maksudnya menyukaimu sebagai guru. Kupikir aku tak lagi membencimu. Tapi sejak kau memberi tahu keadaan keluargaku pada Anko-sensei, kurasa aku kembali membencimu.'

'Begitu? Lalu bagaimana dengan sekarang?'

Pembicaraannya dengan Sakura tempo hari bergulir ketika Kakashi terdiam di meja di depan kelas, tempat ia mengajar. Dia mengerjap sebentar, mengusap rambut kelabunya sesaat, lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ternyata ia masih di kelas 10-1, kelas Sakura berada. Dan dia sedang ditugaskan untuk mengawasi ujian akhir semester ganjil yang sedang berlangsung.

Oke, sudah berapa lama ia melamun?

Merasa ini masih bukan waktunya mengumpulkan lembar jawaban, Kakashi yang tak sengaja meluruskan pandangan menangkap sosok Sakura yang sedang duduk di bangku depan. Gadis itu mengerjakan soal matematikanya dengan sedikit tertunduk dan penuh konsentrasi. Poni merah mudanya jatuh menutupi mata, sedangkan bibir tipisnya melafalkan tanpa suara angka dan rumus yang sedang ia gunakan.

Diam-diam Kakashi menumpu dagunya ke tangan dan berniat lanjut membuang waktu dengan memperhatikannya. Tapi genggaman tangannya di pena mengerat. Ludahnya dia telan paksa.

Tak boleh. Seharusnya ia tak boleh seperti ini.

Dengan menghela nafas pria itu kembali menegakkan tubuh dan membuka buku bacaan.

Kelihatannya Kakashi sudah sadar akan lahir 'sebuah kesalahan' apabila ia tak membatasi sikapnya.

.

.

.

TEASTU ROMAN

"Teastu Roman" punya zo

Naruto by Masashi Kishimoto

[Kakashi Hatake x Sakura Haruno]

Romance, Drama, Friendship

AU, OOC, Typos, etc.

.

.

CHAPTER DUA BELAS

(XII) Hadiah

.

.

Sore menjelang malam, Sakura masuk ke kamarnya dengan piyama lengkap dan untalan handuk di kepala. Pintu dia tutup dengan kaki, lalu dia banting punggungnya ke permukaan kasur yang empuk. Kaki memarnya sudah baikan setelah satu minggu kembali dia lewati dengan kruk sebagai alat bantu. Kini kakinya tampak bugar. Kalau sendinya diputar dan diregangkan pun Sakura tidak merasakan ngilu yang biasanya menyambar.

Dia sudah sembuh.

"Sakura, sini ke bawah! Makanan sudah siap!"

"Iya!"

Panggilan dari Sasori membuat Sakura merekahkan senyum. Ia hampir lupa kalau malam ini Sasori akan memasak udon dengan kuah dashi—salah satu makanan yang kemarin ia minta. Dengan perasaan senang ia ke lantai bawah dan menemukan sang kakak yang sudah menyediakan semangkuk mi tebal yang kuahnya mengepulkan asap hangat dan wangi kaldu.

"Ah, arigatou, Sasori-nii~"

"Kau ini perempuan, harusnya kau yang memasak untukku."

Sasori melipat kedua tangannya di dada saat melihat Sakura yang sudah mencapit minya dengan sumpit. Dilatar belakangi oleh suara televisi ruang tengah yang barusan Sasori nyalakan, Sakura meringis. "Kan Niisan sendiri yang bilang kalau hasil masakanku selalu aneh di lidahmu."

"Makanya belajarlah memasak."

"Iya, iya."

Giok hijau Sakura melirik pelan ke arah kotak berwarna kuning yang sedang dibuka Sasori. Ada beberapa kue lonjong dan mencolok di dalamnya. "Itu Tokyo Banana?"—salah satu merk kue kesukaannya.

"Iya, mirip. Tapi ini buatan temanku."

"Boleh aku coba?"

"Tidak."

"Niisan pelit..."

Sasori menyeringai jahil. "Makanya baik-baik kalau dengan orang—jangan labil. Umurmu sudah lima belas tapi masih saja sering merengut kalau ada yang berlainan dengan kemauanmu."

"Kenapa jadi menghina sih?"

Sakura mengerucutkan bibir dan Sasori tertawa pelan. Ia berikan satu kuenya ke Sakura dan membiarkan gadis itu memakannya.

Enak—Sambil mengunyah Sakura membiarkan pikirannya melayang-layang di kepala. Apa sebaiknya aku juga berikan hadiah ke Kakashi-sensei? Dia kan sudah banyak membantuku—

Buru-buru ia mengernyit. Gelengan kepala menyusul setelahnya.

Kenapa dia bisa kepikiran hal seaneh itu?

Ah, tapi...

.

.

~zo : teastu roman~

.

.

Memberikan hadiah kepada Hatake Kakashi, itulah yang belakangan ini mengisi pikirannya. Mau dirinya menolak seperti apa pun, hati kecilnya tetap bersikeras. Minggu ujian yang sedang berlangsung sempat mengalihkan perhatiannya barang sesaat, tapi begitu sudah masuk masa-masa liburan, pikiran itu kembali hadir. Bimbang, takut, geli, dan aneh bercampur jadi satu menyertai ide ini. Nyali Sakura memang sedikit menciut kala Ino ia beritahu ide tersebut dan menggodanya. Tapi juga dengan adanya dukungan dari mereka, ia mencoba memantapkan hati.

Well, ide ini sudah berubah menjadi keputusan. Ia akan memberikan sesuatu kepada Kakashi.

Hanya saja masalahnya satu; dia harus memberikan apa? Benda? Atau makanan?

Ternyata benar kata kakaknya, dia masihlah seorang gadis labil berusia lima belas tahun. Untuk menentukan apa yang mau dijadikan hadiah pun dia kelewat plin-plan dan tak konsisten. Awalnya ingin memberikan dasi, tapi tidak jadi karena terlalu sederhana. Saat ide memberikan syal rajutan buatan sendiri dia yakini bisa menjadi jawaban, belum sampai seperempat bagian saja ia sudah bosan merajut. Sebenarnya Sakura ingin coba membuat makanan. Toh, dari panduan di buku maupun video interenet kelihatannya masak itu mudah. Tapi masalahnya kue kering yang terakhir ia buat saat SMP saja rasanya seperti kerikil di gigi Sasori.

Galau.

Tak terasa berbulan-bulan terlewat dan kini ujian kenaikan kelas sudah di depan mata.

"Kita sudah mau naik kelas, ya? Padahal rasanya baru kemarin kita mengerjakan ujian akhir semester..."

Sakura menelungkupkan wajahnya di buku paket yang sedang ia baca. Hinata tertawa kecil dan Ino meliriknya.

"Iya, kita sudah hampir naik kelas dan kamu, Sakura, masih belum memberikan apa-apa ke Hatake Kakashi."

"Sstt, Ino, jangan keras-keras..." Dia pandangi situasi kelas yang sedang kondusif belajar—sekalipun sudah masuk jam istirahat. "Ini aku juga sedang berpikir mau kasih apa ke dia."

Ino terkekeh pelan. Dia tutup buku catatan miliknya dan mendekatkan wajahnya ke Sakura. "Ngomong-ngomong untuk apa kau masih ingin memberikannya hadiah? Kalian kan sudah baikan sejak lama. See, tidak ada permasalahan lagi kan di antara kalian kamu dan Kakashi-sensei?"

Benar kata Ino.

Di semester dua ini hubungannya dengan Kakashi bisa dibilang bersih, tuntas, dan tanpa noda. Saat berpapasan di koridor sekolah pun berjalan lancar—mereka memang tak bertegur sapa ataupun menghindar, tapi sesekali Sakura memberinya tundukan kepala tanda hormat. Pria itu terus menggeluti perannya sebagai sebagai salah satu guru yang paling disegani seantero sekolah, sedangkan Sakura sendiri tetaplah siswi tingkat satu yang terus mencoba beradaptasi dengan pelajaran, tugas, dan juga peraturan yang sedikit menyiksa.

Tak jarang Sakura menggerutu apabila masalah-masalah lamanya dengan Kakashi mendadak diungkit Ino. Tapi karena itu jugalah ia semakin menyadari bahwa jarak di antara mereka berdua—antara ia dan guru itu—sudah kian menjauh. Coba diingat lagi kejadian beberapa hari yang lalu, ketika ia mencoba menyapa Kakashi setelah mengumpulkan tugas di mejanya. 'Apa kabar?' adalah kata yang ia lontarkan, namun setelah Kakashi berkata 'baik' tanpa adanya pertanyaan balasan, obrolan mereka terhenti sampai sana dan Sakura kembali ke bangkunya.

Iya, sekali lagi harus ditekankan, hubungan mereka sudah kembali ke status: baikan. Tapi terus terang saja Sakura sedikit sedih dengan keadaan ini. Paling tidak ia ingin berbicara dengan guru itu. Dipanggil namanya, ditatap matanya, juga disentuh bahunya. Minimal salah satu dari tiga hal tadi. Bayangkan, masa selama semester dua ini dia sama sekali tidak kebagian jatah mengerjakan soal di papan tulis? Padahal sering kali ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi—menawarkan diri untuk dipilih—ketika Kakashi bertanya siapa yang mau maju ke depan.

Ini memang gila, tapi harus Sakura akui ia benar-benar haus akan perhatian Kakashi.

Keinginan untuk memberikan sesuatu ke guru tersebut semakin mencekik keberaniannya yang kecil. Sebelum liburan panjang mau tidak mau dia harus memberikan sesuatu.

"Hei, Sakura, kamu belum menjawabku." Lalu Ino berbisik. "Kalau aku dan Hinata sih paham dengan perasaanmu ke guru itu, tapi apa tanggapan Kakashi nantinya kalau menerima hadiah darimu? Kamu mau menyatakan perasaanmu padanya?"

"Eh..." Mata emerald itu mengerjap panik. "Tidak. Aku tidak pernah berpikir sejauh itu. Aku... cuma ingin berterima kasih saja."

"Berterima kasih untuk apa?" Hinata ikut penasaran.

Iya, ya. Berterima kasih untuk apa? Menggendongnya pulang saat kakinya sakit? Itu kan sudah lama.

"Berterima kasih karena tidak jadi memanggil kakakku ke sekolah... mungkin."

Kedua alis Hinata dan Ino bersamaan naik. "Kau sempat dikasih surat panggilan?"

"Iya..."

"Mungkin Kakashi hanya lupa. Kalau diingatkan mungkin ia akan kembali memanggil kakakmu."

Sakura tersenyum masam. Benar kata Ino. Mungkin kapan-kapan dia harus memikirkan hal ini lagi.

Tapi ia saja masih tak tau harus memberikan apa.

Masa iya dia harus menyatakan cinta?

Dia saja masih ragu ini perasaan suka atau hanya sebatas kagum dan hormat semata.

"Sebenarnya apa sih yang paling disukai oleh dewasa?"

Pertanyaan tadi langsung menghadirkan gelak tawa dari Ino. Murid-murid lainnya yang sedang konsentrasi belajar menoleh serentak ke arah mereka dan Sakura membekap Ino bulat-bulat. "Kenapa kamu tiba-tiba langsung tertawa seperti itu sih?"

"Habis pertanyaanmu mesum sekali, Forehead!"

"Mesum dari mananya!? Itu pertanyaan umum, Ino-buta!"

"Sudah, sudah..." Hinata menengahi dengan senyum sabar. "Memangnya kamu masih bingung mau memberikan apa ke Kakashi-sensei? Bukannya mau bikin syal rajut?"

"Aku tidak bisa menyelesaikannya. Aku ingin yang lebih mudah."

"Aku tau." Ino menjawab dengan kekehan jahil. "Kau cukup ajak dia kamar dan buka bajumu secara perlahan—"

"INO! BUKAN ITU MAKSUDKU!" Kali ini Sakura yang berteriak paling kencang dengan wajah memerah. Jantungnya deg-degan sendiri. Gila saja, Sakura mana bisa membayangkan dirinya berbuat hal seperti itu dengan Kakashi, guru yang sempat dia benci. Ngeri sendiri sendiri malah.

Setelah mendapatkan teguran, mereka bertiga pun kembali mengobrol dengan suara pelan.

"Coba berikan buah, atau mungkin sapu tangan."

"Ide bagus sih. Tapi sebelumnya aku juga ingin memberikan barang semacam itu, cuma rasanya terlalu sederhana."

"Jam tangan?"

"Mahal..."

"Kalau begitu coba buat masakan sendiri saja." Hinata kembali memberikan ide sekalipun Sakura langsung menggeleng.

"Aku tidak bisa masak."

"Masa kau tidak mau berusaha dulu?"

Mata Sakura menatap Ino. Lama.

Usaha, ya? Benar juga.

Masak itu tidak selama merajut syal, kan?

Srek.

"Segeralah duduk di bangku kalian masing-masing karena ujian kenaikan kelas akan dimulai."

Kakashi yang masuk kelas bersamaan dengan deringan bel lantas membuat murid yang awalnya duduk di sembarang bangku langsung berdiri tegak. Termasuk Sakura. Ia menempati bangku terdepan mengamati Kakashi dan menahan senyum karenanya. Ternyata hari ini Kakashi menjadi pengawas, ya.

"Kakashi-sensei... apa kau suka makanan manis?"

Sakura merasa bulu romanya berdiri ketika ia tak sengaja menyuarakan isi kepalanya saat Kakashi baru membagikan kertas soal kepadanya. Pria itu mendengar pertanyaan itu dan menatapnya. Mata mereka yang bertemu jelas semakin membuat Sakura panik. Sekalipun dirinya salah tingkah dan ingin menyuruh Kakashi mengabaikan kalimatnya, dia gigit keras lidahnya dan mencoba bersikap tenang. Toh, tak ada yang sadar bahwa keringat dingin mulai keluar dari pori-porinya.

"Tidak."

Bahu Sakura melemas saat jawaban itu terlontar. Namun setelah Kakashi memberikannya kertas buram dan lembar jawaban, pria itu kembali berkata sebelum benar-benar pergi meninggalkan mejanya.

"Tapi mungkin aku lagi ingin memakannya."

.

.

~zo : teastu roman~

.

.

Menurut Sakura sendiri jawaban Kakashi yang terakhir adalah sebuah harapan. Karena itulah dengan wajah yang berbinar Minggu pagi ini Sakura meluangkan waktunya di dapur rumah.

Berbagai macam bahan beliannya di supermarket terjajar rapi. Cokelat batangan, tepung, gula, dan bahan-bahan sederhana lain tersedia. Sasori yang hari ini libur menemaninya masak sambil menonton televisi seperti biasa. Sesekali ia mendatangi Sakura untuk melihat hasil tangan adiknya, atau menyuarakan komentar takjub.

"Akhirnya adikku terlihat sebagai perempuan." Ucapan Sasori membuat Sakura menatapnya dengan wajah bete. "Memangnya mau masak apa? Kue cokelat?"

"Iya. Karena aku masih pemula, rasanya membuat kue kering semacam biskuit masih memungkinkan."

"Buat siapa? Aku?"

Sakura menggeleng jahil. "Untuk Niisan mungkin akan kuberi bagian yang jelek atau gosongnya."

"Kan hasilnya begitu semua."

"Enak saja." Lalu Sakura menghentikan gerakan tangannya mengaduk adonan. Dia cemberut. "Doakan hasilnya bagus dong!"

"Iya..." Lalu Sasori mencuil cokelat yang sedang Sakura panaskan di dalam mangkuk kaca. "Kau membuat ini untuk orang yang kau suka, ya?"

Sakura mengerjap beberapa kali. "E-Eh, kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?"

"Soalnya tumben kau niat masak." Mungkin Sasori menyinggung dirinya yang pernah 'berniat' melelehkan cokelat dengan cara direbus dengan air. "Untuk siapa? Apa jangan-jangan gurumu yang pernah ke sini itu?"

Untuk sesaat Sakura nyaris gelalapan—kenapa tebakan asal Sasori begitu tepat? Tapi dia buru-buru mencubit dirinya agar tetap tenang saat ia lihat raut Sasori yang menilik sinis.

"Ini untuk sahabat-sahabatku. Khusus Ino dan Hinata." Lalu ia memberikan cengiran terbaiknya. "Lagi pula orang seperti guru itu mana mau makanan ala anak kecil seperti ini."

"Kau benar." Jawaban tak acuh Sasori diam-diam mencubit hatinya. "Selesai ini jangan lupa dibereskan. Kau juga masih harus belajar untuk besok, kan?"

Sakura mengangguk dan menghela nafas.

.

.

~zo : teastu roman~

.

.

UAS hari ini Matematika dan Bahasa. Semua orang bersuka cita setelah ujian selesai dan murid-murid dipersilahkan pulang. Tak terkecuali Sakura, Ino dan Hinata—apalagi ditambah bungkusan kue yang Sakura berikan kepada dua sahabatnya itu. Sambil berjalan menuruni tangga, Hinata membuka kue yang Sakura buat dan mencobanya. Penampilan drop cookies-nya simpel—kue yang terbentuk dari adonan yang ditaruh ke loyang menggunakan sendok. Berwarna cokelat gelap dan terdapat buliran chocochip di dalamnya. Pada awalnya Ino kira itu kue gosong, tapi saat dimakan ternyata rasanya tidak buruk juga. Lumayan mirip sama yang dijual di toko malah.

"Kau memberikan chocochip-nya kebanyakan nih. Tapi anehnya tetap enak di lidahku." Ino yang ikut makan coba berkomentar, Hinata turut mengangguk.

"Terima kasih. Jarang-jarang aku bisa membuat sesuatu yang layak dimakan." Sakura tersenyum lebar sambil memegangi bungkusan kue yang dibuat khusus untuk Kakashi. "Ah, iya... kira-kira Kakashi-sensei ada di ruang guru tidak, ya?"

"Mungkin dia masih mengawas ujian kelas lain. Kenapa? Sudah tidak tahan untuk memberikan kue untuknya, ya?"

Godaan Ino membuat Sakura agak segan mengangguk dan mengakui kenyataan. Tapi sedikit-sedikit ia mulai bersuara. "Ya mau bagaimana lagi? Aku takut dia sudah terlebih dulu pulang."

Bertepatan dengan itu Hinata menoleh heran ke arah Ino dan Sakura yang berada di sebelahnya. Agak ragu dia menyelip obrolan. "Kau mau memberikan kue ke Kakashi-sensei? Hari ini?"

"Iya. Kenapa?"

"Bukannya dari Jumat lalu sempat diumumkan kalau sebagian guru di sekolah ini sedang mengadakan seminar di luar secara bergantian? Dan dari tabel nama guru yang terpasang di mading, minggu ini ada nama Kakashi-sensei di daftar guru-guru yang ikut kegiatan itu."

"Seminar? Yang untuk promosi ke berbagai SMP itu?" Sakura lemas sendiri. "Lalu kapan dia kembali ke sekolah?"

"Senin depannya lagi... mungkin."

Iya, dan kue keringnya sudah terlebih dulu dimakan jamur.

"Ma-Maaf, Sakura-chan. Aku bahkan tidak tau hari ini kamu menyiapkan kue untuk kami berdua dan Kakashi."

Sakura menghela nafas. "Tak apa. Harusnya aku sedikit memperhatikan jadwalnya..."

Ino mencolek Hinata dengan wajah cemas. Kelihatannya dia khawatir akan Sakura yang down seperti ini.

"Bagaimana... kalau kau hampiri saja Kakashi-sensei di apartemennya?"

Ide dari Hinata itu cukup membuat mata Sakura berbinar sesaat.

"Mm, mana mungkin aku berani ke sana. Lagi pula kan habis ini kita ada kerja kelompok untuk UAS prakarya besok." Sakura menolak walau dalam hati dia senang sekali dengan gagasan itu. Satu per satu rencana dia susun agar dirinya bisa menghampiri Kakashi—paling tidak sore nanti. Jadilah saat ia dan kedua sahabatnya itu akan menuruni tangga ke lantai dasar, Sakura menahan dirinya sebentar.

"Eh, ada barangku yang tertinggal di atas. Kalian tunggu aku di kantin, ya?"

Tak memedulikan Ino dan Hinata yang bertanya-tanya, Sakura melesat memasuki ruang admin yang terletak di ujung koridor lantai dua. Dengan suara yang diusahakan pelan ia tanya alamat Hatake Kakashi ke salah satu pengurus yang memiliki buku data. Alasannya ia karang sendiri; semacam ingin mengumpulkan tugas UAS. Sakura menghela nafas lega orang itu langsung memberikan data pribadi Kakashi tanpa bertanya banyak hal. Ia bahkan memberikan nomor ponsel dan email pria itu sebagai tambahan. Tidak tau kenapa Sakura jadi berbunga-bunga saat menerimanya.

Dan saat Sakura mencoba memeriksa alamat itu dengan GPS ponselnya, kelihatannya Kakashi tinggal di sebuah apartemen yang tak jauh dari sekolah. Memang berlawanan dari arah rumahnya, tapi kalau jaraknya diukur dari sini, sepertinya 10 menit saja sampai jika menggunakan bis.

Sambil mengeluarkan sekantung kue dari tasnya, ia tersenyum meyakinkan diri.

Tidak ada hari esok untuk kue kering seperti ini, kan? Kerenyahannya pasti berkurang drastis jika harus dikasih lusa.

Yang penting ia habiskan waktu siang sampai sore untuk mengerjakan tugas dulu bersama Ino dan Hinata, lalu sorenya barulah ia pergi ke tempat Kakashi. Semoga pria itu juga sudah kembali ke apartemennya.

.

.

~zo : teastu roman~

.

.

Matahari sebenarnya sudah mulai terbenam. Gantungan awan-awan gelap nan tebal di atas langit pun juga bergemuruh kencang. Tapi anehnya semua itu tak Sakura perhatikan sama sekali. Di dalam bis ia sibuk tersenyum sambil membelai pita bungkus makanannya. Pikirannya hanya seputar Kakashi seorang. Begitu terus dari ia turun dari bis dan memasuki kawasan apartemen Kakashi. Nomor apartemen yang tertera di catatannya menunjukkan bahwa pria itu bertempat tinggal di lantai lima, 505. Ia gunakan lift untuk ke atas, tak lupa merapihkan poni saat menjumpai refleksi dirinya di pantulan dinding lift.

"Ah, untuk apa pakai acara dandan segala?" Ucapnya sambil tertawa gugup. Pintu lift berdenting dan dia keluar.

Setelah menemukan angka nomor 505 di pintu, Sakura menelan ludah. Ia rapikan bungkusan kuenya sekali lagi dan kemudian menarik nafas. Dengan jantung yang kini sudah berdegup berat ia tekan tombol bel di depan pintu. Tapi belum sedetik bel ia tekan, terdengar suara langkah yang mendekat dari dalam. Sakura menggigit bibir dan menyaksikan daun pintu yang terputar—tanda akan dibuka. Kenapa langkahnya buru-buru sekali? Apa Kakashi sudah mengetahui kedatangannya? Ulah pihak sekolah, kah? Ah, tapi itu mustahil. Dengan gugup ia menahan nafas saat pintu mulai terbuka dan sesosok manusia keluar dari sana.

Cklek.

"Kalau begitu sampai jumpa, Kakashi—" Seorang wanita muda berkemeja putih dan rok hitam ketat selutut keluar. Ucapannya terhenti begitu ia dapati sosok Sakura yang berdiri di depan pintu. Mata mereka bertemu.

Di sisi Sakura ia juga sama-sama tercekat. Matanya tak henti-hentinya memandang wajah wanita itu. Kalau tidak salah dia juga pernah melihatnya bersama Kakashi. Rambut cokelat sebahunya cukup tidak asing. Apa saat di rumah sakit—Sakura tidak yakin secara pasti. Tapi suara dan wajahnya yang kelewat familiar membuatnya menerka-nerka dalam hati.

Kenapa dia baru saja keluar dari apartemen ini?

Apa dia... benar-benar pacar Kakashi?

"Ada apa, Rin?"

Kakashi pun keluar dan menatap Sakura yang masih berdiri kaku.

"Sakura? Kenapa kau ada di sini?"

.

.

TO BE CONTINUED

.

.

Zocchan's Note

Dan unsur sinetron semakin dimasukkan.

.

.

Special Thanks to

Chacha Rokugatsu, Tya Hatake, uchiha yardi, wowwoh-geegee, nzvvv, Taskia Hatake46, Ming-'hime, Nurulita as Lita-san, Hatake 54, Luca Marvell, AffaN, Chichak deth, limecaa, Guest, dekdes, yumiko ayaka, Mrs Sasori, temaram senja, Bofitfitsan, Kekasihku, Runa Hikari, arissha arihyoshi, yassir2374, Mizumori Fumaira, PurpleLittleCho, Annis874, New Guest, shanmi yokatta, yosh-akimoto, Meichan, auberta.

.

.

Pojok Balas Review

Udah ngga sabar nunggu fict ini tamat. Masalahnya masih lama tamatnya. Ngga apa, kan? Sakura ceroboh jadinya lucu. Thanks. Mungkin next konfliknya tentang ibu mereka yang ngga setuju hubungan KakaSaku? Konflik dari Rin dulu, mungkin. Kalimatnya ngga baku di bagian dialog. Setelah dipikir-pikir sih memang begitu niatnya, jadi cuma deskrip yang baku. Tapi kalau sedikit kurang nyaman, aku dikitin bahasa ngga bakunya. Alurnya bertele-tele kayak sinetron tapi masih enak diikutin. Thanks, niatnya memang bikin fict sederhana yang panjang sih. Twins Alert kapan update? Kemarin update. Disekolahku ada guru yang nikah sama mantan muridnya. Wah, keren juga. KakaSaku bakal pacaran, ngga? :) Apa Sasori bakal tau hubungan KakaSaku? Bisa jadi. Di sekolah yang sifatnya kayak Kakashi ada, tapi tampangnya ngga ada yang kayak gitu. Haha, sabar yaa.

.

.

Review kalian adalah semangatku :')

Mind to Review?

.

.

THANKYOU