Summary

Guru matematika, jarang berekspresi, tidak berperasaan, sok disiplin, seenaknya menentukan aturan, dan menyebalkan. Tak heran Sakura sudah kesal setengah mati sama Hatake Kakashi sejak awal pertemuan mereka.

.

.

Pagi ini Sakura meringkuk di atas ranjang. Tubuhnya terbaring dengan posisi menyamping, tertekuk, dan memeluk erat sebuah guling besar. Kedua matanya yang berbulu mata lentik itu terpejam santai, belahan mulutnya terbuka. Ia biarkan hembusan nafasnya keluar-masuk dengan tenang, menyertai tubuhnya yang sedang beristirahat.

Untuk perkenalan singkat, dia bernama lengkap Haruno Sakura. Seorang gadis berusia 15 tahun yang baru saja lulus SMP di bulan lalu. Dan saat ini, gadis bersurai pink itu sedang tertidur lelap di atas kasur bunga-bunga kesayangannya. Senyuman yang kadang keluar dari lekuk bibirnya menunjukkan bahwa ia sedang terhanyut oleh keindahan mimpi. Sampai-sampai ia lupa... kalau sekarang adalah hari pertamanya masuk Korouha High School; momen pertama ia akan menginjakkan kakinya ke kehidupan SMA.

Persetan dengan jam yang sudah menunjukkan pukul 07.42...

TOK TOK TOK!

"Sakura! Haruno Sakura! Bangun!" Suara Haruno Sasori, sang kakak, menggelegar dari balik pintu kamarnya yang terkunci "Ini sudah hari Senin! Kau mau sekolah atau tidak sih!?"

"Iya, Niisan..." Sakura mengusap kepalanya yang pening akibat teriakan beruntun tadi. Sempat ia abaikan sesekali panggilan itu dan menggumam cuma-cuma sambil membenamkan wajah cantiknya ke bantal. Namun ketika ia memaksakan diri mengangkat wajah dan melirik weker merah di samping ranjang, pemilik iris hijau emerald itu terbeliak luar biasa. Segeralah ia terduduk, membiarkan surai merah muda acak-acakannya bergoyang, dan menganga lebar.

"A-Aku kesiangan!"

.

.

.

TEASTU ROMAN

"Teastu Roman" punya zo

Naruto by Masashi Kishimoto

[Hatake Kakashi x Haruno Sakura]

Drama, Romance, Friendship

AU, OOC, Typos, etc.

.

.

CHAPTER SATU

(I) Kesan Pertama

.

.

Usai mencuci muka dan sikat gigi, Sakura yang tidak lagi sempat membasuh badan langsung berdiri di depan lemari pakaiannya. Gadis yang hanya mengenakan pakaian dalam itu menjatuhkan handuk ke lantai lalu mengambil sebuah seragam khas Korouha High School yang ia kenakan hari ini.

Sebuah kemeja putih, sweater rajut berwarna coklat pudar, dan sebuah rok lipit pendek berwarna biru navy. Bersama waktu yang terus mengejar, buru-buru Sakura mengenakan semua perlengkapannya dan menyambar tas yang berisi buku paket yang tadi malam telah ia siapkan. Sambil mengenakan dasi merahnya ia bergegas ke lantai bawah, menyapa kakaknya yang sudah menunggunya di meja makan dengan raut kesal.

"Sakura no baka..." Sasori mendecakkan lidah sesaat melihat adik semata wayangnya tampak berantakan. "Kau ini masih saja tidak disiplin. Lihat tuh, rambutmu berantakan begitu."

"Kan aku baru sekali terlambat saat SMA." Sakura membagi wajah merengutnya ke Sasori. Setelah dasinya beres, ia sampirkan tas jinjing ke bahu, lalu mencomot roti tawar berselai nutella di atas piring. Lantas ia kecup pipi kakak sulungnya dan memeluknya sepintas. "Aku pergi dulu, ya. Ittekimassu!"

"Itterasshai..." Pria pertengahan 20 itu tersadar sesuatu dan memanggil nama adiknya sebelum benar-benar pergi. "Eh, Sakura, kau kan belum sarapan!"

"Ini sudah terlambat! Aku sarapan di jalan saja!" Sakura melambaikan roti yang ada di tangannya, tak lupa menghilang dari balik pintu dengan cepat. Di tempat ia berdiri Sasori hanya bisa menghela nafas.

Di jalanan Sakura berusaha sekuat tenaga berlari sambil mengunyah asupan karbohidrat yang baru ia masukkan ke dalam mulut. Sementara itu tungkai kakinya terus-terusan bergerak maju, berlari tanpa henti menuju sebuah halte yang terletak tak begitu jauh dari distrik perumahannya. Dan kebetulan, tepat setelah Sakura istirahat sebentar di tempat duduk yang tersedia, bis berkapasitas puluhan orang itu datang dan membukakan pintu otomatis untuknya.

Walau lelah Sakura mengucapkan syukur. Padahal biasanya ia harus menunggu belasan menit kalau mau menaiki kendaraan umum—yang menelusuri bagian selatan dari kota Tokyo—ini. Setelah berada di dalam, gadis yang memiliki tinggi badan 160 cm itu merilekskan diri. Ia luruskan kaki jenjangnya yang berlapis kaus kaki kitam panjang dan mengaduh pelan. Baru ia cek barusan, ternyata ini jam 07.54, yang menandakan bahwa bel masuk akan berdering 6 menit lagi.

Sakura berdoa dalam hati. Semoga saja Tuhan masih menyayanginya sehingga ia bisa ke sekolah tepat waktu. Toh, lagi pula jarak antara halte dan gedung SMA-nya hanya berkisar 4 km; tidak butuh waktu lama. Apalagi dengan jalur yang lancar total seperti ini.

Sakura tersenyum lega. Beberapa menit ia bersantai dengan cara mendengarkan lagu via ponsel dan headset. Namun karena dirasa cukup lama dan ia belum sampai-sampai ke halte sekolah, Sakura memutuskan untuk bertanya ke seorang nenek yang duduk di sebelah. "Mm, permisi... apa Anda tau di mana letak halte Korouha High School?"

Dahi yang dihiasi oleh keriput tipis itu mengernyit, terlihat bingung. Kemudian ia menoleh ke belakang. "Setauku halte yang kau cari itu baru saja terlewat..."

Sakura terbelalak. Tanpa ucapan terima kasih lagi buru-buru ia berlari ke depan supir yang tengah menyetir.

"JI-JISAN, TOLONG STOP BISNYA DI SINI!"

.

.

~zo : teastu roman~

.

.

Pas di jam 08.15, akhirnya Sakura bisa menginjakkan kakinya di depan gerbang SMA-nya, Korouha High School yang terkenal di seantero kota. Tapi sayang, bukannya masuk ke daerah elit itu dengan senyum merekah sambil dihujani puluhan kelopak bunga yang bermekaran di dalam kawasan sekolah, Sakura malah disapa oleh gerbang putih nan besar yang telah tertutup rapat. Tak ketinggalan sebuah gembok jumbo sebesar kepalan tangan anak SD yang terpajang di bagian tungkai pembukanya.

Sakura menundukkan kepala, lelah bercampur kecewa.

"Ah, padahal ini hari pertama..."

Gadis cantik itu menegakkan badan dan menyisir poni merah mudanya ke belakang. Jadi percuma dong dia capek-capek lari ke sini? Ia kira seterlambat apapun seorang murid, palingan cuma diberi hukuman berdiri di depan koridor—tidak seperti ini, yang baru terlewat belasan menit saja langsung tidak diperbolehkan masuk lagi. Kejam sekali.

Masih tidak rela pulang semudah itu, Sakura mengedarkan pandangan ke sekitar. "Haloo... apa ada orang di sini?" Ucapnya agak keras, entah ke siapa. "Aku mau masuk sekolah. Jadi apa boleh aku minta tolong bukakan pintu gerbangnya? Pleasee?"

Seperti dugaan, tak ada yang menjawab. Suasana di sekitarnya sepi. Hanya ada angin yang berhembus, seolah menghina kesendiriannya. Dia mengulangi kalimat itu beberapa kali. Makin lama nadanya makin emosi.

"Hah, menyebalkan!" Setelah panggilan keenam, Sakura menyerah.

Sakura dibuat heran sama peraturan sekolah ini. Mentang-mentang punya pagar yang membatasi kawasan sekolah dengan lingkungan umum, mereka bisa dengan seenaknya mengunci gerbang dan membiarkan muridnya yang terlambat terlantar begitu saja di sini. Perasaan sekolah lain tidak sebegitunya.

Grek grek grek!

"Haloo!" Bersama kedua tangan yang mencengkram kuat besi pagar, Sakura menggoyangkan-goyangkannya sampai gerbang setinggi 2,5 meter itu terayun pelan maju-mundur. "Ada orang yang mendengar? Aku mau belajar! Jadi tolong izinkan aku masuk!"

Tak ada jawaban. Hening.

"Ukh!" Sakura menendang gerbang.

"Sudah tau terlambat, tapi tetap tidak tau diri..."

Sakura terkesiap saat ia mendengar suara bariton yang mengucapkan kalimat tadi. Lantas ia menaikkan direksi pandangan dan menemukan sosok seorang pria dewasa tepat di hadapannya; di kawasan dalam gerbang. Pria itu berambut perak jabrik. Raut malasnya terlihat serius. Entahlah dia sedang melemparkan tatapan yang kelewat datar atau sinis, yang jelas dari kedua tangannya yang terlipat di dada, Sakura yakin bahwa orang itu tidak suka padanya.

"Apa kau punya sopan-santun sedikit sebagai murid?"

Sakura menelan ludah. Ia lepaskan gerbang dan mundur satu langkah. Dari kemeja cokelat gelap yang ia kenakan, jelas dia adalah guru SMA tersebut—bukan sekedar penjaga gerbang semata. Karena itulah ia menunduk dan siap dimarahi.

"Apa kau tidak tau ini jam berapa?"

Sakura membuka ponsel flip-nya untuk memeriksa waktu. "J-Jam 08.23..."

"Dan apa kau tau arti kata terlambat?"

"Pa-Paham sih..."

"Lalu kenapa kau tidak pulang? Apa perlu aku memanggil kedua orangtuamu untuk menjemputmu di sini?"

Sakura cemberut. Pria yang ber-name tag 'Hatake Kakashi' di ID card-nya itu berdesis panjang lebar menceramahinya. Sepertinya pria itu memiliki jabatan tinggi di dalam sekolah. Kalau bukan mana bisa ia marah-marah ke murid kelas 10 sepertinya tanpa memberikannya dispensasi sedikit pun?

"A-Aku tau..." Tidak tahan atas omelan yang melebihi kecerewetan kakaknya itu, Sakura mencoba menatap mata obsidian Kakashi sambil meneruskan. "Aku memang terlambat, tapi aku punya alasan." Oke, siap-siap memulai karangan bebas agar bisa terbebas dari hukuman. "Tadi saat aku mau naik bis ke sini, aku sudah tepat waktu, Sensei. Tapi tiba-tiba bis itu rodanya bocor dan tidak bisa jalan. Penumpang yang mau turun malah tidak boleh diizinkan keluar oleh masinisnya. Belum lagi ada nenek-nenek yang sakit, jadi dia minta bantuanku untuk menolongnya. Nah, begitu. Bukan aku yang salah, kan?" Sakura panjang lebar. "Bagaimana?"

Kakashi terdiam. Masih di tempatnya berdiri, pria itu memandang Sakura tanpa berkedip.

"Selesai ceritanya?"

"Iya."

Pria itu memajang senyum singkat di bibirnya—senyum palsu tentunya. "Baik, terima kasih atas informasinya dan silahkan pulang."

Sakura menganga. Niatnya untuk memberikan keterangan lebih pun harus pupus akibat Kakashi yang duluan berbalik dan berjalan meninggalkannya di depan gerbang. Gadis yang memiliki rambut sepanjang bahu itu menggeram. Ia tendangi lagi gerbang sekolah menggunakan sepatu coklat vintage-nya.

"Apaan sih dia!? Tidak ada ramah-ramahnya sama sekali!" gerutunya, gemas. "Coba saja kalau aku kepala sekolah, mungkin dia akan kupecat langsung pas di detik ia melamar pekerjaan! Berani-beraninya ia berlaku seperti itu ke murid yang membutuhkan bantuan!"

Sakura yang lelah mencemooh Kakashi itu kemudian berbalik. Ia berkacak pinggang dan memandangi halte bis yang berada di ujung jalan ini. "Oke... jadi sekarang apa? Aku benar-benar harus pulang, ya?"

Sakura berpikir dua kali. Sebenarnya sih ia rela pulang. Toh, dia malah beruntung bisa menghabiskan waktu di rumah. Paling ia akan berguling di kasur, bermain media online di internet atau sekedar jalan-jalan ke kedai yang baru buka di sekitar distrik. Tapi apa yang akan terjadi jika Sasori tau? Si kakak yang berumur 24 tahun itu kan baru kerja saat jam 09.30 nanti—masih lama. Jadi kalau ia pulang sekarang, pasti ia akan diceramahi abis-abisan. Ah, Sakura tidak mau.

Gadis bertubuh ramping itu mendesah panjang sampai kedua bahunya menurun. Ia jelajahi pemandangan sekitar untuk mencari ide. Dan tau-tau, sekelebat ide mulai bersarang di otak kreatifnya. Hal tersebut terjadi saat ia mengamati sederet pagar sekolah bagian pinggir yang agak tertutup semak. Walaupun tinggi, ternyata ada pola jeruji yang seolah mengizinkan Sakura untuk memanjat ke atas. Pemikiran yang hebat, bukan? Apalagi sekarang sepi dan bagian atas pagar tidak berduri atau benda tajam lainnya. Benar-benar beruntung.

"Oke, Saku. Kau pasti bisa." Sakura menelan ludah. Dengan mengendap-endap ia memanjat gerbang. Ya, walaupun ia sering bosan berada sekolah, ia tidak bisa menyerahkan hari pertama SMA-nya dengan mudah. Kesan pertama itu penting, kan? Bagaimana caranya ia bisa berkenalan dengan murid baru kalau dia baru datang di hari kedua? Paling nantinya mereka semua sudah berkelompok, dan dirinya akan sendirian terus sampai lulus SMA. Sakura menggeleng ngeri. Tolong jangan sampai seperti itu.

Sesampainya di puncak pagar, Sakura dengan meringis menurunkan kakinya satu per satu dengan posisi tubuh yang membelakangi gedung sekolah. Hingga ia bisa turun setelah hampir semenit kebingungan harus memijak jeruji besi yang mana.

Tep.

Setelah kedua sol sepatu menyentuh alas, Sakura menghela nafas lega. Dengan senang dirinya tersenyum dan memutar badan. Kini ia sudah siap menghadapi hari pertamanya sebagai remaja SMA—

Bukh!

Ya, kalau saat itu wajahnya tidak langsung tertumbur dada bidang seseorang. Hidung Sakura yang terbentur keras pun memerah. Gadis yang sedang mengaduh kesakitan itu serta merta mundur dan mengadah. "Aduh, apa lagi sih—?"

Komentar Sakura terputus akibat sosok pria yang tak lagi familiar di kedua iris hijaunya.

Siapa juga yang tidak kaget? Ada Hatake Kakashi. Untuk yang kedua kalinya pria tinggi itu berdiri tegak di depannya. Pandangan yang ia tunjukan ke Sakura masih sama, datar bercampur malas. Dan hal itu membuat detak jantung Haruno Sakura sudah berdebar-debar tak karuan.

Dia ketahuan.

Sakura memutuskan untuk memasang wajah sok polos. "Ng... k-kok Sensei ada di sini? Bukannya Sensei tadi sudah masuk ke dalam, ya?"

"Aku sedang piket." Kakashi menunjuk sebuah meja depan pintu masuk gedung melalui gerakan dagu. "Dan aku sudah mengamati tingkah lakumu dari tadi, bahkan sebelum kau memanjat gerbang."

Sakura pucat pasi. Ada ralat—ternyata ia sudah ketahuan dari awal.

"Karena itu, apa kau bisa berikan alasan lain kenapa kau terus bersikeras masuk, hm?" Suara tegas pria berumur 26 tahun itu mengalun pelan, membuat Sakura menelan ludah. Apa perlu pakai teknik terakhir?

Dengan amat perlahan ia mengadah dan memasang puppy eyes. "A-Aku..." Suara Sakura lirih. "Aku cuma ingin bersekolah, Sensei. Memangnya tidak boleh?"

Kakashi terdiam sebentar, mengamati.

"Ya, Sensei? Onegaii?"

"Aku hargai alasanmu, tapi kau harus tetap tau aturan."

Sial, tidak mempan.

"Tsk."

Sakura berdecak sebal, inginnya pelan namun malah terdengar keras. Sakura menutup mulut dengan tangan dan Kakashi menyorotnya dengan tatapan menyipit.

"Oh, kau berdecak? Kenapa? Tidak suka dengan kalimatku?"

"A-Ah, tidak kok. Tentu penuturan Sensei ada benarnya—aduh!"

"Tidak perlu banyak bicara." Kata Kakashi yang telah menjewer daun telinga Sakura. "Sekarang kau ikut aku ke ruang guru."

"E-Eh!? Ta-Tapi kenapa!?"

"Selain terlambat kau juga melompati gerbang masuk yang sudah tutup. Maka dari itu hari ini kau terkena dua pelanggaran."

Sakura menjerit dalam hati. Sambil mengikuti Kakashi yang masih menarik telinganya, Sakura melemparkan tatapan sinis ke guru—yang Sakura akui dengan berat hati—berwajah tampan itu. Ah, coba lihat. Hari pertama saja sudah seperti ini. Benar-benar guru yang menyebalkan. Barangkali dia akan Sakura masukan ke list guru yang tidak akan dihormatinya.

"Huh." Sakura melengos sambil memalingkan muka.

"Kau bilang apa?"

"Eh, a-aku tidak bilang apa-apa kok!"

Baiklah, satu kesimpulan, ini memang kesan pertama yang buruk.

.

.

TO BE CONTINUED

.

.

Zoccshan's Note

Halo, salam kenal. Aku kembali menebar benih di archive KakaSaku. Abisnya archive pairing ini agak sepi sih. Jadi ya sekalian aja aku publish ini, mumpung juga lagi mau curhat tentang hal-hal nyebelin yang pernah kudapetin pas SMA—terkait salah satu guru dan peraturan-peraturannya. Okelah, stay tuned ;)

.

.

Review kalian adalah semangatku :')

Mind to Review?

.

.

THANKYOU