Kedua manik Sawada Tsunayoshi yang kala itu berumur empat tahun berpendar lemah, pandangannya yang memancarkan rasa takut tertuju kepada orang-orang berpakaian putih yang tiba-tiba mendatangi rumahnya, kini berada di ambang pintu dengan tangan mereka yang terjulur kepada Tsuna.

Detik berikutnya, yang dapat Tsuna lihat dari sudut matanya adalah ekspresi ketakutan orangtuanya saat dirinya dibawa pergi oleh orang-orang aneh itu.

Yang dapat ia dengar selanjutnya adalah teriakan orangtuanya yang terus memanggil namanya.

Dan yang dapat ia rasakan selanjutnya adalah...

Ketakutan, ketika tangan mungilnya yang terjulur kepada kedua orang tercintanya tersebut tak dapat menggapai apapun.


Innocence

KHR! © Amano Akira

1827

.

.

Chapter 1: The Case of Sawada Tsunayoshi

.

.


Sebuah suntikan yang diberikan pada lengan kanannya membuat kedua tirai matanya membuka. Ia mengedip pelan, mencoba mengatur intensitas cahaya lampu di atas tempatnya berbaring yang masuk ke dalam matanya. Terdengar suara gesekan antar benda di sampingnya, dan tak butuh baginya untuk menolehkan kepala demi mengetahui siapa yang baru saja memasukkan suatu cairan lewat suntikan pada lengannya.

"Ah... Sawada Tsunayoshi, kau sudah bangun rupanya?"

Seseorang berpakaian jas laboratorium putih yang baru saja selesai dengan tugas rutinnya setiap pagi—menyuntikkan sesuatu ke dalam tubuhnya—terlihat sedang menundukkan kepalanya, memandangi pemuda bersurai cokelat di bawahnya dengan senyuman bangga.

Ya—bangga. Setiap orang di sini bangga kepada dirinya, Sawada Tsunayoshi, yang merupakan kelinci percobaan terkuat.

Tsuna tak lagi merasa heran apabila seseorang dengan jas putih selalu menyambutnya di pagi hari dengan menyuntikkan sesuatu dalam tubuhnya, kemudian setelahnya setiap dari mereka akan memandang Tsuna dengan takjub, seolah ia adalah pilihan nomor satu dari sekian banyak manusia di dunia ini.

Bahkan ia juga takjub dengan dirinya sendiri yang berhasil menahan segala penderitaan ketika ilmuwan-ilmuwan gila itu melakukan hal-hal di luar nalar kepada tubuhnya. Seperti, menyuntikkan gen seekor monster ke dalam tubuhnya.

Monster berjuluk Kage...

Monster yang lahir dari kegelapan hati manusia. Monster yang merambat dalam kegelapan dunia.

Monster yang akan terus lahir selama kegelapan hati manusia ada. Mereka adalah musuh umat manusia di seluruh dunia.

Dan mereka memasukkan gen seekor monster yang harusnya menjadi musuh umat manusia ke dalam tubuhnya. Alasan mereka melakukannya adalah demi mengalahkan monster berjuluk Kage itu. Cukup ironis, bukan? Mereka memanfaatkan Kage untuk melawan Kage pula.

Pemuda itu masih mengingatnya dengan jelas. Waktu itu, ia tak dapat menahan teriakannya saat orang-orang itu pertama kali memasukkan gen monster Kage ke dalam dirinya. Ia benar-benar merasa aneh—seolah ia telah kehilangan kesadaran bahwa tubuh itu adalah miliknya sendiri—dan setiap bagian yang menyusun tubuhnya terasa sangat sakit.

Meski sekarang ia tak lagi pernah merasakan sakit luar biasa seperti itu, tetap saja tidak mengubah fakta bahwa tubuh Tsuna masih harus dipermainkan oleh mereka, seolah mereka sendiri telah melupakan fakta bahwa Tsuna masihlah manusia.

Jika dipikir dua kali, ia memang bukan sepenuhnya manusia, beberapa bagian dari tubuhnya telah berubah seperti monster—dan itu membuatnya takut. Takut kalau sewaktu-waktu, satu bagian yang tersisa di dalam dirinya juga akan berubah menjadi monster, membuang jati dirinya sebagai manusia.

Dan satu bagian tersebut adalah hatinya.

Tubuhnya memang tak lagi merasakan sakit, namun hatinya merasakannya. Bagaimana tidak, ketika semua orang di sekitarmu memperlakukanmu seolah kau hanyalah alat semata?

Tsuna bisa menahan segala rasa sakit yang dirasakan tubuhnya, ia sanggup.

Namun, yang paling tak bisa Tsuna bendung adalah rasa sakit ketika mereka menyuruhnya untuk membunuh orang tak berdosa hanya demi menguji kekuatan monsternya. Sudah sepuluh tahun ia berada di sini, dan harusnya ia sudah terbiasa akan kekejaman di sekitarnya.

Namun tidak, ia tidak bisa. Tsuna masih memiliki hati. Dan karena itulah, ia tidak akan pernah terbiasa.

Ia ingin lari. Jauh dari tempat kejam tersebut. Sedari dulu, ia ingin melakukannya. Dan lagi-lagi, Tsuna harus menyesali dirinya yang tak bisa melakukan apapun.

Setelah dirinya dibawa kemari, jauh dari rumahnya yang hangat, mereka melakukan sesuatu pada tubuh Tsuna. Dirinya yang waktu itu masih sangat muda tak mengerti barang satupun hal yang mereka lakukan padanya.

Yang ia ketahui hanyalah, rasa sakit pada dadanya ketika mereka memasukkan sebuah besi ke dalam kulitnya, meleburkannya bersama tubuh mungil Tsuna sehingga benda tersebut tak akan bisa terlepas, seumur hidup. Tsuna baru mengerti tiga tahun setelahnya, bahwa alat tersebut adalah alat yang dapat membuat tubuhmu meleleh apabila kau keluar dari gedung tertutup itu.

Di laboratorium tersebut, terdapat semacam sinyal yang membuat benda besi aneh itu senantiasa dalam kondisi terkunci. Dan sinyal tersebut hanya terdapat di dalam tempat itu. Sehingga, begitu seseorang menginjakkan kakinya di luar gedung, yang berarti di luar jangkauan sinyal tersebut, benda besi aneh pada tubuh mereka akan aktif dan berfungsi.

Fungsi benda itu sendiri adalah... melelehkan organ-organ dan jaringan yang menyusun tubuh seseorang.

Selama berada di sana, Tsuna melihat banyak sekali anak-anak seumurannya yang mencoba untuk melarikan diri, dan setiap dari mereka berakhir dengan menyedihkan. Benda aneh yang dipasang pada tubuh mereka berbunyi dengan bising tepat saat mereka menginjakkan diri mereka di luar laboratorium. Dirinya masih mengingat betul jeritan memilukan anak-anak tersebut ketika beberapa organ mereka meleleh, atau ketika darah mengucur dari setiap jengkal tubuh mereka.

Namun, mereka tidak mati. Benda aneh itu membiarkan mereka hidup sambil merasakan penderitaan yang hebat. Tsuna tidak akan pernah sekalipun melupakan wajah penuh penderitaan dari anak-anak itu. Bayangan mereka yang menjerit dan menangis akan selalu menempel dalam memori Tsuna.

Jika ia diharuskan memilih, dirinya memutuskan untuk tidak akan pernah lari dari sana. Resikonya terlalu tinggi, dan ia yakin masih ada jalan lain yang lebih aman untuk menjalani hidup.

Jadi, satu-satunya pilihan bagi Tsuna adalah tetap berada di sana, memperoleh rank yang tinggi agar mereka, setidaknya, membiarkan Tsuna hidup di tempat itu dengan layak.

Ia juga tidak akan berharap agar seseorang dari luar menolongnya, tidak. Harapan seperti itu sudah lama pupus. Keajaiban tak akan datang begitu saja, tak peduli seberapa kerasnya kau menangis ketika memanggilnya untuk datang.

Kalaupun dirinya memilih untuk tidak menjalani hidup—dengan kata lain mengakhiri hidupnya, ia akan melakukannya... jika bisa.

Orang-orang itu tak membiarkan Tsuna mati begitu saja. Mereka telah memasukkan bermacam-macam cairan dan gen ke dalam Tsuna. Ia pernah mencoba untuk melakukannya—bunuh diri—untuk yang pertama kalinya. Namun, usai menusuk jantungnya dengan sebuah pisau, ia hanya tergeletak di atas lantai, merasa kesakitan, namun sebentar kemudian ia dapat melihat luka-luka di dada kirinya yang menutup dengan sendirinya.

Di tempat kejam itu, pilihan yang tersisa untuknya adalah bertahan hidup.

Tak perlu berharap untuk keluar dari sana, karena mereka tak akan mungkin membiarkan sebuah batu langka sepertinya menghilang dari genggaman mereka. Tak perlu berpikir untuk membunuh dirinya sendiri, karena tubuh yang telah menyerupai monster itu tak membiarkannya mati. Tak perlu memikirkan betapa buruk nasibnya yang seperti itu, karena sedari awal dunia ini memang kejam.

Dan jika memikirkannya lagi... Tsuna rasa, memang lebih baik baginya untuk tetap berada di sana. Segalanya sudah berubah, dirinya bukan lagi manusia, dan sepertinya sedang terjadi kepanikan besar di luar sana semenjak mereka datang.

Benar.

Segalanya dimulai sejak Kage terlahir dan menyerang manusia. Hal tersebut mengharuskan pemerintah menyuruh orang-orang dari laboratorium itu untuk melakukan eksperimen kejam ini pada anak-anak—semuanya demi menciptakan 'senjata terkuat'.

Meski dirinya disebut-sebut sebagai salah satu potensi senjata terkuat, tapi kenapa? Kenapa mereka tak kunjung membiarkannya keluar untuk mengalahkan monster-monster bernama Kage itu? Bukankah itu adalah salah satu alasan keberadaannya di sana?

Bukankah tujuan mereka melakukan eksperimen kejam ini adalah untuk menciptakan kekuatan yang dapat menyelamatkan manusia dari Kage?

Orang-orang itu terus menerus mengurungnya di tempat itu, mengubah tubuhnya hingga menyerupai seekor monster, dan menyuruhnya untuk membunuh kelinci percobaan lain hanya untuk menguji kekuatannya. Mengapa mereka tak mengujikan kekuatannya pada seekor Kage? Mengapa harus manusia yang ia bunuh?

Kalau terus seperti itu, rasanya... keberadaan Tsuna di sana bukan lagi untuk membasmi Kage. Keberaaannya tak lain adalah untuk memuaskan kerakusan orang-orang itu. Benar—kerakusan mereka akan kekuatan.

Karena kerakusan itulah, dirinya yang sekarang bukan sepenuhnya manusia, dan kalaupun ia berhasil melarikan diri, ia tak lagi memiliki tempat untuk kembali. Ia yakin kedua orangtuanya masih hidup, terus berharap dan berdoa agar suatu saat dirinya kembali. Hanya saja, ia tidak yakin bahwa masyarakat mau menerima seorang monster di lingkungan mereka begitu saja.

Karena itu, ia memutuskan untuk tidak lari.

Segalanya sudah berubah. Harapannya sudah lama sirna, dan ia tak memiliki tujuan lagi.

Tsuna cukup beruntung karena dengan perjuangannya selama sepuluh tahun, ia akhirnya menjadi salah satu kelinci percobaan yang dibangga-banggakan, sehingga mereka seringkali memberikan perhatian lebih kepada Tsuna, merawatnya dengan hati-hati seolah ia adalah batu langka yang sangat rapuh.

Keadaan sudah sedikit membaik—setidaknya bagi Tsuna yang selama ini hanya merasakan kepedihan—dan ia tak lagi memiliki alasan untuk pergi ke dunia luar.

Ia tak akan mengatakan bahwa dengan terus berada di dalam laboratorium tertutup itu, ia akan merasa nyaman. Tapi terpenting baginya adalah, dirinya sudah dapat bertahan hidup hingga sejauh ini. Tsuna memperoleh beberapa teman selama ia berada di sana, namun satu per satu dari mereka akan mati, tubuh mereka tak bisa menahan rasa sakit lebih lama lagi.

Hanya dirinya yang bisa bertahan sejauh ini.

"Ahh, tenang saja." Pikiran Tsuna terbuyarkan oleh suara orang berjas putih di sampingnya tadi. Entah sedari kapan ia telah berada di ambang pintu, menenteng tasnya dan siap untuk melakukan tugas menyuntiknya pada kelinci percobaan lainnya.

"Yang baru saja kusuntikkan adalah surpressan. Kau tak perlu khawatir apabila kekuatan monstermu meledak lagi, aku sudah memberikan dosis yang cukup untuk menekannya." Orang itu melanjutkan sembari menolehkan kepalanya pada Tsuna. Setelah mendapat anggukan kecil dari Tsuna, ia tak membuang-buang waktunya lebih lama lagi dan dengan langkah yang cepat menginjakkan kakinya keluar dari kamar Tsuna.

Seiring dengan suara pintu kamarnya yang tertutup keras, Tsuna mendudukkan dirinya yang semula terbaring. Pemuda itu menyisir surai cokelatnya yang tak tertata dengan jemarinya, lantas menolehkan kepalanya ke arah meja kecil di samping tempat tidurnya, dan seperti biasa, mereka telah menyiapkan menu sarapannya di atas sebuah nampan. Makanan dan minuman di atas nampan perak tersebut mengeluarkan kepulan kecil di atasnya, menandakan suhunya yang masih hangat.

Itu membuat Tsuna mendengus, mengingat saat-saat ia pertama kali berada di sini. Sepuluh tahun yang lalu, mereka menjamu Tsuna dengan makanan dingin, dengan daging yang membujur kaku, sup yang terasa hambar—ah, ia tak ingin merasakannya lagi. Tsuna cukup mensyukuri keadannya sekarang yang sudah lebih baik.

Penglihatannya kemudian menangkap secarik kertas di sebelah nampan perak tersebut. Tsuna mengayunkan kedua kaki pada samping tempat tidurnya, beringsut dari posisinya untuk meraih kertas tersebut.

Matanya mengamati apa yang tertera di atas kertas tersebut sekilas, sebelum dirinya tersenyum hambar. "Jadwal eksperimen... ya? Mereka rajin seperti biasa."

Dari semua aktifitas yang harus dijalaninya di sana, Tsuna paling tidak menyukai eksperimen yang harus dilakukannya. Eksperimen berarti menguji kekuatan. Dan menguji kekuatan berarti...

Membunuh seseorang.

"Sawada Tsunayoshi." Ketukan pintu terdengar dengan jelas, sekali lagi membuat Tsuna tersentak dari lamunannya. Menyadari apa yang akan selanjutnya ia dengarkan membuatnya berjengit tidak suka. "Pergilah ke ruang 237 secepatnya. Kita akan memulai lebih awal dari biasanya."

"Aku mengerti," jawab Tsuna sedikit mengeraskan suara rendahnya. "Aku akan datang lima belas menit lagi.

Tanpa balasan apapun setelahnya, seseorang yang berada di balik pintu berjalan menjauh dari kamar Tsuna. Si pemuda melepaskan nafasnya yang sedari tadi ia tahan. Kedua tangannya memindahkan nampan perak yang sedari tadi ada di atas meja ke atas pangkuannya sendiri, kemudian memakannya dalam diam.

"Hari ini... aku harus membunuh orang lagi..." bisik Tsuna dengan kepala menunduk. Tatapannya seolah terfokus pada pantulan dirinya di dalam sup di hadapannya, namun sebenarnya, ia tengah memikirkan sesuatu yang berbeda lagi.

"Heh... Apa yang kupikirkan?" Tsuna menggelengkan kepalanya lemah. "...Aku sudah menjadi monster. Tak mengherankan bila seorang monster membunuh manusia, kan?"

Tsuna menggelengkan kepalanya sekali lagi dengan lebih keras, merutuki pikirannya pada pagi itu yang seringkali melayang kemana-mana, lalu menghabiskan makanannya untuk mengalihkan otaknya dari pikiran-pikiran aneh. Setelah selesai, ia meletakkan nampan tersebut di atas meja kecil yang terlihat cukup tua tadi, sebelum cepat-cepat beranjak untuk segera pergi ke ruang eksperimen.

Kedua kakinya berhenti tepat di depan pintu tebal berwarna hitam. Tangannya hanya terjulur ke depan, tanpa mau bergerak untuk membukanya. Ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, apa yang akan diperintahkan oleh orang-orang itu setelah ia membuka pintu itu dan melangkah masuk.

Hari ini, satu nyawa lagi akan melayang sia-sia hanya untuk menguji kekuatan monsternya.

Tsuna sangat membenci orang-orang egois yang hanya bisa mementingkan perjalanan proyek eksperimen mereka saja, dan ia juga benci pada dirinya sendiri yang tak bisa melakukan apapun kecuali menuruti perintah orang egois itu.

Pintu tersebut akhirnya terbuka.

"Ah, selamat pagi, Sawada Tsunayoshi." Wajah-wajah sumringah mereka menyambutnya dengan antusias ketika pemuda bersurai cokelat itu menampakkan wajahnya. Tak perlu mengamati ekspresi mereka dua kali untuk mengetahui bahwa mereka, seperti kemarin dan hari-hari sebelumnya, sangatlah antusias untuk melihat kemampunnya yang menakjubkan.

Di tengah ruangan, Tsuna melihat seorang pemuda yang tengah memegang sebuah pisau besar. Pemuda tersebut juga sama sepertinya—ia tidak sepenuhnya manusia, dengan kedua kaki yang menyerupai kaki seekor monster.

Ia sudah lama mengantisipasinya. Ia tahu bahwa pada nantinya, mereka akan memerintahkan Tsuna untuk bertarung dengan kelinci percobaan lainnya. Tentu saja, untuk menguji kekuatan monsternya.

"Dia kelas triple A, sama sepertimu. Jika kau berhasil mengalahkannya, kelasmu akan naik menjadi S." Salah satu dari mereka memberitahu Tsuna dengan senyum penuh antisipasi. Ia sudah sangat tidak sabar untuk melihat performa Tsuna yang disebut-sebut sebagai potensi senjata terkuat itu. "Kau bisa memulai sekarang, Sawada Tsunayoshi. Lakukanlah seperti biasa, dan tak perlu ragu-ragu untuk membunuhnya."

Kedua tangan Tsuna mengepal erat.

Kenapa? Kenapa ia harus melakukan hal seperti ini?

Kenapa ia harus terus membunuh?

Kalaupun ia berhasil menjadi kelas S, lalu apa yang akan terjadi selanjutnya? Ia akan terus membunuh kelinci percobaan lain dan akhirnya menjadi yang terkuat.

Lalu setelah itu, apa yang terjadi?

Apakah mereka akan mengakuinya sebagai senjata terkuat dan mengirimnya keluar untuk membasmi para Kage? Atau justru mereka akan terus mengurung Tsuna demi memuaskan kerakusan mereka dan membuat Tsuna membunuh lebih banyak orang?

Apa yang sebaiknya ia lakukan?

"Ha... Haha..." Tsuna tersentak pelan ketika pemuda yang menjadi lawannya saat itu tengah mencengkeram kepalanya sendiri. Merasakan bahaya yang akan datang, Tsuna memfokuskan perhatiannya kepada si pemuda. Ia adalah kelas triple A, jadi ia tak boleh lengah.

"Maaf saja, tapi aku tak mau menderita lebih dari ini!" Pemuda berkaki monster itu berteriak keras dengan tatapan putus asa. "Aku harus membunuhmu, atau mereka akan menghukumku!"

Kedua mata Tsuna melebar ketika ia menyadari sesuatu dari apa yang pemuda itu katakan.

"Kenapa... aku tidak menyadarinya?" bisik Tsuna pelan seraya menelan ludah. "Kalau aku kalah... Aku akan dihukum..."

Kalau ia tidak bisa membunuh lawannya, mereka akan menghukum Tsuna. Tentunya, pemuda bersurai cokelat itu masih belum dapat melupakan rasa sakit yang mereka torehkan pada tubuhnya ketika mereka menghukumnya.

Ia hanya diberi dua pilihan—menyakiti atau disakiti.

"Lebih baik kau mati saja!" Lawannya kembali berteriak dengan suara seraknya yang penuh dengan keputusasaan. Yang terpantul pada kedua matanya hanyalah keinginan untuk membunuh demi mempertahankan dirinya. Akal sehatnya kemungkinan sudah lama hilang sejak ia berada di laboratorium tertutup itu.

Melihat lawannya mengincar mata kirinya, Tsuna segera mengembalikan konsentrasinya dan dengan cepat menghindar, membuat serangan tersebut meleset hingga menyisakan goresan kecil pada pipinya.

Tak berniat untuk memberikan lawannya celah, Tsuna memfokuskan dirinya untuk melepaskan kekuatannya—kekuatan monsternya. Seketika, tangan kanannya berubah menjadi sebuah cakar yang mengerikan.

Sebelum menyerang, Tsuna memandangi tangannya sebentar dalam diam. Dadanya terasa pedih sekali tiap kali ia menyadari bahwa semakin lama, ia semakin menyerupai seekor monster. Sambil menutup kedua matanya, ia lantas menggunakan seluruh tenaganya untuk melesatkan cakarnya ke arah kepala lawannya.

Karena serangan yang sangat kuat itu, pemuda yang menjadi sasaran terpental ke seberang ruangan disertai darah yang bercipratan ke segala arah. Tsuna berjengit tidak suka. Ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya, tak ingin melihat sosok mengenaskan lawannya yang sudah tak lagi bernyawa dengan kepala yang pecah.

Nafasnya tercekat ketika ia menyadari apa yang baru saja dilakukannya. Darah lawannya yang terciprat pada wajahnya, yang kini menetes dari dagunya membuat Tsuna membeku.

Hari ini, ia kembali melakukannya... Ia baru saja melakukannya.

Ia baru saja membunuh seseorang... entah untuk keberapa kalinya.

"Menakjubkan seperti biasa, Sawada Tsunayoshi." Salah satu dari mereka berdiri sambil menepukkan kedua tangannya. "Dengan ini, kau naik menjadi kelas S."

"Yang menjadi lawanmu terkenal akan kebrutalannya saat membunuh seseorang. Tak kusangka, kau dapat mengalahkannya hanya dalam satu serangan."

"Benar sekali. Dia menakjubkan seperti biasa."

Tidak...

Ia sama sekali tak bermaksud membunuhnya sekejam itu...

Kenapa? Padahal ia sama sekali tak berniat untuk menghilangkan nyawanya...

Lagi-lagi, tangan monsternya kembali merenggut nyawa seseorang.

Kalau terus seperti ini, dirinya akan benar-benar menjadi monster...

Bukan monster yang menyelamatkan umat manusia dari Kage. Ia akan menjadi monster yang digunakan untuk memuaskan keinginan orang-orang egois itu.

Tanpa mengatakan apapun, Tsuna berlari keluar dari ruangan tersebut. Air mata berderai menghiasi wajah pucatnya, rasa bersalah setelah ia membunuh seseorang kembali muncul. Dadanya terasa begitu sesak. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan.

"Sudah cukup, aku... aku..."

Pintu kamarnya terbanting dengan keras. Ia masih berdiri di sana, di balik pintu, mencoba mengatur nafasnya. Air mata yang jatuh bertambah deras seiring dengan tubuhnya yang terduduk lemas, kedua tangan yang bergetar memeluk kakinya.

"...Aku tak ingin membunuh lebih banyak orang."

Ia tidak ingin menjadi monster.

Tsuna memang bertekad untuk terus bertahan hidup selama mungkin di dalam tempat itu. Tak ada pilihan lain, bukan? Ia tak bisa lari, dan ia tak bisa mengakhiri hidupnya. Karena itulah, ia terus mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa inilah satu-satunya hal yang dapat ia lakukan.

Tapi... entah kenapa, semuanya terasa salah. Orang-orang yang mengelilinginya salah, karena mereka lebih mementingkan percobaan mereka di atas apapun. Dan dirinya yang selama ini menuruti perintah mereka juga... salah.

Ia dengan patuh melakukan apa yang mereka katakan karena dirinya tak punya pilihan lain. Tapi, satu-satunya pilihan yang ada di hadapannya ini terlalu salah.

Pada akhirnya, ia tak bisa membohongi dirinya sendiri.

Ia tidak ingin membunuh orang-orang lebih dari ini.

Ia ingin keluar dari tempat itu.

Tapi... apa yang bisa ia lakukan saat ini? Bahkan tubuhnya sendiri juga seolah bukan lagi miliknya sendiri. Mereka sudah melakukan bermacam-macam percobaan pada tubuhnya. Berkat mereka, ia hampir kehilangan kesadaran kalau dirinya adalah manusia.

Kalau begitu, apa arti keberadaannya di dunia ini? Di dalam bayangannya semula, ia bertekad untuk menjadi yang terkuat demi mengalahkan Kage di luar sana. Namn semakin lama, ia merasa bahwa tujuan utama dari percobaan tersebut telah berubah.

Bukan lagi untuk membuat senjata terkuat yang dapat membasmi Kage. Tapi untuk mengabulkan keinginan egois mereka dalam meraup kekuatan.

Apakah dirinya berhak untuk memberontak? Apakah dirinya bisa terbebas dari cengkeraman mereka? Apakah ia harus menyerah saat itu juga dan membiarkan mereka mengubahnya menjadi seekor monster pembunuh manusia?

Tsuna menggigit bibir bawahnya. "Aku... tidak tahu lagi..."

Saat itu, roda takdir sedang berputar.

"Aku... tidak tahu..."

Sesaat sebelum Tsuna membenamkan kepalanya lebih dalam lagi ke dalam lututnya, sebuah ledakan keras terdengar tak jauh dari tempatnya berada. Sontak, kepalanya mendongak dan telinganya mendengar alarm peringatan yang berbunyi nyaring.

"Apa yang terjadi? ...Ada penyusup?" Terdengar beberapa ledakan lagi yang menyusul setelahnya, sehingga Tsuna beranjak dari posisinya dan memutuskan untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.

Tangannya baru saja terjulur untuk menyentuh daun pintu kamarnya ketika satu lagi ledakan yang lebih besar terjadi, kali ini pada lantai di mana kamar Tsuna berada. Tubuhnya terhuyung ke belakang ketika lantai yang dipijaknya bergetar dengan keras. Sebelum ia berhasil memahami apa yang baru saja terjadi, sebuah ledakan besar lagi-lagi terjadi...

Kali ini, di dalam kamarnya.

"Ugh!" Tsuna terpental jauh hingga tubuhnya bertabrakan dengan tembok di seberangnya. Apa yang terjadi? Bukankah selama ini, tak ada yang dapat memasuki laboratorium dengan tingkat keamanan yang tinggi ini?

Menahan rasa sakitnya, Tsuna membuka sebelah matanya untuk melihat keadaan. Asap yang tebal menyebabkan penglihatannya hanya dapat menangkap tiga siluet orang.

"S... Siapa?" tanya Tsuna dengan waspada.

Merasakan keberadaan orang lain dalam ruangan itu, Tsuna menggunakan satu tangan yang bertumpu pada tembok di belakangnya untuk menegakkan diri. Bersamaan dengan itu, asap yang menghalangi pandangannya dari tiga siluet tadi perlahan mulai menghilang.

"Jadi, dia adalah anak setengah Kage yang kau maksud, Reborn?"

"Ya, begitulah. Terlihat menjanjikan bukan, Fon?"

"Hmph. Kalau saja aku yang melakukan eksperimen padanya, pasti ia akan jadi lebih kuat."

"Diam, Verde. Aku sedang tidak ingin mendengar curhatan pedo-mu."

"Tsk. Aku bukan pedofil."

Asap yang tebal benar-benar menghilang, menampakkan tiga sosok orang dewasa dengan ekspresi dan penampilan yang berbeda. Tingkat kewaspadaan Tsuna meningkat ketika ia merasakan aura intimidasi yang hebat dari ketiga orang tersebut.

Sosok pertama adalah seseorang bersurai hitam dengan sebuah kepangan, yang sedang tersenyum lembut ke arahnya. Ia mengenakan pakaian Chinese berwarna merah. Di sebelahnya, berdiri seorang pria berpakaian serba hitam dengan fedora di atas kepalanya yang membuat bayangan jatuh di atas wajahnya, menambah kesan misterius. Terakhir adalah seseorang berambut hijau yang memakai jas putih, jas berbentuk sama dengan yang biasa dipakai oleh para ilmuwan di tempat itu.

Insting dalam diri Tsuna mengatakan bahwa mereka bertiga sangatlah kuat. Mereka bukanlah orang yang seharusnya kau ajak main-main. Dan dengan kekuatannya saat ini, ia masih kalah telak dari mereka.

"Oh, jangan terlihat begitu takut, bocah." Pria ber-fedora tersebut menyeringai ke arahnya, dan seketika Tsuna dapat merasakan tubuhnya yang membeku. Ia bisa merasakan keseriusan di balik nada mengejek pria itu. "Aku Reborn. Dia Fon, dan yang bertampang pedo ini adalah Verde."

"Tsk, sudah kubilang," Orang bernama Verde itu membenarkan letak kacamatanya dengan ekspresi kesal. "Aku bukan pedofil."

Mengabaikan perkataan Verde, Reborn kembali memusatkan perhatiannya pada Tsuna dan dengan santai bertanya, "Jadi, kau adalah Sawada Tsunayoshi?"

Menemukan suaranya yang tiba-tiba menghilang, Tsuna hanya mengangguk pelan.

"Sudah sepuluh tahun kau berada di tempat ini, ya?" Kali ini, orang dengan senyum lembut tadi yang bernama Fon ganti angkat bicara. "Bagaimana kau bisa bertahan di tempat seperti ini?"

"A... Aku..." Tsuna membuka dan menutup mulutnya. Siapa orang-orang ini? Apa yang mereka mau darinya? Meski Tsuna dapat merasakan aura intimidasi dari ketiga sosok itu, ia sama sekali tak merasakan niat jahat.

Mereka tidak mengenakan topeng apapun. Mereka tidak akan berbohong.

"Hei. Kau ingin keluar dari sini, bocah?" Reborn bertanya sambil perlahan melangkah mendekati Tsuna, dua orang temannya mengikuti di belakangnya. "Jangan mencoba untuk membohongi dirimu. Aku tahu kau ingin keluar dari tempat suram ini. Karena itu..."

Sebuah tangan terjulur di depan Tsuna.

"...Ka-Kau..." Kedua manik cokelat miliknya bergetar, air mata telah menggenang di pelupuk matanya dan satu hal yang hanya bisa dilakukannya saat itu adalah menatap tangan yang terulur padanya.

"Ikut kami ke Namimori, bocah."

Harapan...

Harapannya yang telah lama pupus, kini kembali muncul di depan matanya. Tangan yang terulur kepadanya terlihat begitu bercahaya baginya. Tsuna tak bisa menahan air matanya lagi.

Sudah berapa lama ia menunggu saat ini tiba?

"Kau tidak perlu khawatir," Fon meraih wajah Tsuna untuk menghapus air matanya dengan lembut. "Namimori adalah tempat yang lebih hangat dibandingkan tempat ini. Di sana, kau bisa memulai segalanya dari awal."

"...Kami akan melindungimu bila kau ada dalam bahaya." Verde menambahkan, sekali lagi menaikkan posisi kacamatanya.

Apakah ia sedang bermimpi?

"Tidak, kau tidak bermimpi," dengus Reborn seolah ia bisa mendengar apa yang Tsuna katakan di dalam hatinya. "Kami membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melaksanakan rencana ini. Tapi seperti dugaanku, kau berhasil bertahan hingga sejauh ini sebelum kami datang. Kerja bagus... Tsuna."

Ternyata... memang ada orang yang memikul harapan kecil Tsuna pada punggung mereka.

Ternyata... memang ada orang yang bersusah payah mempersiapkan diri untuk menyelamatkannya, sementara dirinya sendiri sudah lama membuang harapan kecilnya untuk keluar dari tempat itu.

"Sebenarnya, kami memutuskan untuk mengeluarkanmu dari sini... karena kami membutuhkan kekuatanmu untuk mengalahkan Kage di luar sana," tutur Reborn, wajahnya memamerkan seringai kecil. "Bagaimana? Bukankah kau sudah lama ingin menggunakan kekuatanmu itu untuk membasmi mereka?"

"Dengan ini, pengorbananmu menjadi kelinci percobaan mereka tidak sia-sia." Tsuna menoleh untuk melihat Fon yang masih dengan sabar memberikan senyum lembut kepadanya, mencoba meyakinkan si pemuda kalau semuanya akan baik-baik saja. "Jika kau ikut dengan kamu, kau akan benar-benar menjadi senjata terkuat untuk melawan Kage. Bukan senjata terkuat untuk mengabulkan keinginan egois mereka."

"Bagaimana, Tsuna?" Reborn kembali menatap Tsuna, ia sama sekali tak berniat untuk menarik kembali tangannya yang terulur di depan si pemuda. Kedua mata tajamnya seolah menunjukkan tekadnya untuk membawa Tsuna bersamanya, tak peduli berapa kalipun ia harus membujuk pemuda yang bersangkutan. "Jangan berpikir kalau apa yang harus kau lakukan hanyalah membunuh. Jika kau keluar dari tempat ini, segalanya berakhir, dan kau tak perlu membunuh siapapun lagi."

Tsuna memandang Reborn dengan penuh harap. Apakah yang dikatakan Reborn benar? Benarkah semuanya akan berakhir, dan ia tak akan membunuh siapapun lagi?

Namun sedetik kemudian, nafasnya tertahan ketika ia menyadari sesuatu—suatu benda yang masih tertempel pada dadanya. Benar, benda yang tak membiarkannya lari dari sana.

"Ta... Tapi," Tsuna membalas setelah ia menemukan kembali suaranya yang hilang. Tangannya menyentuh benda besi yang masih tertanam pada dada kirinya. "...bagaimana dengan benda aneh di dadaku? Benda ini tak membiarkanku pergi dari sini."

"Tenang saja," jawab Reborn enteng, lantas menunjuk pria bersurai hijau di sampingnya dengan dagunya. "Verde bisa menghilangkan benda aneh itu dengan mudah."

"Hmph," Pria yang dimaksud menjawab dengan angkuh. "Tentu saja."

"...Benarkah?"

Air mata kembali jatuh dari pelupuk matanya.

Akhirnya... Benda aneh yang terus mengikatnya akan terlepas, dan ia bisa melarikan diri.

Akhirnya... setelah sepuluh tahun ia bertahan di sana...

"...Terima... kasih..."

Dadanya yang semula sesak kini terasa begitu hangat. Ketiga sosok di hadapannya terlihat memancarkan cahaya yang begitu terang. Padahal ia sudah lama melupakan perasaan hangat ini.

Namun sekarang, ia tengah merasakannya lagi setelah sepuluh tahun penuh penderitaan berlalu.

"Ayo pergi ke Namimori, Tsuna. Bersama kami."

Tanpa berpikir lebih panjang lagi, Tsuna menerima uluran tangan dari Reborn, kepalanya mengangguk dan senyumnya perlahan merekah.

"...Ya."

.

.

Kage, bayangan yang terlahir dari kegelapan hati manusia.

Kage, monster yang akan selalu lahir selama kegelapan hati manusia ada.

Dari sini, petualangan seorang manusia setengah Kage yang akan menyelamatkan dunia baru saja akan dimulai.

.

.

TO BE CONTINUED


Err, well, saya kembali dari hiatus. Ada yang masih inget saya? Nggak? /orz

Sebenernya mau lanjutin fanfic saya yang lainnya dulu, tapi karena udah terlanjur kangen nulis fanfic, tiba-tiba ada plot bunnies yang nyerang kepala dan... lahir lagi fic baru. Keburu ilang idenya sih.

Yang ini udah kelar, tapi masih ada satu lagi ide fic multichap yg harus buru-buru dituangin. Gimana dong. Apalagi yang itu rated M. /boboan

Next chapter, suasananya bakal lebih ringan kok. Aaaand, bakal ada Hibari juga. Ada yang nunggu Hibari? /angkat tangan

Oh iya, orang-orang di laboratorium itu anonymous semua, jadi mereka cuma orang lewat.

Well then, see you in the next chapter!