Awal dunia Ryouta diisi dengan hal-hal begini.

Gertakan gigi, tabrakan metal, darah, darah yang gelap di mana-mana, Tetsuya, Tetsuya, sendu sedak dan jari yang menelusur kontur wajahnya, basah dan lembut— Ryouta, Ryouta Ryouta

.

.

Ia membuka matanya pada langit biru yang menyilaukan.

Sekejap matanya menyipit, menyerngit, dan telinganya mulai mendengar gemerisik angin yang menyelusuri dedaunan dan menyibak ilalang beserta cicit-cicit burung kecil dan tikus tanah. Ketika Ryouta ingin mulai lagi, ia kembali mencoba membuka matanya, kali ini dengan hati-hati namun kemudian terbiasa. Lukisan arak-arakan awan di langit beserta pantulan birunya yang dingin dan hangat menyambutnya. Matahari musim panas menyelimuti badannya yang sedikit mati rasa. Ketika Ryouta merenggang dan bangkit, tangannya menyentuh botol-botol kosong limun dingin dan kertas kue yang berserakan di atas kain piknik tempatnya berada.

Ia menoleh. Di antara ilalang yang jarang, di lereng bukit landai tempatnya berada, ia menemukan sosok Tetsuya di puncaknya, berpayungkan sebuah pohon rindang. Membaca.

Di bawah tudung dedaunan ek itu, Tetsuya mendongak, membalas tatapannya yang linglung, dan tersenyum. "Sudah selesai dengan tidur siangmu?" Tanyanya, sambil menjelujuri pembatas buku, dan kemudian menutupnya.

Ryouta menggaruk kepalanya, bingung. "Um. Aku bermimpi panjang, tadi."

Tetsuya kemudian bangkit dan berjalan ke arahnya, membiarkan wajahnya semakin jelas dan kini ditempa oleh sinar senja. (Bukankah barusan hari makin siang? Kepala Ryouta berputar). Warna di kaki langit yang tak berbatas berubah-ubah sekenanya, kali ini jingga yang dingin, seperti mantel tua yang koyak dengan biru di sayap-sayapnya.

Langkah Tetsuya bergemeresak menuruni bukit. "Hari sudah mulai sore," katanya. "sebaiknya kita berkemas."

Ketika ia sudah ada di samping Ryouta, burung-burung pipit yang sedari tadi mematuki remah-remah beterbangan pulang ke sarangnya, dan Tetsuya mengumpulkan piring-piringnya sementara Ryouta terpaku. Ia mendelusuk botol-botol sisa anggur dan limun ke dalam keranjang, mengumpulkan sampah bijih-bijih dan ranting buah anggur ke pinggir taplak yang mereka jadikan alas tidur, dan hendak melipat selimut piknik itu, apabila Ryouta tidak masih menatapnya menerawang, seperti patung.

Tetsuya mengangkat alisnya. (di sekeliling mereka, hari sudah mulai malam. Angin berdesir.) "Apa yang tadi kau mimpikan?" tanyanya.

Ryouta masih kehilangan kata-kata untuk menjelaskannya, dan untuk bertanya akan fenomena di sekeliling mereka. Beberapa saat lamanya ia masih terpaku. Kemudian ia melakukan satu-satunya hal yang masuk akal untuk sekarang— dengan mengambil Tetsuya dan menciumnya di sana.

"Apa kau memimpikanku?"

Tetsuya bertanya lagi setelah melepaskannya, dan apabila matanya redup dan gemerlap seperti memori, maka Ryouta akan selalu ingat. Ia hanya memeluk Tetsuya lagi dan— (tak pernah ada hal yang bisa menenangkannya lebih dari sosoknya yang riil dan hangat) tak basah, tak berdarah, dan jantung yang terus berdetak, mengenalkannya akan ketakutan akan selamanya, dalam kesendirian.

"Aku memimpikanmu, mati." Ryouta berkonfesi, lirih. "dan aku tidak ingin mengalaminya lagi."