Love Me ch.2

Genre : Yaoi, Drama, Crime, Suspense

Category : EXO, Fanfiction, Semi-Yaoi, Continues

Cast : EXO, others

Disclaimer : God, Agency, Themselves, Author

Warn : Yaoi (Boys Love), Violence, Death-chara

000

"Hyung!"

Chen membuka kasar pintu gudang yang berkarat, tanpa basa-basi menghampiri Luhan dan seseorang dengan keadaan super menjijikan mengingat mereka sedang (terpaksa) berhubungan intim. Namun belum sempat Chen mengenali wajah si bejat ditengah kegelapan, bajingan itu dengan cepat melarikan diri melewati Tao yang masih termenung didepan pintu. Refleks, Tao merentangkan tangan demi menangkap si kriminal, tapi tangannya disayat pisau. Bukan main, bahkan bajingan itu membawa senjata tajam!

Chen mengabaikan apapun. Ia sebenarnya melihat Tao yang hendak menangkap siapapun itu dan ia juga melihat kalau pelakunya lolos. Yang diutamakan Chen saat ini adalah kejiwaan Luhan; lihat bagaimana wajah penuh lebam dan darah itu nampak kesakitan. "Oh, astaga, hyung,"

"Chen, dia menyayatku. Maaf, dia lolos," Tao menyusul Chen kesamping Luhan, menemukan hyung-nya dalam keadaan terlalu memprihatinkan membuat air matanya segera berdesakan untuk keluar. "Hannie-hyung, Hannie-hyung," Ia menggigit bibir dan benar-benar menangis sambil membenahi pakaian Luhan dengan gemetar. Mulutnya tak berhenti menyebut nama Hannie, Hannie, Hannie.

"Aku akan memanggil Lay dan Kyungsoo, kau jaga Luhan-hyung."

"Hannie-hyung, Hannie-hyung,"

Percuma, apapun yang masuk ke pendengaran Tao sama sekali takkan mendapat hirauan. Ia terpaku pada indera pengelihatannya yang tega menampilkan Luhan dengan wujud seperti ini. Tapi tanpa perlu diminta pun Tao pasti akan menjaga Luhan, jadi Chen segera berlari kembali menuju asrama. Baru saja kakinya menapak keluar gudang, matanya menangkap sesuatu. Ada seseorang didekat pintu gudang, berdiri mematung dengan kepala menjenguk kedalam memperhatikan Luhan dan Tao. Ah, Chen tak memikirkan itu lebih lanjut, anggapannya adalah bahwa itu faktor cahaya yang minim dan kepanikan; ia menganggap itu hanya salah lihat.

"Kau sudah kembali?"

Kyungsoo muncul dihadapan Chen yang baru memasuki lobi asrama. Chen menarik nafas dan menghentikan pelariannya demi memberi kabar pada teman yang—menurut Chen—sebelumnya sedang menghampiri mesin minuman (Kyungsoo memegang kaleng soda). "Kyungie, aku menemukan Luhan-hyung."

(meski mata Kyungsoo sudah lebar) Mata Kyungsoo terbuka, nampak melotot karena kaget. Mungkin ia akan tenang-tenang saja jika Chen sekedar mengabari bahwa ia menemukan Luhan, tapi ekspresi yang mengiri kabar itu membuat Kyungsoo takut. "Dimana dia?"

"Bersama Tao di gudang asrama tiga," Dan Chen kembali berlari demi menghampiri Lay di kamar, sementara Kyungsoo berlari kearah berlawanan melewati pintu asrama.

Lay dan Chen melangkah tergesa. Dalam kepala mereka sama-sama menampilkan bayangan keadaan Luhan (tentu saja karena Chen menceritakan apapun yang ia lihat di gudang). Kini Lay merasa ingin mengamuk, ia amat sangat marah. Jika saja ia mampu melupakan kodratnya sebagai manusia, jika saja tak ada aturan-aturan yang menyangkut moral, mungkin Lay dengan senang hati akan membunuh siapapun yang berani menindas Luhan-nya.

"Itu mereka,"

Diujung mata, nampak Kyungsoo dan Tao tengah membopong tubuh lunglai milik hyung-nya yang terseok. Tao bilang kalau Luhan merasa sakit pada bagian belakang tubuhnya; anusnya. Oh, tentu saja sakit karena ia diperkosa oleh seorang laki-laki, dianal dengan tanpa perasaan. Lay bergidik, ia yakin akan menangis detik itu juga saat melihat Luhan dengan mata ketakutan yang kosong, kedua tangan mengepal kuat dan tubuh menggigil hebat. Mata bulat yang biasanya hangat itu melirik kesana-kemari seperti sedang dijadikan tontonan menarik oleh ribuan orang.

"Hyung," Panggil Lay, memastikan kalau Luhan baik-baik saja (paling tidak berjiwa baik-baik saja). "Luhan-hyung, kau mendengarku?"

"Lay-ah," Luhan menggumam dengan rahang bergemeletuk. "Lay-ah, aku takut. Lay-ah, bawa aku pergi,"

"Hannie-hyung," Tangis Tao beranjak makin menjadi-jadi. Ia terpukul melihat keadaan Luhan yang persis orang sakit jiwa. "Hannie-hyung, kau pasti baik-baik saja, kau tidak apa-apa, kami disini, hyung,"

"Lay-ah, kemari. Lay-ah, Yixing-ah, Yixing,"

"Hannie-hyung," Siapapun dapat berkata dengan yakin kalau saat ini suara Tao tak dapat terkontrol dengan baik. Ia menangis senyaring yang ia mau.

"Lay! Bawa aku pergi dari sini!"

Dalam hitungan detik Lay telah mendekap Luhan erat-erat, berusaha untuk memberitahu hyung-nya bahwa semua sudah baik-baik saja, tak ada siapapun selain mereka berlima disini. Ia menangis, memeluk Luhan dan berusaha menyampaikan betapa sedih hatinya atas musibah yang dialami Luhan. Hatinya mengeluh, kenapa Tuhan menggariskan takdir seperti ini pada Luhan? Luhan anak yang baik, kenapa dia harus begini?

Hari sudah larut. Lewat pukul dua belas dan empat siswa S. M. I. S. masih membuka mata lebar-lebar. Ke-empatnya menguras otak mati-matian, bertekad untuk menemukan seseorang yang memiliki tubuh tidak terlalu tinggi dan bervolume agak gempal.

"Selain itu, ciri apa lagi yang kalian lihat?"

"Kami tak bisa melihatnya dengan baik karena gudangnya gelap, tapi saat ia kabur dan berlari kearahku, melewatiku, aku sempat menangkap pendar antara warna cokelat atau merah yang terbias dari rambutnya." Tao merespon pertanyaan Kyungsoo. Kyungsoo memang menyukai hal-hal yang membuatnya banyak berpikir. Ia suka permainan. Ia suka tebak-tebakan.

"Maksudmu, orang itu tidak berambut hitam?" Lay buka suara.

"Entah, mungkin saja,"

"Belum tentu." Kyungsoo memuntir poni lurusnya dengan jari telunjuk. "Rambut yang kelihatan hitam pun bisa menampakan warna lain saat terbentur cahaya."

"Astaga," Tao membekap wajahnya dengan bantal. Mereka sangat ingin menghakimi penjahatnya, tapi bagaimana cara menemukan orang yang bahkan wujudnya tak dikenal sama sekali?

"Kita masih punya kemungkinan untuk tahu pelakunya." Chen melirik Luhan yang terlelap dihalau dua lapis selimut. Ah, si ibu pengganti akan pensiun dari tugasnya—mungkin. "Tapi aku tidak yakin akan melakukan cara ini."

"Apa?" Kyungsoo penasaran.

"Bertanya langsung pada Luhan-hyung. Tidak, tidak, itu ide paling buruk. Aku tidak akan pernah melakukannya. Aku ingin ia menghapus apapun yang terjadi hari ini dari ingatannya."

"Kita bisa melakukannya, tapi tidak dalam waktu dekat. Kita perlu menunggu sampai Luhan mendapat kekuatan lagi."

"Itu lebih baik." Tao mengangguk samar, mata hitamnya blak-blakan memberitahu bahwa si empunya sudah kelelahan, tapi berkat kejadian ini, tentu saja tak ada yang bisa memejamkan kelopak mata. Chen mengetahuinya, ia melihat Tao memaksakan diri untuk tetap terjaga, lalu dibelainya kepala si panda. "Tidurlah."

Sesegera mungkin Tao menggeleng, menggeleng seakan sedang dituduh mencuri sajian diatas meja makan yang seharusnya bukan untuknya. "Aku ingin menjaganya."

"Malam ini biar aku yang jaga, besok giliranmu. Setuju?"

Dan begitulah akhirnya mereka memutuskan untuk membuat jadwal tidur bergantian, mengantisipasi kalau-kalau ada 'musibah susulan' yang bisa saja masih mengincar Luhan diam-diam. Kelimanya memutuskan untuk menjadikan kasus ini sebagai rahasia, mereka menjaganya agar tidak satupun, tidak dari pihak manapun, mengetahui hal ini. Selain karena ingin memelihara nama Xi Luhan, juga karena mereka tak ingin keduluan pihak berwenang untuk menghajar si pelaku. Lagipula, jika pun dengan terpaksa mereka harus membeberkan kejadian hari ini pada pihak sekolah, mereka yakin kasus ini akan diredam. Salah satu alasan terkuat adalah karena tidak mau merusak nama baik (sebagaimana keempatnya berusaha menjaga nama baik Luhan). Sungguh sebuah sekolah bertaraf Internasional 'kan?

"Kalau sudah begini, lebih baik kau mati. Kau kotor dan hina, mati saja sana. Ayo, mati. Bunuh dirimu secepat kau berkedip."

Luhan meringkuk memeluk kaki, matanya melebar dan peluh-peluh seukuran biji jagung terus saja melintasi sisi wajahnya yang ketakutan. Ia tak bisa melihat dengan baik karena genangan air mata memenuhi pandangannya, tapi jika terkaannya benar, bukankah itu Tao? Tao menyuruhnya mati? Ah, bukan, itu Kyungsoo? Kyungsoo menginginkannya mati? Tao atau Kyungsoo? Atau keduanya? Lalu, kenapa bayang-bayang kabur itu berubah menyerupai Chen?

Dimana Lay? Dimana Lay?

Batinnya berkecamuk. Dimana Lay? Kenapa hanya sosok Lay yang tidak muncul? Apa hanya Lay yang masih mengingkan Luhan untuk tetap hidup?

"Lay, kau dimana? Lay," Luhan meracau. "Lay, apa kau juga menginginkanku mati?"

Alis Chen bertautan hebat. Suara gamang itu berasal dari Luhan; Luhan yang mengigau. Dan wajah itu berbalur keringat serta air mata. Ia sangat pucat, mengalahkan kulit mayat. Oh, hyung-nya mendapat mimpi buruk. Chen mendesis, memeluk Luhan untuk kemudian ikut meneteskan air mata. Ini terlalu memilukan, ini menyedihkan.

"Hyung, meskipun kau begini, kami takkan meninggalkanmu. Kami takkan membencimu apalagi menginginkanmu mati. Han-hyung, aku sangat menyayangimu begitu pula Lay, Kyungsoo, dan Tao. Kami menyayangimu."

Mungkin kata demi kata yang diucapkan Chen melesak masuk tanpa hambatan dan berhasil menginterupsi mimpi Luhan hingga sesaat setelah Chen menyusul terlelap, Luhan membuka matanya yang basah dan berusaha tersenyum. Suaranya yang serak keluar, agak berbisik, lalu mengusap dahi Chen selembut mungkin.

"Syukurlah itu hanya mimpi burukku."

000

Upacara penerimaan siswa baru berlangsung dengan baik. Tak ada masalah atau kekacauan, tidak ada yang berbuat onar. Tidak ada ketika upacara, tapi tidak ketika jam makan siang. Chen mengabarkan pada teman-temannya kalau di kantin ada seorang siswa yang mengacau. Luhan? Iya, dia hadir, dia mengikuti setiap pelajaran dengan baik. Dia—sepertinya—sudah melupakan kepiluan lima hari kemarin meski tidak dipungkiri juga kalau sesekali wajahnya memucat atau nampak tak bergairah. Agak berbeda dengan Luhan yang dulu, tapi setidaknya cara ia memperlakukan empat temannya tidak ada yang berubah.

"Bocah jangkung yang nyentrik. Wujudnya bahkan bisa dikenal hanya dengan sekali lihat."

"Tahun ini S.M.I.S. akan mendapat banyak pengalaman yang penuh kejutan." Kyungsoo menggerak-gerakkan jemarinya seperti kaki gurita dan bertingkah persis remaja yang terlalu banyak bergaul. Mata lebarnya berkeliling hingga nyaris cuma menyisakan area putihnya. "Jika di kantin kau menemukan anak jangkung yang gemar mengacau, disini kau bisa menemukan serpihannya. Byun Baekhyun, peluit kecil kita."

"Wow, ini pertama kalinya aku melihat peluit." Tao nampak takjub. Bocah satu ini akan selalu antusias pada hal-hal yang masih asing ditelinga. Ya, Tao sebenarnya tidak tahu menahu soal apa yang dimaksud peluit oleh Kyungsoo—ingatlah bahwa Tao belum lancar bahasa Korea. Jelas saja ini mengundang tawa dari teman-temannya.

"Kusebut peluit karena dia anak yang berisik dan gemar mencari perhatian. Itu maksudku."

Tao diam, kini ia paham apa itu peluit. Lalu mata hitamnya terarah lekat pada sosok yang ukurannya setinggi badan Kyungsoo, celah mata sipit, dan berwajah kekanakan. Itulah Byun Baekhyun, teman sekelas Kyungsoo (Tao dan Lay di kelas D, Chen di kelas C, sedangkan Luhan dan Kyungsoo di kelas A). Kepala Tao mengangguk samar dan tatap matanya masih setia pada Baekhyun.

"Zitao-ssi,"

"Oh, oh, kau mencariku?" Tao melonjak girang ketika salah satu temannya—dari kelas D—datang menghampiri. "Hyungdeul, ini Suho teman sekelasku. Suho, mereka teman-temanku." Astaga, anak ini nampak begitu bersemangat. Jelas tergambar diwajah lugunya. Setelah Tao pergi bersama Suho, Luhan menghela nafas dengan mata mengawang-awang. Chen menyadari itu.

"Ada apa, hyung?"

"Ya?" Luhan nampak menyembunyikan keterkejutannya. "Tak apa, aku hanya teringat pada rengekan Tao waktu itu. Dia gila-gilaan berharap agar kita tak meninggalkannya, tapi coba lihat, siapa yang lebih cepat mendapat teman baru? Dasar, anak itu."

"Biarkan saja, dia hanya masih terlalu lugu." Sahut Kyungsoo mengulum senyum. Chen hanya mengiya-iyakan, pembicaraan mereka sebentar lagi pasti akan menjalar kemana-mana dan tak ada habisnya. Tapi, tunggu. "Kemana Lay?"

Sepasang mata diam-diam mengamati Lay yang kala itu tengah sibuk dengan soal matematika yang—baginya—penuh misteri. Kalau ada sesuatu yang tanggung begini, Lay bisa penasaran setengah mati, ia memilih untuk tenggelam kedalamnya dan sejenak mengabaikan kawan-kawan tercinta.

"Halo,"

Lay tercenung. Segala gerakannya terhenti ketika sebuah tangan muncul diatas buku dan menghalanginya. Dengan alis mengerut, Lay mengangkat kepala, menelusuri mulai dari ujung jari sampai akhirnya berhenti pada wajah manis yang nyaris bisa dikira anak perempuan. Oh, ada apa ini?

"Aku Xiumin." Katanya mengulurkan tangan. "Jika kau menyadarinya, kita adalah teman sekelas."

"Oke, ada urusan apa?" Ting tong. Beginilah wujud asli dari Zhang Yixing. Pada orang asing, Lay dikenal sebagai si dingin yang malas bicara, padahal jika sedang berkumpul dengan empat teman sepermainannya Lay adalah seekor anak kucing yang manis.

"Hanya berkenalan." Xiumin mengambil bagian disamping tempat duduk Lay, mengamati kesibukannya terhadap sekumpulan angka. "Lihat, kau bisa membantuku untuk mengerjakan PR."

Lay hanya mengangkat alis dan bahunya bersamaan sembari mengalihkan fokus kembali pada rumus-rumus. Anak ini bukan seorang anti-sosial, ia hanya terlalu malas untuk dikerumuni bocah-bocah muka dua. Baginya, menemukan empat teman jujur saja sudah sebuah anugerah.

Hening diantara keduanya. Xiumin melipat lengan, menopang dagunya disana sambil menyimak tiap milimeter dari wajah Lay. Ia menemukan sebuah lesung pipit yang menjorok sangat dalam hingga lebih bisa disebut lubang daripada tanda wajah. Astaga, Xiumin ingin menjerit dan mengumumkan kalau ia sedang mengamati wajah lugu yang manis dan mungkin—tak lama lagi—ia bersedia menjadi penggila Yixing si Dingin. Tapi kemudian sederet dialog menginterupsi imajinasi Xiumin. Meski banyak suara yang memenuhi ruang kelas, tapi bagi Lay itu adalah sebuah dialog yang mencolok. Tentu saja begitu karena Tao-lah pelakunya; berbincang seru dengan Suho (Kim Joonmyeon). Tao mendekat ke meja Lay untuk kemudian mata kelamnya terpaku pada Xiumin. Ada orang tak dikenal yang duduk disisi kawannya. "Teman barumu?" Ia bertanya dengan nada datar. Xiumin mendongak dan memberi keterpakuan yang sama; bahkan bisa dibilang nampak lebih kaget dari Tao.

"Teman sekelas kita, tepatnya."

"Kim Minseok 'kan? Nomor absenmu selisih satu denganku." Suho menyapa. Seperti kenampakannya, Suho adalah orang yang supel, berasal dari keluarga kaya dan ternama membuat ia tumbuh menjadi laki-laki yang menuruti aturan. Sama sekali bukan gaya Tao, tapi keduanya bisa bertukar cerita dengan mudah.

Bukan menanggapi Suho, Xiumin malah menunduk dengan wajah terganggu kemudian memasang senyum palsu dan kembali ke kursinya sendiri. Lay melirik diam-diam, mata itu mengamati gelagat Xiumin. Menurutnya, Xiumin tidak suka interupsi, tidak suka kesenangannya diganggu. Dan Lay tidak menyukai orang dengan sikap semena-mena macam itu.

Tao menggantikan Xiumin disisi Lay, tangannya berkait satu sama lain dan telunjuknya berputar gugup. "Apa dia tidak menyukai kehadiranku? Aku mengganggu kalian?" Gumamnya dengan wajah sedih, menunduk putus asa dan tak berpikir untuk menyungging senyum sama sekali. Bahkan ia mengacuhkan Suho yang kini sudah menyambar pembicaraan orang lain yang berkumpul didekat papan tulis.

Dari tempatnya duduk, Xiumin memperhatikan bagaimana Lay mengusap-usap punggung tangan Tao dan membujuk-bujuk seperti seorang ayah pada putera kecilnya yang merengek minta permen anek rasa. Mata sipit Xiumin yang berujung lentik memaku sinis pada kebersamaan Lay dan Tao. Entah, menurutnya itu sangat menjijikan. "Dasar jalang. Perayu ulung. Dia mendapat perhatian dengan tingkah idiot seperti itu? Kampungan."

Lay mengakhiri rayuannya agar Tao berhenti menganggap diri sendiri sebagai pengganggu. Ia mengatakan bahwa Xiumin adalah anak yang baik (jelas-jelas sebuah kebohongan karena mereka bahkan tak balas menyapa) yang terlalu sibuk dengan pelajaran, dan pelajaran itu membuat Xiumin stres sehingga ia malas bertegur-sapa dengan orang asing. Baiklah, sosok Xiumin yang nakal sudah lenyap dari pikiran Huang Zitao.

Tao diam sebentar. Ujung kepala hingga ujung kakinya kaku mendadak (disengaja) ketika mendapati pandangan Xiumin yang lurus menancap padanya. Lalu Tao melambaikan tangan dan tersenyum polos sambil mengucap bisu sederet kalimat. Mungkin sapaan serupa 'halo' atau 'namaku Tao' atau apapun. Dan entah kenapa ketika Lay menoleh untuk melihat reaksi Xiumin, anak itu malah terpaku bagai mayat; seakan rohnya direnggut dari raganya tiba-tiba.

"Ah, mungkin dia masih canggung." Lay—lagi-lagi—berusaha agar Tao-nya tidak sedih. Ia menyesali ekspresi Xiumin yang selalu tidak enak ketika Tao bersedia menyapanya. "Sudah, lebih baik bantu aku selesaikan rumus ini."

000

Sudah satu minggu lewat dan tak ada masalah apapun antara lima sekawan itu. Paling-paling cuma pertengkaran kecil karena Lay menyembunyikan boneka panda kesayangan Tao yang merupakan hadiah natal dari Kyungsoo dua tahun lalu, atau Luhan yang marah karena Chen dan Tao meninggalkan buku PR di sekolah, atau hal-hal sepele lainnya yang tak penting. Sejauh ini, tak ada satupun yang menunjukan tanda-tanda akan meninggalkan kawanan.

"Tadi Chanyeol mengambil kotak susu makan siangku." Keluh Luhan, memeluk bantal dengan nyaman. Tiga kawannya (Lay berpamitan untuk mampir ke kamar salah satu teman dan mengerjakan tugas kelompok. Jangan tanya bagaimana dengan Tao, Lay menanganinya dengan baik) duduk tak jauh dari tempatnya bertelungkup. Akhirnya terjadilah sesi sahut-menyahut yang membuahkan obrolan panjang dan gurau tak menentu antara mereka. Sampai kemudian, Kyungsoo menggeram. "Ada seseorang, di sekolah, ia bilang kalau ia adalah teman kecilku."

"Hah?" Chen menggerakan tengkoraknya mundur hingga dagu dan lehernya nyaris sejajar. "Kelas berapa?"

Kyungsoo menjilat ibu jarinya yang berlumur krim cokelat, lalu melirik satu persatu pada tiga wajah didepannya. "Satu. Dia dikelas B."

"Pasti seru ya, berjumpa dengan teman lama!" Jelas ini siapa. Ini Tao. Siapa lagi yang akan bernada seringan ini? Tapi komentarnya mendapat gelengan tak setuju dari Kyungsoo.

"Kenyataannya, aku sama sekali tidak tahu siapa dia."

Luhan menegak dan memasang tampang jengah. Ia mencurigai ada yang tidak beres. "Dia menyebutkan nama?"

"Kai. Dan aku tidak pernah mengenal seseorang dengan nama itu. Tapi dia jelas-jelas merapalku seakan aku dan dia memang memiliki, atau pernah memiliki hubungan."

"Mulai detik ini, kalian harus bersikap awas pada nama itu." Keputusan yang keluar dari Luhan sudah menyerupai mandat bagi tiga kawannya. Pahamilah, Luhan sudah jadi korban perlakuan menyimpang, ia tak mau yang lain juga merasakan sakit yang sama. Dan, teringat pada 'kasus lama', Kyungsoo menatap Luhan lamat-lamat.

"Luhan-hyung," Ia memanggil, mendapat tengokan dari si terpanggil pula. "Bagaimana keadaanmu sejak hari itu?" Tanyanya membuat Luhan terkesiap sejenak, tapi kemudian ia menyungging senyumnya yang rapuh—seakan ia adalah seorang ibu muda pengidap leukimia. Luhan balik bertanya,

"Ada apa?"

"Kau mengenalnya? Kau mengenal si berengsek itu?"

Luhan melenguh dan tangannya bergerak menyentuh tengkuknya yang sepucat porselen. Nampak enggan. Apa dia mencoba menyembunyikan sesuatu? "Inilah kebodohanku, aku tidak ingat ketika ia melolongkan namanya seperti pahlawan. Aku dibutakan oleh rasa sakit, tapi,"

Serentak, Chen, Kyungsoo, dan Tao segera mencondongkan arah duduk mereka agak maju, menyatakan dengan gamblang bahwa mereka sangat membutuhkan lanjutan dari kata 'tapi' disana. Mereka perlu melakukan sesuatu secepatnya sebelum kasus itu 'terkubur'.

"Kalau kau menjajarkan semua siswa dihadapanku, aku bisa mengenalinya. Dia memiliki alis yang menukik," Luhan terpejam kuat, mengingat-ingat. Lama kemudian ia malah menangis. Ah, ternyata anggapan 'bertanya langsung pada korbannya' adalah hal yang salah.

"Apa kita harus menyerah?" Kyungsoo mengepalkan jemarinya rapat-rapat, tidak rela dengan pilihan yang terlontar dari bibirnya sendiri. "Tapi, aku ingin menghakimi orang itu dengan tanganku. Aku ingin dia merasakan ketakutan seperti yang Luhan-hyung rasakan."

Lay berlari. Kakinya tak akan ia biarkan untuk berhenti walau sedetik. Ia harus melarikan diri sejauh mungkin. Meski kepala terasa pening karena udara malam yang menusuk, meski nafasnya tak menentu dan menyiksa paru-paru, ia hanya tahu satu hal: lari sampai Tuan Keberuntungan luluh dari keangkuhannya. Pakaiannya yang terkoyak berkibar liar, rambutnya yang berantakan dibasahi peluh, semua itu menyapa kehampaan taman asrama yang beraroma rumput musim semi.

"Kemana kau akan lari?"

Pertanyaan yang bersumber dari jarak beberapa meter dibalik punggungnya terdengar amat mengerikan. Kacau, bahkan Lay yang dilahirkan berjenis kelamin laki-laki pun tak kuasa kabur dari rasa takutnya sendiri. Kacau, tubuhnya mulai kelu karena rasa sakit menjalari jalur-jalur syarafnya. Ia tak pernah punya pikiran buruk pada siapapun, tidak pernah. Tapi siapa sangka kalau tugas kelompok malah menjadikannya kandidat korban setelah Luhan?

"Siapa yang kau harap akan datang? Teman-temanmu yang payah?"

Tidak. Jangan melemah. Jangan lelah. Kabur. Kaburlah sejauh mungkin. Pergi! Selamatkan kenanganmu mengenai hari ini. Pergi jauh-jauh, Yixing!

"Ujung pensil ini akan menentukan siapa yang berhak memberi pertanyaan, lalu jawabannya harus ditulis di kertas,"

"Oh, oh, bolehkah aku menulis jawabannya di ponsel?" Tao menyerobot penjelasan Chen—berterimakasihlah padanya yang menggagas permainan ketika suasana kamar mengeruh. Alhasil, kini mereka akan memulai permainan Pencil of Truth (Pensil Kejujuran), dimana pertanyaannya akan diberika oleh orang yang ditunjuk mata pensil ketika putarannya berhenti. Dan tiap pertanyaan harus dijawab dengan jujur pada selembar kertas yang isinya kemudian harus dilantangkan ke pemain lain. Oke, Tao diizinkan menulis jawaban di ponsel layar sentuhnya. Ia beranjak duduk ditepi jendela, kegirangan, sementara yang lain melipat kaki di karpet. Setelah itu, Kyungsoo memutar pensil, tanda permainan dimulai.

Tap—Pensil berhenti berputar dan menunjuk kearah Luhan.

"Suatu kehormatan bagiku, Tuan-Tuan," Katanya dengan gaya pesuruh—membungkuk dan memutar pergelangan tangan dengan irama senada. Ia mengangkat pensil dan kertas, "Pencil of Truth, biarkan teman-temanku menjawab dengan jujur," Itu mantranya. "Apa yang membuat keempat temanku ini menyayangiku?"

Chen melenguh, "Pertanyaan macam apa ini?" Tapi ia tetap menggoreskan jawabannya keatas kertas. Astaga, apa yang membuat Luhan bertanya selugu itu? Siapapun tahu bagaimana Chen, Lay, Kyungsoo, atau Tao menganggap penting seorang Xi Luhan. Biarlah, biar Luhan menguatkan keyakinannya.

"Sudah kujawab."

"Aku juga sudah."

"Tunggu, aku belum selesai," Tao nampak sibuk dengan kunci jendela. Ia berniat untuk membukanya, tapi entah apa yang membuat jendela itu melekat seperti berkarat. "Nah, oke. Aku sudah jawab!"

"Bacakan selantang yang kalian bisa!" Luhan memejamkan mata rapat-rapat dan menutup telinga. Setelah ini kamar mereka akan digaungi erangan-erangan ngawur khas remaja.

"Aku sayang Luhan karena dia merawatku seperti ibuku, dan aku sangat merindukan ibu. Dia memperhatikanku dengan baik, aku mencintainya!" Chen mambaca jawabannya—menjerit.

"Luhan adalah alarm-ku. Tanpa dia, aku takkan bisa mengatur waktu dengan baik. Luhan-hyung adalah salah satu hal yang paling kubutuhkan." Kyungsoo menyusul tak kalah semangat.

Lalu hening.

Tiga pasang mata menyorot Tao yang masih diam menatap keluar jendela (kamar mereka dilantai tiga); menatap dengan aura ganjil: sesaar ekspresinya lebih bisa disebut 'menatap tanpa perasaan', sebagaimana ekspresi peran antagonis yang sedang menginjak pelipis si protagonis. "Tao?" Panggil Luhan. Barulah kemudian nampak mata sipit itu berkedip, menambah kesan seolah ia baru meraih kesadaran. "Ya?"

"Giliranmu menjawab." Sahut Kyungsoo agak tercenung.

"Oh, astaga," Tao tertawa dungu. "Aku sayang Hannie-hyung karena dia memiliki sifat seorang Xi Luhan. Mengerti apa maksudku? Aku menyayanginya karena dia tidak mencoba untuk menjadi orang lain; dia sempurna dari hatinya."

Pensil kembali diputar. Kini ujungnya menunjuk pada Kyungsoo.

"Pencil of Truth, biarkan teman-temanku menjawab dengan jujur," Kyungsoo mendekap kertas dan pensilnya, kemudian mengedarkan pandangan menyeramkan yang dibuat-buat. "Ayo jawab, jika Tuhan memberi kesempatan untuk membunuh satu orang tanpa menjadikannya dosa, siapa yang akan kalian bunuh?"

Hening. Semua mata tertuju padanya.

"Ayolah, ini hanya pelepas penat. Pertanyaan yang biasa-biasa saja tidak akan menyenangkan." Ia menggumam. "Jawablah."

Chen berdiri dan mengitari teman-temannya. Mengintip nama yang ditulis Luhan, tapi kertasnya masih kosong. Pastilah ia kebingungan karena tak ada siapapun yang akan ia bunuh. Lalu, ia menghampiri Tao perlahan, dari jauh pun ia bisa menangkap cahaya latar dari ponsel si panda. Ketika lengah (Tao kembali berkutat dengan jendela), Chen segera mencuri kesempatan untuk mengintip jawaban Tao. Oke, dia sudah membaca tulisan itu dan membuat Chen hampir pingsan. Ia berusaha memastikan kalau apa yang ia baca adalah sebuah kesalahan, ia berniat menanyakannya pada Tao, tapi baru saja tangannya menyentuh si anak termuda, Tao langsung melonjak kaget. Bahkan nyaris jatuh jika saja Chen tidak menangkapnya dan jika tangan Tao tidak berinisiatif untuk merenggut baju Chen.

"Jangan bergurau seperti itu!" Luhan meremas dadanya yang seakan ditabuh ribuan bajang. Astaga, ia tak bisa membayangkan kalau Tao benar-benar melompat keluar jendela.

"Apa yang kau lakukan?" Tao merengek sambil berulangkali menjenguk kebawah jendela, kearah tumpukan semak bunga soka. "Kau menjatuhkan ponselku."

"Maaf, biar kuambilkan,"

"Tidak apa-apa, aku akan mengambilnya sendiri." Tao segera mengenakan jaket dan beranjak keluar kamar.

Kyungsoo meniupkan nafas hingga terdengar samar-samar suara siulan. "Jika ada kesempatan, kau akan membunuh Tao?" Tanyanya. Tentu saja sedang bergurau. Tapi Chen bahkan tak bisa mengangkat ujung bibirnya atau sekedar mendengus sebagai respon. Ia masih syok pada apa yang ia lihat di ponsel Tao tadi: nama orang yang akan dibunuh Tao jika ada kesempatan. Meski belum selesai ditulis, tapi Chen bisa menerkanya.

Xi (belum selesai ditulis)

Siapa lagi kenalan Tao yang memiliki sisipan nama 'Xi' selain…

—To be Continued—