A/N: Hitungan 'nanti malem' saya ternyata sampai 8 bulan ya, oke. Ibarat jabang bayi, anak saya udah bisa lahir prematur. Oktober sampai Mei bukan rentang waktu yang dekat, ya, Kawan-kawan. Dan karena cerita ini sudah berlumut dan berkerak seperti dinding-dinding di Universitas SL, maka saya menyediakan fasilitas rangkuman bagi pembaca, sebagai berikut :
ALTER Part I-VII:
Eren Jaeger, remaja enam belas tahun yang mengidap kepribadian ganda superior. Dan untuk satu hal yang masih buram, universitas Scouting Legion kemudian menuliskan namanya ke dalam daftar mahasiswa berstatus pelaku kejahatan berat pada tahun itu.
Eren menghadapi hari pertama orientasi dengan timbunan kesalahan yang menempatkannya pada posisi mahasiswa bebal. Pertemuan Eren selanjutnya dengan Levi, seorang mahasiswa senior yang berstatus penjahat legendaris di kawasan universitasnya dengan dua gelang merah di tangan kanan, menjadi babak baru dalam hitamnya naskah perjalanan seorang Eren Jaeger di universitas kriminal Scouting Legion. Penjelasan autentik Jean pada Eren, kemudian membawanya untuk mengerti arti dari dua gelang merah itu sesungguhnya merupakan simbol gradasi kejahatan yang telah dilalui Levi semasa hidupnya.
Secara berkala dan bertahap, bukti-bukti keganjilan yang bersemayam di atas langit universitas itu telah disaksikan sendiri oleh Eren.
Akar ketegangan yang mati di bawah tanah kemudian mulai menjalar cepat ke permukaan. Semua babak dimulai ketika pihak sekolah menemukan keberadaan mayat seorang mahasiswa yang diidentifikasikan satu atap dengan angkatan Eren. Marco didapati tewas terbunuh tanpa barang bukti, dengan wujud jasmani tidak utuh di taman sentral asrama. Ciri-ciri kejahatan keji yang dilakukan si pelaku pembunuhan dilaporkan serupa dengan berkas-berkas kejahatan Eren sebelumnya. Hingga pada hari pemakaman Marco, Kepolisian Militer datang, kemudian menyeret paksa Eren menuju Ruang Eksekusi, tanpa deklarasi sebelumnya. Dan ketika animo detik kematian Eren mulai terbakar dan tumbuh memuncak, Levi membalik senjata dan menyelamatkannya dari terjangan peluru.
Erwin Smith, dekan Merah yang menanggung konsekuen atas kegagalan eksekusi itu, akhirnya diberi arahan untuk menghadap sang pemilik universitas dan menggantikan nyawa Eren. Pemenggalan si dekan gelang merah akhirnya terjadi mentah-mentah di depan mata Levi, sahabat baiknya. Levi yang dibutakan dendam, akhirnya berujung pada atensi ingin membalas kematian sahabatnya.
Benang merah akhirnya mempertemukan Levi dengan Eren, yang kelak akan ia gunakan sebagai alat untuk menumbangkan dinding kokoh Universitas Scouting Legion yang telah berdiri selama sepuluh tahun tersebut. Namun sebelumnya, ia harus mengorek lebih dalam informasi yang tertimbun di dalam diri remaja kanibal itu.
Eren Jaeger, seorang remaja prematur berstatus mahasiswa angkatan pertama sebuah universitas kriminal, yang sudah melakukan dua kejahatan berat di luar kesadarannya, akhirnya dihadapkan pada dua opsi yang tidak menguntungkan. Berita mengejutkan bahwa penguasa yang menjadi penggerak utama, sekaligus orang yang duduk di posisi tertinggi di universitas itu tak lain merupakan ayah kandungnya sendiri, membuat Eren kehilangan akal. Dan ketika Eren kemudian dituntut untuk berdiri di posisi yang setara dengan Levi untuk melakukan pemberontakan besar-besaran di universitas tersebut, sebaliknya hati sang anak tidak bisa mendesak keinginan untuk melawan sang ayah.
.
.
.
ALTER
A Shingeki no Kyojin fanfiction by Raputopu
Shingeki No Kyojin/Attack on Titan © Hajime Isayama
warning: AU, ooc, typo, mature content
.
.
.
Part VIII: Eren
Levi memberitahuku bahwa aku baru saja menyerang seorang Kepolisian Militer di tengah malam. Bukan berita yang menyenangkan ketika aku baru saja terbangun dengan badan sakit di sepanjang tulang. Ketika aku bertanya, apakah aku menyakitinya, dia menjawab tidak.
Aku terbangun di kamarnya dalam keadaan mengantuk berat, padahal alam bawah sadarku menginformasikan bahwa aku sudah tertidur lama sekali. Pakaianku juga sudah terganti. Tubuhku terasa segar seperti sehabis mandi. Dan aku merasa energi di dalam diriku kembali lagi.
Levi sedang menyeduh tehnya di ujung sana, sementara tangan satunya membakar rokok, membelakangi, membiarkanku sibuk dengan diri sendiri. Jam sudah menunjukkan pukul 11 dan kami berdua masih terjaga, dan aku terperangkap dalam pertanyaan-pertanyaan tak terjawab yang menggaung di dalam pikiran.
Menyadari aku sedang memandanginya seperti seorang psikopat, Levi berkata, "Tidurlah. Besok banyak pekerjaan yang harus kita selesaikan." katanya, tanpa menoleh.
"Apa yang terjadi?"tanyaku getir.
Menarik napas, Levi terlihat sukar untuk melontarkan jawaban, namun akhirnya ia buka suara. "Banyak hal di luar dugaan yang terjadi akhir-akhir ini." Tangannya meremat lehernya sendiri, memijat-mijat pelan. Levi buru-buru menambahkan. "Dan itu bukan urusanmu."
Well, aku juga tidak minta mengurusi urusanmu. "Semoga beruntung." kataku, tidak menyadari nada bicaraku terkesan mencibir.
Mata Levi sontak mendelik ke arahku. Aku aku buru-buru balik badan, lalu menutup tubuhku dengan selimut. Berharap ia tidak menyilet bibir cerewetku.
.
.
.
Ini tidak biasa. Jauh di luar kebiasaan.
Bukan berarti aku tak berpengalaman dan bermental gadis perawan.
Tapi untuk kali pertama, mengalami peristiwa tidur satu ranjang… dengan seorang laki-laki pula, adalah memori yang cukup menarik, untuk menjadi bahan ejekan kelak. Bukan laki-laki biasa, yang normalnya akan tidur lebih cepat tiga menit dari dirimu. Biar kukatakan, dia adalah pria yang disegani oleh seluruh penghuni sekolah, mulai dari para staff pengajar sampai Polisi Milter, dan bisa membunuhku kapan saja.
Lalu, apa yang diharapkan oleh seorang mahasiswa angkatan satu seperti diriku di saat-saat ini? Tidur satu ranjang dengan seniormu? Membunuhnya diam-diam dalam tidurnya? Menganggap ini pengalaman memalukan dan membuat citramu semakin kurang jantan di kalangan wanita? Tidak, tidak. Aku yakin alasan Levi melakukan semua ini adalah sekadar formalitas, dari seorang senior ke junior, junior yang tak memiliki alas tidur. Aku yakin, penghuni asrama lain akan menerima perlakuan sama, bila mereka ada di posisiku. Dan aku yakin, dia bisa saja memerintahku untuk tidur di lantai keramik yang dingin, tanpa selimut dan bantal, seperti anjing yang diperbudak. Namun, Levi masih bersedia menunjukkan rasa belas kasihnya. Alih-alih di balik sikap diamnya yang menyebalkan, Levi memang tak pernah terlihat mengkotak-kotakkan teman-teman seangkatannya, toh, dia memang anti-sosial dan apatis, introvert tingkat parah pula.
Aku meringkuk seperti landak, menggeliat di matras seperti orang kelaparan. Aku tak mampu melihat wajahnya. Selimut berserat yang tipis dan berbulu-bulu kasar membungkus tubuh saling-membelakangi kami, dan hanya ada ruang udara selebar satu jengkal yang memisahkan kedua punggung yang membungkuk dalam diam.
Hujan di luar sana mengamuk, menerjang, dan menghantam atap seng tanpa ampun. Angin malam sedingin es menghunus ke dalam selimut, menyebar sampai kaki, menggigit kulitku. Aku mendekam kedinginan, menatap dinding kosong di depan mata. Kerasnya bunyi hujan membuat seluruh inderaku terjaga. Jariku meraba-raba, mencari ruang hangat yang tersisa di sepanjang lenganku yang terbuka. Hawa panas menjilat tengkuk, membuatku tidak nyaman, punggungku berbalik.
Dan aku mendapati wajah Levi di sana.
Kesalahan besar.
Tercekap napasku sendiri. Terlalu dekat. Aku terkesiap dan bergegas memundurkan wajah. Namun, kepalaku terbentur sesuatu, menarik, mengeretku seperti magnet. Dan aku menyadari bahwa itu adalah tangan Levi.
Hanya sentuhan menuntut di bibir, membawa deru napasnya yang hangat menerjang wajahku, menyatukan kami berdua, dan gejolak membara yang belum pernah kurasakan mengalir dalam tubuhku. Aku terkurung dalam tekanan otoritasnya. Gumulan pelan di sana membawa stimulan memabukkan. Saraf-sarafku tunduk pada superioritasnya. Hawa panas yang kini membakar dada dan perasaan tidak nyaman di kaki membuat pinggulku menggeliat tanpa sadar. Otakku berheti bekerja. Lambat-laun, Levi semakin menunjukkan kuasanya. Tangannya berlarian ke tengkukku, meremas dalam gerakan terkendali, menuntut lebih, hingga kemudian aku merasakan dada kami berdua saling bertemu, beradu gesek dalam himpitan panas dan deru napas ganas. Tensi itu semakin menjadi-jadi, ketika riak pelan denyut bibir agresifnya menghantarkan hangat yang menginjeksi getaran hingga ke tulang selangka, membuatku merinding, sampai aku merasakan kaki-kakiku membeku dan mati rasa.
Dominasi yang mengalir dalam tubuhnya tertangkap oleh mataku yang memburam, auranya mengalahkan kegelapan malam dalam bayang-bayang ambisi dan gemuruh kuasa, khas tirani, dan menyerang seperti prajurit perkasa, hingga gempuran itu terus dilancarkan, membuat tubuhku kian lemah, dan energi yang tersisa kini menjadi taruhan.
Perang. Perang besar dalam diriku sendiri, yang mati akibat gempuran hormon. Perang besar yang mendesakku, untuk mengerahkan seluruh kekuatan dan mempertaruhkan segalanya. Dan sia-sia. Walau bukan merupakan perang sesungguhnya, namun aku telah menemukan celah menuju jawabannya.
Aku telah kalah dalam peperangan itu. Aku telah kehilangan kekuatanku. Dan pada malam itu, aku membiarkan ia menjarah apapun yang ia inginkan dari diriku.
.
.
.
Kami berkumpul di Aula dalam bentuk barisan panjang dua puluh meter ke belakang, sepuluh menit setelah sarapan bersama.
Bersikap wajar, aku menaikkan kerah dan menutupi noda merah di leher. Kata Levi, itu ucapan terima kasih. Terima kasih apanya? Mau menggunakan tubuhku sebagai kepuasan pribadinya? Kalau itu, sih, namanya mengambil keuntungan satu arah tanpa melibatkan pelaku satunya. Dan bukan hanya di leher, putingku masih ngilu. Tubuhku kembali gemetar kalau mengingat gesekan kulitnya yang kasar. Serangannya terlalu menuntut dan memaksa. Mau melawan, malah diancam sodomi. Apa-apaan? Dan, tolonglah, pengalaman muncrat di depan lelaki, seorang senior pula, adalah pengalaman memalukan seumur hidupku, demi Tuhan.
Masing-masing almameter hitam kebanggaan sekolah, kami kenakan, yang kalau tidak rapi, maka kami akan diusir pulang ke asrama dan menyetrikanya sampai licin dalam waktu kurang sepuluh menit. Aku menghindari pelanggaran itu, yang kalau terjadi, maka aku akan bertemu Levi lagi, tidak, terima kasih—karena dia masih minta reka ulang. Fokus utama kami semua tertuju lurus ke arah podium—tepat ke arah tempat sang Komandan Upacara, Darius Zackly, berdiri melaksanakan prosesi. Kami semua berusaha memandang penuh konsentrasi dengan mata membulat sampai cairan bening di mata kami mengering, bertindak seolah menjadi tentara sungguhan, padahal sesungguhnya kami sedang takut pada Polisi Militer yang berjaga di tiap tiga meter barisan. Tentu saja, yang kedapatan tidak serius selama upacara prosesi pelepasan, akan dihadiahi besi setrum yang mencium punggung sampai terpanggang.
Di depan sana, di pinggir podium, berdiri kaku sambil membaca kertas di tangannya, aku melihat Pemimpin Kepolisian Militer sedang meneriakkan instruksi. Kata Levi, dulunya orang ini adalah mentornya. Tampangnya mereka sama-sama sangar, tapi bila diadu, aku sudah memilih duluan siapa pemenangnya. Kami spontan mengambil sikap istirahat, meneggakkan punggung, dan memasang telinga baik-baik—kalau kami tidak ingin dihajar dengan besi panjang di tengkuk.
Kedua jemari Zack saling bertautan, menunjukkan aksi superioritasnya. "Untuk mahasiswa semester satu," katanya, memandangi kami semua satu per-satu. "Kalian telah tercatat oleh forensik dan penyelidik, pernah melakukan beberapa pelanggaran keamanan dan meresahkan para warga. Laporan yang sampai di tangan kami, menyatakan kalian pernah melakukan setidaknya beberapa tindak kriminal, mulai dari yang ringan… hingga yang terberat."
Aku menggigit bibirku sendiri. Terima kasih sudah mengingatkan.
"Namun, nominal tidak berlaku di sini." kata si Komandan tua yang berjambang, dengan rambut beruban yang bergerinda seperti ilalang. "Selama kalian pernah melakukannya, kalian berhak berada di sini. Pendidikan yang kalian terima nantinya, akan sangat berbanding terbalik dengan apa yang kalian terima di sekolah. Kalian sedang berada di tangan ahlinya. Kalian tidak akan lagi menjadi sampah masyarakat yang menakut-nakuti warga Shiganshina, merugikan negara, dan menghancurkan masa depan kita semua. Kalian akan ditempa, dan dituntut untuk menjadi seorang pejuang. Seorang pahlawan yang baru. Karena potensi keberanian sudah ada di dalam diri kalian."
"Kau sudah menyiapkan semuanya, Professor?"
Suara serak yang berhembus di gendang telinga, menembus gaung mikrofon yang berdenging dengan suara lemah, sayup-sayup memasuki pendengaranku. Telingaku menangkap suara-suara lain di dalam ruangan itu. Berbeda dengan suasana prosesi yang hening. Ia berada jauh di belakang sana, tenggelam dalam bising gema yang berpantulan di dinding berkerak.
Itu suara Profesor Hanji. Bisikan pelannya bercampur aduk dengan kemerusuk mengganggu dari semut-semut di mikrofon. Aku tak perlu bertanya-tanya dengan siapa ia berbicara, karena tak berapa lama, aku mendengar suara mendenging dengan bunyi napas setengah-setengah, khas milik Profesor Pixis, yang menjawab dengan bisikan tak kalah mendayu.
"Ya. Apapun yang Erwin butuhkan di saat-saat terakhirnya."
Diliputi rasa penasaran yang menggelinjang sampai menembus tengkorak, kepalaku akhirnya berputar pelan. Aku melihat jauh belakang di sana, sosok Professor Pixis dan Professor Hanji sedang berdiri mengasingkan diri di sudut, terlihat seolah tengah berpatroli mengawasi kami. Alih-alih sedang berjalan-jalan dan melihat-lihat, sebaliknya, mereka nampak sedang mendiskusikan sesuatu, yang apapun itu isinya, tentang Professor Erwin.
Salah satu akhirnya menemukan jejak mataku. Bodohnya, aku tak langsung berpaling. Dan, dari tatapan tak wajar mereka yang membuat gigiku gemetar itu, aku sadar untuk tidak seharusnya menoleh. Aku langsung berpura-pura melupakannya.
Professor Erwin? Saat-saat terakhir? Apa yang sedang mereka bicarakan? Mengapa meraka tidak melibatkan Levi di sana?
Suara dari Komandan yang berteriak kencang kembali menguasai kepalaku.
"—sebaliknya, kalian akan menjadi seorang wira yang mempertahankan kota ini beserta seluruh isinya kelak! Kalian adalah pejuang-pejuang baru yang akan mengharumkan negera ini! Kalianlah masa depan kami! Dalam nama Shiganshina, hidup Universitas Scouting Legion!"
Kami semua menyeru serentak.
.
.
.
Kata Levi, ritual tahunan yang diadakan setiap kali dilakukannya penerimaan mahasiswa baru adalah: perpisahan dengan mahasiswa lama yang mengantongi predikat lulus. Para mahasiswa terpilih, katanya.
Mereka yang mengantongi poin-poin tertinggi selama terpenjara bertahun-tahun di sini. Para pemberani dan orang-orang kuat. Kredibilitas tinggi. Berotak cerdas. Penjahat yang bermain rapi. Kelak akan terbungkus dalam jas hitam dengan status terpandang di institut Pemerintah. Jaminan hidup mereka sepenuhnya akan berada di tangan penguasa. Bahkan sampai biaya hari tua, perencanaan masa depan, dan rencana-rencana emas, telah tersusun rapi dalam undak-undak menuju puncak kesuksesan kelak. Siapapun, tak terkecuali, bahkan mereka yang berada di luar gedung ini, akan merasa terhormat sekali bila berada di posisi tersebut. Membayangkannya saja membuat perutku melilit girang.
Tapi, tidak bagi Levi. Dia menolak emas dan jabatan. Yang ia butuhkan hanyalah kebebasan.
Sekitar ratusan nama dibacakan dalam rentang waktu yang membosankan. Aku butuh ranjang sekarang, minimal di pelukan Levi, tubuhku mulai lelah sekarang. Mereka yang dipanggil, maju ke depan, dan membentuk barisan panjang ke kanan. Pin tembaga berlambang tameng Universitas Scouting Legion disematkan di dada kiri mereka. Zack, selaku pemimpin Kepolisian Militer, bergantian menyalami satu per satu mahasiswa yang mengisi barisan kosong di podium.
Tidak ada tepuk tangan. Tidak ada riuh gegap gempita. Semua ekspresi penghormatan terbungkus dalam pandangan kagum. Kepala mereka terangkat percaya diri dan punggung mereka tegak kokoh. Sama sekali tidak ada ketakutan dan rasa gentar di sana. Dan kami memandanginya dengan rasa pesona.
Namun, aku tahu apa yang akan terjadi pada mereka. Kata-kata Levi kembali mengiang di dalam kepalaku.
Pembasmian penjahat lewat jalan pintas.
Pemenggalan. Pembunuhan. Pembantaian genosida antara pemerintah dengan penjahat kota melalui kedok pendidikan militer. Apakah mereka semua yang berdiri di depan sana dengan dada membusung bangga dan kepala terangkat menengadah angkuh akan menjadi bangkai begitu saja? Apakah seluruh poin-poin kebaikan yang mereka timbun selama bertahun-tahun itu akan terbayar dengan darah dan nyawa? Pertanyaan itu tak pernah terjawab oleh Levi, namun ia telah memberikan gambarannya.
Tanganku gatal untuk menggaruk informasi lebih dalam.
"Walaupun sisa umur mereka sepenuhnya akan dihabiskan dalam kerengkeng milik pemerintah, walau mereka harus melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh panglima tertinggi Shiganshina selama dua puluh empat jam, walau harus menjadi anjing pengawal kehormatan di sebelah kanan Raja, mereka tak pernah merasa diperbudak." Aku mendengar kisah itu dari Levi, di malam ia menyelamatkanku dari eksekusi mati.
Levi pernah berada di posisi itu satu kali. Aku tidak terkejut. Belum genap seminggu dan aku sudah menemukan sosok askar berbaju zirah di dalam dirinya. Seorang penjaga, seorang martir. Petarung tangguh dan sulit dikalahkan. Tembok kokoh, sulit diruntuhkan. Pedang tajam yang mudah menyabet putus leher musuhnya dengan sejengkal gerakan. Mesin pembunuh impian bagi setiap orang yang hidupnya terkurung dalam rasa was-was dan dihantui amuk balas dendam sang korban. Dengan kondisi di mana Raja idiot kami adalah seorang tirani haus kuasa dengan sederet daftar musuh yang selalu mengintai di balik tembok pembatas Shiganshina, Levi adalah alat pertahanan sempurna.
Dia memang pemberontak. Pemberontak berwajah dingin dengan sikap tempramental pasif. Hanya saja dia tidak banyak bicara. Tangannya lebih banyak bermain ketimbang mulutnya yang terkadang memuntahkan makian kotor. Satu dari sekian penjahat yang independen, hidup berdasarkan naluri dan insting. Hanya gedung abu-abu berlumut ini yang mengurung kebebasannya.
Well, dia tidak seburuk yang sebagian besar orang-orang cibirkan. Walau sembilan puluh persen memang benar. Namun, aku tak bisa menghakiminya begitu saja. Setiap penjahat memiliki latar belakang masing-masing yang membentuk mereka menjadi karakter yang tak disegani masyarakat. Dan Levi pasti punya alasan. Andai Levi bersedia, maka suatu saat aku akan menanyakan alasannya.
Aku tidak sadar ketika barisan di sebelah kananku berangsur-angsur memendek akibat lamunan. Gerombolan barisan kami yang semula padat memuakkan, kini terlihat renggang. Para mahasiswa di barisan depan perlahan-lahan maju meninggalkan barisannya, bergabung bersama para mahasiswa terpilih yang dipanggil namanya. Aku maju selangkah demi selangkah, mengisi barisan kosong yang menganga.
Lulusan tahun ini didominasi oleh Merah. Lagi-lagi bukan hal yang mengejutkan. Mereka terkenal dengan intelektualitasnya. Seperti Levi. Bukan seorang tipe kriminal yang hanya bermain-main dengan sisi jahat mereka. Setiap penjahat memiliki cara main sendiri dalam memenuhi ambisi. Dan masing-masing, pasti memiliki taktik untuk memenangkan kelulusan tahun ini. Aku sangat mengapresiasi usaha mereka.
Aku mencoba menghitung jumlahnya, namun terhalang oleh punggung-punggung tinggi yang menjulang. Saking dongkolnya, aku menyerong ke samping dan mengintip di balik punggung seorang senior.
"Psst!"
Pekikan bising itu menusuk telingaku. Aku menoleh, lalu mendapati wajah Petra yang merengut di sana, sibuk memberi kode agar aku kembali ke barisanku.
Melenguh sebal, aku menarik kepalaku kembali.
Aku memangkas waktu selama sesi pembacaan mahasiswa terpilih sambil menghitung dalam hati. Mengingat nama-nama mereka. Melihat siapa wajah-wajah baru yang akan mengisi sisi podium yang kosong dengan pose gagah. Aku membayangkan Levi pernah berada di sana. Pasti dia yang paling tampan.
Aku mampu mengingat sebagian nama dan berharap dapat terus mengingatnya sampai esok nanti. Aku mengingat nama-nama itu dengan seksama. Aku mencoba mengingat wajah-wajah mereka. Ekspresi mereka bahagia. Namun, rona itu tidak membuat hatiku menjadi gembira. Karena, setelah pelantikan ini, aku menjadi ragu. Khawatir dengan eksistensi mereka. Aku ragu dengan masa depan mereka. Mungkin saja setelah ini, nama mereka tidak akan lagi dikumandangkan di dunia. Dan mungkin saja tubuh-tubuh tegap itu tak lagi melindungi negara, melainkan hanya mendekam kaku di dalam peti mati di bawah tanah.
.
.
.
"Nama-nama baru yang kembali menghiasi batu nisan di pekuburan Shiganshina, huh?"
Aku nyaris tersedak napasku sendiri saat menyadari Kenny adalah orang yang berdiri sejajar dengan barisanku.
Dia berdiri malas-malasan, dengan posisi istirahat yang kacau, tulang-tulang kurusnya terbalut dalam seragam kebesaran, bola matanya yang cekung dan memerah terlihat terus memandang penuh konsentrasi ke arah podium, namun aku tahu, tidak ada fokus di dalam matanya yang menuju ke sana. Seringai samar mewarnai wajah keriputnya. "Kudengar ada lagi kematian pagi ini." sahutnya tanpa merasa bersalah.
Aku memberinya tatapan tajam. Aku harus menghindari orang ini.
"Untungnya kali ini bukan dari kalangan mahasiswa." Dia terkekeh. "Puji Tuhan, salah satu anggota kepolisian militer yang menjadi korbannya." sahutnya. Suaranya sedikit bergetar karena tawa, berusaha ditahan. Namun, aku menangkap maksudnya. Nada mencela dan curiga. "Si kanibal tak lagi pilih-pilih makanan."
Telingaku panas mendengarnya.
Aku menulikan telinga dari suara serak jeleknya. Mataku menatap lurus ke depan.
"Tahu apa yang baru di tahun ini?" Kenny kembali bertanya. Dan dia menangkap ekspresi rasa ingin tahuku, membalasnya dengan tawa pelan yang menyindir. Dia kembali melihatku sekali lagi lewat sudut mata yang sinis, menunggu pertanyaanku, namun yang kulakukan hanyalah membuang muka dan berusaha untuk tak melihat wajahnya. Menyadari aku tak menggubrisnya, ia melempar kembali tatapannya ke podium sambil mendengus senang. "Sidang mahasiswa yang tidak lulus malam ini akan dihiasi kematian, tahu." Dia mendecakkan lidahnya, melihat ekspresiku kembali. "Bukankah itu menarik? Media massa sudah menunggu di luar gerbang sejak tadi pagi. Akan ada banyak bunyi tembakan malam ini."
Aku menolehkan kepalaku tanpa sadar. Melotot ke arah wajah keriputnya.
"Bukankah menarik bila kematian seseorang yang ditunggu-tunggu… akan terjadi malam ini?" tanyanya, menyeringai melalui matanya. "Siapa orang yang paling diharapkan untuk mati di tempat ini?"
"Siapa yang sedang kau bicarakan?" sahutku tanpa sadar, suaraku bergetar, meyakinkan diriku sendiri bahwa aku salah dengar. Aku merasakan udara di sekitarku menipis. Dan angin-angin dingin mulai menyapu kulitku.
"Para pemberontak-pemberontak itu." jelasnya percaya diri. "Mereka yang kerjanya hanya merepotkan Kepolisian Militer. Tidak tahu aturan, membuat keonaran." Kenny menarik napas panjang, seolah-olah ikut prihatin.
Siapa yang dia maksud di sini? Dia menyindirku? Mengapa ia nampak seolah sedang menutup-nutupi sesuatu?
"Atau yang taraf kejahatannya sudah tak bisa ditolerir lagi untuk dibiarkan hidup." tambah Kenny, seolah-olah menyadari bahwa kemungkinan-kemungkinan yang bermunculan di pikiranku tidak cukup buruk untuk menjadi kenyataan.
Tentu saja yang dia maksud itu aku, dasar bajingan. Tunggu…
… Levi? Apa yang ia maksud adalah Levi? Aku berusaha menampik faktanya, namun, kemungkinannya sangat besar. Siapa lagi yang kematiannya paling ditunggu-tunggu di sini selain kematian seorang pembunuh yang sudah dibiarkan hidup selama bertahun-tahun? Apa yang paling pantas diterima oleh seorang kriminal kelas berat? Apa yang pantas Levi terima setelah menjalani hidup dengan tangan yang tak berhenti membunuh? Lidahku kelu, aku ingin memastikan siapa orangnya, bila saja si bandot tua ini tahu, tapi aku terlalu takut. Terlalu takut dengan jawabannya.
"Coba tebak siapa yang kepalanya akan dipenggal malam ini?" Desisan itu menampar wajahku.
"Si-siapa?" aku tak mampu menyembunyikan ketakutanku. Aku merasakan napasku menjauh dari tempo. Andaikan ini bukan di dalam prosesi upacara, maka aku akan memuntahkan makian pertanyaanku padanya, meyakinkan diriku sendiri bahwa bukan Levi orangnya.
Dan brengseknya, dia tidak berusaha menjawab. Hanya seringai yang menjadi jawabannya. Suara-suara yang berteriak di dalam kepalaku akhirnya tenggelam di dalam denging mikrofon yang menggema. Dan aku kembali mendengar suara Zack, mendominasi aula. Sejenak konsentrasiku teralihkan. "Kami, segenap pihak pengurus Universitas Scouting Legion, mengucapkan selamat pada kalian, para pejuang-pejuang terbaik, yang telah menunjukkan sikap keberanian dan perjuangan selama beberapa tahun terakhir. Harapan kami adalah, kontribusi kalian di negara ini kelak membuat pertahanan kami semakin meningkat dan meminimalisir kejahatan-kejahatan yang terjadi di kota ini. Kalian adalah kebanggaan bagi kami." katanya, memberi angguk hormat pada beberapa orang.
"Kalian telah dilahirkan untuk bertarung! Kalian dilahirkan untuk melindungi! Kalian dilahirkan untuk melawan pemberontakan, menentang demonstrasi, dan menghancurkan seluruh musuh! Bersama, kalian akan saling bahu-membahu demi masa depan Shiganshina! Tumpahkan darah kalian demi kedamaian negara kita!"
Bunyi sepatu yang dihentakkan serentak meledakkan ruangan. Punggung-punggung mereka diteggakkan. Dan tangan-tangan itu membentuk sikap hormat sempurna di depan dada kiri dengan posisi hormat.
"SIAP, PAK!"
Tinggallah aku di sana yang terkurung dalam pertanyaan-pertanyaan sulit di dalam kepala.
.
.
.
Lima belas menit waktu istirahat sebelum jam makan siang telah disedakan. Aku dikuasai rasa was-was. Aku berlari seperti orang kesetanan menuju asrama. Orang-orang memandangiku dengan curiga. Satu hal yang menguasaiku pagi itu hanyalah si pria pendek berpotongan tentara itu. Mendobrak pintu kamar Levi, seolah-olah dia tidak akan menendang wajahku karena aku merusak engsel pintunya, aku menyerbu masuk ke dalam.
Dan semua ketakutanku sirna saat melihatnya duduk di sana. Dia tengah menanggalkan bajunya, duduk di kursi pendek dan membelakangi tempat tidur. Levi terlihat sedang melilit perban ke lengannya sendiri.
Benar. Aku tidak melihatnya sejak upacara pagi tadi. Dia sudah berada di sini sebelum aku tiba. Dia pasti tidak ikut serta dalam upacara bodoh itu.
Dia tidak mengacuhkanku. Aku yakin dia tahu aku berada di sini, namun bibirnya terlalu kaku untuk mengucap sepatah-kata. Dia masih sibuk memelintir perban di tangannya, membentuknya menjadi kumparan-kumparan rapi yang membungkus otot lengannya, sementara jari-jemari mengepal, menunjukkan pegunungan trisep yang membatu. Punggungnya yang membungkuk membentuk kontur otot sempurna, walau itu tidak sedang berkontraksi, namun aku tetap dapat melihat jelas relief-relief otot kokoh yang siap bertarung di sana.
Aku menghampirinya pelan, nyaris tak terdengar, dan tak bermaksud hendak mengagetinya, atau tinju itu melayang ke hidungku.
"H-hei…" Canggung. Dasar bibir bodoh. "Sudah lama di sini, ya?"
Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir tipis mengerutnya, hanya ada tangan yang terus bergerak.
Aku berusaha mencairkan keheningan. "Bila aku tahu kau berada di sini sejak awal, mungkin aku tidak akan turun ke upacara membosankan itu. Duduk di sini. Kau tahu? Lebih enak nongkrong denganmu." kataku, berusaha membuat lelucon.
Namun, dia tidak tertawa dengan lawakan gagal itu. Menjawab saja tidak.
Kemudian tahu-tahu ia beranjak berdiri, sebelum aku mengira bahwa ia sedang bersiap-siap untuk bergegas pergi, dia bereaksi duluan. Aku memandangi kepergiannya. Dan ia bahkan tidak melontarkan kalimat sapaan apapun ketika menemukan sosokku yang berdiri grogi seperti badut di balik punggungnya, sekadar memaki kotor pun tidak. Bau sabun mandi yang segar tercium ketika ia mendekat. Ia segera beralih badan dan melintasi tubuhku begitu saja, seperti aku ini adalah portal kereta api berkarat. Aku mengamatinya sedang mencabut baju hitam yang tersampir di sandaran kursi, lalu dikenakannya baju itu tanpa berbicara apa-apa, dan ia menyampul kembali tubuhnya yang elok itu ke dalam balutan baju lengan panjang hitam suram.
"Jangan mencariku malam ini." katanya getir, melirik menusuk. Matanya terlihat jauh lebih mengerikan dari Mikasa yang sedang marah. Aku tak mampu berkata apa-apa lagi.
Mengapa? Aku melihat kesedihan di sana, namun aku tak mampu menggapainya.
Ia menyebrangi bahuku tanpa menoleh lagi. Meninggalkanku yang terperangkap dalam pertanyaan. Dia membuatku takut.
.
.
.
Levi menjadi aneh, dan perubahan emosinya yang drastis terlihat jauh lebih riskan dari gadis yang diserang hari periode. Aku khawatir dengan dirinya. Bila dia sedang ditimpa masalah atau kesulitan, minta bantuan padaku saja, aku siap membantunya kapan saja. Dia tidak perlu mengacuhkan diriku dan membuat diriku seolah tidak berguna. Dia sudah banyak membantuku selama ini, aku berhak memberinya balasan.
"Eren!" Suara itu memecah ruang makan.
Mataku teralihkan ke meja nomor dua dari depan yang terletak bersebelahan dengan jendela besar yang berdebu. Sasha berdiri sambil melambai-lambaikan tangannya dengan heboh. Sama sekali tak menghiraukan dua anggota Polisi Militer yang sedang berjaga tak jauh dari mejanya. Gadis itu menyediakan tempat kosong untukku. Di sekeliling mejanya ada lima mahasiswi Hijau dari Gedung Selatan.
Ketika gadis-gadis itu itu melihat ke arahku—tepatnya warna gelangku—mereka memasang tampang risih. Seperti melihat setan dari alam kubur, mereka langsung segera berpamitan dengan Sasha dan pergi meninggalkan meja itu bersama-sama, meninggalkan Sasha yang duduk sendirian dengan sepiring besar daging bakar. Sementara Sasha terlihat sama sekali tidak menyadari apa yang dikhawatirkan teman-temannya.
"Wah, lama tidak bertemu Eren. Ah, aku senang mereka tak membuat aturan soal meja makan, bayangkan jika kau hanya memakan sayur selama seminggu dan tidak boleh duduk semeja dengan temanmu! Hei, mengapa dagingmu sedikit sekali? Sedang mencoba diet, ya? Ya, ampun, Eren, kau itu sudah kurus! Untuk apa diet?"
"Tidak." Aku menggeleng pelan, mengambil tempat duduk di seberang kursinya. Mataku melihat ke arah piring—sehelai salad, sepotong daging anak ikan, sekepal nasi—dan ikut prihatin dengan isinya. Aku kembali mengingat Levi. "Aku… sedang tidak nafsu makan saja."
Sasha memotong daging sapi di hadapannya dengan ukuran besar.
"Oh, jadi, bagaimana kabarmu? Lama tidak bertemu."
"Um, baik." jawabku ragu.
"Err, ngomong-ngomong," Sebelum aku membuka suara, Sasha keburu memotongnya. Dia memasukkan potongan daging itu bulat-bulat ke dalam mulutnya. "Kau berteman dengan Levi, ya?"
Jariku berhenti memainkan nasi. Aku merasa lambung di dalam perutku melilit. Mengapa ia menyebut namanya? "Dari mana kau tahu hal itu?"
"Teman-temanku menceritakkannya." kata Sasha dengan mulut penuh. "Kau tahu? Mahasisiwi Hijau jauh lebih tukang gosip ketimbang infoteiment di televisi."
Aku mengernyitkan kening. Oh, ya? Jadi kisah kami sudah seperti cerita asmara artis di televisi?
"Semuanya bermula dari cerita Christa. Tahu, kan? Ketua asrama kami. Cewek yang dekat dengan ketua asrama Mahasisiwi Merah itu, Ymir. Christa mendapatkan cerita-cerita menarik tentang universitas yang membosankan ini darinya."
Ymir. Sepertinya aku mengenal dia. Wanita setengah lelaki yang mendiami Asrama wanita Merah. Bukan tipe wanita yang menyenangkan untuk didekati, tapi tidak buruk untuk diajak berteman.
"Ymir dekat dengan Levi, tentu saja." balasku pelan.
"Yeah, mereka sering melakukan pertemuan-pertemuan. Seperti hari ini. Lihat, kan? Dua orang penting itu tidak hadir di upacara pelepasan mahasiswa."
Ah, benar.
"Karena mereka sedang melakukan pertemuan di Ruang Rapat. Kau tahu, melakukan 'hal-hal yang biasa dilakukan ketua asrama'."
Aku menggigit seledri dengan bunyi berisik, mengunyah sambil berpikir. "Oh, ya? Memangnya apa yang mereka lakukan?"
"Sebuah pertemuan rahasia." bisik Sasha misterius. "Christa bilang, Ymir, Levi, dan seluruh ketua asrama akan menghadiri upacara pemakaman pagi ini."
Dahiku mengernyit dan gigiku berhenti mengunyah."Upacara pemakaman? Upacara pemakaman siapa?" tanyaku. "Marco? Bukankah itu sudah dilakukan kemarin?"
Sasha menghela napas. "Siapapun yang dimakamankan hari ini, dia bukan Marco." jawabnya. "Dan bila kau bertanya apakah aku mengenal siapa orang di peti mati itu, maka aku akan menjawab tidak. Dan intuisiku mengatakan, entah kau dan aku, sebaiknya kita tidak usah tahu soal itu."
Sayangnya, aku sangat ingin bertanya.
"Ah, dan kau tahu satu hal lagi, Eren? Aku dengar-dengar ada pembunuhan yang dilakukanterhadap Polisi Militer pagi ini."
Telingaku bagai tersengat listrik. Sontak nafsu makanku menghilang.
Berucap santai seolah-olah kalimatnya barusan tidak memberi efek hantaman keras pada kepalaku, Sasha kembali bersenandung pelan. "Aku harap pelakunya segera ditemukan," kata Sasha, kembali memasukkan potongan daging ke dalam mulut penuhnya. "dan ia dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya."
.
.
.
Sasha terlalu polos, sampai-sampai tidak menyadari bahwa penyebab utama daging ikan super kecil di piringku itu tidak habis adalah akibat ucapannya. Pikiranku kembali melayang ke Levi. Dia kembali tidak terlihat di upacara lanjutan. Aku kali ini tiba di tempat upacara jauh lebih awal, dua puluh menit lebih cepat dari jadwal dan menghitung ada berapa Mahasiswa Merah yang masuk ke ruangan.
Namun, pencarian dan kesabaranku berujung sia-sia, pasalnya sosok yang kucari masih belum ditemukan. Dia tidak ada di kamar. Tidak ada di toilet. Tidak ada di taman. Tidak ada di manapun.
Upacara ke dua dilangsungkan petang hari, menjelang malam, dan suasana di sekitar kampus terasa amat dingin. Udara malam mengamuk lebih garang dari hari-hari sebelumnya. Saat memasuki pelataran aula, aku melihat langit dikerubungi awan hitam. Angin ribut pertanda badai mulai mengambil ancang-ancang dari ufuk Barat. Aku hanya berharap saat pulang nanti, kami tidak kehujanan.
Kami kembali berbaris memenuhi aula. Berbaris sesuai urutan sebelumnya. Lima menit setelah upacara dibuka, aku melihat Sang Komandan upacara berjalan dari sisi panggung, kemudian berdiri di tengah-tengah podium.
Sesuai rumor yang ramai beredar tadi siang di seputar asrama, mulai tahun ini akan diadakan pengumuman mahasiswa yang dinyatakan tidak lulus, yaitu mereka yang diputuskan berada di posisi tidak aman, tidak pantas untuk berada di sini lagi, sudah tidak bisa ditanggulangi, tidak bisa dimaafkan lagi. Terutama bagi si pelaku yang melakukan kejahatan-kejahatan berat, baik di luar universitas, maupun di dalam gedung. Kabar yang berhembus mengenai hukuman yang akan dilaksanakan kali ini adalah prosesi hukuman mati. Mereka akan ditembak mati di tempat. Dan itu sangat tidak manusiawi ketimbang menyiksa kami seharian di penjara dengan delapan puluh cambukan di punggung. Aku berusaha memastikan bahwa isu itu hanya kabar burung belaka.
Suasana di balik dinding-dinding abu-abu terasa sangat pengap. Denging keheningan membakar seluruh mahasiswa yang terlibat. Kami terperangkap dalam rasa takut diri kami sendiri. Sesak yang menyeruak ke permukaan saat mengetahui bahwa hidup dan matimu berada di tangan orang lain, yang sebenarnya bahkan tak pantas untuk memegang takdirmu, membuat nyali kami menciut. Ada sekian lusinan nama yang dibacakan pertama kali.
Angel Aaltonen.
Boris Feulner
Luke Siss.
Ian Dietrich.
Mitabi Jarnach.
Mereka yang terpanggil namanya, menyeret langkah, berjalan maju ke barisan terdepan. Di sisi kanan dan kiri, mengawal dengan ketat, dua Polisi Militer yang memegang senjata, mendorong punggung mereka agar berjalan lebih cepat.
Waktu berjalan sangat lambat. Puluhan nama telah diumumkan resmi akan dikeluarkan dari daftar mahasiswa Universitas Scouting Legion. Tidak ada wajah ketakutan dan rasa gentar di sana. Dua belas Polisi Militer yang telah ditugaskan, berdiri di hadapan mereka, menyiapkan senjata, masing-masing sedang membidik target yang telah ditentukan. Sejumlah staff medis berdiri di seberang kami, menunggu di sudut, dengan ratusan kantung mayat yang telah disediakan.
Tidak ada yang berusaha melawan. Tidak ada yang berusaha menghentikan.
Aku berharap desas-desus itu hanya lelucon belaka. Tidak akan yang dieksekusi mati hari ini. Aku berdoa dalam hati. Namun, guncangan itu semakin menjadi-jadi. Ketakutan itu meletup-letup menghantam dadaku, mendobraknya, dan membuatku sesak. Dari sekian ribu nama yang kemungkinan menjadi mahasiswa tidak beruntung itu, hanya nama Levi yang terus menggaung. Aku tak ingin kegelisahanku menjadi kenyataan, namun entah mengapa teror itu tengah menari-nari di depan mata. Levi. Dia memang pantas berada di sana, kalau ditinjau dari catatan pelanggarannya. Namun, Levi bukanlah orang yang tepat untuk mati dalam cara seperti ini.
Akhirnya tiba pada baris nama paling akhir. Jantungku seakan mengecil dan menghilang dari tempatnya sampai bunyi detak itu melemah. Sang Komandan memberi pengumuman sebelum ia mengakhiri pembacaan nama ini. Kami telah mati duluan dalam rasa kecemasan dan horor. Aku menelan bulat-bulat rasa ngeri itu dalam diam.
Pemimpin upacara berdehem, membersihkan tenggorokannya, kami menunggu-nunggu, kemudian ia membacakannya dengan lantang agar seluruh mahasiswa di ruangan itu bisa mendengar suaranya. Tidak terkecuali. Aku mendengar dengan seksama, menulikan telingaku dari segala suara selain bunyi dari mikrofon itu.
Bagai sebuah palu godam raksasa menghantam dadaku. Aku sekarat dalam rasa takut di dalam diriku sendiri.
Kalimat itu akhirnya membahana, aku mampu mendengar jelas kata-katanya. Suaranya terdengar seperti datang dari tempat yang sangat jauh. Namun, itu fakta, dan aku tidak mampu berpaling ke arah lain.
Aku berharap aku salah dengar.
Aku berharap dia salah membacakan nama.
Aku berharap semua ini tidak nyata.
Karena satu-satunya nama yang mampu kucerna dalam kesunyian adalah nama Levi yang digaungkan dalam keheningan. Levi. Levi. Levi.
.
.
.
Aku merasakan lambungku amblas ke tanah. Aku berusaha menarik napas, menghembuskannya kembali. Tidak. Ini tidak berhasil. Sebuah batu besar seakan-akan menahan dadaku. Aku berusaha mengingat bagaimana caranya bernapas. Namun, dampaknya menghantam seluruh dinding paru-paruku. Aku kesulitan bicara. Aku benar-benar tertegun sebagaimana nama itu terpental-pental di dalam tengkorakku. Levi. Levi. Levi. Sisa-sisa kesadaran menghantam wajahku. Aku harus menemukan dia sekarang! Aku harus mencarinya!
Mataku nyalang menjadi keberadaannya, di tengah barisan orang-orang. Namun, aku tak menemukannya. Dia tidak ada di sana. Dia juga tidak terlihat sedang berjalan menuju podium. Dingin menyeruak dari kaki hingga pinggang, aku merasakan mati rasa. Keberadaannya nyaris seolah tenggelam dalam perut bumi.
Aku mendengar bisik-bisik orang di sekitarku, mempertanyakan hal yang sama. Ke mana dia? Berada di mana ia sekarang?
Namun, sampai sekarang Levi masih belum tiba. Mereka mulai mencari-cari keberadaannya. Aku pun demikian.
Semua perhatianku teralihkan begitu mendengar bunyi tembakan, disusul teriakan wanita. Bunyi daging jatuh, dan serbuan beragam komentar seketika memenuhi ruangan.
Aku melihat satu mahasiswa telah jatuh ke tanah. Darah merembes dari kepalanya. Beberapa tim medis menghampiri, menariknya ke pinggir.
Disusul tembakan kedua. Jantungku merosot.
Ternyata itu memang benar. Mereka akan melakukannya malam ini.
Aku mendengar teriakan wanita di mana-mana. Mereka menangis, meraung-raung menangisi sahabatnya, sampai beberapa orang berusaha menenangkannya. Beberapa Polisi Militer sampai turun tangan, mengancam akan melepaskan tembakan bila mereka tidak menjaga ketengangan.
Tembakan ketiga dan keempat sudah dilepaskan.
Aku merasakan tubuhku akan ambruk ke tanah.
Keributan semakin melanda di mana-mana.
Seru-seruan protes menggaung nyaring di baris belakang. Aku mendengar amuk protes berkumandang di mana-mana. Dengung keributan seketika membahana di lapangan. Dua mahasiswa terlihat berlari ke daerah penembakan, berusaha menyerang seorang polisi militer dengan wajah memerah karena marah, sebelum keduanya akhirnya ditembak di bagian kaki dan jatuh ke tanah.
Namun, prosesi itu terus dilangsungkan. Ketika tembakan kelima dimuntahkan, barisan terdepan menerobos maju dan berusaha menghentikan Polisi Militer. Beberapa anggota keamanan mulai turun langsung ke barisan, memuntahkan tembakan-tembakan sporadis ke dinding-dinding dan mengintimidasi kami. Namun, barisan di belakang terus memprovokasi dan membakar atmosfer dengan dorong-dorongan. Suasana menjadi kacau balau. Benteng terdepan Polisi Militer beradu kokang senjata. Para mahasiswa mencoba menyerang dengan tangan kosong.
Di kanan dan kiriku para mahasiswa berlarian. Aku tidak bisa melihat dengan jelas.
Levi. Di mana dia sekarang? Aku harus mencari Levi.
Kakiku melangkah mundur, aku berlari menghindari kerumunan. Tanpa banyak berpikir, aku langsung berlari ke luar.
.
.
.
Satu hal yang mendarat di pikiranku adalah, mengapa Professor Erwin membiarkan ini semua? Mengapa ia membiarkan mereka menulis nama Levi di sana? Apa kini mereka bermusuhan? Apa hubungan di antara keduanya renggang? Mengapa dia sampai tega membiarkan sahabatnya mati di tangan para diktator itu?
Apa yang menjadi tujuan utamaku sekarang adalah, aku harus menemui Professor Erwin sekarang. Dia pasti mengetahui soal kejadian ini. Dia tidak mungkin membiarkan Levi berada di sana! Pasti terjadi sebuah kesalahan! Professor Erwin tidak mungkin membiarkannya! Pasti ada diplomasi tersembunyi di balik eksekusi ini!
Aku menghindari daerah-daerah riskan yang diawasi Polisi Militer, berlari menyelinap, menemukan jalan menuju Gedung Pengajar. Kakiku berlari menaiki tangga, menerobos lorong, berbelok menuju ruangannya.
Aku menemukan pintunya tertutup. Tanpa berpikir panjang aku mendobrak dan membukanya.
Napasku memburu. "Professor Erwin—"
Lidahku membeku. Aku tidak melihatnya di sana. Ruangannya bersih. Seluruh perabotan telah digotong pergi. Segalanya kosong. Hanya ada sebuah meja peninggalan miliknya yang masih tersisa. Dan meja itu tidak sendiri.
Sesosok pria berdiri di dekat jendela. Dengan setelan jas lengkap dan gestur inferior yang mengeluarkan aura ancaman. Rambut cokelatnya terbelah di tengah, dengan siluet janggut dan kumis yang beruban. Aku tertegun.
Seluruh dunia di sekitarku berhenti berputar. Telingaku tak mendengar apapun. Kosong, tidak ada, selain suara serak yang sudah lama menghilang bertahun-tahun dari kehidupanku.
Dia akhirnya menyadari kehadiranku. Mata cokelat di balik kacamata itu menyambutku dengan suara yang sudah tidak pernah kudengar selama bertahun-tahun.
"Bagaimana kabarmu, Eren?"
Di sana, ayah menyambut kehadiranku, namun suasananya tidak seperti dulu lagi.
.
.
.
"Ayah, katakan bila kau tidak melakukan ini semua?" Dari semua ketakutan, rasa tidak percaya, sedih, gentar, kelumpuhan, hanya pertanyaan itu yang mampu meluncur dari bibirku yang bergetar. Aku berusaha seolah tidak terjadi apa-apa, seolah-olah fakta bahwa dia adalah pemilik Universitas ini tidak membuatku segan dan tetap menganggapnya sebagai ayahku sendiri.
Fisiknya masih sama. Dia masih ayah yang kukenal. Wajahnya tidak akan pernah kulupakan. Namun, jiwa di dalamnya kini tidak lagi sama. Dia memandangiku dengan cara yang berbeda.
"Melakukan apa? Banyak hal yang kulakukan di tempat ini sampai tak bisa kuingat semuanya."
"Berusaha membunuhku, membunuh yang lain, membunuh Levi!"aku nyaris berteriak.
"Apa si keparat itu sudah mencuci otakmu?"
"Tidak! Aku tidak perlu mendengar ceritanya! Aku melihatnya sendiri dan aku mengalaminya! Katakan padaku bahwa bukan ayah yang meminta eksekusiku pada hari itu!"
Ayah memandangiku dengan tatapan tajam, sebelum kemudian berkata. "Itu tidak sepenuhnya sebuah kesalahan."
Aku merasa kakiku hanyut ditelan bumi. "Ayah…" Tidak. Air mata sialan. Jangan menangis sekarang. "… Mengapa… "
"Kehadiranmu terlalu berbahaya bagi kami semua. Kau, adalah sebuah kesalahan terbesar dalam hidupku. Dan untuk memperbaikinya, aku harus mengulang dari awal. Kau dan teman-temanmu, bukan partner yang baik."
"Omong-kosong!" aku meraung. "Ayah, ingatlah aku! Dan ingatlah Ibu…" Suaraku kian melemah. "Dia telah meninggal… Apa Ayah tidak sayang Ibu?" Sesak ini semakin membakar dadaku, melahap kekuatanku. " I-ibu menyayangi kita semua. Tapi mengapa Ayah meninggalkan Ibu? Mengapa Ayah membuat Mikasa dan aku harus berada di sini? Mengapa Ayah tega?"
"IBUMU MATI KARENA KAU! KAU ADALAH PENYEBAB SEMUA INI! KAU YANG PANTAS MATI!"
Aku terenyuh. Tidak ada yang kata-kata. Kakiku mati rasa. Jadi itu memang benar?
Ingatan-ingatan buram berkelebat. Aku terkurung dalam memoriku sendiri. Aku merunduk dalam ingatanku sendiri. Sore itu, hujan lebat, angin kencang, dan segalanya gelap. Aku terbaring sakit. Hanya ada Ibu di sana. Tidak ada Mikasa. Dia sudah berada di sini jauh-jauh hari. Hanya ada Ibu. Aku meringkuk kesakitan. Namun, Ibu berada di sana. Petir menggelegar dan aku mengurung diri dalam selimut. Ibu menenangkanku. Aku ketakutan. Bayangan Ibu memburam. Lilin di rumah kami padam. Dan kesakitanku membludak ke ubun-ubun. Aku tak bisa menahannya lagi. Aku mendengar Ibu memanggil-manggil namaku, namun aku tak lagi mendengar. Suara Ibu tenggelam dalam raungan badai.
Dan sesuatu mengambil alih tubuhku.
Bagai jatuh dari pohon yang tinggi dan punggungku menghantam batu dengan sangat keras, begitulah keadaanku sekarang. Aku nyaris mati dalam sesakku sendiri. Aku merosot dalam rasa bersalah.
Benar. Jadi itu memang benar. Memang benar bahwa aku yang memakan Ibu malam itu. Akulah penjahatnya. Aku yang pantas mati. Aku memang pantas berada di sini.
Ayah benar.
Aku memang pantas mati.
Ruangan kini dipenuhi berlusin-lusin Polisi Militer, namun aku tidak dikuasai oleh kesadaran penuh, mereka menyerangku hingga pertahanku runtuh. Senjata-senjata ditodongkan ke depan wajahku. Mereka membentengi sekelilingku dengan senjata, membatasi diriku dengan barikade pertahanan mereka. Kedua tanganku terkunci di balik punggung. Seseorang di belakang punggungku dengan cepat memborgol kedua tanganku, lalu menekuk kakiku menghantam tanah. Mulutku dibekap sebuah tangan yang besar, lalu ia memasang sebuah aluminium berbentuk masker di wajahku, menguncinya di tengkuk, membuatku sulit bernapas. Aku terkunci sangat ketat. Tak bisa menggerakkan apapun. Kaki, tangan, punggung, dan leherku ditahan oleh beberapa tangan yang mencengkram kuat-kuat, hingga aku dapat merasakan jari-jariku mereka menembus kulitku.
Aku tidak melawan. Air mataku tumpah. Aku menjadi lemah karena diriku sendiri.
Samar-samar, aku mendengar suara Ayah dari kejauhan.
"Ingatlah, Eren. Apapun yang terjadi, dosamu akan selalu ditanggung oleh dirimu sendiri. Namun, aku akan mempermudahnya. Membuatmu menebus dosa lebih cepat dari seharusnya."
Kepalaku berdenyut sakit.
Benda tajam seperti jarum tajam tiba-tiba menginjeksi punggungku, dan aku merasakan seluruh tubuhku panas, menjalar cepat hingga ke ujung-ujung jari. Sendi-sendiku kaku seketika, sebelum aku merasakan punggungku layu. Pandanganku memburam, kakiku tenggelam dalam mati rasa dan kesadaranku menghilang.
.
.
.
Panas membakar perutku. Pedih menyayat pinggang hingga leher. Benda keras menghantam perutku. Kesakitan-kesakitan itu terus mendera, bahkan hingga aku tak mampu berteriak. Kedua tanganku ditahan pada dua pilar besi. Aku merasa sangat ketakutan.
Aku merasa sendirian.
Entah mengapa aku merasa sangat pantas mati di hari itu.
Aku membutuhkan Levi, namun ia tidak berada di sana.
Kemudian tirai itu terbuka.
Dihadapanku berdiri beratus-ratus penghuni Universitas Scouting Legion yang terkurung dalam berbagai macam emosi ketakutan yang tak terbaca. Mereka sedang berdiri, meringkuk ketakutan di sudut-sudut dinding, dengan senjata-senjata yang diarahkan ke kepala mereka. Beberapa terlihat sedang ditendang habis-habisan, walau ia sudah terkapar di lantai dengan darah bercecerah, namun serangan bertubi-tubi terus dilancarkan. Beberapa lainnya terlihat sedang diseret seperti binatang oleh Polisi Militer dengan keadaan tidak sadar, dibuang begitu saja di sudut dinding. Sisanya sedang merong-rong dalam gerombolan ramai dan mereka dikepung oleh sejumlah petugas bersenjata. Aku mendengar desing bunyi peluru-peluru yang ditembakkan berkumandang. Suara teriakan di mana-mana. Beberapa dosen berusaha melindungi mahasiswa mereka, namun mereka juga diserang dengan biadab oleh para Polisi Militer.
Aku akan dibunuh malam ini juga. Di depan kumpulan mata-mata yang kini sedang menatapku keheranan dan ketakutan, walau mereka sedang berjuang. Namun, aku siap. Aku pantas menerimanya. Aku memang pantas mati.
Suara-suara itu tiba-tiba meluap, berangsur menjadi keheningan. Seseorang hadir dari barisan belakang. Dia datang membawa pisau. Dan membuat seluruh penghuni ruangan terdiam.
Aku melihatnya berjalan tenang, sementara beberapa Polisi Militer langsung terlihat siap siaga.
Tidak ada yang berusaha menghentikannya.
Apakah selalu seperti itu?
Di antara caruk-maruk itu, aku mendengar suaranya. Suaranya jauh lebih merdu dari nyanyian pendeta di bawah bulan.
"Butuh lebih dari seratus tentara untuk mengalahkannya.
Butuh lebih dari seribu jiwa-jiwa pemberani yang mampu mengalahkan kekuatannya.
Butuh lebih dari jutaan nyawa yang mampu menembus pertahanannya.
Tidak mudah dibinasakan. Tidak bisa dihancurkan.
Dia jauh lebih berharga dibandingkan kalian, sampah-sampah tak berguna.
Dia tidak pantas menerima kesakitan dari tangan-tangan kotor. Dan bila satu orang menyakitinya, aku akan membunuh orang itu beserta kawanannya."
Dia di sana.
Ya. Tepat di sana.
Akhirnya aku menemukannya. Ah, lega rasanya. Namun, aku lupa apa yang ingin kutanyakan pada dirinya.
Apakah itu soal Erwin?
Atau soal ciuman di malam itu?
Atau soal alasan kebaikannya selama ini?
Namun, aku rasa semuanya tak perlu dipertanyakan lagi. Tidak akan ada lagi.
Sebelum mati, bisakah kusampaikan bahwa aku mencintainya?
.
.
.
Next:
Part XI:Eren
A/N : Haha. Jangan jebloskan saya ke Universitas Scouting Legion, Kawan-kawan. Belum lagi kasus chapter yang saya hapus itu—ah, sudahlah. Ada plot hole di chapter ini, yang sebenarnya berhubungan dengan chapter yang saya hapus itu. Karena, di saat Eren bilang Levi tiba-tiba menghilang, di chapter itulah Levi sebenarnya berada. Ada yang ingat chapter itu? Karena itu sudah lama sekali.
Sebelumnya, saya ingin menuturkan maaf sebesar-besarnya bagi yang menunggu cerita ini. Bagi yang lupa, wajar saja. Hahaha. Bukannya tidak bertanggung jawab (sebenarnya alasan itu juga termasuk), tetapi pekerjaan saya tahun ini lambat-laun mengikis kebebasan saya :') nb: Curhatan nggak penting, jadi abaikan saja.
Dan mari kita menjawab bersama-sama review baik hati yang sudah masuk ke inbox (dan mengingatkan saya akan kejaran hutang ini).
nyancatfangirl: romensnya diperkuat, yes. Mau ini gore atau main darah-darahan, romens-nya tetap harus ada. Walau romens dalam hitungan dalam versi saya minimal harus ada yang jadi tumbal dulu (plak)
minri: makasih, ya, udah baca cerita ini. Halangannya ternyata banyak dan baru kesampaian update sekarang. Haha.
kyuminloid: Levi kalo nggak serem, berarti antara dia mendadak OOC, atau kepalanya kebentur :') Levi kan suka darah Eren. Bukan, sayangnya dia bukan vampire atau siluman nyamuk. Padahal kalau menjelma jadi dua makhluk itu kan lumayan (slapped)
kim arlein 17: Levi bukan pembunuh elit biasa, tentu saja Udah mulai dapat gambaran siapa sebenarnya Levi ini? Iya, hahaha. Entah mode kanibal atau mode normal, Eren pokoknya harus nurut sama Levi.
Typeacety95: Sasha nggak sama kayak Eren, kok, kecuali nafsu makannya :') Yang kemaren itu semi-kiss, belom nyampe bibir, leher doang :') Lemon? Nanti, ya, tunggu mereka berdua selamat sentosa dan bebas bersenggama kapan saja :') (woy)
Seijuurou Eisha: Pukpuk Levi karena ditinggal sahabatnya. Aduh, Levi udah frustasi ini, tapi ditahan-tahan :') Lah, makan daging aja, nggak papa. Hahaha.
widi orihara: Khusus daging mentah yang dimakan sama Levi atau Eren, iya, pasti enak. Aduh, itu memang typo memalukan :') Makasih udah diperiksa.
rururei: Bokap Eren kejem di sini doang :') Di manga, kejem juga, sih. Eren makan ibunya sendiri? Iya :')
kim . ariellink: Yep, Levi juga 'sejenis' kayak Eren :') Makasih fav-nya.
digimonfan4ever101: Ini apaan Uncle Kenny dateng ke kamar cuman buat cie-cie-in ponakannya? X"D Their live such a big drama. Hahaha (evil laughs). Nyicip-nyicipan tubuhnya ntaran aja kalo gedungnya udah runtuh dan nggak ada lagi yang bisa misah-misahin mereka buat ber-anu x")
digimonfan4ever101(2): Yess, balas dendam, dong. Iya, mestinya Erwin ninggalin dulu mas kawin ke Levi buat ngelamar Eren. Hahaha. Itu jilat-jilatan doang, kook :') Saling bertukar-darah x")
Yuuchan: Ini sekolah apa restoran, yak? Isinya makan doang, hahaha :'D
Kuro Kisaragi: Ternyaaata… dia orangnyaaa.
Hayasaka Kairi: Iya, ini udah dilanjutin, ya :)
Yaoumi.S: Aku juga suka Sasha, walau lebih suka Ymir, walau lebih suka Levi (disantet). Kalau Levi galau, mainannya kepala putus ya :') Dijadiin kenang-kenangan yang menyakitkan.
allsundayjaegerjaquez: Tapi, mudahan Erwin yang di manga nggak berakhir kayak Erwin yang di sini, ya :"D
Guest: Iya, ini udah di-update
Nagi Sa Mikazuki Ananda: Makasih banyak, ya Makasih juga dukungannya.
nyancatfangirl (from missing chapter): Iyaaaaa, aduh, ini kritikan yang nampar banget supaya tersadar dan bangun dari masa-masa kritis itu, makasih banyak :""* setelah baca ini, saya langsung merasa bersalah dan nge-delete loh. Dan kritikan sarannya sudah saya cerna baik-baik dan dicoba untuk dilaksanakan. Mudahan yang ini nggak mengecewakan, ya :"*
minri: Maaf kalau mengecewakan, ya :')
Dark Kitsune 9: Wah, pernah ngerasain jadi kayak Levi yang ngetuain asrama? Di-share dong pengalamannya biar referensi saya makin banyak x")
Seijuurou Eisha: Iya, mari berkabung dalam nama Erwin dan kejatuhan Alter :')
Kenozoik Yankie: Selamat bertemu dengan OTP baru! Makasih ya sudah baca Alter.
Michelle Aoki: Hahaha. Makin dark makin asik. Iya, Erwin malang :') Makasih ya sudah baca Alter.
karinken: Aduh, makasih ya udah baca Alter :') Perbuatan Eren pada sang emak udah diceritakan di sini, ya :') Iya, ini udah dilanjutkan
raineSkyfall: Makasih Makasih ya sudah baca Alter.
Guest: Makhluk pemakan manusia? Sort of :') Makasih ya udah baca Alter.
alfa . yuan: nggak serem, kook :') cuman agak nggak-hepi aja gitu ceritanya (plak) Makasih ya sudah baca Alter.
J J-Alra: Makasih ya udah baca Alter
ichigoStrawberry-nyan: Sifat Eren disimpan dulu ya kebenarannya :) Grisha mah orangnya gitu (plak)
kim Yesazukii: Eren sama Levi 'sejenis', kok :') Wah, makasih, yaa. Makasih udah baca Alter
Ryu: Lupakan soal toilet x") Di situ kadang saya juga merasa sedih. Tapi, setelah goyang dumang dan ngerasain sakitnya tuh di sini, akhirnya saya update juga. Saya mah gitu orangnya x")
Yunis: The Exorcist, Human Centipede, Hannibal, SAW, oooh, yeess Ayo, mari sini, masuk USL bareng saya (plak) Dan, benar bahwa segala yang terjadi di sini murni jorok, surprise :'D Eren masih 'di-rape' di pundak, beluum, belum di-rape yang sesungguhnya. Hohoho. Potongan flash back Eren pasti bakal dimunculin tiap chapter, kok Makasih ya udah baca Alter.
yeongwonhii: Aduh, ini lelucon 'ntar malem'-nya masih bikin saya ngakak :') Levi kanibal? Sort of Daging yang dimakan Sasha daging biasa aja, kok, haha. Makasih doanya. Sudah terkabul, nih :') Makasih ya sudah baca Alter.
YehetYehet: Yes, setelah sekian lama, hoho. Iya ini udah 7 bulan, tinggal brojol doang :') Makasih ya udah baca Alter.
Makasih juga bagi yang sudah memfavoritkan dan mengikuti fanfik ini.
Dan saya juga ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya bagi kalian semua yang sudah berkontribusi dalam fanfik ALTER, yang telah mendukung dan menominasikan fanfik ini ke dalam Indonesian Fanfiction Awards 2014, dan memberi sumbangan voting sehingga ALTER bisa memenangkan 2 kategori sekaligus, sebagai Best Gore Multichapter dan Best Crime/Mystery Multichapter pada ajang Indonesian Fanfiction Awards 2014! :") Tanpa kalian, mungkin fanfik ini udah terdampar di tumpukan draft-draft saya tanpa dipedulikan oleh penulisnya dan tidak dilanjutkan sampai sekarang, aduh, terharu :"")) (pelukin satu-satu)
Oh, ya, tambahan lagi. Bagi yang sudah membaca ALTER, baik yang udah ngikutin dari awal, maupun yang baru-baru aja masuk ke dunia ini gara-gara kesalahan teknis (misal salah klik fanfik), atau yang iseng-iseng baca untuk memangkas waktu, bolehkah saya minta izin untuk meminta pendapat?
-Mengapa kamu suka membaca ALTER?
Udah, itu aja :')
Terima kasih sudah membaca. Sampai bertemu di part xi.
Sign, Rapuh