Part I: Eren

Namaku Eren.

Aku berjalan menerobos lorong lobi Universitas Scouting Legion yang diterangi lampu neon dengan bunyi korslet pelan di tiap kedipan. Langit-langitnya didesain rendah dengan pipa-pipa pendingin berkarat yang melintas tidak karuan. Bulir air yang merembes melalui sela-sela pipa penyambung terus menetes statis dan membuat genangan kecil di beberapa tempat. Bunyi dentuman langkah sepatuku dapat terdengar jelas menggema konstan di balik dinding keramik yang berlumut dengan warna kehitaman. Almameterku terasa sepuluh kali lipat lebih dingin dari biasanya. Ranselku juga terasa berpuluh-puluh kali lipat lebih berat dari seharusnya.

Aku dapat mendengar jelas detak jantungku yang memompa cepat pada saat ini. Setidaknya aku berharap dapat terus terjaga hingga beberapa jam ke depan, atau beberapa bulan ke depan.

Di ujung lorong, terdapat tiga orang mahasiswa yang sedang berdiri menunggu giliran. Berdiri di sebelah pintu aliminum dan bertugas mencegat para mahasiswa tersebut agar tidak masuk, adalah petugas berkepala gundul dan kabut kehitaman di sekitar mata besarnya yang keriput akibat penuaan.

Begitu melihat sosokku yang baru datang, dia langsung berteriak marah.

"Hei! Anak baru! Cepat ke sini!"

Kepala tiga mahasiswa itu kontan menoleh dan mendelik ke arahku.

Aku tidak berkata apa-apa, tapi kian mempercepat langkah untuk bergabung dengan mereka. Bukan karena takut, tapi murni karena merasa bersalah. Para mahasiswa baru itu berdiri di sini bukan tanpa alasan. Mereka sedang menunggu salah satu anggotanya yang datang terlambat akibat bangun kesiangan.

Dan itu aku.

Aku berdiri di barisan paling belakang dan petugas itu terlihat tidak mengacuhkanku. Aku berdiri diam dan mulai mendengarkan ucapan dari si petugas yang berteriak lantang.

"Kalian adalah mahasiswa baru di Universitas Scouting Legion! Kalian semua berdiri di sini atas catatan kriminal yang kami terima! Kami ada di sini untuk mendidik manusia-manusia tak berguna dengan mental dan moral yang rusak seperti kalian agar bisa berubah menjadi manusia berkarakter kuat dan berkualitas! Kami tidak akan lembut pada anak-anak pemalas, penakut, manja, apalagi yang tidak disiplin!"

Kata-kata itu jelas ditujukan padaku yang sedang menunduk.

"Pendidikan di tempat ini keras dan dikendalikan oleh para pengajar kami yang bertangan dingin! Kalian tidak akan pernah keluar dari tempat ini dengan mudah setelah menjalani berbagai macam sesi hukuman dan pembelajaran hingga kalian dinyatakan lulus dan bergabung dengan kepolisian militer! Tidak ada tempat yang aman—"

Seorang gadis berambut cokelat dengan kuncir satu yang memiliki wajah manis dan sedang berdiri satu langkah di depanku terlihat tak mengacuhkan ceramah sang petugas. Dia tiba-tiba berbalik ke arahku dan menawarkan sesuatu yang berwarna kecokelatan.

"Mau kentang?" tanyanya ramah.

Beruntung petugas berkulit legam itu sedang tidak melihat kami berdua. Aku cepat-cepat menggeleng pelan sambil sambil membisikkan 'terima kasih'.

"Keamanan di institusi ini sangat ketat dan jangan harap bisa kabur! Hal itu hanya akan membuat kalian berada lebih lama di tempat ini!"

Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan pelan lewat mulut.

"ADA PERTANYAAN?"

Baik diriku maupun ketiga orang ini tidak ada yang bersuara.

"Baik! Kalian akan diantarkan menuju aula penerimaan mahasiswa baru dan menerima predikat sebagai mahasiswa-mahasiswa dari Universitas Scouting Legion!" serunya lantang. "Namaku Keith Shadis dan aku adalah pembimbing kalian selama masa orientasi! Kalian baru saja melanggar aturan kedisiplinan, maka aku akan membawa kalian pada hukuman kalian yang pertama!"

Aku meremas kencang permukaan fabrik celana jeans-ku.

Tangan Keith Shadis terangkat dan meraih salah satu gagang dari dual pintu aluminium yang sedari tadi tertutup rapat.

"Para mahasiswa baru, selamat datang di Universitas Scouting Legion!"

Pintu menjeblak terbuka dan seketika aroma-aroma kriminal yang kuat menguar pekat dari dalam sana. Jantungku berdetak berkali-kali lipat lebih cepat dari biasanya ketika mendengar suara-suara pengajar yang membentak-bentak dari arah aula. Adrenalinku terpacu drastis dan dapat kulihat raut-raut ketakutan yang terpancar dari wajah teman-temanku ketika pintu itu terbuka. Aku tak bisa lari lagi. Aku ingin pergi sejauh-jauhnya dan menghapus ingatan ini.

Namun entah mengapa ini terasa pantas. Semua ini adalah imbalannya.

Ya. Inilah tempat kami sekarang. Di sinilah kami seharusnya berada.

.

.

.

ALTER

a fanfiction by Raputopu

Shingeki No Kyojin by Hajime Isayama

warning: AU, OOC, typo, mature content

.

.

.

Hukuman ini tidak terlalu buruk.

Aku pikir kami akan disuruh memberi makan beruang di lantai bawah tanah atau mendapat cambukan sepuluh kali di punggung. Keith Shadis jelas mempunyai selera humor yang bagus, namun tidak pada tempatnya.

"Membersihkan toilet? Oh, hebat."

Nada sarkastik itu meluncur dari pria berambut pirang dengan wajah seperti kuda berekspresi kaku, teman satu kelompokku. "Jaeger, semua ini salahmu." Geramnya sambil membersihkan sela-sela keramik yang berlumut.

Aku mendengus dan berusaha tetap fokus pada pekerjaanku, membersihkan lantai keramik. Toilet ini tak lebih seperti kandang sapi yang karam di samudera Pasifik bertahun-tahun. Tidak ada ruangan di Universitas Scouting Legion yang memanjakan mata. Semuanya seperti penjara bawah tanah yang tak terurus. Banyak fasilitas yang sudah rusak dan tidak layak pakai lagi, namun tidak pernah ada yang mengusulkan rekonstruksi ulang pada gedung ini, sekalipun itu Dekan kami. Suasananya jelas dirancang agar memberi efek psikologis bagi para mahasiswanya. Wilayah Universitas Scouting Legion terletak di tengah-tengah hutan dan dikelilingi rawa. Kabut-kabut akan memenuhi areal gedung setiap saat. Serangan kabut paling parah adalah pukul lima sore hingga tengah malam. Kabut akan menjadi tebal sekali dan jarak pandang yang tercipta hanya sekitar satu meter.

Setelah melewati aula yang ramai oleh ribuan mahasiswa baru, kami akhirnya dibawa menuju toilet yang terletak di sebelah Barat barisan kursi. Aku lihat, dari jumlah keseluruhan mahasiswa kriminal yang masuk Universitas Scouting Legion tahun ini ada sekitar dua puluh persen mahasiswa tambahan yang diterima dari kuota tahun lalu. Hal ini membuktikan maraknya kejahatan yang ditimbulkan oleh anak di bawah umur kian pesat selang beberapa tahun terakhir. Setiap anak yang memiliki catatan kriminal tertentu di sekolahnya akan dikirimkan ke tempat ini ketika sudah lulus. Solusi pemerintah agar kebijakan ini berlangsung lancar sesuai rencana adalah: ditiadakannya pungutan bayaran. Strategi yang berani untuk menghapus kriminalitas di negeri ini.

Selain itu, kejanggalan lain yang terlihat adalah jumlah petugas keamanan yang berdiri membentengi tiap baris kursi juga lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya; dulu aku sempat melihat liputannya di televisi. Alat-alat keamanan yang melekat di tangan-tangan mereka juga jauh lebih sadis. Sejauh mataku melihat, hanya alat-alat setrum yang terlihat paling manusiawi ketimbang senjata lain.

Melihat kami berempat yang digiring masuk ke toilet, pandangan para mahasiswa itu berubah drastis dari jinak menjadi bengis. Seluruh almameter mereka berwarna hitam. Hampir setiap bagian dari gedung ini didesain dengan warna suram. Para pengajar pun memakai warna hitam. Seolah-olah memang warna itulah yang pantas untuk disandingkan dengan tempat ini.

Panjang lorong toilet yang kami hadapi ada sekitar enam meter. Ada empat pintu wcdan empat wastafel serta kaca besar di atas tempat cuci tangan yang menggelap oleh debu kehitaman. Ini adalah toilet perempuan.

Beruntung Keith sedang tidak mengawasi. Tadi dia berlari ke arah kerumunan kursi aula dan menghampiri dua mahasiswa yang terlibat adu pukul. Pada saat itu salah satu petugas keamanan berpakaian hitam dengan pelindung kepala berwarna senada, baru saja hendak menyetrum kedua mahasiswa itu, tepat setelah kedua kawannya ikut membantu dan mengunci pergerakan liar mahasiswa tersebut. Mereka adalah anggota dari Kepolisian Militer. Para anak-anak baru itu menjerit dan meronta meminta kebebasan. Aku tidak tahu nama alat yang digunakan itu, tapi aku tahu fungsi utamanya adalah untuk penyiksaan dan memberi efek jera. Keith berlari menghampiri mereka dan berusaha melerai. Dia terlihat mengatakan sesuatu pada petugas keamanan itu dan berusaha menenangkan mereka. Aku menegak ludah.

Jelas alat itu adalah awal perkenalan dari kehadiran alat-alat penyiksaan yang lain, yang mungkin akan dipasangkan pada kami kelak. Beruntung hukuman kami kali ini hanya membersihkan toilet. Setidaknya hal itu tidak akan memberikan bekas luka fisik.

Karena di kelompok kami hanya ada satu wanita, maka kami berniat membagi tugas. Aku dan pria bertubuh besar dengan rambut pirang akan bekerja di toilet pria. Sebaliknya pria kurus berwajah kuda dan si gadis penyelundup kentang akan mengurus di bagian toilet wanita. Tapi pada akhirnya si pria kurus itu meluncurkan protes karena tidak mau bekerja dengan wanita.

"Bagaimana jika kita berempat menyelesaikan toilet wanita dulu, lalu ke toilet pria, bersama-sama?" usulnya kemudian.

Tidak ada yang mencela, atau memang pada dasarnya malas. Sehingga pada akhirnya kami semua mengangguk setuju.

Aku dan si pria kurus itu mengurus lantai dan dindingnya. Si gadis berambut cokelat dengan mata berbinar itu yang mengurus wastafel dan cermin. Sementara teman kami yang lain, si pria bertubuh besar berambut pirang dengan wajah kaku itu yang akan mengurus toilet.

"Kita belum bersekolah dan sudah menerima hukuman pertama. Ini awal yang buruk." ujar pria bertubuh besar yang berkata dari dalam toilet.

"Hei, ngomong-ngomong, kita belum berkenalan." ujar gadis berkuncir satu. Dari semua mahasiswa baru yang kulihat semenjak menginjakkan kaki ke tempat terkutuk ini, hanya dia yang kelihatan tidak memiliki beban hidup di wajahnya.

"Kita sudah kenal, Sasha." potong sang pria jelmaan kuda sambil terus memainkan kain lapnya di lantai.

"Maksudku bukan kau, Jean." Gadis bernama Sasha itu mendengus, membuang muka sehingga kuncirannya menari. "Hei, pria kloset, siapa namamu?"

Tiba-tiba kepala dengan rambut pirang menyembul dari pintu toilet dengan wajah kebingungan. "Aku?" Dia berusaha memperjelas. "Aku Reiner."

Dan sebelum Sasha memanggilku dengan sebutan 'pria lantai toilet' atau julukan sebangsanya, aku buru-buru memperkenalkan diri. "Eren Jaeger."

"Membersihkan toilet? Oh, hebat. Jaeger, semua ini salahmu." Jean menggeram tertahan sambil meneruskan pekerjaannya.

Sampah.

Seolah menulikan telinganya atau memang pada dasarnya malas merespon Jean, gadis bernama Sasha itu berkata, "Jadi, apa yang membuat kalian sehingga bisa berakhir di sini?" tanya Sasha. "Sebagai pembuka aku akan bercerita." Gadis itu menarik napas pendek dan menghembuskannya dengan menghayati. "Aku mencuri satu karung kentang."

Pria bertampang kuda mendecih. "Lihat saja gelangnya. Jika warnanya hijau, dia melakukan kejahatan ringan. Kuning, kejahatan biasa. Dan merah untuk kejahatan berat."

Sasha kontan melihat ke arahku dan langsung mendelik kala matanya turun melihat warna gelang yang melingkar di pergelangan tanganku. Sama halnya pula dengan Jean. Lelaki itu langsung mengambil beberapa langkah ke belakang untuk menjaga jarak. Yeah, sejak awal dia memang sudah terlihat tidak senang dengan kehadiranku. Lain halnya pula dengan Reiner, dia mengeluarkan separuh badannya dari dalam toilet dan langsung melihat ke arahku. Aku melihat di tangannya melingkar gelang kuning.

Begitu melihat warna gelangku, ekspresinya berubah menjadi sama seperti Sasha dan Jean.

"Eren, apa yang pernah kau perbuat?" tanyanya syok. Dia menghentikan sejenak pekerjaannya untuk sekedar melihatku yang masih sibuk membersihkan sisa-sisa kotoran yang melekat di dinding dan tidak memperdulikan sekitar.

Aku memilih diam sejenak. Penuturan Jean memang tidak salah. Setiap mahasiswa yang terkurung di sini akan diberikan gelang dengan warna sesuai tingkat kejahatan yang pernah mereka lakukan. Jean dan Sasha, adalah pemilik gelang hijau. Orang yang melakukan tipe kejahatan ringan. Perlakuannya pun akan berbeda. Asramanya pun terpisah. Mereka si pemilik gelang hijau akan memiliki akses yang mudah untuk keluar dari tempat ini jika terus berkelakuan baik.

Gelang kuning. Gelang kejahatan biasa. Tergolong pula kejahatan berat yang tidak disengaja atau karena keterpaksaan. Orang-orang yang memakai gelang ini biasanya adalah perampok, penculik, atau pembuat kerusuhan yang tidak menimbulkan korban jiwa. Pembunuh bayaran juga dapat mengenakan gelang ini, dengan catatan harus memakai gelang merah selama enam belas bulan pertama dan lulus menjalani terapi khusus. Biasanya jarang sekali ada pemilik gelang kuning yang turun derajat menjadi pemilik gelang hijau. Sebaliknya akan ada banyak sekali gelang kuning yang berubah menjadi merah.

Gelang terakhir, gelang dengan tingkatan paling tinggi. Gelang merah. Gelang untuk menandai pelaku kejahatan berat. Kejahatan yang entah disengaja maupun terencana. Pembunuhan, teror, pemerkosaan, pengedaran narkoba, transaksi penjualan manusia, maupun tindak anarkis lain seperti pem-bom-an atau pengerusakan tempat-tempat umum. Konspirasi dan sindikat bawah tanah juga dipastikan akan mengenakan gelang ini. Para pemilik gelang merah akan mendapatkan perlakuan khusus dan biasanya memiliki jatah waktu lebih lama untuk berada di sini ketimbang pemilik gelang lain. Sangat mudah untuk dimasukkan ke sel penyiksaan hingga hukuman mati.

Gelang yang terakhir adalah yang melingkar di tanganku.

"Gelangmu merah, Eren." kata Sasha, bergidik. Aku tahu dia takut. Terlihat jelas dari ekspresi ngeri yang mewarnai wajahnya.

"Tampangnya saja seperti psikopat." timpal Jean.

Berbanding terbalik dengan perlakuan brengsek dari Jean, Reiner malah terlihat berusaha menghiburku. "M-mungkin mereka salah memberikan warna. Mungkin stok gelang hijau sudah habis."

Mereka kini terlihat tidak fokus pada pekerjaan mereka. Mata mereka terus menelanjangiku. Pandangan aneh mereka sudah cukup menjadi tekanan. Aku sudah sering mengalami hal seperti ini. Aku membanting lap dan mendengus. Akhirnya aku bangkit berdiri dan memutuskan meninggalkan mereka lalu pergi ke toilet satunya. "Biar aku yang mengurus toilet sebelah." kataku pendek. Dan tidak ada yang berusaha menghentikanku.

Sebelum keluar dari pintu, aku sempat mendengar Sasha berceletuk.

"Ngomong-ngomong, kalian pernah mendengar nama Levi di sini?"

.

.

.

Berada di toilet pria tidak sepenuhnya buruk. Setidaknya di sini masih terlihat sedikit lebih 'bersih' ketimbang toilet wanita. Dan di sini tidak ada pengganggu.

Itu poin pentingnya.

Aku berjalan menuju ke balik pintu dan mengambil ember dan kain pel yang tersedia. Aku meletakkan ember di ujung lorong dan mulai mengepel ujung koridor dengan perlahan. Samar-samar dari arah aula terdengar pidato bernada diktator yang menggema.

"Kalian punya dua pilihan berada di sini! Berusaha menjadi lebih baik dan berguna bagi rakyat dan negara atau: dipenjara dan menerima siksaan! Kami juga tidak akan segan-segan memberlakukan hukuman mati bagi yang membangkang! Kalian berada di sini untuk dipoles menjadi manusia yang lebih baik dan berguna! Bukan seperti sampah masyarakat atau bangkai busuk yang kerjanya hanya mengganggu ketentraman manusia!"

Seteleh mendengar kalimat barusan ada sesuatu yang terbakar di dalam hatiku. Meletup-letup dan memercik di ulu hati, seakan gejolak itu terus memaksa keluar. Mimpi burukku. Dan hal itu membuatku menyeringai miris.

Bunyi air keran yang mengalir dan bunyi tetesan air di langit-langit sejak tadi membuat hormon di kantung kemihku berkontraksi. Seingatku aku belum buang air kecil sejak pagi tadi, dan ruang kantung kemihku tidak sebesar yang aku duga.

Aku meninggalkan sejenak pekerjaanku dan masuk ke dalam salah satu toilet. Bau-bau busuknya seketika menyerang hiduku. Dindingnya terlihat jauh lebih mengerikan ketimbang toilet wanita, seperti ada grafiti dari tinja manusia. Airnya pun terlihat tidak berfungsi. Dan aku baru ingat kalau aku juga belum buang air besar sejak kemarin.

Berada di sekolah ini malah membuatku semakin kacau.

Aku menutup pintu dan menatap klosetnya yang dipenuhi kotoran menghitam dan menggumpal. Bahkan rasanya aku tidak mau menempelkan kulitku ke permukaan itu.

Setelah buang air kecil, aku merasa bebanku terangkat sedikit demi sedikit. Dan sekarang, saatnya membuang kotoran lain dari ususku.

Bisa buang air besar setelah dihadapkan pada masalah adalah anugerah yang sederhana. Suatu kesenangan tersendiri yang membuatku merasa seperti di rumah. Buang air besar mungkin dipandang sebagai hal sepele yang menjadi rutinitas sehari-hari umat manusia. Namun untuk di saat-saat dan tempat seperti ini, bisa buang air besar dengan tenang adalah suatu potongan kebahagiaan yang memberikan kepuasan.

Brak!

Aku mendengar pintu toilet pria menjeblak terbuka dengan keras, dan kontan aku tersentak kaget. Setelahnya terdengar daun pintu yang berayun kencang dengan bunyi besi yang berkarat dan menghantam keras dinding keramik. Aku tersentak kedua kalinya. Bunyinya seperti mobil yang ringsek akibat tabrakan keras. Aku berusaha diam dan menanjamkan indera pendengaran. Pintu itu terdengar terus berayun pelan untuk menghabiskan energi potensial yang tersisa, dan bersama itu pula terdengarnya suara langkah kaki sepatu yang berjalan memasuki toilet.

Oh, tidak.Aku menegak ludah, dan tanpa sadar meremas celanaku sendiri.Siapapun dia, aku harap itu bukan Keith,pikirku. Karena aku ditugaskan di sini untuk membersihkan toilet, bukannya buang air besar.

Suara itu terdengar semakin dekat dan sedang berjalan ke arahku. Langkahnya semakin pelan ketika berada di dekat pintu terakhir. Aku menahan napas. Jangan Keith, jangan Keith, jangan Keith. Siapapun, asal jangan Keith!

Aku memejamkan mata erat-erat dan menggigit bibir. Berharap itu bukan Keith. Berharap suara langkah kaki itu milik siapapun asal jangan Keith. Aku tidak mau menerima hukuman tambahan. Membersihkan toilet sudah cukup untuk merendahkan harkat dan martabat. Tujuanku setelah membersihkan toilet adalah mengikuti masa orientasi, bukan hukuman sesi kedua.

Yang aku sadari selanjutnya, perlahan-lahan bunyi langkah itu menghilang bersama tetesan air yang menggenangi sudut toilet. Tidak ada lagi suara sepatu yang bergema di dalam toilet. Tidak ada lagi yang berjalan menghampiri toiletku. Tidak ada lagi suara langkah kaki yang mencurigakan. Aku merasa orang itu sudah keluar, walau sebenarnya aku juga tidak yakin. Tanpa sadar, hembusan lega meluncur dari mulutku.

Tetapi sedetik kemudian aku menyadari, semua suara-suara di toilet ini menghilang tanpa bekas. Tidak ada bunyi keran air yang mengalir, tidak ada bunyi tetesan air yang jatuh di genangan, tidak ada bunyi langkah atau suara-suara mencurigakan yang lain.

Apa dia sudah per—

Brak!

Pintu di hadapanku menjeblak terbuka dan menghantam lututku. Aku tersentak kaget dan menjerit tertahan. Cepat-cepat aku naikkan celanaku hingga ke paha. Refleks aku mundur beberapa sentimeter ketika melihat ada sesosok orang yang berdiri di depan pintu wcsedang mengangkat lututnya. Orang itu pasti menendang pintu ini, pikirku cepat. Aku cepat-cepat mengambil tisu toilet dan membersihkan sisa-sisa lengket yang masih melekat.

"Oi," katanya dengan suara datar. "Keluar, bocah."

Nada otoritas dalam suaranya membuatku mendongak tanpa sadar dan melihat wajahnya. Itu bukan Keith.

Tingginya sama sepertiku dan tubuhnya disandarkan malas pada pinggir pintu yang lapuk. Di sela-sela bibirnya terselip rokok yang masih menyala. Kulitnya yang berpendar pucat berwarna senada dengan dinding-dinding keramik di sekitarnya. Seluruh atribut yang melekat pada dirinya berwarna hitam, seperti warna utama di Universitas ini. Rambutnya hitam legam dan lurus dengan potongan belah samping yang meluncur hingga bagian atas daun telinga. Tampaknya dia memberikan cukuran skinnypada rambutnya dan hanya menyisakan sisa-sisa rambut itu untuk tetap berada di sana.

Bentuk matanya meruncing dengan tatapan malas yang kelewat batas, seakan menghujam lurus ke dalam mataku. Nampak genangan menghitam di bawah kedua matanya. Berbanding kontras dengan warna kulit yang menyala. Hidungnya terpatri sempurna menjadi bentuk mancung yang menawan. Bibirnya yang tipis langsung berdecak tak sabaran ketika melihat ekspresiku. Aku tidak tahu bagaimana rupaku sekarang. Tetapi ada suatu aura di dalam bola mata jelaganya yang membuatku sendi-sendiku lumpuh seketika.

Dia mendesah melihatku yang tak berkutik. "Baiklah, jika kau memang mau kita melakukannya berdua." katanya kalem sambil membuang puntung rokoknya ke lantai basah.

"T-tunggu. Apa yang mau anda lakukan?" tanyaku, entah berani, atau murni refleks, atau murni bodoh.

Dia memandangku sesaat, meneliti wajahku dengan sayatan bola mata hitamnya yang berkilat. Orang itu mengangkat tangan dan memperlihatkan botol sabunnya. "Kalau bawa ini biasanya mau ngapain? Tidak ada wanita di asrama pria. Hanya toilet satu-satunya tempat yang tidak diawasi kamera CCTV."

Aku tercekat. Orang ini.Dan dia juga mengenakan gelang merah. Tapi ada dua buah.

Melihatku yang tercengang, dia kembali bertanya, "Kenapa? Jangan bilang kau belum pernah melakukannya." katanya kalem sambil berusaha memasuki toilet dan menyingkirkan kakiku dengan kakinya.

"M-maaf, tapi aku di sini duluan. Biarkan aku menggunakan toilet ini terlebih dahulu." kataku berusaha membela diri ketika tubuhnya melintas menuju sudut toilet.

Dia nampak seolah tidak mendengarkan perkataanku. Atau memang pada dasarnya dia punya sifat keras kepala dan tidak peduli. Sebagai gantinya dia sibuk membuka tutup botol sabun dengan jempol kirinya dan menggunakan tangan yang lain untuk melepaskan kaitan kancing celana. "Kau keberatan jika aku meminta bantuan?"

Orang ini benar-benar serius. Aku berusaha tidak perduli dan fokus pada duniaku sendiri. Teritorialku harus terjaga karena aku yang pertama kali tiba di sini. Tanpa suara, aku bergeming dan tetap kokoh pada pendirian.

Tapi sedetik kemudian imanku teruji. Semuanya terjadi ketika aku mendengar gesekan kain dan kulit yang kentara ketika celananya diturunkan. Suaranya langsung memenuhi ruang otakku. Dan tanpa peringatan sebelumnya, aku bahkan sama sekali tidak memprediksikannya, ada sesuatu yang mencengkeram kuat dan menarik tanganku dengan cepat hingga tubuhku terikut olehnya. Sebelum aku sadar, ujung jariku sudah menyentuh permukaan kulit yang tebal dan kasar. Aku melihat miliknya sekilas.

Refleks aku menarik kembali tanganku dan menjerit tertahan.

Wajahku memerah padam. "Baik! Baik! Aku keluar. Aku akan keluar dari sini" ujarku membuang muka dan mengatur napas. Sial. Kita ini sesama lelaki, apa yang merasukimu, Eren? Aku menaikkan celana dan berusaha keras agar areal privatku tidak terlihat. Telingaku mendengar bunyi cairan lengket yang menari-nari dan memenuhi ruang sempit. Suara mengerikan itu terdengar jelas tepat tiga puluh sentimeter di sebelah telingaku.

Dia memang apatis dan tebal muka. Bagai dikejar setan, aku langsung membuka pintu tanpa pamit dan meninggalkannya sendirian di dalam sana. Entah mengapa berkumpul dengan Jean dan kelompokku di toilet sebelah rasanya lebih baik ketimbang satu ruangan dengan jenis manusia seperti ini.

Aku mengambil ember dan kain pel yang masih bersandar di dinding lalu cepat-cepat membawanya keluar.

Ketika aku hendak menyentuh gagang pintu yang dingin, aku membeku sesaat saat mendengar suara yang dingin dan berat dari dalam toilet, berkata dengan suara serak dan sedikit berteriak, namun getar suaranya terdengar dalam seperti tenggelam di dasar tengah lautan yang gelap, menghilang bersama kabut hitam dan badai kuat, dan entah mengapa terdengar jelas berdengung statis di dalam gendang telinga. Suara itu adalah miliknya.

"Kita pasti akan bertemu lagi,merah.Dan pada saat itu kau akan berlutut di antara kedua kakiku dan memberi oral."

Aku berharap tuli pada detik itu juga.

.

.

.

"Bukankah Levi adalah mahasiswa terlama di sini? Dia tidak pernah lulus-lulus sejak sepuluh tahun yang lalu, kan?"

Aku mendengar suara Jean dari dalam toilet wanita. Berutung mereka tidak sedang membicarakanku. Aku membuka pintu dan menerobos toilet tanpa bersuara. Ekspresiku saat ini pastinya terlihat kaku dan kejang, tetapi mereka terlihat tidak menggubrisnya. Pastinya ini gara-gara sikapku tadi.

"Ya, sebelas tahun jika ditambah tahun ini. Kudengar dia tidak memiliki keluarga lagi." kata Sasha ketika membersihkan kotoran permen karet di sudut cermin. "Karena dia yang membunuh seluruh keluarganya." katanya pelan dengan nada sedih dan mata sayu. Dan gadis itu adalah yang pertama menyadari kehadiranku. "Oh! Hai, Eren!" sahutnya sambil melambaikan kain lap.

Aku berusaha tersenyum ramah. Kini tidak ada pilihan lain selain membuka zona nyamanku untuk mempersilahkan mereka masuk. Pesan yang disampaikan ibuku ketika aku berumur delapan tahun adalah: Pelajaran pertama, jika pergi ke tempat-tempat baru, cari teman yang membuatmu nyaman. Sekalipun kelakuan mereka berujung tidak membuatmu nyaman, bisa menjadi teman ngobrol barang sebentar juga tidak apa-apa.

"Toilet sebelah sedang digunakan orang." kataku menggeleng pelan. "Aku tak bisa membersihkan dengan leluasa."

Aku mulai memasukkan ujung-ujung kain pel ke dalam ember.

"Oh, si anak kriminal datang juga akhirnya." senandung Jean.

Mataku mendelik. Kuharap kepalan tanganku bisa menghancurkan wajahnya suatu saat.

"Abaikan saja si JeanBoy itu, Eren. Dia memang seperti itu sejak lahir." kata Sasha dengan gelak tawa.

"Hei, jangan sebut-sebut nama itu di depan orang lain!"

Namun tampaknya Sasha tetap berpihak padaku. "Nah, Eren," katanya. "Karena kita akan menjadi satu tim untuk tujuh hari ke depan, mungkin kita bisa saling bertukar pikiran, misalnya bercerita mengenai tempat ini atau alasan yang membuatmu berada di tempat ini."

Jelas dia sedang berusaha memancingku lebih jauh. Mungkin masih penasaran dengan maksud dari warna gelang ini. Usahanya jelas terbaca.

"Tempat ini—" ada jeda singkat yang menahan kalimatku. "Tempat ini tak lebih seperti gedung tinggi abu-abu dan kerjanya hanya menampung mahasiswa pengangguran tanpa SPP."

Sasha tergelak. "Tempat ini tidak terlalu buruk." ujarnya. "Yah, setidaknya untuk saat ini." ralatnya. Namun beberapa detik kemudian timbul sedikit raut penyesalan di wajahnya setelah berkata demikian. "Atau mungkin saja kita belum menemukan neraka Scouting Legion yang sebenarnya." ucapnya meringis.

"Orang-orang seperti Levi-lah yang membuat tempat ini terlihat buruk." Jean menambahkan. Sekilas dia menatap gelangku kembali. Pastinya dia sedang berusaha menyindirku juga.

"Tempat ini memang sudah buruk sejak awal, Jean. Aku mengurung diri tiga hari di kamar ketika diberi surat undangan dari sini." balas Sasha tidak terima.

"Levi?" aku menyebut rangkaian huruf itu tanpa sadar. Nama itu terdengar asing di telingaku. Dari semua cerita-cerita yang pernah kudengar melalui kabar burung tentang keberadaan Universitas ini, hanya cerita mengenai Levi yang tidak sampai di telingaku. Apa dia orang baru?

"Tuan dan Nyonya Brauss yang terhormat, putri anda telah resmi terdaftar dalam catatan mahasiswa di Universitas Scouting Legion. Kami menunggu kehadiran anda dan putri anda dalam pertemuan orangtua mahasiswa tiga hari setelah surat ini diterima."ucapnya sambil menirukan isi surat resmi yang pernah ia terima dengan wajah mendramatisir.

Masih merasa baru dengan nama itu, aku langsung meminta penjelasan.

"Siapa itu Levi?" Fokusku pada pada kain pel terusik akibat rasa ingin tahuku.

"Kau tidak tahu Levi?" Jean terlihat mengangkat alisnya tinggi-tinggi dan wajahnya sepuluh kali lipat menjadi lebih menyebalkan dari sebelumnya.

"Eren, hal pertama yang harus kau ketahui ketika diundang ke tempat ini adalah: mencari tahu siapa yang namanya Levi.Seluruh mahasiswa tiap angkatan seharusnya sudah tahu dengan aturan sakral itu."

"Aku tidak tahu." balasku singkat. "Bisa kalian ceritakan bagaimana sosok Levi itu?" tanyaku penasaran.

"Well,"Jean membuka suara. "Dulunya dia adalah mahasiswa pertama di Universitas ini, tepatnya sampai sekarang. Dia memakai gelang merah karena perbuatannya. Sama sepertimu." Jean tak pernah kehabisan akal untuk menyindirku. "Dia pernah membantai lima keluarga dalam semalam, melawan Kepolisian Militer, dan melakukan teror genosida ketika berumur enam belas tahun. Bayangkan saja." Murni refleks, aku menegak ludah. Itu umurku sekarang.

Jean melanjutkan, "Sebenarnya karena ada anak-anak seperti Levi-lah sehingga Universitas ini didirikan. Empat tahun kemudian Universitas Scouting Legion resmi dibangun dan menjadi institusi yang bekerja di bawah pemerintahan. Idealnya pemilik gelang merah seperti Levi akan keluar dalam waktu lima atau enam tahun, khusus bagi yang terberat."

Aku meringis. "Apa yang membuat Levi tidak keluar dari tempat ini sampai sekarang?" tanyaku dengan suara serak.

"Bayangkan saja. Jika dia keluar dari tempat ini, entah jadi apa dia di luar sana."

"Apa dia pernah melakukan kejahatan di dalam Universitas?" Aku semakin menggebu-gebu untuk mengorek identitasnya.

"Itulah yang membuat namanya terkenal." balas Reiner yang sedikit berteriak akibat terkurung di dalam toilet. "Dua puluh Polisi Militer, tujuh pengajar tetap, dan tiga puluh tiga mahasiswa."

"Mereka kenapa?"

"Mati di tangan Levi." Jean membalas singkat. Aku tersedak napasku sendiri. "Dan itu yang ketahuan." tambah Jean dengan berat hati.

Orang itu sakit jiwa. "Kenapa tidak dihukum mati saja?" protesku.

"Kami semua juga berpikir demikian, Eren. Namun Dekan kita sepertinya berpikiran lain." sahut Jean sambil mendengus dan mengangkat kedua bahunya. "Entahlah, katanya Dekan kita memiliki hubungan khusus dengan Levi." jelasnya sambil mengorek lumut yang mengering di sela-sela lantai keramik.

Aku menggeleng tak percaya. Rasanya kata-kata yang hendak keluar dari mulutku lenyap seketika. Tidak ada komentar yang bisa meluncur untuk saat ini. Apapun yang terjadi dan di manapun aku berada, jelas orang yang bernama Levi itu harus aku hindari. Jika aku ingin terus hidup atau minimal mengurangi masa tahananku di penjara berkedok Universitas ini, hal-hal esensial seperti inilah yang harus kuperhatikan.

Atau bisa kumanfaatkan di saat-saat aku terjepit.

"Dan isunya, sekarang dia adalah kepala asrama pria pemilik gelang merah dan kuning. Sebaiknya kalian berdua berhati-hati." bisik Jean.

"Sial." aku mengerang tanpa sadar.

"Apa-apaan itu?" sahut Reiner. "Oh! Sebaiknya aku cepat-cepat mendapatkan gelang hijau."

Strategi Reiner memang tepat. Namun tidak mampu pada memberi efek aman berkepanjangan.

Di wilayah Universitas Scouting Legion ada empat gedung asrama yang terletak di tiap-tiap arah mata angin. Gedung Utara adalah asrama pria pemilik gelang merah dan kuning. Bangunan itu tak ayal hasil eksperimen arsitektur gila yang nyasar. Bentuknya kotak suram, seperti benteng muram, diperkokoh kawat berduri dan jendela-jendela berterali besi yang sama. Terdiri dari enam lantai dengan jarak rapat. Dua lantai bawah akan didiami pemilik gelang kuning, dan sisanya adalah kamar untuk pemilik gelang merah. Satu kamar akan didiami dua hingga empat mahasiswa.

Gedung Timur adalah asrama putri pemilik gelang merah dan kuning, satu-satunya asrama dengan penghuni paling sedikit ketimbang asrama lain. Karena pada dasarnya tidak banyak wanita yang melakukan kejahatan berat. Kalaupun ada, pastinya mereka melakukan secara diam-diam dan bersih layaknya sifat wanita. Wujud kengerian dari gedungnya sendiri masih terpancar jelas seperti aura gelap dari gedung asrama pria di sebelahnya. Kepala asrama Gedung Timur sekarang adalah Mikasa Ackerman. Aku mengenal gadis itu lebih dulu bahkan sebelum aku mengetahui keberadaan gedung ini. Jangan tanya kenapa.

Gedung Selatan adalah asrama putri pemilik gelang hijau. Asrama yang paling ramai dan terlihat sedikit lebih berwarna ketimbang tiga asrama lain. Asrama itulah yang akan didiami Sasha. Biasanya penghuni Gedung Selatan akan timbul-tenggelam dan berganti silih waktu. Idealnya masa hukuman dan pembelajaran yang mereka terima jauh lebih singkat dari kami semua. Sekitar satu setengah atau dua tahun lamanya, maka sertifikat bebas akan tercetak, terkecuali jika mereka melawan petugas dan terpaksa mengenakan gelang kuning untuk tiga bulan ke depan.

Gedung Barat adalah asrama pria pemilik gelang hijau. Jean, sebagai si pemilik gelang hijau akan berada di sana. Atmosfer gedungnya juga tidak jauh berbeda dengan asrama-asrama lain. Bedanya adalah anak-anak di Gedung Barat biasanya akan menjadi korban bullyingdari Gedung Utara. Semua itu sudah seperti menjadi kebiasaan, sehingga banyak pria pemilik gelang hijau yang tidak tahan dan rela masuk ke anggota gelang kuning agar menjadi bagian mereka. Keputusan bodoh.

Masalahnya sekarang, aku akan berada di Gedung Utara dan tinggal bersama-sama dengan orang yang bernama Levi itu. Aku memang belum mengenal pasti kepribadiannya, namun menurut mahasiswa lain, orang itu harus dijauhi. Aku berharap bisa mendapat tempat tinggal di lantai yang berbeda dengan lantainya.

"Jean," panggilku pelan, "sampai sekarang aku belum mendapatkan gambaran dari sosok Levi yang sebenarnya. Dari ribuan mahasiswa yang tinggal di sini, bagaimana aku bisa membedakan sosoknya dengan mahasiswa lain? Apa dia punya ciri-ciri tersendiri? Misalnya tato atau luka-luka di tubuhnya?" tanyaku memastikan.

Jean menarik napas dalam-dalam, "Sebenarnya akan sulit menemukan Levi jika hanya ciri-ciri fisiknya yang menjadi peganganmu. Lagipula kabarnya banyak mahasiswa dari Gedung Utara yang meniru-niru gayanya. Kuakui untuk mencari sosoknya dengan fisik tak sempurna itu seperti mencari duri di tumpukan jerami."

"Tapi Levi punya ciri khas dan satu-satunya. Tidak ada mahasiswa yang memiliki ciri-ciri seperti itu di tempat ini, kecuali dia." sahut Sasha, berusaha menghibur ketika melihat raut kekecewaanku.

"Yeah, ketimbang ciri khas, lebih pantas disebut hadiah dari pihak Universitas untuk 'prestasi'-nya itu." ucap Jean sarkastik.

"Apa itu?" aku menoleh.

Sasha masih sibuk mengelap kaca sambil berbicara pada refleksiku yang terpantul pada cermin. "Sangat mudah untuk membedakannya dengan orang lain, Eren. Jika kau sudah bertemu dengan orang seperti itu dari jarak jauh sekalipun, sebaiknya kau melarikan diri. Karena sekali dia melihat wajahmu, dia akan mengingatnya terus sampai kau keluar dari tempat ini."

"Ya, itu benar. Penting sekali untuk mengetahui ciri-cirinya agar bisa selamat di tempat ini. Ketimbang Kepolisian Militer, sosoknya berkali-kali lipat jauh lebih berbahaya." tambah Reiner.

"Apa ciri-cirinya?" desakku tidak sabar.

"Sederhana, Eren." kata Sasha. Aku menunggu. Dan ketika dua bibirnya terbuka, suaranya terdengar seperti datang dari tempat yang sangat jauh dan menusuk bagai panah. "Dia memakai dua gelang merah."

Aku terenyak. Dua gelang merah!

Ingatanku sontak melayang pada kejadian sepuluh menit yang lalu.

Dua gelang merah. Toilet pria. Sabun. Alat vital.

Seketika aku berdiri mematung.

Oh, tidak.

Tubuhku mengeras seperti dilapisi es permanen yang tebal dan tanganku berhenti bergerak di udara. Seluruh sistem otakku berhenti bekerja dan napasku terhenti di tengah-tengah. Darah yang mengalir ke seluruh tubuhku membeku seketika.

Untuk pertama kalinya aku merasa waktu yang bergulir di sekitarku mendadak berhenti berputar.

Orang itu Levi.

Aku termangu untuk waktu yang cukup lama.

Ya, Tuhan

Sendi-sendiku mati rasa.

itu alat vitalnya.

Alat vitalnya Levi.

Dan ketika aku masih tergagap dengan keberadaan fakta bahwa aku baru saja bertemu dengan Levi dan menyentuh salah satu bagian tubuhnya, pintu toilet wanita menjeblak terbuka dan di sana berdiri seseorang berpakaian serba hitam yang membuatku tersentak. Mataku membulat lebar dan jantungku seketika berhenti berdetak. Segalanya berlangsung cepat. Segala kegiatan seketika terhenti begitu muncul kehadiran orang itu.

"Eren?"

Di depan pintu, Mikasa Ackerman berdiri.

.

.

.

Next:

Part II:Eren

A/N:

Dikarenakan sejak kecil sudah dicekoki cerita-cerita seperti ini, sampai besar pun jadi berkeinginan untuk membuat versi saya sendiri. Dan baru sadar kalau nulis POV 1 itu ternyata bisa lebih cepat selesai dibandingkan POV 3. Hueeee, agak cheesy. Mudahan ceritanya nggak klise. Awalnya berjudul Alter Ego, tapi karena teringat dulu pernah nulis fanficdengan judul yang sama tapi isi yang berbeda, jadi saya hapus 'Ego'nya. Bukannya Alter itu artinya semacam pertukaran atau menggantikan, ya? Jadi saya rasa maknanya sama aja dengan inti cerita.

PS: Maaf jika ada fakta-fakta yang menyimpang.

Sign, Rapuh