BAKTERI CINTA KONOHA

Menggapai Hatimu!

Tap.

Seorang pemuda berkulit pucat mendarat di belakang gedung akademi dengan membawa beban seorang gadis bersurai pirang di atas bahunya. Untunglah saat ini waktunya bagi murid-murid akademi belajar di dalam kelas, jika tidak mungkin anak-anak itu akan dihebohkan oleh kehadiran sensei mereka dengan cara yang tidak biasa.

"Sai-kun! Turunkan aku!" Ino memberontak. Dipukulnya punggung Sai walau tak begitu keras.

Sai segera menurunkan tubuh Ino pelan. Memegangi sebentar tubuh kurus Ino agar tak kehilangan keseimbangan dan terjatuh.

"Sai-kun! Kenapa kau seenak…"

"Dia bukan Sakura." Sela Sai cepat. Ino melebarkan sedikit iris aquamarinenya.

"A-pa maksud-mu, Sai-kun?" Tanya Ino dengan tatapan terkejut.

"Naruto. Dia menyamar menjadi Sakura demi mencari tahu isi hati Hinata sebelum Naruto mengakui perasaannya." Jelas Sai. Wajah Ino berubah panik saat menyadari arti dari kata-kata Sai.

"Lalu, jika itu Naruto, berarti aku, aku, aku sudah…" Ino menggigiti jari-jari tangannya. Warna kulit wajahnya mulai memucat.

"Bagaimana ini, Sai-kun?" Ino menatap Sai kalut.

"Aku sudah membocorkan sebuah rahasia besar. Jika Sakura tahu, aku, aku akan dibunuhnya."

Sai menatap Ino dengan tatapan dingin, tak mengerti bagaimana bisa seorang wanita begitu berlebihan ketika menghadapi suatu masalah.

"Tenanglah, Ino. Aku yang akan membereskan semuanya." Sai mengukir sebuah senyum. Kali ini bukan senyum palsunya yang biasa, walaupun tipis, Sai ingin senyumnya mampu menghilangkan kepanikan gadis cantik di depannya.

Ino menatap Sai dengan pandangan tak percaya. Walau tak mampu menghilangkan semua kepanikan yang melanda hatinya, entah bagaimana Ino merasakan hatinya sedikit demi sedikit menghangat.

Ino yang tak mengatakan apapun menundukkan wajahnya berusaha keras menahan air mata yang berdesakan di pelupuk matanya.

.

.

"Jadi kau sudah tahu rahasia ini sebelumnya, Sai-kun?" Tanya Ino saat gadis itu sudah kembali tenang. Saat ini Ino dan Sai berada di sebuah danau sedikit jauh dari keramaian desa.

"Ya, aku tak sengaja mengetahuinya." Jawab Sai.

"Bagaimana kau tahu rahasia ini?" Tanya Ino.

"Kakashi-sensei bilang tak ada orang lain yang tahu selain beberapa orang." Ino tak bisa menahan rasa penasarannya.

"Kau lupa, Ino? Aku seorang ANBU." Jawab Sai yang memasang wajah serius.

"Aku tahu rahasia di desa lebih banyak daripada kau." Tambah Sai.

Ino melempar sebutir kerikil kecil ke dalam danau, mata lautnya tak melepaskan satupun riak air yang tercipta.

"Apa Sasuke-kun dan Naruto juga tahu?" Tanya Ino ragu. Sai melirik wajah frustasi Ino dengan iris obsidiannya yang gelap.

"Tidak." Jawab Sai.

"Hahh…" Ino menghela nafas panjang mencoba mengurangi beban dalam hatinya.

"Dan dengan bodohnya aku membocorkan rahasia itu pada Naruto begitu saja." Gumam Ino. Sai diam tak merespons.

"Apa yang akan terjadi padaku, Sai-kun." Suara Ino terdengar sedikit bergetar, sepertinya ketakutan kembali menguasai pikirannya.

"Sakura bilang ini adalah rahasia besar yang tak boleh bocor pada siapapun." Ino menenggelamkan wajahnya yang mulai sembab di balik lutut.

Sai menyusupkan salah satu tangannya di celah kaki Ino. Didongakkannya wajah sembab Ino melalui dagu lancip gadis Yamanaka itu. Sai menatap iris aquamarine Ino lekat.

"Aku janji, tak akan terjadi apapun padamu. Percayalah." Sai mengukir sebuah senyuman tulus yang sangat tipis.

"Kenapa kau sangat peduli padaku, Sai-kun?" Tanya Ino tak mengerti.

"Kau memang gadis pelupa, Ino." Jawab Sai. Ino mengerucutkan bibirnya sedikit kesal.

"Kau pasti lupa aku pernah bilang jika aku suka padamu." Tambah Sai.

"Kau juga pasti lupa jika kau belum menjawabnya sampai sekarang." Sai mengukir sebaris senyum palsu.

Ino memalingkan wajahnya yang tersipu malu mendengar keterusterangan Sai.

"Aku juga suka padamu." Lirih Ino setelah beberapa lama terdiam. Ino menundukkan wajah cantiknya yang tersipu malu.

'Ternyata wanita memang mudah didapatkan hatinya saat berada dalam situasi sulit.' Sai mengagumi kebenaran buku "Cara Merayu Wanita untuk Seorang Pemula" yang sempat ditertawakan Naruto.

oOo oOo oOo

"Sakura-san," Panggil Hinata untuk ketiga kalinya, mencoba menarik suara gadis bersurai kapas yang Hinata yakin masih duduk disampingnya.

Tak mendapatkan respons berarti dari Sakura, Hinata mengangkat tangannya mencoba merasakan kehadiran gadis itu. Tangan Hinata menggapai udara beberapa saat sebelum berhasil menangkap pipi Sakura yang memilih diam menatapnya.

"Kau baik-baik saja, Sakura-san?" Tanya Hinata lembut.

Sakura, atau lebih tepatnya Henge Naruto, menyentuh tangan Hinata yang masih menempel erat di pipinya. Genggaman tangan Naruto yang menguat membuat Hinata mampu merasakan tekanan yang diberikannya pada pipi Naruto.

Posisi mereka saat ini, kembali mengingatkan Naruto pada saat-saat dimana dia hampir putus asa oleh kematian Neji. Saat dimana seorang Hyuuga Hinata yang biasanya terlihat lemah lembut berubah menjadi sosok wanita hebat yang mampu menampar kesadaran Naruto agar kembali berpegang teguh pada keyakinannya.

"Bangkit dan berjalanlah bersamaku. Terus maju dan tak menarik kata-kataku lagi, juga adalah jalan ninjaku."

Naruto menggigit keras bibir bawahnya. Kening Naruto berkerut hebat saat pemuda itu menekan kuat-kuat mata langitnya yang terpejam, berusaha memusnakan berbagai emosi tak terdefinisikan dalam hatinya saat ini.

"Ayo kita pulang, Hinata." Akhirnya Sakura, yang adalah Henge Naruto, mengeluarkan suaranya yang begitu jelas terdengar sedang menahan emosi.

"Un." Hinata menganggukkan kepala pelan.

oOo oOo oOo

Naruto dan Hinata berjalan dalam diam. Kali ini mereka tak berjalan beriringan seperti sebelumnya. Naruto lebih memilih untuk berjalan di depan Hinata. Hati dan pikirannya terasa kacau sekali. Banyak hal yang tiba-tiba diingatnya. Banyak hal yang difikirkannya. Terlalu banyak hal yang membuat kepala Naruto terasa berdenyut hebat.

"Bagaimana kau bisa bilang baik-baik saja jika kau bahkan sampai mengacaukan aliran cakramu sendiri, Hinata?!"

"Sakura! Kau jangan diam saja! Nasehati gadis keras kepala ini! Tsunade-sama bilang karena cakra Hinata yang kacau byakugan Hinata tidak dapat dinonaktifkan!"

"Dia bahkan harus menutup matanya dengan kain ini agar tak menghabiskan banyak cakranya!"

Terbayang dalam ingatan pemuda jabrik ini bagaimana ekspresi wajah Ino yang jelas menunjukkan ketidakmengertian yang sangat besar atas pengorbanan yang diam-diam Hinata lakukan untuk Naruto.

"Memangnya kenapa kau begitu ketakutan dengan Hinata, Sasuke?!"

"Gadis itu, punya cakra yang tak biasa."

"Hah?"

"Hahh..."

"Lupakan. Aku jelaskan kau juga tak akan mengerti."

"Sialan kau, Sasuke!"

Detik selanjutnya, ingatan tentang percakapannya dengan Sasuke memenuhi pikiran Naruto.

"Gadis bodoh! Bisa-bisanya kau benar-benar mengorbankan segalanya untuk Naruto yang bahkan tak menganggap perasaanmu sama sekali!"

"Menjadi miko penjaga jinchuuriki dan mengorbankan mata, bahkan nyawamu untuk menyegel kekuatan Kyuubi?! Kau benar-benar gadis gila, Hinata!"

Wajah kesal Ino kembali terbayang sangat jelas dalam lamunan Naruto.

'Kenapa kau harus sangat peduli padaku?' Batin Naruto tak mengerti.

"Nggh..!" Genggaman tangan Naruto dirasakan gadis bersurai biru gelap ini beberapa kali menguat, bahkan terlalu kuat hingga Hinata memekik tertahan. Namun pekikan kecil Hinata tak sedikitpun mampu membawa kesadaran Naruto yang sepertinya tenggelam terlalu jauh dalam lamunannya.

"Itulah sebabnya aku tidak takut untuk mati jika itu berarti aku akan melindungimu!"

"Karena aku mencintaimu, Naruto-kun."

'Kenapa kau jatuh cinta padaku?' Naruto memecah keramaian jalanan Konoha dengan gadis yang berjalan sedikit terseok-seok dibelakangnya untuk mengimbangi langkah panjang Naruto.

"Dai suki."

"Dai suki, Naruto-kun."

Naruto menekan kuat-kuat giginya yang menimbulkan bunyi gemerutuk.

'Apa aku pantas dicintai oleh gadis sepertimu?' Mata langit Naruto kembali terpejam, kerutan yang kembali tercipta pada keningnya menandakan bagaimana pemuda itu berfikir begitu kerasnya.

"Sakura-san!" Panggil Hinata sedikit keras.

Naruto menghentikan langkahnya. Diputarnya kepala pinknya untuk menatap gadis yang sedikit terengah di belakangnya.

"Ittai, Sakura-san." Adu Hinata.

Naruto yang segera menyadari maksud Hinata, mengendorkan genggaman tangannya tanpa sedikitpun punya niat untuk melepaskan tangan lembut Hinata.

"Gomen, Hinata." Jawab Naruto singkat. Suara Naruto masih jelas terdengar bergetar menahan emosi.

oOo oOo oOo

Ting Tong. Ting Tong.

Naruto menekan bel pagar rumah Hinata keras-keras sampai menimbulkan bunyi "tak" tiap kali telunjuk kanannya mendarat kasar pada badan bel. Dibiarkan saja gadis indigo di samping belakangnya berdiri dalam diam.

Ting Tong. Ting Tong.

Naruto kembali menekan bel rumah Hinata dengan tidak sabar. Entah kenapa saat ini Naruto berharap bisa secepatnya menjauh dari Hinata.

"A-ano, Sakura-san." Panggil Hinata ragu.

"Kau bisa meninggalkanku disini. Mungkin Ko atau yang lain sedang sibuk." Usul Hinata. Naruto yang hampir menekan bel rumah Hinata, menurunkan kembali telunjuk kanannya. Ditatapnya sebentar wajah teduh Hinata yang berdiri sedikit jauh di belakangnya.

Ting Tong. Ting Tong.

Kali ini Naruto memilih untuk mengabaikan usulan Hinata. Naruto kembali menekan kuat-kuat bel pintu rumah Hinata, mencoba melampiaskan semua emosi yang semakin lama semakin sesak dirasakannya.

'Naruto-kun,' Batin Hinata dalam hati.

Ting Tong. Ting Tong. Ting Tong.

Hinata menarik sedikit tangannya yang tenggelam dalam genggaman Naruto. Naruto refleks menolehkan wajahnya untuk kembali menatap Hinata. Tanpa diduga, Hinata mendekatkan tubuhnya. Dengan berpegang pada intuisinya sebagai ninja, Hinata melebarkan tangannya. Direngkuhnya badan kurus gadis di depannya ke dalam pelukan Hinata. Jika mata bulan Hinata tak tertutup perban, mungkin saat ini tatapannya akan sama sayunya dengan Naruto.

Hinata mulai mengangkat tangannya menyentuh kepala pink henge Naruto. Hinata membimbing kepala pink henge Naruto yang notabene lebih tinggi daripada Hinata itu untuk bersandar pada bahu kecil Hinata.

"Gomen ne," Hanya itu yang dapat diucapkan Hinata. Hanya kata maaf yang mampu mewakili semuanya saat ini. Setidaknya itulah yang ada dalam pikiran Hinata.

Naruto mengangkat tangannya dengan gerakan pelan. Dibalasnya pelukan Hinata sedikit erat, berharap semua emosi yang menyesakkan dadanya akan segera menguap oleh kehangatan hati gadis indigonya.

"Jadi kau tahu ini aku, Hinata." Naruto menyamankan kepalanya pada bahu kecil Hinata.

oOo oOo oOo

Tap.

Seorang pemuda berkulit pucat menatap dingin pada rekan satu timnya yang duduk diam dalam buaian angin malam musim semi Konoha. Mungkin mata langit pemuda itu menatap pemandangan di bawahnya, pemandangan keramaian aktivitas penduduk Konoha baik sipil maupun para ninja, tapi Sai yakin jika pikiran pemuda jabrik itu tak berada di sini.

Naruto memang sedang melamunkan kembali detik-detik dimana dia dan Hinata terpaksa menikmati hembusan angin musim semi dalam perasaan kacau. Entah kenapa Naruto selalu mendapatkan suasana romantis di saat yang tidak tepat. Saat dimana keduanya tak bisa saling tersipu malu oleh setiap interaksi yang tercipta, karena permainan takdir.

Tapi entah bagaimana dalam setiap kekacauan hatinya, sifat lembut dan ketegasan Hinata selalu mampu menjadikan gadis itu seorang wanita yang menenangkan hati Naruto dan menyelimuti Naruto dengan kehangatan yang tak ternilai oleh pemuda yang haus akan kasih sayang orangtua, terutama kasih sayang seorang Ibu.

Sai memutuskan untuk duduk di samping pemuda jabrik yang bahkan tak tanggap dengan kehadiran Sai. Tak terdengar kehebohan yang biasanya selalu mengikuti kemana pun dimana Naruto berada.

"Kau tak terlihat baik-baik saja, Naruto." Komentar Sai. Naruto bergeming. Rambut jabriknya yang mulai memanjang terayun-ayun dipermainkan angin.

"Baiklah. Ajak aku bicara saat kau siap." Putus Sai yang tak mendapatkan respons berarti dari Naruto.

Cukup lama kedua pemuda yang duduk diatas ukiran kepala Yondaime Hokage itu terdiam. Tak sedikitpun suara yang bercampur dengan hembusan angin malam musim semi Konoha. Keduanya seperti asyik tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.

"Sai." Panggil Naruto akhirnya.

"Ya?" Jawab Sai cepat. Naruto menolehkan kepala jabriknya memandang Sai dengan tatapan serius.

"Bakteri cinta. Kau kan yang punya ide itu?"

Mata kelam Sai sedikit melebar. Pandangan iris obsidiannya berubah menajam. Sai tahu Naruto dijuluki oleh teman-teman rookie sebagai ninja yang paling tak bisa ditebak kelakuan dan pikirannya, namun baru sekarang Sai setuju bahwa julukan itu bukan sekedar untuk mengolok-olok Naruto. Bahkan Sai tak menyangka jika Naruto bisa sampai pada kesimpulannya sekarang.

'Mungkin Naruto adalah ninja jenius dengan caranya sendiri.' Lamun Sai.

"Sai!" Ulang Naruto.

"Darimana kau tahu?" Tanya Sai kemudian.

Naruto menyeret iris safirnya untuk kembali menikmati keramaian aktivitas malam warga desa.

"Uchiha Sasuke bukan orang yang bisa memikirkan ide konyol seperti bakteri cinta." Jawab Naruto dengan suara datar.

"Dia sama kikuknya sepertiku jika itu tentang cinta." Tambah Naruto. Sai bergeming, memberi Naruto kesempatan untuk lebih banyak berbicara.

"Aku hanya ingin tahu, apa maksud sebenarnya kau menyusun rencana bakteri cinta." Naruto tak sedikitpun menolehkan kepala jabriknya untuk menatap Sai.

"Ceritakan padaku, Sai!" Perintah Naruto.

Sai masih diam untuk menimbang-nimbang keputusan yang akan diambilnya. Ditatapnya mata sayu Naruto yang sepertinya masih menyimpan begitu banyak pertanyaan dalam pikirannya.

"Baiklah Naruto, aku akan menceritakan semuanya." Putus Sai setelah beberapa lama.

"Sebenarnya aku membuat rencana ini karena Sasuke mencurigai cakra Hinata yang menurutnya terkadang terasa sedikit berbahaya saat berada di dekatmu." Sai memulai ceritanya, kepala hitamnya diputar untuk ikut menikmati keramaian desa jauh di bawah sana.

"Sasuke berencana untuk memata-matai Hinata dan menemukan jawabannya. Dia memintaku untuk membantunya mencari informasi karena aku sudah terlatih sebagai ANBU Root tanpa kau harus tahu."

"Saat itu aku sendiri belum tahu rahasia tentang Hinata yang berlatih menjadi miko."

"Saat aku mengetahuinya dan akan memberitahu Sasuke, seorang ANBU bawahan Kakashi-sensei menangkapku dan membawaku menemuinya di kantor Hokage."

Walaupun tak menatap Sai, namun Naruto memasang baik-baik telinganya agar tak satupun cerita Sai yang terlewatkan olehnya.

"Kakashi-sensei memerintahkanku untuk menyembunyikan rahasia ini darimu dan Sasuke atau aku akan dipenjara diruang bawah tanah Konoha sampai batas waktu tertentu."

"Kakashi-sensei juga memerintahkanku untuk mengalihkan perhatian Sasuke dari Hinata."

"Dari situ aku sadar pastilah rahasia miko ini termasuk rahasia besar."

"Aku memutar otakku keras untuk mencari ide bagaimana Uchiha Sasuke akan mampu teralihkan perhatiannya dari Hinata."

"Saat aku sedang membaca Icha-Icha Paradise yang diberikan Kakashi-sensei padaku untuk membantuku melepas stress, Sasuke untuk pertama kalinya mengeluh padaku bagaimana usahanya yang begitu keras untuk menyampaikan perasaannya pada Sakura secara tersirat tak mendapatkan hasil juga. Dari sana aku akhirnya membuat rencana bakteri cinta ini bersama Sasuke."

Naruto memutar kepala jigraknya cepat mendengar kata "Icha-Icha Paradise" dari meluncur dari mulut Sai.

"Kau tak membohongiku kan, Sai?" Tanya Naruto yang meragukan pendengarannya sendiri.

"Ya." Sai menatap Naruto tanpa berkedip mencoba menyakinkan Naruto atas kejujurannya.

"Aku sendiri sebenarnya tak menyangka jika Sasuke menyetujuinya tanpa menaruh sedikitpun curiga padaku." Lanjut Sai.

"Maafkan aku, Naruto. Aku tak sedikitpun menyangka jika bakteri cinta itu sudah berkembang sangat jauh dari rencana awalnya." Sesal Sai.

"Aku bahkan ikut tenggelam dalam permainan yang aku buat sendiri." Sai menggaruk-garuk pipi pucatnya dengan gerakan kaku.

"Apa itu tentang kau jatuh cinta pada Ino?" Tanya Naruto.

"Ya. Seperti itu." Jawab Sai sedikit malu-malu.

"Aku sudah melalaikan tugas utamaku mengalihkan perhatian Sasuke dari Hinata."

"Dan lebih buruk lagi aku membuatmu tahu rahasia miko ini." Sai menatap tajam mata langit Naruto. Walau Naruto tak setuju dengan kata terakhir Sai, Naruto memilih untuk tak mengoreksinya.

"Hahh…" Naruto menghela nafas berat. Mendengar kata miko membuat hatinya kembali dilanda emosi. Bukan pada Hinata, tapi lebih pada dirinya sendiri yang terlihat begitu lemah hingga gadis indigonya harus menjadi penjaga jinchuuriki.

"Kenapa semua orang ingin merahasiakan sesuatu dariku." Gumam Naruto. Sai diam tak merespons masih sibuk memikirkan jawaban yang tepat untuk gumaman Naruto.

"Mungki karena sayang denganmu, Naruto." Naruto melebarkan sedikit mata langitnya mendengar jawaban Sai yang terasa begitu tepat hingga Naruto tak bisa membantah. Namun Naruto memilih untuk tetap mempertahankan posisi awalnya lebih lama agar tak beradu pandang dengan Sai.

"Naruto, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?" Pinta Sai. Naruto menyeret iris safirnya yang segera bertabrakan dengan iris obsidian gelap Sai.

"Apa?" Tanya Naruto.

"Jika Kakashi-sensei bertanya padamu siapa yang membocorkan rahasia ini, tolong jangan libatkan Ino."

"Kau cukup ceritakan bagaimana aku memberitahu detail rahasia itu padamu seperti sekarang."

Naruto mendengus geli mendengar permintaan Sai yang sangat tak biasa baginya.

"Apa kau melakukannya untuk melindungi Ino?" Tebak Naruto. Sai bergeming.

"Huh," Naruto mendengus geli melihat rona merah tipis mulai merambati kulit pucat Sai.

"Aku benar-benar tak menyangka kau akan jatuh cinta pada Ino, Sai."

oOo oOo oOo

"Apa yang mereka bicarakan, Hinata?" Tanya Sakura yang penasaran.

"Aku tidak boleh menggunakan ninjutsu untuk sementara waktu, Sakura-san." Jawab Hinata.

"Bagaimana dengan matamu, kapan perbannya akan dibuka?" Tanya Sakura lagi.

"Tou-sama sudah berhasil menonaktifkan kembali byakuganku, Sakura-san." Jawab Hinata yang tersenyum tipis pada gadis musim semi disampingnya.

"Sungguh?" Tanya Sakura sangat antusias mendengar kabar gembira dari Hinata.

"Ya," Jawab Hinata

"Lalu kenapa matamu masih tertutup?" Tanya Sakura tak mengerti.

"Aku sendiri tidak tahu, Sakura-san." Hinata menggelengkan kepala birunya pelan.

"Aku hanya menuruti apa yang Tou-sama dan Tsunade-sama perintahkan demi kebaikanku." Tambah Hinata.

"Huh! Baru sekarang kau memikirkan kebaikanmu?!" Sakura menatap kesal gadis yang berjalan disampingnya.

"Kau membuat teman-temanmu khawatir. Kau tahu?" Hinata tersenyum mendengar bagaimana Sakura sangat mengkhawatirkannya.

"Gomen ne, Sakura-san. Aku janji mulai sekarang akan menuruti kata-katamu dan Ino-san." Hinata mencoba menghilangkan kekesalan gadis cantik yang menjadi cinta pertama Naruto itu.

"Kau bohong!" Sergah Sakura.

"Jika itu tentang Naruto, kau pasti akan mengabaikan dirimu sendiri dan sekitarmu."

"Kau bahkan membuatku menerima hukuman dari Shisho. Kau tak tahu pegalnya tanganku, Hinata." Keluh Sakura.

"Gomen ne, Sakura-san." Sesal Hinata. Sakura mendengus kesal.

"Hinata, kau gadis yang terlalu lembut untuk Naruto. Aku tahu kau suka si jabrik itu, tapi kau tak boleh…"

Hinata tersenyum mendengar Sakura yang memarahinya panjang lebar sepanjang perjalanan pulang mereka. Bukan senyum meremehkan, namun sebuah senyum haru karena Sakura benar-benar menyayanginya sebagai seorang teman.

'Arigatou, Sakura-san.' Hinata yang tak punya kesempatan menyela Sakura memilih untuk berterima kasih dalam hati.

oOo oOo oOo

Keesokan Harinya

"Jadi Tsuchikage muda akan datang bersama empat orang penasehatnya?" Kakashi menaikkan sebelah alisnya membaca kembali gulungan yang berisi jawaban para Kage terhadap undangannya untuk ikut meramaikan festival bunga Konoha sekitar 1 minggu lagi.

"Ya, benar-benar merepotkan." Tanggap Shikamaru. Kakashi mengulum senyum geli seolah bisa menerobos pikiran Shikamaru yang sebenarnya ingin berdua saja menikmati festival bunga bersama Temari.

Tok. Tok. Tok.

"Masuklah," Jawab Kakashi yang sedikit mengeraskan suaranya.

Pintu ruang Hokage terbuka perlahan, seolah pengetuk pintu merasa berat melangkahkan kakinya untuk masuk lebih jauh ke dalam ruang Hokage.

"Ada apa, Naruto?" Diluar dugaan, Kakashi menyambut dengan tenang kehadiran Naruto yang tak terlihat bersemangat seperti biasanya.

"Kau sibuk, Kakashi-sensei?" Tanya Naruto. Mata langitnya sibuk menyapu meja Kakashi yang saat ini lumayan penuh dengan gulungan berbagai macam sampul.

"Ada yang ingin kau bicarakan?" Tanya Kakashi balik.

"Aku akan menunggu diluar saja." Putus Naruto sepihak. Saat ini Naruto terlihat seperti seorang anak sedang merajuk kepada ayahnya.

Blum.

Suara pintu ruang Hokage yang tertutup begitu mengganggu pikiran Kakashi.

"Bagaimana, Hokage-sama?" Shikamaru meminta keputusan Kakashi.

"Abaikan saja dia untuk saat ini. Lanjutkan laporanmu, Shikamaru." Putus Kakashi. Shikamaru menyungging senyum tipis.

'Ya, biarkan Naruto mendinginkan kepalanya dulu, Kakashi-sensei.' Batin Shikamaru.

.

.

Cklek.

Naruto menolehkan kepalanya jabriknya dan menatap seorang pemuda berbadan tinggi yang baru saja keluar dari dalam ruang Hokage.

"Kau baik-baik saja, Naruto?" Tanya Shikamaru. Ditatapnya Naruto penuh selidik.

"Ya, tentu saja, Shikamaru" Naruto mencoba membuat sebuah senyum palsu, seperti yang sering dilakukan Sakura dan Sai, namun gagal karena senyum aneh yang disunggingnya.

Plok.

Shikamaru mendaratkan salah satu tangannya pada bahu Naruto dan sedikit meremasnya untuk berbagi semangat.

"Kau seperti bukan Naruto saja." Sindir Shikamaru.

"Masuklah. Hokage-sama sudah menunggumu." Tambah Shikamaru.

Jika boleh jujur, Naruto sedikit kagum dengan kedewasaan yang sering ditunjukkan oleh pemuda yang sangat membenci hal-hal merepotkan ini. Naruto berfikir mungkin kedewasaan Shikamaru banyak dipengaruhi oleh ketertarikannya pada Temari yang notabene berusia 3 tahun lebih tua daripada Shikamaru.

"Ya. Terima kasih, Shikamaru." Lirih Naruto.

.

.

"Jadi, Sai sudah menceritakan semuanya padamu?" Pekik Naruto kaget.

"Ya. Semalam dia melaporkan kegagalannya menyelesaikan misinya menjaga kebocoran rahasia miko darimu." Jawab Kakashi tenang.

"Lalu dimana dia, Kakashi-sensei?" Tanya Naruto.

"Tentu saja dia berada dipenjara bawah tanah, Naruto." Jawab Kakashi datar.

"APA?!" Naruto membulatkan iris safirnya tak percaya.

"Bagaimana bisa kau dengan tenang memenjarakannya, Kakashi-sensei?!" Tanya Naruto tak mengerti.

"Dia tak memberitahuku dengan sengaja." Naruto tak memberi Kakashi waktu untuk menjelaskan alasannya.

"Aku janji tak akan membocorkannya pada siapapun. Bahkan Sasuke." Naruto mulai tak bisa mengendalikan emosinya.

"Jadi untuk apa kau memenjarakan Sai?!" Kakashi diam membiarkan Naruto menyelesaikan kemarahannya. Kakashi menumpukan beban kepalanya pada kesepuluh jari tangan yang diikat laki-laki berambut perak ini di depan mulutnya.

"Sensei! Jawab aku!" Desak Naruto pada Kakashi yang hanya diam menatap Naruto dengan sepasang mata sayunya.

"Hahh…" Kakashi menghela nafas berat.

"Biarkan Sai menjalani konsekuensi dari misi yang diembannya, Naruto." Bujuk Kakashi agar emosi Naruto sedikit mereda.

"Tapi ini sangat tak adil untuknya!" Tolak Naruto yang mengibaskan salah satu tangannya cepat.

"Aku tahu kau seorang Hokage! Tapi kau tak boleh lupa jika Sai juga bagian dari Tim 7, Sensei!"

"Cukup!" Kakashi menghentikan keluhan Naruto.

"Serahkan semua padaku. Aku akan mengatur sesuatu untuk kebaikan kita semua, Naruto!" Jelas Kakashi.

"Pulanglah dan kembali kemari 3 hari lagi bersama Sasuke dan Sakura!" Tegas Kakashi. Mata langit Naruto membulat tak percaya dengan sikap dingin laki-laki di depannya.

Naruto memutar tubuhnya kasar, pergi meninggalkan Kakashi tanpa meninggalkan sebait salam atau gurauan seperti kebiasaannya selama ini.

Blum.

Naruto menutup pintu Hokage dengan keras menumpahkan kekesalannya pada Kakashi melalui pintu ruang Hokage.

"Hahh…" Kakashi kembali menghela nafas berat mencoba memahami kelabilan emosi Naruto seperti saat dia masih menjadi sensei dari Tim 7.

"Kau lupa aku harus menjaga wibawaku sebagai seorang Hokage, Naruto." Gumam Kakashi seorang diri.

oOo oOo oOo

3 Hari Berikutnya

Ting Tong. Ting Tong.

Deg. Deg. Deg. Deg. Deg.

Jantung Naruto berdetak sangat cepat. Keringat dingin mulai turun satu per satu dari balik rambut kuningnya. Ini adalah kali pertama Naruto akan bertamu di rumah Hinata. Jika bukan karena hasutan Sakura setelah menemui Kakashi-sensei di gedung Hokage, Naruto tidak akan berakhir di depan pintu pagar rumah Hinata seperti seekor kucing yang baru saja ketahuan mencuri ikan.

'Sepertinya tak ada orang di rumah Hinata.' Naruto yang entah mengapa merasa grogi memutuskan untuk membatalkan niatnya menemui Hinata.

'Lebih baik aku pergi dari sini.' Baru saja Naruto hendak melangkahkan kakinya pergi, suara pagar yang terbuka tertangkap pendengaran Naruto.

Naruto yang sudah membelakangi pagar rumah Hinata, segera membalikkan tubuhnya cepat. Betapa kagetnya Naruto saat menyadari yang berada di depannya bukan Ko atau anggota Hyuuga lain yang tak Naruto kenal, namun seorang laki-laki dengan rambut coklat lurus panjang dan memiliki iris amethyst seperti Hinata, berdiri tegak seolah menantang Naruto untuk bertarung.

"Kon-konbanwa, Hiashi-san." Gagap Naruto yang refleks membungkukkan badannya dalam-dalam hingga hampir membentuk sudut 90 derajat.

"Ya." Jawab Hiashi singkat.

"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Hiashi dengan wajah sangar.

"A-ano, aku ingin menjenguk Hinata." Jawab Naruto yang entah kenapa menjadi bertambah gugup tak seperti pertemuannya dengan Hyuuga Hiashi hari-hari sebelum hari ini.

Hiashi menatap mata langit Naruto intens, membuat Naruto semakin salah tingkah.

'Sial! Rasanya lebih menegangkan daripada menghadapi Kaguya.' Rutuk Naruto dalam hati.

"Hari sudah hampir petang, pulanglah." Tolak Hiashi. Dengan gerakan lambat dan penuh wibawa, Hiashi menutup pintu gerbang rumah keluarganya.

Slap.

Tanpa banyak berfikir, Naruto menahan pintu pagar yang hampir tertutup sepenuhnya. Hiashi, bahkan Naruto sendiri, sedikit terlonjak kaget dengan aksi tak terduga Naruto. Sudah kepalang tanggung, Naruto menatap Hiashi dengan wajah tersipu menahan malu.

"A-aku akan be-berang-kat misi besok dalam waktu yang lama, Hiashi-san." Jelas Naruto.

"Da-dalam wak-tu yang lama." Naruto mengulang dan memberi penekanan pada kata "dalam waktu yang lama" berharap Hiashi mau mengubah penolakan sebelumnya.

"Ka-karena itu a-aku ingin bertemu Hinata." Naruto benar-benar merutuki kegugupannya di depan Hiashi yang membuatnya terlihat tidak gagah sama sekali.

Naruto berdoa dalam hati semoga Sakura ataupun Sasuke tak mengintipnya, jika tidak nasib Naruto tak akan jauh berbeda dari Shikamaru yang sering sekali menerima tawa geli Naruto dan teman-temannya jika sudah menyangkut soal Temari.

Hiashi lagi-lagi mencoba menelanjangi Naruto dengan tatapan tajam mata amethysnya. Naruto yang sering menerima pandangan lembut Hinata tak pernah menyangka jika iris amethyst klan Hyuuga bisa sangat menakutkan saat pemiliknya adalah Hyuuga Hiashi.

"Kenapa kau harus bertemu dengan Hinata jika kau akan berangkat misi dalam waktu lama?" Hiashi memukul telak Naruto dengan pertanyaannya.

"…" Naruto tak mampu menjawab pertanyaan Hiashi segera.

Naruto berfikir tak mungkin baginya untuk mengakui alasan sebenarnya adalah Naruto ingin membuat sebuah pengakuan pada Hinata. Tak mungkin juga Naruto mengatakan jika Naruto takut merindukan Hinata jika berangkat misi sebelum bertemu Hinata. Saat ini tak ada alasan yang benar-benar terdengar logis bagi Naruto untuk disampaikan pada Hiashi.

"Aku tak akan membiarkanmu masuk dan menemui Hinata jika kau tak menyampaikan alasanmu sebenarnya ingin menemui anakku." Hiashi masih tetap berpegang teguh pada keputusannya.

Ekspresi Naruto berubah aneh mendengar keputusan Hiashi. Naruto bahkan sempat berfikir untuk bertarung saja dengan Hiashi, atau menculik Hinata saja dari rumahnya. Tapi iris amethyst Hiashi yang tajam membuat Naruto yang masih sayang nyawanya meneguk ludah dengan susah payah.

"A-a-aku me-menyukai Hinata, Hiashi-san." Naruto akhirnya memutuskan untuk membuat pengakuan di depan Hiashi.

"A-a-aku ingin Hinata ta-tahu pera-saanku." Tambah Naruto.

'Arrgh! Sial! Kenapa aku jadi aneh seperti ini, ttebayou!' Naruto menjerit-jerit kesal dalam hati.

Melihat wajah frustasi Naruto, membuat Hiashi tak tega juga untuk meneruskan keasyikannya mengerjai Jinchuuriki Kyuubi ini. Wajah Naruto yang memerah padam akhirnya berhasil meyakinkan Hiashi jika Naruto bersungguh-sungguh atas alasan yang baru saja disampaikannya.

"Huh," Hiashi yang takut tak bisa menahan tawa geli dan mengambil resiko kehilangan wibawanya di hadapan Naruto, memilih memutar tubuh tegapnya membelakangi Naruto.

"Masuklah." Satu kata terakhir Hiashi membuat Naruto tanpa sadar menghembuskan nafas lega.

'Sialan! Sepertinya dia mengerjaiku saja, ttebayou!' Rutuk Naruto dalam hati.

oOo oOo oOo

"Nah, sudah selesai, Nee-sama." Hyuuga Hanabi meletakkan sisir yang baru saja dipakainya untuk merapikan anak rambut Hinata yang sedikit keluar dari barisan kepangan Hinata.

"Arigatou, Hanabi-chan." Hinata tersenyum manis.

"Kau terlihat sangat cantik dengan kepangan, Nee-sama." Puji Hanabi. Iris amethyst Hanabi bergulir ke arah berlawanan dari tubuh Hinata sembari menyungging senyum geli.

"Arigatou, Hanabi-chan." Hinata tertawa kecil.

"Kau mau masuk, Nee-sama?" Tawar Hanabi. Hinata menggelengkan kepala birunya yang terkepang.

"Aku ingin berada di sini sebentar." Tolak Hinata.

"Baiklah, aku akan kembali jika sudah waktunya makan malam." Hanabi berdiri dari duduknya dan berjalan kembali ke dalam rumah meninggalkan Hinata.

Hanabi kembali mengulum senyum geli saat melewati Naruto yang bersandar pada dinding rumah untuk mengawasi Hinata dengan wajah merona merah. Naruto sedikit menyesali bagaimana bisa dia tak berfikir lebih jauh tentang kecanggungan yang akan dirasakannya untuk bertamu di rumah Hinata. Salahkan sifat ceroboh Naruto yang dengan mudahnya mengiyakan usulan Sakura agar Naruto membuat pengakuan sebelum menjalankan misinya.

Setelah Hanabi benar-benar hilang dari pandangannya, Naruto yang sesaat sebelumnya membuang jauh-jauh pandangannya kesembarang arah karena malu, kembali menggulirkan iris safirnya untuk mengawasi Hinata. Ini adalah kedua kalinya Naruto melihat tatanan rambut Hinata yang berbeda. Naruto merutuki dirinya sendiri bagaimana bisa dia baru menyadari kecantikan Hyuuga Hinata setelah sekian lama mengenal gadis itu.

Hinata masih setia mendongakkan wajahnya menatap langit merah diatas sana. Kemungkinan besar jika tak terhalang oleh perban, Hinata akan tak akan bosan memuji keindahan langit senja Konoha di musim semi.

"Naruto-kun," Gumam Hinata. Naruto terlonjak sedikit kaget mengira jika Hinata menyadari keberadaannya.

"Aku merindukanmu." Hinata yang masih dilarang untuk memakai ninjutsu sebenarnya tak mampu merasakan kehadiran Naruto. Gadis cantik itu tanpa malu-malu mengungkapkan isi hatinya karena berfikir tak ada siapapun selain dirinya di halaman belakang rumahnya.

Blush!

Kulit tan Naruto hampir tertutup seluruhnya oleh rona merah saat Hinata menyempurnakan kalimatnya.

"Karena aku mencintaimu, Naruto-kun."

"Dai suki."

"Dai suki, Naruto-kun."

Naruto selalu dapat mengingat jelas tiap kali Hinata mengatakan rasa sukanya pada Naruto. Naruto memilih untuk mempertahankan posisi bersandarnya beberapa lama, menunggu detak jantungnya kembali normal sebelum memutuskan untuk memberitahukan keberadaannya pada Hinata.

.

.

Tap. Tap. Tap.

Suara langkah seseorang tertangkap pendengaran Hinata yang bersenandung kecil menikmati buaian lembut angin musim semi Konoha.

"Apa sudah waktunya makan malam, Hanabi-chan?" Tanya Hinata yang menyangka jika hari sudah beranjak malam.

"Hanabi-chan?" Panggil Hinata kembali saat tak mendengar jawaban dari adik kandungnya.

Naruto melihat kening Hinata berkerut heran. Rasanya hati Naruto seperti tertusuk katana Sasuke melihat Hinata yang tak bisa menggunakan indra penglihatannya lagi karena dirinya.

"Neji Nii-san? Kau sudah pulang?" Tebak Hinata. Naruto masih memilih untuk berjalan dalam diam.

"Ko? Apa itu kau?"

Hinata merasakan bahwa orang yang berjalan dalam diam tadi mengambil duduk tepat di sampingnya. Hinata memutar kepala birunya di tempat orang misterius tadi duduk.

"Tou-sama?" Tebak Hinata untuk kesekian kalinya.

Naruto memandang Hinata dengan tatapan miris. Betapa selama ini gadis indigonya diam-diam mengorbankan banyak hal untuknya. Untuk laki-laki bodoh yang terlalu lambat menyadari perasaan tulus sang gadis.

"Naruto."

"Jangan suka membuat Hinata menangis, ttebane."

Nasehat ibunya kembali terngiang dalam benak Naruto. Walau hanya dalam mimpi namun kata-kata Kushina begitu kuat terpatri di hati Naruto.

"Siapa?" Tanya Hinata yang menyerah untuk bermain tebak-tebakan.

"Ini aku, Hinata." Naruto akhirnya membuka suara.

"Hah?"

'Naruto-kun?' Hinata menutup cepat mulutnya yang terbuka. Tak pernah sekalipun bahkan untuk bermimpi Uzumaki Naruto akan menjenguknya, apalagi di dalam rumah keluarganya.

.

.

Tik. Tik. Tik.

Ciiit. Ciiit. Ciiit.

Wush. Wush. Wush.

Dalam berbagai macam suara yang dibuat oleh alam, cukup lama tak terdengar suara gadis dan pemuda yang duduk manis di halaman belakang rumah keluarga Hyuuga. Hinata masih sedikit terkejut oleh kedatangan Naruto. Naruto sendiri sepertinya masih berpikir keras untuk mengingat kembali susunan kata yang dituliskan oleh Sasuke sebelum berangkat ke rumah Hinata.

"A-apa kau mencari Neji Nii-san, Naruto-kun?" Tanya Hinata berusaha memecah kesunyian antara mereka.

"Hmm…" Naruto menggaruk-garuk pipi berkumisnya.

"Aku hanya ingin menjengukmu, Hinata." Jelas Naruto.

Hinata menundukkan dalam-dalam kepala birunya agar Naruto tak melihat wajahnya yang terasa memanas, yang Hinata rasa merona sangat merah walau tertutupi oleh perban pada mata indigonya.

"A-arigatou, Naruto-kun." Hinata bermain dengan jari-jari lentik yang berada di atas pangkuannya sendiri.

Deg. Deg. Deg.

Jantung Naruto kembali berdetak diluar normal menyadari perubahan warna wajah Hinata yang membuat gadis indigonya terlihat sangat manis. Jika tidak ingat saat ini Naruto berada di rumah pemilik byakugan, mungkin Naruto tak perlu menahan diri untuk tak memeluk Hinata. Ya, bagaimanapun juga Naruto sudah beranjak dewasa, sesekali berfikir sedikit mesum bukanlah hal aneh untuk seorang pemuda.

"Naruto-kun," Panggil Hinata lembut.

"Ya, Hinata." Jawab Naruto cepat.

"Gomen ne." Hinata mendongakkan wajahnya dan memberanikan diri untuk menatap Naruto dengan bersembunyi dibalik perban. Naruto bergeming, memberi kesempatan gadis cantik itu untuk menyelesaikan kalimatnya.

"Aku selalu egois." Hinata memulai penjelasannya dengan suara penuh sesal.

"Aku tak mengatakan apapun tentang rahasia miko padamu. Aku tahu kau pasti tak akan mengizinkanku jika aku jujur padamu." Suara Hinata semakin lama semakin lirih karena tak yakin dengan keputusannya untuk jujur pada Naruto.

"Rahasia ini juga untuk menjaga perasaan Sasuke-kun, agar tak merasa jika Konoha masih saja belum mempercayai klan Uchiha."

"Aku tak ingin kau kehilangan sahabatmu lagi, Naruto-kun."

"Aku tak ingin melihatmu berada dalam bahaya lagi demi membujuk Sasuke-kun lagi." Hinata mengambil jeda.

"Demo, Naruto-kun. Aku mau menerima permintaan Tsunade-sama menjadi seorang miko bukan hanya untuk melindungimu saja."

"Aku melakukannya untuk melindungi keluargaku, teman-temanku, dan semua orang di Konoha."

"Aku mencintai desa ini, Naruto-kun."

Naruto mengukir sebuah senyuman bangga mendengar jawaban Hinata. Naruto mengalihkan pandangannya dari gadis indigonya menatap langit jingga yang semakin jelas menghiasi alam Konoha.

"Aku tahu, Hinata." Jawab Naruto singkat.

Hinata menggigit bibir bawahnya mengira jika Naruto masih marah padanya karena menyembunyikan kenyataan jika diam-diam dia berlatih jutsu menjadi miko penjaga jinchuuriki. Mata indigonya yang tertutup menghalangi Hinata melihat sebuah senyuman hangat yang terukir jelas pada wajah sang pemuda.

"Sekarang biarkan aku yang banyak bicara, Hinata." Ucap Naruto.

Hinata mendongakkan kepala birunya saat menyadari dalam nada bicara Naruto tak lagi terselipi oleh emosi tertahan seperti saat pertama Naruto tahu rahasia miko.

"Apa kau tahu? Kau adalah gadis teraneh yang pernah aku temui, Hinata." Naruto masih mempertahankan posisi awalnya menatap langit orange Konoha.

"Kita adalah teman sejak bersekolah di akademi ninja. Kau pasti tahu bagaimana aku melakukan banyak kekonyolan hanya untuk mendapatkan seorang teman. Kau pasti tahu seberapa besar usahaku mendapat pengakuan dari warga desa sebagai seorang Uzumaki Naruto, bukan Jinchuuriki yang ditakuti oleh semua orang."

Hinata mengerutkan keningnya masih belum mengerti arah pembicaraan Naruto.

"Sejak kecil aku tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu, ayah, ataupun saudara. Saat aku mendapatkannya satu per satu dari teman-temanku, guruku, dan orang-orang disekitarku, bahkan Kurama yang akhirnya mau berteman denganku, jauh dalam lubuk hatiku aku merasa sangat senang sekali."

"Akhirnya aku memiliki kehidupan normal seperti orang lain." Naruto diam sesaat meresapi udara musim semi yang tahun ini terasa spesial untuknya.

"Akhirnya selangkah lagi aku bisa mewujudkan mimpiku menjadi Hokage."

"Ya, hampir semua hal yang aku mimpikan dulu akhirnya terwujud." Naruto tersenyum sendiri.

"A-apa yang belum kau dapatkan. Naruto-kun?" Tanya Hinata.

"Apakah itu Sakura-san?" Hinata terdengar ragu untuk bertanya.

Naruto menatap gadis indigonya yang menatapnya dengan wajah penasaran. Walau tak mendapatkannya dari iris amethyst Hinata, kerutan di kening Hinata dan bibir Hinata yang sedikit mengerut sudah cukup untuk memberitahu Naruto jika Hinata sedikit cemburu.

"Kau benar-benar berfikir aku masih menyukai Sakura-chan, Hinata?" Naruto mendengus geli.

"Naruto-kun, aku…"

"Aku tak pandai mengatakan hal seperti ini, Hinata." Naruto menyela Hinata cepat, jika tidak maka Naruto akan melupakan lagi hafalannya.

"Tapi percayalah, apa yang aku ucapkan tak akan pernah aku cabut kembali. Bukankah ini jalan ninja kita?" Naruto memamerkan cengiran kesukaan Hinata.

Hinata tersenyum tipis, berusaha menahan rasa haru yang merasuki kalbunya.

"Aku suka padamu, Hinata." Sejak bagian ini, Naruto sudah terlepas dari tulisan tangan Sasuke di dalam ingatannya.

"Maaf membuatmu menunggu sangat lama untuk mendengar sebuah pengakuan dariku."

oOo oOo oOo

Hinata dan Naruto lagi-lagi duduk berdampingan dalam diam. Entah kenapa pengakuan singkat Naruto menimbulkan suasana canggung pada keduanya. Masing-masing terlalu malu untuk memulai kembali sebuah percakapan.

"Ehem." Suara deheman seorang laki-laki spontan membuyarkan suasana canggung yang tercipta antara Naruto dan Hinata.

"Eh, Hiashi-san?" Pekik Naruto kaget.

"Kau ikut makan malam disini, Naruto?" Tawar Hiashi.

Blush!

Hiashi menahan keras kepalanya untuk tak bergeleng melihat dua remaja labil di depannya yang merona tanpa alasan jelas.

"Ah, Haha. Jika kau mengizinkan, Hiashi-san." Naruto menggaruk-garuk kepala jigraknya yang tak gatal dan tertawa kikuk.

"Baiklah, lanjutkan pembicaraan kalian tentang keberangkatanmu besok." Hiashi melangkahkan kakinya jenjangnya meninggalkan Hinata dan Naruto.

"Huft!" Naruto menghembuskan nafas lega.

"Apa maksud Tou-sama, Naruto-kun?" Tanya Hinata cepat begitu menyadari kejanggalan pada kata-kata Hiashi.

"Ah, haha. Aku hampir lupa alasan keduaku datang kemari, ttebayou." Naruto mencoba bersembunyi di balik senyuman kikuknya.

Naruto meredakan tawa kikuknya saat melihat Hinata tetap menatapnya dengan wajah serius.

"Baiklah, Hinata. Aku akan mengatakannya sekarang."

"Kakashi-sensei memberiku misi untuk kembali mencari kuil Uzumaki yang tiba-tiba menghilang dari keberadaan awalnya."

"Ibu pernah bercerita padaku jika klan Uzumaki sangat ahli dalam fuinjutsu."

"Ibuku adalah seorang jinchuuriki kedua sebelumku, Hinata. Jinchuuriki Kurama sebelumnya juga berasal dari klan Uzumaki, Mito-sama, adalah istri dari Sodaime."

"Mereka berdua punya keahlian masing-masing dalam mengendalikan Kurama yang sewaktu-waktu bisa mengamuk saat itu."

"Aku merasa malu jika aku tak bisa sekuat dua wanita hebat itu, ttebayou." Naruto tertawa lebar.

"Naruto-kun." Panggil Hinata. Naruto menghapus senyuman lebarnya.

"Kau bohong." Naruto menatap Hinata tak percaya. Bagaimana gadis di depannya bisa dengan mudah mematahkan semua alasan yang dipikirkan Naruto hingga menghabisnya semua waktu perjalanannya dari kantor Hokage sampai di depan rumah Hinata. Yang bahkan membuat semua hafalannya menjadi sedikit kacau.

"Hinata, aku tidak berbohong. Hanya saja…" Bela Naruto.

"Aku tahu kau meminta misi ini agar kau menjadi lebih kuat." Giliran Hinata menyela penjelasan Naruto.

"Kau ingin menjadi kuat untuk melindungiku kan, Naruto-kun?" Tebakan Hinata benar-benar tepat seperti yang dipikirkannya.

Naruto tak segera menjawab. Naruto benar-benar bingung harus memberi penjelasan seperti apa agar Hinata mempercayai alasannya.

"Berapa lama kau akan pergi, Naruto-kun?" Tanya Hinata kemudian.

"Entahlah, Hinata. Mungkin bisa lebih dari satu tahun jika aku tak kunjung menemukan kuil klanku." Jawab Naruto ragu.

"Kau akan pergi dengan siapa, Naruto-kun?" Tanya Hinata lagi.

"Sendiri, Hinata." Jawab Naruto.

Hinata tak bertanya lagi. Naruto sendiri memilih untuk diam menanti reaksi selanjutnya dari Hinata.

"Ganbatte, Naruto-kun." Hinata mengukir sebaris senyum tipis yang hangat.

Naruto cukup terperangah. Yang ada dipikirannya beberapa saat sebelumnya adalah kemungkinan Hinata akan merengek dan memintanya untuk tetap tinggal di Konoha, atau Hinata minimal akan menangis saat tahu Naruto pergi terlalu lama terlebih tanpa seorang teman. Tapi sepertinya pikiran Naruto terlalu berlebihan. Naruto benar-benar lupa jika gadis indigonya adalah seorang gadis yang tegar dan penuh pengertian.

Grep.

Naruto menyeret pelan Hinata yang masih mempertahankan senyuman lembutnya dalam pelukan hangat Naruto. Naruto tak pernah tahu jika tubuh Hinata terasa begitu kecil dalam pelukannya, membuat gadis itu terlihat begitu lemah dan membutuhkan perlindungan dibalik ketegaran yang selama ini ditampakkannya.

Naruto semakin mengeratkan pelukannya pada Hinata. Otaknya seperti kehilangan fungsi untuk berfikir jernih karena tersihir oleh rasa nyaman yang didapatkannya dari Hinata.

"Naruto-kun," Hinata memekik kecil, suaranya terdengar lirih karena teredam dada bidang Naruto.

"Diamlah Hinata." Perintah Naruto.

"Sebentar saja." Tambah Naruto.

Naruto bisa merasakan anggukan kecil Hinata. Kini, sang jinchuuriki kyuubi lebih memilih untuk memejamkan mata menikmati setiap detik kedekatan yang akhirnya didapatkannya bersama Hinata, daripada menikmati guguran helai bunga Sakura yang banyak tumbuh di pekarangan belakang rumah keluarga Hyuuga.

Hinata sendiri tak banyak mengeluarkan ekspresi wajah kecuali rona merah yang mengintip dari balik perban yang mengikat kuat pada kepala birunya. Namun seberkas senyum tipis yang terukir di wajah ayunya, cukup untuk menggambarkan kebahagiaan yang membuncah dalam hatinya.

"Gomen ne, Hinata. Aku mungkin akan membuatmu menangis beberapa kali dengan sifatku yang seperti ini." Lirih Naruto. Hinata tak segera menjawab.

"Uhm, aku tahu." Jawab Hinata setelah beberapa saat.

"Aku akan berangkat besok pagi, Hinata." Pamit Naruto.

"Aku, aku akan menunggumu, Naruto-kun." Jawab Hinata dengan suara lirih.

Hinata merasakan pelukan Naruto sedikit mengerat, sepertinya pemuda itu berusaha menekan rasa bahagia yang menyesakkan dadanya.

"Jika aku kembali, maukah kau menikah denganku?"

Raut bahagia tergambar jelas pada wajah ayu Hinata bahkan tanpa gadis itu mengatakannya lewat sebuah kata.

"Tentu." Hinata menganggukkan kepala birunya yang menempel erat pada dada Naruto pelan.

.

.

"Tadaima," Hyuuga Neji mengerutkan keningnya heran tak mendapatkan jawaban dari seorangpun orang dalam rumah. Dipandangnya jam dinding yang menempel di depan pintu masuk.

'Belum waktunya makan malam. Kemana semua orang?' Pikir Neji sembari melepas sandal ninjanya.

Neji melangkahkan kaki menuju ruang tamu tempat biasanya Hiashi duduk diam atau membaca gulungan. Nihil.

Neji mengetuk pintu kamar Hanabi dan Hinata, tak ada jawaban.

Neji kemudian mengintip dapur dan ruang makan hanya untuk menemui kesunyian.

"Kemana semua orang?" Gumam Neji yang kali ini melangkahkan kaki menuju pekarangan belakang, tempat favorit Hinata. Dalam pikiran Neji, Hinata yang belum bisa melihat tak mungkin berkeliaran keluar rumah.

"Hah?!" Neji melongo menyaksikan tingkah aneh orang-orang rumah, termasuk Hanabi dan Hiashi, berdiri berdesakan dengan byakugan yang aktif dan memasang ekspresi masing-masing.

Hiashi yang berdiri tegap dengan tangan bersidekap dan kening berkedut kesal. Hanabi yang terkikik geli tak kunjung berhenti. Ko dan beberapa anggota bunke yang saling berpelukan dengan temannya menahan tangis haru.

"Apa yang kalian lakukan?" Tanya Neji, yang hanya bisa sweatdrop sendirian, tanpa tujuan.

oOo oOo oOo

"Kau yakin tak ada yang tertinggal, Naruto?" Tanya Sakura memastikan.

"Ya, Sakura-chan. Kau tenang saja." Naruto nyengir lebar. Semua beban dalam hatinya seperti hilang tanpa bekas selepas pertemuannya dengan Hinata semalam. Ya, walaupun Naruto harus berkali-kali meneguk ludah menerima tatapan mematikan dari Hiashi karena ketahuan sudah seenaknya memeluk Hinata.

"Kau yakin kau akan baik-baik saja, Naruto?" Untuk pertanyaan yang satu ini, Sakura sudah menanyakannya puluhan kali.

"Hahaha, tenang saja, Sakura-chan. Aku akan baik-baik saja." Jawab Naruto enteng.

Sakura berkacak pinggang dengan kesal. Bagaimana bisa Naruto terlihat begitu mirip dengan Hinata dalam hal tekad dan kebiasaan mereka mengabaikan keadaan demi terpenuhinya jalan ninja mereka.

"Bagaimana bisa Kakashi membiarkan seorang jinchuuriki berkeliaran sendirian tanpa pengawal," Sasuke masih tetap merasa keberatan dengan keputusan Kakashi seperti 3 hari yang lalu.

"Jangan khawatir, Sasuke. Aku akan baik-baik saja."

"Kau sepertinya masih meremehkan kekuatanku, Sasuke." Gerutu Naruto.

"Dia tak meremehkan kekuatanmu, Naruto. Sasuke hanya mengkhawatirkan kebodohanmu."

Naruto, Sasuke, dan Sakura memutar kepala mereka cepat. Di belakang mereka berdiri seorang pemuda berkulit pucat dengan senyum palsu andalannya. Untuk saat ini, ya, untuk saat ini saja, Naruto akan membiarkan Sai bicara sesukanya.

"Sai!" Pekik Naruto. Mata langit Naruto membulat bahagia melihat sosok Sai.

Naruto melangkahkan kakinya cepat untuk menghampiri Sai, meninggalkan Sasuke dan Sakura yang saling memandang dalam bingung melihat tingkah aneh Naruto yang terlihat sangat bahagia bertemu Sai.

"Kau sudah keluar penjara?" Bisik Naruto yang tak bisa sedikitpun menyembunyikan rona bahagia dari wajahnya bisa bertemu kembali dengan Sai sebelum berangkat misi.

"Apa yang terjadi, ttebayou?" Tanya Naruto penasaran.

"Ino mengakui jika sebenarnya dia yang membocorkan rahasia miko padamu." Jawab Sai.

"Jadi, Ino didalam penjara menggantikanmu?" Pekik Naruto kaget.

"Tunggu dulu. Aku tak mengerti. Tadi pagi aku sempat bertemu Ino sebelum Tim 10 berangkat misi." Lirih Naruto bingung sendiri.

"Tidak, Kakashi-sensei menyerahkan hukuman Ino pada Tsunade-sama." Jelas Sai.

"Syukurlah jika Ino tak dipenjara sepertimu, Sai. Kau membuatku takut saja, ttebayou." Naruto tertawa lebar.

"Terima kasih karena membelaku di depan Kakashi-sensei, Naruto." Sai menggaruk-garuk pipi pucatnya yang sekarang sudah ternoda oleh rona merah tipis karena merasa haru dengan persahabatan yang baru dia tahu bagaimana rasa hangatnya.

"Hey, kenapa kalian bicara berbisik seperti itu?!" Protes Sakura yang tak memberi Naruto kesempatan untuk menjawab Sai.

"Kalian terlihat cocok sebagai pasangan." Komentar Sasuke asal.

.

.

"Apa lagi yang kau tunggu, Naruto?" Tanya Shino saat pemuda jabrik itu tak kunjung berangkat juga.

"Ya. Semua teman-teman kita kecuali Tim 10 sudah ada disini. Apa lagi yang kau tunggu?!" Naruto menatap Kiba kesal, kata-kata Kiba barusan seolah mengusir Naruto agar cepat pergi meninggalkan desa saja.

"Hishhh! Kalian ini!"

"Apa kalian tak tahu jika Naruto menunggu Hinata?!" Tenten angkat bicara.

"Ya, seperti itulah laki-laki. Susah sekali mengerti situasi." Komentar Sakura. Sasuke memutar bola matanya bosan mendengar sindiran Sakura yang lebih ditunjukkan untuk dirinya dari lirikan tajam emerald Sakura padanya.

"Haha. Kau punya semangat masa muda yang bagus, Naruto-kun." Lee mengangkat jempol kanannya tinggi-tinggi di depan Naruto yang tertawa kikuk.

"Hey, Naruto." Panggil Sai.

"Lihatlah disana, gadismu sudah datang."

Naruto memutar kepalanya cepat ke arah obsidian Sai menatap. Mata langit Naruto menangkap seorang pemuda dan seorang gadis dengan iris amethyst yang sama baru saja mendarat tak jauh dari pintu gerbang Konoha tempat Naruto dan teman-temannya berdiri.

"Hinata." Naruto dengan senyum sumringah berjalan cepat menyongsong kehadiran Hinata.

"Dan Neji, Naruto!" Tenten melengkapi kalimat Naruto dengan kesal karena kehadiran Neji tak mendapatkan sambutan berarti dari Naruto.

"Naruto-kun, maaf aku terlambat." Sesal Hinata. Naruto menggelengkan kepala jabriknya penuh semangat.

"Tak apa, Hinata. Aku senang kau datang." Jawab Naruto masih dengan cengiran rubahnya.

Neji yang tahu diri membiarkan Hinata berhenti di tempat yang sedikit jauh dari tempat teman-teman rookie menunggui kepergian Naruto. Neji sendiri memilih bergabung bersama teman-temannya.

"Guk. Guk." Akamaru menyalak senang sepertinya ikut tersihir kebahagiaan Naruto.

"Kau sudah akan berangkat, Naruto-kun?" Tanya Hinata.

"Ya, begitulah, Hinata." Jawab Naruto cepat.

"Jaga dirimu baik-baik, Naruto-kun. Dan jangan memaksakan diri untuk berlatih terlalu keras." Hinata segera merapalkan nasehat-nasehatnya karena tahu tak lagi memiliki banyak waktu untuk bercengkrama dengan Naruto.

Naruto mendengus geli mendengar nasehat Hinata. Bagaimana bisa gadis itu menasehati Naruto apa yang seharusnya Hinata sendiri lakukan.

"Kau juga, Hinata. Jangan jadi gadis keras kepala seperti Sakura-chan, ttebayou. Hahaha." Tawa Naruto meledak.

Sasuke memeluk erat-erat tubuh Sakura yang sudah memasang sarung tangan hitamnya untuk menghajar Naruto.

"Sialan kau, Naruto!" Naruto sweatdrop mendengar amukan Sakura di belakang sana.

"Naruto-kun, kau tak boleh seperti itu," Hinata menatap khawatir pada Naruto.

"Haha, gomen, gomen." Naruto terlihat tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya bertemu gadis indigonya.

"Senang sekali aku bisa melihat mata indahmu lagi sebelum aku pergi, Hinata." Ucap Naruto. Hinata tersipu mendengar pujian Naruto.

"Tou-sama mengizinkanku melepaskan perban sebentar, Naruto-kun." Jelas Hinata malu-malu.

"Ah, Hinata. Ada yang lupa aku berikan padamu kemarin." Naruto merogoh kantong jaket orange menanti dengan sabar apa yang akan Naruto berikan untuknya.

Sai, Sasuke, dan Sakura berfikir Naruto akan meniru cara norak Shikamaru yang dilakukan pemuda itu pada Temari beberapa waktu lalu. Tapi sepertinya pikiran mereka terlalu berlebihan karena Naruto terlihat menenteng sepasang kalung berbandul klan Uzumaki dan klan Hyuuga yang berkilat-kilat tertempa cahaya mentari pagi.

Naruto memasukkan kembali kalung berbandul klan Hyuuga ke dalam kantong jaketnya, dan memamerkan kalung berbandul klan Uzumaki di depan Hinata yang menatapnya bingung.

"Aku tak punya benang merah untuk mengikat takdir kita." Naruto melepaskan kaitan pada kalung berbandul klan Uzumaki di tangannya.

"Jadi biarkan aku mengikat takdir kita dengan kalung ini." Naruto mendekati Hinata dan mulai memasang kalung tersebut pada leher jenjang Hinata.

Saat Naruto menyelesaikan kegiatannya mengaitkan kembali kalung berbandul klannya, Hinata membenarkan surai biru panjangnya dan menyembunyikan tali kalung itu di balik surai panjangnya.

"Arigatou, Naruto-kun." Lirih Hinata malu-malu.

Naruto yang melihat wajah cantik sempurna Hinata yang tak lagi terhalang oleh perban, perlahan mendekatkan wajahnya pada Hinata.

"Hinata," Panggil Naruto. Hinata mendongakkan kepalanya menatap lurus iris safir Naruto.

"Mungkin aku harus mengikatmu dengan sesuatu yang lain lagi."

Cup.

Sebuah kecupan lembut berhasil di daratkan dengan mulus oleh Naruto pada kening gadis indigonya. Hinata tercengang. Sesaat kemudian rona merah segera menyelimuti pipi porselennya

"HAH?!" Sakura, Kiba, Tenten, Lee dan bahkan Neji melongo tiba-tiba melihat keberanian pemuda jabrik itu di depan teman-temannya.

Sasuke memutar bola matanya bosan benar-benar simpati dengan kebodohan yang berani dilakukan Naruto di depan Neji. Sementara Sai hanya memasang senyum palsunya yang lebar.

Naruto melepaskan bibirnya dari kening Hinata. Ditatapnya wajah Hinata yang sudah berubah warna, menambah pesona manis diri Hinata bagi mata langit Naruto.

'Manis sekali,' Batin Naruto yang mulai tersihir semakin dalam oleh pesona Hinata.

"Hn, mungkin dengan sesuatu yang lain juga."

Kali ini dikecupnya singkat pipi porselen gadis yang memejamkan sebelah mata kirinya saat Naruto mendaratkan bibirnya. Rona merah semakin banyak bergelanyut diwajah Hinata.

"Byakugan!" Neji tiba-tiba mengaktifkan byakugannya membuat teman-temannya terlonjak kaget tak terkecuali Sasuke dan Sai.

Naruto yang sepertinya menjadi tuli dengan keributan teman-teman dibelakangnya, menatap lekat-lekat wajah yang amat sangat merona dari gadis indigonya. Entah sejak kapan, wajah manis Hinata saat tersipu malu seperti ini tiba-tiba menjadi candu bagi Naruto untuk lebih dan lebih banyak lagi melihatnya.

"Hinata, kau cantik sekali." Puji Naruto dengan pandangan terpana. Hinata menggigit sedikit bibir bawahnya menahan rasa bergetar yang tiba-tiba dirasakannya.

"Mungkin aku harus mengikatmu dengan sesuatu yang lain lagi, Hinata. Sesuatu yang mengikat sangat kuat."

Hinata baru mengerti apa maksud dari kata terakhir Naruto saat pemuda jabrik itu mendaratkan kembali sebuah kecupan lembut di bibir mungilnya. Hinata memejamkan matanya takut-takut, bagaimanapun juga ini adalah ciuman pertamanya. Walaupun sebenarnya Hinata berharap mendapatkan ciuman pertamanya bersama Naruto dengan suasana yang lebih pribadi dan romantis, tapi menyadari sikap Naruto, Hinata hanya menurut saja mengikuti jalan pikiran Naruto.

'Aishiteru,' Ucap Hinata dan Naruto dalam hati masing-masing. Setruman-setruman kecil yang tercipta secara gaib dalam hati mereka membuat keduanya semakin tenggelam dalam balutan rona merah.

"Lepaskan aku!" Neji memberontak kuat berusaha melepaskan diri dari rangkulan teman-teman shinobinya.

"Hei! Kenapa kalian repot-repot memeluknya seperti itu. Pakai saja jutsu kalian! Apa kalian lupa kalian ini ninja?!" Tenten mengeraskan suaranya yang masih saja tenggelam dalam teriakan-teriakan panik teman-teman Shinobinya dengan kesal.

Plok.

Sakura menepuk jidatnya frustasi menyaksikan tingkah teman-temannya yang masih saja suka berbuat konyol bahkan saat mereka sudah beranjak dewasa.

"Naruto no Baka!" Gerutu Sai. Sakura melirik Sai.

"Kau tak ikut mereka menghentikan Neji, Sai?" Sindir Sakura.

"Terima kasih, Sakura. Aku lebih suka memeluk wanita." Jawab Sai cepat dibalik senyum palsunya.

"Hahh…" Sakura menghela nafas berat.

"Neji! Matikan byakuganmu atau aku akan menggunakan saringanku." Ancam Sasuke.

"Akamaru! Jangan lepaskan gigitanmu!" Teriak Kiba menyemangati Akamaru.

"Naruto sialan! Dia membuatku berpelukan dengan laki-laki." Gerutu Shino kesal.

Semua keributan teman-temannya di belakang sana tak sedikitpun mampu merusak romansa yang membuai Naruto dan Hinata dalam dunia mereka sendiri..

THE END

Huft!

Menyeka keringet segede anak gajah.

Yey, Alhamdulillah diucapkan Fic ini berakhir sesuai rencana. Juga buat keinginan terpendam Cand buat fic dengan judul anime shouju kesukaan Cand " Menggapai Hatimu" akhirnya terwujud juga :D

Arigatou minna buat semua dukungannya. Review2 kalian benar-benar menyemangati Cand menyelesaikan fic ini. Semoga kalian suka sama endingnya. ^^

Walaupun ini Chap terakhir, tolong jangan lupa meninggalkan jejak review ya, minna-san :D

Seperti biasanya, Cand mau titip salam buat :

Arviana-san : "Hehe, kurang waktu buat berfikir jadi henge seadanya saja :p"

Ninja-san : "Huwaaa, Hontou? Cand jadi malu ne. Arigatou gozaimasu, Ninja-san Jangan bosen-bosen review yak."

Nabilah-san : "Hehe. Wah terima kasih ya sudah sangat detil membaca ficnya Cand :D"

You-san : "Hahaha kena deh salah nebak Kakashi, fufufu :p. Tenang saja you-san ini bukan angst kok, Cand takut digebukin massa kayak yang dulu-dulu. Chap terakhir ini semoga sesuai dengan doanya You-san ya, amiiin eits, jangan lupa reviewnya."

Guest-san : "Ya sebenarnya dikatakan begitu juga bisa, haha, Cand kok bingung jawabnya -_-"

Anneleise-san : "I like you too :p Ini sudah update, jangan lupa reviewnya ya, Anneleise-san ^^"

Kojou-san : "Huweee Cand menangis haru baca reviewnya Kojou-san. Hehe sequel ya? Wah Cand jadi hutang banyak fic dong, bingung juga mau buat sequel apa :p Haha iya sudah panjang, lebih panjang lagi juga boleh. Jangan lupa direview ya akhir yangs sedikit geje ini ^^"