~##~

Harry Potter © J.K Rowling

Me and Devil © Anisa Phantomhive and Mizuki Rae Sichi

Warning : OOC, M-preg, Fluff gagal, Slash,

Typo bertebaran, dan lain-lain

Pair : Draco x Harry

Rating : T

Genre : Romance, Supernatural

Happy reading!

Don't like? Don't read!

.

Me and Devil

~##~


#

Pernah mendengar tentang kisah iblis? Konon siapapun yang telah terikat atau menjadi incaran iblis, maka selamanya dia tidak akan pernah lepas. Berhati-hatilah! Tidak ada yang tahu, apakah kau ini adalah incaran iblis atau tidak. Karena iblis tidak pernah mengatakan siapa incaran mereka...

#

Harry Potter, seorang anak dari sepasang suami istri James Potter dan Lily Potter. Hanyalah lelaki biasa yang bersekolah di Hogwarts High School—tepatnya kelas XI. Banyak yang menilai bahwa pemuda mungil bersurai hitam acak-acakan ini adalah tergolong tipikal imut daripada tampan. Kacamata bundarnya yang kuno namun sifatnya yang rajin malah membuatnya populer di kalangan anak perempuan. Dan ternyata kepopulerannya itu tidak hanya di kalangan manusia. Iblis kelas kakap pun tertarik dengan pesonanya.

Iblis itu adalah seorang pangeran dari neraka—yang paling tampan, jangkung, bersurai pirang hampir putih, berkulit pucat, dan beriris mata abu-abu yang terkadang bisa berubah menjadi merah darah. Iblis itu adalah Draco Malfoy. Seperti namanya, "Malfoy" itu berarti "jahat"—berasal dari bahasa Perancis yaitu "Mal foi". Seperti iblis-iblis lainnya, Draco selalu mengikuti Harry kemana saja. Sayangnya sang pemuda beriris hijau cemerlang itu sama sekali tidak menyadari bahwa sang iblis sudah membenamkan cakar kedalamnya—karena tentu saja Draco berwujud gaib.

Senin ini nampaknya mentari sudah undur diri dari singgahsananya. Tepat Harry berjalan pulang dengan kedua sahabatnya Hermione Granger dan Ronald Weasley. Mereka bertiga—ralat, berempat berjalan beriringan di jalan yang sepi. Yeah, berempat. Satu di antara mereka ada sosok gaib bersurai pirang platina yang beriris mata merah darah.

"Kau masih seperti biasa Harry—menawan." Bisik Draco pada Harry—dengan suara yang sangat rendah sehingga menimbulkan kesan seksi.

Seketika Harry terlonjak mendengar bisikan itu—yang entah kenapa selalu terdengar di telinganya. Pemuda berkacamata bundar itu menoleh ke segala arah—mencoba mencari pemilik suara itu. Tapi, hanya Hermione dan Ron yang dia temukan.

"Ada apa, Harry?"Tanya Ron yang heran dengan sikap Harry yang selalu seperti mencari sesuatu.

Harry menatap Ron dengan tatapan takut lalu bertanya dengan suara yang sedikit dipelankan, "Kalian tidak mendengarnya? Maksudku, suara seseorang?" Ia tahu pertanyaan itu sudah dilontarkannya beberapa kali pada kedua sahabatnya itu, namun rasa penasaran masih mencekatnya.

Hermione mengangkat salah satu alisnya, "Hah? Merlin, Harry! Kau sudah bertanya itu berkali-kali. Dan jawaban kami masih sama—kami tidak mendengar apa pun! Ya, 'kan Ron?" Balas Hermione meminta dukungan Ron.

Pemuda bersurai merah menyala yang diketahui bernama Ron itu mengangguk mantap tanda mengonfirmasi tinjauan gadis bersurai cokelat terang bergelombang itu.

Harry hanya menyiritkan kedua alis tebalnya. Ia benar-benar heran kenapa hanya dirinya sendiri yang bisa mendengar suara menyeramkan itu. Ini sudah dialaminya sejak pertama kali menginjakan kaki ke sekolah menengah atas. Setahunya, keluarganya tiada yang memiliki sixth sense—atau lebih dikenal sebagai indera keenam. Tapi, entahlah. Semakin lama suara menggema itu di abaikan, semakin jelas suara itu di pendengarannya. Dan parahnya seolah pemilik suara itu bisa membaca pikiran semua orang. Rasanya seolah Harry hidup menjadi buronan yang diincar kematian.

Draco yang sedari tadi berada di samping Harry hanya menyeringai licik, "Tidak usah mencariku Harry, karena aku akan selalu di sampingmu." Bisiknya lagi.

Kali ini Harry benar-benar ketakutan dengan suara bisikan itu lagi. Aura di sekitarnya mendadak menjadi dingin menggigit tulang. Saat ia hendak mengatakan ini pada kedua sahabatnya, namun mendadak ia menahannya. Tidak, pasti Ron dan Hermione menganggapnya berfantasi lagi.

Draco selalu melihat langkah Harry. Selalu berjalan di sampingnya dan selalu mengenyahkan siapapun yang mencoba mendekat ke arah pemuda bertubuh mungil itu. Tak jarang ia selalu membuat para gadis yang mencoba mendekati malaikatnya itu menjadi gila dan jera. Tentu saja, siapa yang bisa mengalahkan Pangeran Draco?

Tak terasa mereka sudah sampai di perempatan kompleks. Dan itu saatnya mereka bertiga harus berpisah jalur. Usai memberi salam jumpa, Ron berlalu ke jalan sebelah kiri dan Hermione berjalan ke jalur kanan. Sementara Harry sendiri masih harus berjalan lurus dan melewati beberapa rumah, lapangan, juga gereja. Tunggu... mengingat kata "gereja" membuat dirinya ingat. Dan untunglah ia merupakan salah satu jemaat dari gereja tersebut.

'Mungkin, aku akan ke gereja dan bertanya apa yang terjadi padaku.' Batin Harry mantap. Dipercepat langkahnya karena semakin kakinya membawanya mendekati gereja, atmosfir di sekitarnya semakin dingin. Dan ia segera menghela napas lega saat kaki berbalut sepatu hitamnya berhasil sampai di dalam rumah Tuhan yang selalu damai itu.

"Harry?"

Sebuah suara membuat Harry sempat terlonjak kaget. Namun detik berikutnya ia hanya tersenyum ramah pada seorang pendeta yang sudah dikenalnya lama. Dari segi fisik, pendeta itu berpostur tinggi besar, kedua gigi depannya seperti gigi kelinci, dan cukup gagah—walau terlihat agak kikuk. Tapi percaya tidak percaya, umur pendeta itu sama dengan Harry.

"Neville! Aahh, kebetulan sekali! Aku punya masalah." Ujar Harry mulai menuju titik masalah. Berharap Neville Longbottom itu bisa membantunya.

Neville menaikkan sebelah alisnya curiga. Ia mengajak Harry untuk duduk di salah satu bangku tempat para jemaat biasa berdoa, "Santai saja, kawan. Ayo keluarkan unek-unekmu."

"Beberapa minggu ini... aku mendengar suara-suara aneh. Aku sedikit terganggu dengan itu,"

Neville masih menaikkan satu alisnya, "Harry, apa… suara itu menggema?" Tanyanya sedikit ragu dengan dugaannya.

Harry mengangguk dengan cepat. Firasatnya aneh saat melihat gestur pendeta di hadapannya ini yang... ketakutan.

"Kau… percaya iblis itu ada?" Tanya Neville pelan. Dilihatnya Harry mengangguk lagi. Dengan ragu ia melanjutkan, "Kau diincar iblis, Harry!"

Draco yang sejak tadi masih berada di samping Harry sedikit gusar dengan Neville. Pendeta keparat itu telah mengatakan sesuatu yang tabu.

"Berani-beraninya kau memberitahu Harry tentangku!"Amuk Draco. Amarahnya meluap karena Neville memberitahu tentang keberadaanya.

Harry terlonjak kaget mendengar suara menggema itu semakin keras dan seolah menggetarkan gereja ini. Dengan panik dan nada yang bergetar ia bergumam, "Ne-Neville! Su-suara itu terdengar lagi! Dia marah!"

"Kalau kau berkata tentangku pada Harry, aku akan membunuhmu! Pendeta sialan!" Geram Draco. Kali ini, ia membuat Neville bisa mendengar suaranya.

Neville membeku mendengar itu sementara Harry sendiri masih ketakutan.

Lampu yang awalnya menyala di dalam gereja itu tiba-tiba mati. Kursi-kursi dalam gereja pun mulai bergerak sendiri ke arah sang pendeta. Aura di sini menjadi tidak karuan—panas dan dingin yang saling bergantian. Neville dan Harry saling berpandangan dengan horor. Kedua manusia itu hanya mampu terdiam terpaku. Tidak dapat bergerak—bicara pun sulit.

"GYAAAA!"

Semuanya terjadi begitu saja. Saat Neville masih membeku sebuah kursi besar melayang ke arahnya. Sebuah kilat besar menghantam penglihatannya dan bunyi ngilu keras berdengung di pendengarannya. Penglihatannya pun semakin lama hilang tertutup titik-titik hitam.

"Ne-Neville…?"Panggil Harry pada Neville yang tidak sadarkan diri karena sebuah kursi menghantam kepala sang pendeta itu. Harry masih mendengar geraman marah Draco. Itu semua membuatnya takut. Dengan membulatkan tekad, ia berdiri dan berteriak lantang, "Berhenti! Kumohon berhenti!"

"Harry, aku tidak akan melepaskanmu, siapapun yang mencoba menjauhkanmu dariku, aku akan membunuhnya." Ucap Draco posesif. Dengan seringai liciknya ia masih terus menggerakan kursi-kursi itu pada Neville. Ia sangat ingin pendeta keparat itu mati mengenaskan terjepit kursi dan perabot gereja ini. Memikirkannya saja sudah membuatnya girang.

Harry bergetar takut mendengar suara itu lagi. Namun tekad itu masih bulat. Dengan ragu ia membuka mulut, "A-aku… ingin melihatmu! Dan… tolong, tolong hentikan kursi-kursi itu…"

Draco menghela nafas dan dengan aura kebencian menatap Nevile yang kini tengah sekarat. Ia menghentikan laju kursi-kursi itu dengan santai. Perlahan ia lalu mendekati Harry, "Aku belum ingin menunjukan diriku padamu, Harry. Belum, Harry—tidak saat ini."

"Kenapa?! Kenapa harus aku yang menjadi incaranmu!? Apa bagusnya aku?" Tanya Harry sekali lagi dengan frustasi.

Draco mengdengus geli,"Kau menawan." Jawabnya singkat.

Harry menaikkan kedua alisnya. Lalu dengan nada yang takut ia bergumam lagi, "K-kau... apa yang akan kau lakukan padaku?"

"Belum saatnya kau tahu, Harry." Ucap Draco tanpa menjawab pertanyaan Harry.

Harry berdecak sebal dengan jawaban tidak memuaskan dari suara laknat itu. Mengabaikan semuanya, tubuhnya yang bergetar mencoba mendekati Neville. Perlahan, tangan Harry mengusap wajah Neville yang penuh darah.

"Jangan sentuh dia! Kau milikku, Harry!" Teriak Draco menggelegar ketika melihat Harry mencoba merangkul Neville untuk bangkit.

"Tapi, Neville sekarat! Aku akan membawanya ke rumah sakit!" Bantah Harry dengan nada yang naik satu oktaf.

Draco geram melihat Harry membantahnya. Dengan kesal, diarahkannya satu kursi untuk menubruk tubuh Harry. Kursi itu sukses hancur berkeping-keping dan pemuda berkacamata bundar itu mengerang kesakitan karena mungkin beberapa tulangnya patah.

"KAU MEMBANTAHKU!? KAU TIDAK AKAN BISA MEMBANTAHKU HARRY! KAU MILIKKU DAN AKU TIDAK AKAN PERNAH MEMBIARKANMU BERSENTUHAN DENGAN ORANG LAIN!" Bentak Draco gusar.

Tubuh Harry semakin bergetar menahan takut dan sakit di tubuhnya. Dengan bibir bergetar menahan sakit pada tubuhnya yang sepertinya remuk—ia membuka mulut lagi, "Kalau kau mengincarku, kenapa kau melukaiku?!" tanyanya. Iris hijau cemerlang itu mengedar ke segala arah—berharap bisa menemukan sosok itu.

Seseorang membuka pintu utama gereja. Ternyata dia adalah pendeta lain yang mengabdi di sini. Matanya tampak terbelalak kaget, "Apa yang terjadi di sini!?" Tanyanya.

Sontak Harry menoleh ke sumber suara. Tubuhnya bergetar menahan sakit yang melumpuhkan semua pergerakannya. Sebulir air mata mengalir dari mata indahnya—tanda bahwa rasa sakit pada seluruh tubuhnya masih sangat terasa hingga ia tidak bisa menahannya lagi.

"Neville!" Pekik pendeta itu pada Neville yang masih tidak sadarkan diri. Ia berlari pada dua anak manusia yang terluka itu.

Draco bergeming. Ada rasa bersalah ketika melihat Harrynya terluka. Didekatinya pemuda bersurai acak-acakan yang masih meringkuk di lantai. Ia menghela napas untuk mengambil energi dari dalam. Dan perlahan dengan lembut, tangannya yang dipenuhi cahaya berwarna merah mulai membelai tubuh Harry. Perlahan luka-luka memar di tubuh pemuda mungil itu hilang.

"A-apa yang kau lakukan?" Tanya Harry. Perlahan ia merasakan seluruh tubuhnya kembali normal—bahkan lebih segar dari sebelumnya.

Pendeta yang tidak tahu maksud Harry hanya menatapnya bingung. Namun itu sama sekali bukan hal yang harus mereka debatkan sekarang. Mereka butuh pertolongan sekarang, "Kami perlu penjelasanmu, nak. Ikut aku." Pinta pendeta itu.

Harry hanya bisa mengangguk dan mengikuti pendeta itu berjalan keluar gereja. Entah kenapa, Harry merasa tangannya hangat. Seperti, di gandeng oleh seseorang. Perlahan ia menggumam pelan, "Kau… menggandeng tanganku?"

Draco sekali lagi tidak menjawab.

Hingga ketika Harry di interogasi oleh polisi tentang kejadian di dalam gereja, ia hanya berkata bahwa kursi-kursi itu tiba-tiba bergerak sendiri seperti gempa yang sangat cepat. Mengenai penyebab utama kekacauan itu, ia sama sekali tiada niat untuk menjelaskan sosok Draco pada polisi. Entahlah, mungkin para polisi itu tidak akan percaya dengan ucapannya nanti—sama seperti Ron dan Hermione yang tidak mempercayainya. Jadi polisi masih terus melakukan olah TKP—dengan memaklumi Harry yang terlihat masih syok.

.

.

.

Setelah kejadian itu, polisi segera menelpon orang tua Harry. Dan hanya beberapa saat saja, kedua orang tua pemuda itu tiba—tentunya dengan air wajah yang panik. Bertubi pertanyaan sudah mereka lontarkan pada polisi, namun tidak ada yang mengetahui secara persisnya. Dan saat mereka bertanya pada sang anak, malah tiada jawaban. Akhirnya daripada memperkeruh suasana, mereka memutuskan untuk membawa Harry pulang. Mungkin Harry masih trauma.

"Kau sakit, Son? Atau kau lapar?" tanya Lily lembut—setibanya mereka di rumah. Ibu Harry ini sangat khawatir dengan keadaan anaknya yang sejak tadi masih terlihat pucat pasi.

"Aku tidak apa, Dad, Mom." Jawab Harry pelan, "Aku ingin ke kamar saja."

James dan Lily saling berpandangan ketika melihat anak mereka sedikit aneh. Namun cepat-cepat James menyahut keputusan sang anak, "Baiklah. Tidurlah, nak. Jangan berpikiran yang macam-macam dulu,"

Harry menaiki tangga dengan cepat untuk mencapai kamarnya. Lalu ia memutar kenop dan mendorong pintu kamar tersebut. Segera ia meletakkan tasnya dan menjatuhkan diri ke kasur yang empuk nan nyaman. Mencoba berpikir dan membayangkan wajah iblis yang mengikutinya.

Draco yang memang kini sedang berada di pinggir kasur hanya mendengus geli saat mendengar isi pikiran Harry. Ia lalu naik ke kasur lalu dengan seenaknya memeluk Harry—yang masih terlentang di kasur. Draco lalu berbisik sambil sedikit mengecup pipi Harry, "Tidak usah membayangkan aku seperti apa, Harry. Yang perlu kau ketahui sekarang, aku berada di sampingmu. Selalu."

Harry begidik dan merasa ada beban berat yang menindihnya saat ini. Ia mencoba bangun namun sukar. Akhirnya ia hanya menghela napas sambil bergumam, "Tapi, aku tetap ingin tahu seperti apa dirimu, atau… namamu."

"Draco. Panggil saja aku Draco. Seperti apa diriku? Err... suatu hari nanti kau akan tahu, Harry." Jawab Draco cepat—dan semangat.

Harry hanya bergeming. Lalu, ia sadar bahwa seragam sekolahnya sama sekali belum dilepas. Rasa lengket dan bau sudah menyerangnya. Namun saat jemari itu hendak melepas satu kancing bagian atas, ia teringat masih ada yang memperhatikannya—mungkin.

"Err... Draco, bisakah kau keluar? Aku… ingin mengganti bajuku." Pinta Harry yang membuat Draco tertawa.

"Memangnya kau tahu, bila aku berkata aku-akan-keluar dan padahal aku tidak keluar?" Kikik Draco yang langsung membuat Harry membenturkan kepalanya ke tembok, "Baiklah-baiklah aku keluar. Dan, aku benar-benar keluar." Lanjut Draco yang mulai mengembangkan sayap hitamnya. Dalam sekejap ia menghilang.

"Draco?" Panggil Harry untuk meyakinkan bahwa Draco benar-benar pergi. Setelah lama tidak mendapat jawaban, akhirnya ia mengganti seragamnya dengan baju rumahan.

.

.

.

Setelah hari itu, Harry sering berbicara dengan Draco. Sayangnya Draco masih belum mengatakan apa yang akan dia lakukan dengan mengincarnya dan belum juga menampakan wujudnya. Padahal sudah berulangkali ia mencoba merayu pemilik suara itu untuk melakukan itu.

Kalender pagi ini menunjukan bahwa sekarang adalah Hari Selasa. Dengan dihantui bayang-bayang suara itu Harry berangkat sekolah. Cepat-cepat ia menaruh beberapa benda yang tidak diperlukan di kelas nanti ke dalam loker. Lalu ia berjalan menuju kelasnya untuk menerima pelajaran nanti.

"Draco, apa kau di sini?" Bisik Harry pelan. Kepalanya dengan ragu menoleh ke segala arah. Dia malah jadi seperti orang yang kebingungan.

"Tentu. Aku selalu di sampingmu." Jawab Draco ceria.

Harry tersenyum simpul. Setidaknya, sekarang dia sudah merasa terbiasa dengan semua ini. Mendadak sebuah pertanyaan terlintas di kepalanya. Sejenak dia diam dan akhirnya bertanya, "Draco, kalau kau lapar, apa makananmu?"

Draco menaikan sebelah alisnya mendengar pertanyaan mendadak itu. Namun detik berikutnya ia mendengus geli sambil menyeringai jahil, "Makananku? Ya, incaranku itu." Bisik Draco tepat di telinga Harry.

Harry tersentak kaget dan hampir berteriak. Untungnya kedua tangannya mampu memblokir suaranya yang hendak meluncur dari mulutnya.

Lalu terdengar Draco tertawa terbahak-bahak, "Bercanda! Kami hanya memakan jiwa manusia yang berdosa banyak. Pembunuh, misalnya."

Harry menghela napas lega, "Ku-kukira…"

Ron yang sejak tadi melihat tingkah aneh Harry, sedikit menaikkan alisnya. Ia lalu berjalan mendekati Harry dan duduk di sebelah Harry—yang terlihat masih bicara sendiri, "Harry! Kau tidak apa-apa? Beberapa hari ini kau... aneh?" Tanyanya ragu.

Hermione—yang memang bangkunya di samping Harry, langsung tertarik dengan pancingan Ron tadi.

Harry menaikkan satu alisnya, "Aku? Aku tidak kenapa-napa. Aku sehat. Kalau kau mau tahu itu." Jawab Harry dengan cengiran serba salah.

Ron dan Hermione saling berpandangan dan mengangkat bahu mereka bersamaan.

.

.

.

Sekolah tempat Harry bersekolah akhirnya memulangkan murid-muridnya. Dan dengan keterpaksaan yang sangat Harry kali ini pulang sendiri—ralat, berdua dengan Draco, karena Ron dan Hermione berencana kencan.

Saat Harry sedang mengambil barang-barangnya di loker sebuah suara teman sekelasnya meluncur di dekat jendela,

"Harry! Kau dipanggil kepala sekolah." Ujar pemilik suara itu—Seamus Finnigan.

Alis Harry terangkat sebelah, "Aku? Kenapa aku dipanggil kepala sekolah?" Tanyanya sembari menatap temannya yang sama bertubuh mungil itu.

Seamus menaikan kedua bahunya, "Tidak tahu. Ya sudah aku pergi dulu. Bye, Harry!

Harry membalas salam jumpa Seamus lalu segera mengemasi barangnya dengan cepat. Setelah itu ia berjalan menuju ruang kepala sekolah dengan langkah yang lebar—sesekali berlari. Firasatnya tidak enak saat sudah berada di depan pintu kayu yang dipernis mengkilat. Diketuknya pintu ruang kepala sekolah itu, dan setelah mendengar jawaban dari dalam, Harry segera membuka pintu dan masuk,

"Anda memanggil saya, Sir?" Tanya Harry sopan ketika sampai di meja kepala sekolah—Albus Dumbledore.

Albus tersenyum hangat seperti biasa, "Akhirnya kau datang juga Harry." Sambut pria berjanggut putih hingga mencapai perut itu. Pria yang umurnya sudah lanjut itu menyuruh Harry untuk duduk di kursi depannya.

Harry hanya mengikutinya dan duduk.

"Harry, sebenarnya aku ingin bertanya denganmu tentang keadaanmu beberapa hari ini." Ucap Albus mulai membuka topik yang hendak dibicarakan.

Harry mengangkat sebelah alisnya, "Err... memangnya ada apa dengan saya, Sir?" tanyanya dengan ragu.

"Kau, pasti tahu bahwa di dunia ini kita tidak hidup sendirian. Ada hewan, tumbuhan, jin, malaikat, iblis, dll. Dan mengingat apa yang terjadi padamu beberapa hari yang lalu di gereja dekat rumahmu, Harry," Pria tua berkacamata bulan separuh itu menggantung kalimatnya. Ia tersenyum ramah ke arah pundak kiri Harry—yang menampilkan sosok Draco di sana yang berwaspada, "kira-kira bisakah kau terbuka denganku? Aku akan membantumu kok!"

"Se-sebenarnya… ya… saya tahu…" Harry bergumam sedikit ragu, "Tapi, kenapa anda bisa tahu?" lanjutnya.

Albus tersenyum misterius, "Lama tidak bertemu, Draco." Sapa orang itu. Pandangannya tertuju pada pundak kiri Harry.

Harry tersentak kaget, 'Kenapa dia bisa tahu Draco?' Batinnya.

Draco sendiri menatap Albus dengan tajam, "Ya, lama kita tidak bertemu, Mr. Dumbledore." Balasnya sarkastis.

"Kau mengenalnya, Draco?" Tanya Harry bingung.

"Ya, Harry. Aku mengenalnya. Dia sahabat Ayahku." Jawab Draco yang membuat Harry ternganga.

"Apa?!"

Albus tertawa mendengar itu semua. "Ah Draco, aku ingin sekali melihat wajahmu. Sudah lama sejak aku mengunjungi Kerajaan Malfoy. Terakhir aku melihatmu, kau masih imut." Ucap pria itu.

"Aku saja belum pernah menunjukkan diriku pada Harry, kenapa aku harus memberitahumu mengenai sosokku?" Jawab Draco angkuh.

Harry memilih diam dan menatap Albus yang tertawa dengan balasan Draco.

"Well, well, well, tapi Lucius Malfoy—Ayahmu memperbolehkan diriku untuk melihat dirimu, Draco." Ucap Albus yang membuat Draco terdiam.

"Harry, kuminta keluar dari sini! Aku tidak ingin kau melihat sosokku. Setidaknya, untuk saat ini," Perintah Draco.

Sebenarnya Harry ingin protes pada Draco, namun desakan suara sosok itu mampu membuatnya ketakutan dan menurut saja.

Setelah Harry keluar, Draco menunjukkan sosoknya: dengan baju tuxedo hitam, rambut pirang yang hampir putih, ada percikan-percikan cahaya mengelilinginya, sepasang sayap merah menyala di punggungnya, dan… parasnya yang…. Sangat keren…

"Wow! Kau sekarang sangat… mirip dengan Lucius, kau tahu?" Puji Albus terkesima dengan cahaya yang memancar dari tubuh sosok itu.

"Sudahlah, cepat katakan apa yang kalian bicarakan di sini?" Tanya Draco dingin dan mulai bosan.

"Ayah dan Ibumu ingin kau segera membawa incaranmu itu kepada mereka. Karena, akan ada sebuah bencana yang akan datang. Cepat atau lambat…" Ucap Albus. Kali ini nadanya serius. Dan alisnya mengerut tajam.

Draco menaikkan satu alisnya dan memejamkan matanya, "Jadi, aku harus… benar-benar melakukan itu? Tapi, ini masih terlalu jauh dari rencanaku!" Balas Draco tidak suka dengan rencananya yang mungkin akan gagal.

Albus tersenyum lembut. Ia tahu akan menjadi begini, "Baiklah, mungkin sebaiknya kau bisa bermain-main dulu di dunia. Tapi jangan terlalu lama ok?" Ucapnya. Berusaha mendinginkan emosi sosok tersebut. Bisa gawat kalau sosok itu mengamuk—seperti insiden di gereja yang didengarnya kemarin.

"Kalau begitu, aku keluar," Ucap Draco. Ia menggunakan sebuah mantra yang membuat tubuhnya menjadi gaib lagi. Dengan gayanya yang dingin ia lalu beranjak keluar dari ruangan.

Saat Draco keluar dari ruangan pria berjanggut putih itu, ia mendapati Harry sedang menyandarkan diri di tembok dengan bosan. Segera ia menghampiri pemuda incarannya itu,

"Ayo, kita pulang." Bisik Draco tepat di telinga Harry.

Harry tersentak dan merasa bulu kuduknya meremang. Sebuah emosi tertahan di tenggorokannya, "Ugh! Draco! Kau mengagetkanku!" Runtuknya kesal.

Draco tertawa dan Harry mulai berjalan pulang bersama Draco. Rasanya emosi yang tadi disulutkan kakek tua itu pupus sudah jika bersama dengan sang manusia bersih di sampingnya kini.

Dalam perjalanan pulang, tidak dari mereka yang memulai percakapan. Harry pun lebih memilih mengingat-ingat jadwalnya besok. Sedangkan Draco, dia menyusun kembali rencananya yang akan gagal karena perintah dari ayahnya. Sungguh ini sangat menyebalkan untuk Draco.

"Draco, apa yang kau bicarakan tadi bersama kepala sekolah?" Bisik Harry penasaran.

"Bukan hal penting Harry. Nanti kau juga akan tahu," Balas Draco.

Namun jawaban itu tentu belum bisa membayar rasa penasaran Harry. Pemuda itu lalu berhenti sambil tertunduk—karena ia tidak tahu di mana Draco berada, "Berapa lama lagi? Oh, ayolah, aku ingin tahu! Lagi pula, aku juga penasaran dengan wujudmu," Gumamnya dengan kesal.

Draco terkekeh pelan melihat kelakuan Harry, "Tidak akan lama lagi, Harry! Kau akan tahu semuanya," Balasnya santai.

Mendengar itu Harry hanya menghela napas ya-sudahlah-terserah. Ia lalu memutuskan untuk diam karena beberapa warga sudah berjalan di dekatnya. Ia hanya takut dikira orang tidak waras oleh warga sekitar karena berbicara sendiri di sore yang cerah ini.

"I'm home!" Seru Harry setibanya di rumah kesayangannya yang selalu rapi. Tetapi, ketika Harry mengerjapkan matanya ketika melihat keadaan rumahnya ini, "Apa… yang terjadi?" Gumamnya pelan. Tubuhnya bergetar dan napasnya tercekat.

"Ada apa Harry?" Tanya Draco sembari memasuki rumah Harry. Mata merah darahnya seektika terbelalak tidak percaya, "Astaga… siapa yang melakukan ini?!"

Gelar "kapal pecah" mungkin pas untuk menggambarkan rumah yang biasanya selalu rapi itu. Semua pigura yang pecah, tembok yang retak, perabot yang hancur, dan bercak-bercak darah segar tercecer di lantai juga sekitar tembok. Napas Harry yang masih tercekat membuatnya tidak bisa berbuat apapun. Lututnya lemas dan mendadak pandangannya menjadi berputar. Ia hanya berfirasat buruk kalau... darah itu adalah darah kedua orang tuanya.

"Mommy? Daddy? Di-di mana kalian!?" Tanya Harry cemas. Dengan mengumpulkan segenap kekuatan ia bangkit dan berlari menuju kamar kedua orang tuanya untuk memastikan bahwa pikiran jeleknya itu tidak benar. Mendadak tubuhnya terhuyun ke lantai saat kamar kedua orang tuanya itu juga sama berantakannya... dan tidak ada manusia yang ia dapati di sana.

Menghapus pikirannya itu, lantas Harry mencari di ruang makan. Ia berlari dengan panik dan tertawa hambar, "Ini tidak lucu, Mom, Dad! Kalau kalian ingin membuat sebuah acara parodi kepadaku, aku akan mengamuk sekarang!" teriak Harry dengan nada yang bergetar ketakutan karena ia tahu sendiri, ini sepertinya serius.

"Harry! Cukup! Sepertinya… orang tuamu diculik," vonis Draco ragu.

To be continued!


Sebuah fic karangan saya yang dilanjut dan diedit Rae-san.

Review please!