Desclaimer: Naruto punyanya Masashi Kishimoto, Fic ini punya author.

Selamat menikmati *iya da makanan hehe -_-v

Aku digandeng paman menuju ke ruang tamu, kemudian diperkenalkan dengan keluarga si akhwat. Sedangkan umi bersama istri pamanku juga putri-putrinya menuju keruang tengah untuk bertemu dengan umi dan sang calon menantu.

Di ruang tamu kami berbincang sebisanya, mukaku kupaksakan untuk tersenyum meskipun tetap saja berat. Dari percakapan sederhana itu ketahu ayahnya memang seorang kyai tersohor dan terlihat tawadhu meskipun bliau adalah seorang pengusaha kerajinan kaligrafi yang sukses. Beliau juga teman paman di pondok dulu. Oleh karena itu paman mencoba menjodohkanku dengan anaknya agar terjalin hubungan dekat dengan beliau. Hatiku semakin gundah.

Aku semakin tidak berani untuk menolak tawaran paman ini. Hanya umi satu-satunya harapanku sekarang, Aku yakin umi mempunyai bashirah yang bagus, dari kecil umi tidak pernah tersentuh maksiat barang sedikitpun. Semoga umi tahu. Yaa Allah..hatiku semakin kecut dan keringatku pun mulai menetes di sekujur badanku.

Akhirnya detik-detik ketegangan itu telah sampai pada puncaknya. Muncullah umi dengan muka sangat gembira dengan menggandeng si perempuan itu bersama uminya. Jantungku serasa ingin copot dan paru-paruku seolah tak sanggup menghirup udara di ruangan ini.

"Ini loh nak calon menantu umi yang sangat cantik."

Kucoba tenangkan hatiku, pelan-pelan kuangkat pandanganku dengan segala kepasrahan. Akhwat yang ada didepanku ini, apa betul ini Ino seperti yang diceritakan umi? Sejak kapan Ino memakai cadar?

Kulihat umi yang berada disampingnya memegang tangannya dengan penuh rasa bahagia, Yaa Tuhan Yaa Rabb, jangan dia, jangan Ino. Keringatku mulai mengucur deras, namun bukan karena bahagia. Kulihat paman memandangku dengan bangga, Aku mencoba untuk tabah. Sembari mencari kesempatan ketika mereka sedang berbincang segera kuambil handphoneku dengan perasaan sedikit kecewa karena harapan mendapat kesaksian tentang sifat-sifat buruk uhti Ino dari ukhti Sakura telah sirna, kukirim sms kepada ukhti Sakura sebagai akhir dari ikhtiarku selama ini.

'Allah tlah memilihkan cintaNya untukku'

Aku sadar bahwa hidup ini adalah ujian, dan aku tidak bisa berkehendak semauku, terkadang untuk menjadi lebih baik tidak harus diuji dengan keindahan. Allahlah yang Maha Berkehendak itu. Aku harus bersabar, dan mungkin dari sini aku menjadi lebih mantab menapaki dunia ini, aku harus qonaah, setidaknya kebahagian umi, paman dan keluarga kecilku menjadi alasan untuk pengorbananku ini, dan yang terpenting, Ridho Allah azza wa jalla.

'message sent'

Dreett... Tiba-tiba handphone akhwat bercadar disamping tunanganku, calonku ini berbunyi. Memecah keheningan suasana pertemuan di ruang tamu ini.

Kulihat temannya memperlihatkan handphonenya kepada calonku, lalu keduanya menatapku, entah ekspresi apa yang tersembunyi di balik cadar mereka itu.

"Iya akhi dan sekarang Allah menunjukkan cintaNya kepada ana."

Ya Rabb…suara itu, bukan suara ukhti Ino, aku sangat kenal dengan suara ini, Suara lembutnya. Lalu dengan pelan dia mulai membuka cadarnya sedangkan umi masih saja tersenyum menggodaku dan mengerlingkan matanya. Subhanallah, ukhti Hinata. Itu dia..itu dia..jawaban doa-doaku disetiap malam. Hatiku bergemuruh dan tidak terasa air mataku meleleh dengan semua ini. Ternyata akhwat yang didepanku ini adalah Hinata, perempuan yang selama ini membayangi fikiranku, berkali-kali kuucapkan syukur dalam hati, bukan hanya karena calonku ini tidaklah ukhti Ino yang kusangka tadi, melainkan kali ini Allah menunjukkan kebesaranNya dan menepati janjinya selama ini, bahwa orang yang baik akan mendapatkan pasangan yang baik.

Kuusap air mata yang mulai menggenang di kelopak mataku, sudah lama aku tidak menangis seperti ini, kupandang wajah umiku yang merona bahagia, dan senyumku mulai terangkat kembali, dan aku masih terpukau dengan scenario Tuhanku. Hinata, akhwat kedokteran KMU yang dulu pernah bertemu di rumah sakit saat menjadi relawan musibah, dan ternyata akhwat yang di samping itu ukhti Sakura. Sejak kapan dia memakai cadar?

Sejenak kami dituntun ke ruang tengah berdua, ditemani satu mahram masing-masing untuk bertaaruf, kucoba beranikan diri untuk melihatnya lagi setelah tadi sempat melihatnya sekilas. Wajahnya begitu cantik, putih dan bersihterlihat sangat mempesona. Bahkan ternyata lebih cantik daripada ukhti Ino. Kalau mungkin dia tidak memakai cadar dikampus, orang-orang pasti setuju kalau dia tercantik di kampus.

"Assalamu'alaikum ukht. Kaifa haluki ukhti?" (Bagaimana kabarmu ukhti?). Sapaku memulai taaruf ini, meskipun aku sudah terbiasa menghadapi ratusan hadirin ketika memimpin rapat atau mengisi kajian, untuk kali ini aku seperti tak punya daya.

"Wa'alaikumsalam." Jawabnya singkat dengan wajah menunduk.

"Afwan atas kesalah pahaman yang dulu ada, ka-kalau memang ukhti tidak menerima khitbah ini, insyaAllah ana ikhlas." Aku mencoba berbesar hati, meskipun sebenarnya tak ingin jauh.

"Akhi Gaara, sudah empat kali ana di lamar oleh ikhwan, dan ana berani menolaknya. Meskipun mereka adalah ikhwan-ikhwan yang hebat, karena ana yakin bukan mereka jodoh seperti jawab dari doaku lewat mimpi yang ana lewati."

"Sejak saat itu ana yakin bahwa antum lah jodoh ana, dan hal itu menjadi nyata ketika paman antum datang ke rumah ana mengabarkan perihal ini." Matanya mulai berkaca-kaca

Malam ini sang langit menunjukkan pujangganya pada bumi, kulihat rembulan masih bersenda gurau berselimutkan awan menjaga para bintang kecil yang sedang menari nari. Di jendela ini pula, awal klise indah dari perjalanan cinta hidupku bermula. Sebuah perjalanan hidup yang membawaku pada makna kehidupan yang sangat berharga.

Tiga bulan setelah khitbah itu akhirnya aku menikah dengan akhwat cantik mengisi mimpi-mimpiku itu, dokter Hinata. Setelah lulus menjadi dokter spesialis, aku menyarankan agar buka praktek di rumah, sedangkan aku muali aktif berdakwah sembari meneruskan usaha kaligrafi mertuaku.

"Sayang, ini kopinya." seru istriku sambil meletakkan cangkir kopi di meja. Lihatlah senyumnya yang lembut itu.

"Kopi sama pembuatnya ternyata jauh lebih menis pembuatnya." Candaku

"ihhh…"dicubitnya pinggangku, "tentu saja, kopi kan memang pada dasarnya pahit."

"Tapi aku lebih suka pembuatnya daripada kopinya." Godaku sambil kupandangi wajahnya, entah kenapa selalu terlihat semakin cantik tiap kali kumemandangnya..

"Sayang aku punya kejutan untukmu." lirihnya.

"Oh ya? apa itu?"

"Tadi siang aku konsultasi ke dokter Karin temanku dulu itu loh, dia kan sekarang dokter spesialis kandungan." Paparnya dengan pipi merona.

"Lalu?" Tanyaku padanya belum tersadar dengan apa yang hendak ia katakan padaku. "InsyaAllah kita akan punya bayi."

"Subhanallah…" Aku terkejut sekaligus bahagia, Yaa Allah, nikmat mana yang kudustakan dariMU.

END

Walaaahh apa ini?! xD

Waduh maaf ya readers sekalian yg mungkin berharap chap ini bakalan gimana gitu, author keburu kena webe jd gini nih urusannya. Yah dari pada terus mendekam di laptop, dan punya utang ke readers gitu, jadi deh seadanya. :D