Title : The Wolf's Bride

Pairing : ... X Kyungsoo (You will know)

Rated : M

republish

.

Summary:

Purnama ketigabelas menjadi titik balik segalanya. Dan sekarang Kyungsoo harus terjebak selamanya dengan sosok itu di dimensi yang tak dikenalnya. Yang Kyungsoo tak tahu adalah, tubuhnya tidak lagi hanya jadi miliknya -tapi milik sosok tersebut.


Sraaak... sraaak... sraak...

Dedaunan yang tadinya mengotori halaman kuil kini sudah rapi menumpuk di salah satu sudut halaman. Kyungsoo mengusap peluhya sebelum kembali menggerakkan sapu besar di tangannya. Sesekali pemuda bertubuh kecil itu meluruskan pinggangnya hingga terdengar bunyi 'kratak'. Ini memang sore yang melelahkan untuk Kyungsoo.

Saat ini memang sedang musim gugur dan pohon-pohon Momiji yang berada di halaman kuil menjatuhkan daun-daunnya. Daun-daun tersebut membuat halaman kuil terlihat kotor. Sebagai penjaga kuil, tugas Kyungsoo lah membersihkannya.

Kuil itu memang kuil keluarga. Kyungsoo sebagai penerus lelaki satu-satunya berkewajiban untuk menjaga kuil tersebut.

Kyungsoo sedikit merutuki dedaunan yang tidak berhenti jatuh. Hakama putihnya sedikit kusut di bagian depan akibat pemuda itu terus membungkuk.

"Apa sudah selesai?"

Kyungsoo menoleh. Dengan cepat Kyungsoo menghampiri pemilik suara tersebut.

"Kakek mau kemana?" tanya Kyungsoo melihat sang kakek yang membawa banyak barang. Dengan cekatan Kyungsoo meraih barang-barang tersebut setelah sebelumnya menyimpan sapu yang tadi digunakannya.

"Ke tempat ritual,"

Kyungsoo mengerenyit,

"Malam ini adalah purnama ke tigabelas. Kita harus menyambut 'teman', Soo-ie," terang sang kakek sabar. Kyungsoo mengangguk imut. Dia baru ingat kalau malam ini malam ritual.

Purnama ke tigabelas adalah malam sakral bagi kuil tersebut. Setiap purnama ke tigabelas, kuil akan kedatangan 'tamu' dari dimensi lain. Sang kakek lah yang bertugas menyambut tamu tersebut. Hal ini dikarenakan perjanjian yang dilakukan leluhur mereka dengan leluhur sang tamu. Ada banyak yang harus dipersiapkan untuk ritual tersebut.

"Bantu kakek mempersiapkan ritual, setelah itu masuk kamarmu," perintah sang kakek, "dan jangan keluar sebelum aku suruh!"

"Kenapa kek?" tanya Kyungsoo bingung, "Bukankah seharusnya aku membantumu?"

Sang kakek menghela nafas berat dan memandang langit. Matanya beralih pada Kyungsoo.

"Ada firasat buruk yang kakek rasakan sejak kemarin, Soo. Kakek tidak yakin malam ini akan berlangsung damai," ujar sang kakek lirih, "Sepertinya 'dia' marah,"

Kyungsoo mengepalkan jarinya, "Kalau mereka 'dia' menyakiti kakek, aku tidak akan tinggal diam!" Seru Kyungsoo tegas. Sang kakek terkekeh dan membelai kepala cucu kesayangannya itu. Rasa hangat menjalar dalam hatinya yang sudah termakan usia itu.

"Sudah sudah, bawa ini ke samping kuil," Sang kakek memberikan beberapa buah dupa dan seperangkat alat ritual ke tangan kecil Kyungsoo.

.

.

.

.

.

Jam sudah menunjuk ke angka 12. Ini memang sudah malam, namun Kyungsoo masih belum berniat untuk tidur. Pemuda mungil itu bahkan masih belum mengganti hakama putihnya menjadi piyama. Dia duduk bersedekap di tempat tidurnya. Mata bulatnya menatap jimat-jimat yang dipasang sang kakek di atas pintunya sore tadi.

Kyungsoo tahu dengan jelas jimat apa itu. Jimat penghalau siluman. Tidak ada satu pun siluman yang bisa melewati pintu yang telah terpasang jimat tersebut di atasnya. Kalau sang kakek sudah memasang jimat itu, berarti keadaan memang sudah gawat.

Jemari mungilnya semakin erat mencengkeram pedang bambu di sampingnya. Dari semua senjata, hanya pedang ini lah yang dapat melukai siluman karena dibuat dari bambu kuning yang telah diberi mantra.

Krataaaak

Wuuushh~

Lampu yang menerangi kamar Kyungsoo padam secara tiba-tiba. Pemuda 16 tahun itu berjalan ke arah jendela dan menyibak tirainya sedikit, melihat keadaan sekitar. Ternyata suasana kuil gelap total. Tidak ada satupun lampu kuil yang menyala. Suasana semakin mencekam ketika yang terdengar hanya suara daun tertiup angin. Bau dupa terasa lebih kuat dari sebelumnya.

Kyungsoo buru-buru menutup kembali tirai jendela ketika matanya menangkap sesosok bayangan yang berdiri di bawah pohon momiji di dekat jendelanya. Dengan terburu-buru, Kyungsoo menempelkan jimat ada di laci meja belajarnya ke kusen jendela.

Kyungsoo mulai merasa khawatir pada sang kakek. Apa kakeknya baik-baik saja?

Dipeluknya pedang bambu yang sedari tadi menemaninya.

.

.

.

.

.

Bruagh! Klontang!

Kyungsoo tersentak. Rupanya sang cucu penjaga kuil ini tertidur untuk beberapa saat. Kyungsoo berjalan mendekati asal suara –pintu kamarnya– dan menajamkan pendengarannya.

Terdengar suara geraman yang seperti geraman anjing disusul suara lemparan benda menghantam pintu kamarnya. Kyungsoo tersentak mundur karena kaget.

"Tolong jangan mengacau di kuil ini, kami tidak akan ikut campur perseteruan 'kalian',"

Kyungsoo mengerenyit saat suara kakeknya terdengar. Suara tersebut memang terdengar tenang, namun Kyungsoo tahu sang kakek sedikit ketakutan. Sebenarnya apa yang dihadapi kakeknya?

DRAAK!

"Uhukk! Uhukk!"

Mendengar suara sang kakek yang sepertinya kesakitan, sekuat tenaga Kyungsoo menahan diri untuk tidak berlari keluar kamar. Dia masih ingat nasihat sang kakek. Namun pertahanannya runtuh ketika mendengar suara berat yang kasar.

"Kalau begitu, tak ada untungnya membiarkanmu hidup,"

Kyungsoo tak tahan lagi.

.

BRAKK!

Dengan kasar Kyungsoo membuka pintu kamarnya. Matanya membelalak melihat kejadian di depannya.

Sang kakek tersungkur dengan tangan memegangi perutnya. Di depannya, sesosok pemuda tinggi tampan berpakaian hakama hitam arang menatapnya tajam. Kyungsoo tahu sosok itu bukan manusia. Sosok itu memiliki telinga dan ekor seperti anjing dan tangan dengan cakar besar. Siluman serigala.

Sosok itu menyeringai.

"Wah wah, siapa dia? Kenapa aku tidak pernah tahu?" tanya sosok itu.

Sang kakek menatap Kyungsoo khawatir,

"Masuk kamarmu! Cepat!" seru kakeknya.

"Ya ya, masuk kamarmu dan tunggu hingga kakekmu ini mati ditanganku," ujar sosok itu dingin.

Kyungsoo mengeratkan pegangannya pada pedang bambunya dan menerjang sosok tersebut.

Pedang bambu itu bergerak memukul perut sosok tersebut, membuatnya mundur beberapa langkah. Kyungsoo memutar pedang tersebut dan mengayunkanya vertikal menuju kepala si siluman serigala tersebut. Setelahnya, Kyungsoo menggerakkan kakinya maju dan menendang sosok itu tepat di ulu hati.

Jangan dipikir kalau Kyungsoo tidak bisa berkelahi. Sejak kecil, pemuda 16 tahun itu sudah diajari beberapa teknik pedang oleh sang kakek –antisipasi bila terjadi hal yang tidak diinginkan.

Sosok itu menggeram kesal sambil memegangi perutnya. Kyungsoo memanfaatkan lengahnya sang siluman serigala untuk menarik kakeknya ke kamarnya. Dengan sedikit kasar, didorongnya sang kakek ke kamarnya, tidak diacuhkannya peringatan sang kakek.

"Berhenti Soo, biarkan kakek yang menghadapinya," namun Kyungsoo tidak mendengarkannya. Dia tahu kekuatannya tak sebanding dengan sang siluman, tapi pemuda bertubuh mungil itu tak bisa membiarkan kakek yang sudah mengurusnya sejak kecil itu terluka.

"Wah, wah, manis, aku jadi menginginkamu," ujar siluman tersebut dengan nada rendah.

Kyungsoo menyerang lagi. Pedang bambunya berkali-kali terayun menghasilkan suara 'Whuss~', namun sayang, kali ini sang siluman berhasil menghindar. Kyungsoo menggerakkan pedangnya secara vertikal, namun sosok tersebut bergerak ke samping, sehingga tebasan pedangnya lagi-lagi luput. Dengan keras tangan sang siluman meraih tangan Kyungsoo dan menyentaknya hingga pedang bambu itu lepas dan terlempar. Kaki si siluman langsung menendang pedang itu jauh-jauh.

"Nah, apa lagi yang akan kau lakukan?" tanyanya. Sang kakek tampak ingin membantu, namun rasa sakit yang menderanya membuatnya tidak bisa melakukan apa-apa.

Kyungsoo menggerakkan jari tengah dan jari telunjuknya hingga membentuk salib.

"Kami no michi," Kyungsoo mengarahkan jarinya ke tubuh sang siluman, "Kōgeki!"

DUARR!

Seberkas sinar putih meluncur dari jari Kyungsoo. Sayangnya sinar tersebut tidak mengenai si siluman karena sosok itu berhasil menghindar.

"Kōgeki! Kōgeki! Kōgeki!" serang Kyungsoo bertubi-tubi. DUARR! DUARR! DUARR!

Namun sosok itu berhasil menghindari semua serangannya.

Dengan gerakan cepat, sang siluman meraih pergelangan tangan Kyungsoo dan menariknya. Kyungsoo membulatkan matanya kaget. Sosok itu mendekatkan wajahnya ke wajah Kyungsoo dan menyeringai. Kyungsoo bisa melihat taring panjang milik sang siluman.

Kyungsoo menggerakkan kakinya ke depan, namun dengan secepat kilat sang siluman beralih ke belakang tubuh Kyungsoo dan memelintir tangannya. Pemuda mungil itu merintih sakit. Secara tiba-tiba, sang siluman menatap kakeknya yang sedari tadi memandang mereka khawatir.

"Anggap dia sebagai tumbal," ujarnya dengan suara menggeram seperti hewan liar. Sang kakek tersentak kaget, "Tidak! Jangan!"

Kyungsoo membulatkan matanya ketika cahaya hitam mulai menyelubungi dirinya dan sang siluman yang masih memelintir tangannya. Dia tahu cahaya apa iblis, cahaya yang keluar ketika siluman melakukan perpindahan dimensi. Sekuat tenaga Kyungsoo meronta, namun hasilnya sia-sia. Bahkan sang siluman tidak terusik sama sekali.

.

.

.

.

.

"Selamat datang di istanaku,"

Kyungsoo mengerejapkan matanya. Rasanya lama sekali dia berputar di pusaran perpindahan dimensi. Mata besar itu meneliti detail ruangan tempatnya sekarang.

Ruangan besar bernuansa Jepang kuno yang didominasi warna kayu. Ruangan itu berbentuk persegi panjang dengan sebuah kasur besar tepat di tengah ruangan. Terdapat lukisan serigala di langit-langit kamar. Lantai kayunya senada dengan kusen-kusen pintu geser dan jendela. Kyungsoo bisa mendengar suara gemericik air dari arah pintu geser, sepertinya pintu tersebut mengarah ke halaman.

"Kau suka?"

Kyungsoo tersentak ketika hembusan nafas panas menerpa telinganya. Pemuda manis itu mendapatkan kembali kesadarannya setelah sebelumnya terpesona dengan kamar tersebut.

Dengan refleks Kyungsoo menjauhkan badannya dari sang siluman yang masih dalam posisi mendekapnya. Kyungsoo berjalan sejauh mungkin dari sosok tersebut. siluman serigala itu hanya menatap Kyungsoo datar.

"Kuharap kau menyukainya," lanjut sang siluman, "Karena kau akan tinggal di sini selamanya,"

"Tidak!" seru Kyungsoo, "Aku akan pulang,"

Sosok itu menyeringai meremehkan. Sepertinya sosok itu tahu kalau Kyungsoo tidak menguasai mantra perpindahan dimensi, tentu saja, Kyungsoo kan manusia.

Pemuda berbadan mungil itu masih menatap sosok itu dengan tatapan menantang. Dibesarkan dengan didikan keras oleh sang kakek membuat Kyungsoo tumbuh menjadi pribadi yang pemberani.

"Lagipula kau tidak bisa menahanku di sini, aku bukan bagian dari dimensi ini," ujar Kyungsoo dengan senyum kemenangan.

Bukannya merasa kalah, sosok itu malah terkekeh keras. Secara tiba-tiba, sosok itu sudah berada tepat di depan Kyungsoo. Wajah mereka terpaut terlampau dekat.

"Kau lupa kalau ada cara agar kau tetap tinggal denganku selamanya," Sosok itu mendekatkan wajahnya ke wajah Kyungsoo, membuat pemuda manis itu otomatis memundurkan wajahnya, "Aku bisa membuatmu menjadi hime,"

Mata besar Kyungsoo membulat. Dengan sekuat tenaga, tangan kecilnya mendorong sang siluman menjauh dari tubuhnya. Namun bukannya menjauh, sosok tersebut malah semakin merapatkan tubuh tegapnya dengan tubuh kecil Kyungsoo. Kyungsoo dapat melihat dengan jelas mata abu-abunya yang berpupil seperti anjing.

Kyungsoo memekik ketika sosok itu melempar tubuh mungilnya seakan tubuhnya itu seringan boneka. Untungnya Kyungsoo mendarat tepat di tempat tidur yang empuk. Baru saja Kyungsoo mencoba bangkit, tubuhnya sudah kembali didorong untuk berbaring.

Mata Kyungsoo melebar ngeri melihat sang siluman itu sudah menduduki perutnya. Kedua tangan Kyungsoo ditahan di atas kepalanya dengan satu tangan oleh sang siluman. Kyungsoo tahu ritual akan segera dimulai. Ritual yang merubahnya menjadi pasangan hidup sang siluman dan membuatnya tidak mungkin pulang akan segera dilakukan oleh serigala itu. karena itulah Kyungsoo mencoba meronta sekuat tenaga. Kaki Kyungsoo mulai menendang-nendang brutal, berusaha menyingkirkan sang serigala dari atas tubuhnya.

Siluman tersebut menggeram, mulai merasa terganggu dengan perlawanan Kyungsoo. Tangannya mencengkeram tangan Kyungsoo lebih kuat, namun Kyungsoo masih tetap meronta. Akhirnya sang siluman memukul perut Kyungsoo dengan sedikit keras, membuat pemuda kecil dibawahnya itu terbatuk dan lemas.

Siluman itu menggigit telunjuknya sendiri hingga mengeluarkan darah dan meneteskannya tepat di tengah dahi Kyungsoo. Kyungsoo mencoba menggerakkan kepalanya, namun rahangnya ditahan oleh tangan sang serigala sehingga tidak dapat bergerak sedikit pun.

Darah itu bergerak dengan sendirinya di dahi Kyungsoo, membentuk sebuah huruf kuno. Beberapa detik kemudian, darah tersebut seakan-akan masuk ke dalam kulit Kyungsoo hingga tak bersisa. Sang Serigala tersenyum puas melihat ritualnya berhasil dilaksanakan. Kini tinggal penguat mantra yang telah dipasangnya di tubuh Kyungsoo.

Kepala Kyungsoo tersentak ke atas ketika pemuda itu merasakan lehernya terkoyak menyakitkan. Matanya menutup menaha sakit. Siluman itu menggigit leher Kyungsoo dan menghisap darahnya.

Rasanya lama sekali ketika akhirnya sang siluman melepaskan lehernya dan bergerak menjauh dari tubuh mungilnya. Kyungsoo merasa kepalanya berkunang-kunang dan matanya sedikit memburam. Ketika akhirnya rasa pusingnya hilang dan matanya kembali fokus, Kyungsoo mendapati sang siluman sudah kembali berada di atas tubuhnya.

"Kai, namaku Kai," siluman itu berbisik, "Panggil namaku,"

Entah dorongan dari mana, mulut berbentuk hati itu tiba-tiba terbuka dan melantunkan nama sang siluman,

"Kai.."

Sang siluman menyeringai lebar, seringai penuh kemenangan. Pemuda manis itu sudah resmi menjadi miliknya.

.

.

.

.

.

TBC


Kami no michi = Jalan dewa

Kogeki = serang

*mantra yang diucapkan Kyungsoo hanya karangan author belaka


mianhae ini republish.. sebelumnya fic ini dihapus pihak ffn..

ada yang melaporkan fic ini kah? yowiss..

aku rapopo :p

.

.

Big thanks buat semua yang udah review Force, maaf ga disebutin satu-satu. Tapi, percayalah, saya baca review kalian berulang kali . banyak yang lucu, hehehe..

.

.

Review juseyo.. (jeball jeeebaaaallll!)