Angin musim panas masuk. Berhembus cepat melalui celah-celah jendela. Menabrak lembut seorang wanita. Membuat helai-helai rambut brunnete indahnya melambai. Wanita itu, bersenandung riang. Mengaduk sup untuk makan malam sambil melihat kearah jendela. Musim panas, huh? Ia tersenyum. Mengingat anak tunggalnya –jika yang anak angkat tak dihitung- yang sedang berlibur –katanya- ke negara seberang. Italia.
Sawada Nana. Seorang istri baik hati yang setiap malam merapal doa untuk sang suami yang bekerja jauh untuk menambang minyak. Bertahun-tahun. Tetap seperti itu. Mempercayakan sepenuhnya pada sang suami. Melepas pergi sang anak berlibur walau ia membawa sekoper penuh barang aneh tanpa bertanya apapun. Tetap tertawa ikhlas walau melihat sang Anak terjun jatuh dari lantai dua. Lantainya runtuh. Mengatakan untuk berhati-hati saat bermain.
Sawada Nana. Bukankah itu naif namanya?
"Ara, Lambo, I-pin, Fuuta, makan malam sudah siap~"
.
.
.
Chapter 9 : Sawada Nana part a
Disclaimer: Hibari punya saya :"v becanda deh, yah, kalian tahulah KHR punya siapa. Punya saya /bukan
Rating: masih tetap T. Mungkin chap depan jadi M. Tunggu aja #buang
Warning: Typo(s), aneh, GeJe~, abal, AU, bahasa berantakan, shounen ai, ya gitu wes
Sekedar penjelasan: disini Vongola tenth generation baru ketemu sama 'calon' Cloud Guardiannya. Jadi, belum ada arc. Eniwei, disini bakal banyak OC baru. Karna well, saya ngga tega pake chara aslinya buat orang jahat dan, yah, chara-nya sebenarnya kurang kalo bener-bener mau punya markas mafia. Dan sepertinya saya ga bikin arc-arc-an deh ^^" jadi fokus ke misi-misi gitu.
Thanks for:
Chap 9
Zee Cielova, Zet-san, Natsuyuuki, Julianto Merry, Aris, Kiupi Alfi, Aster Bunny Bee
Chap 8
Natsuyuuki, Kazue Ichimaru, Hikage Natsuhimiko
Special thanks to:
Hinomiya Sagi yang telah meluangkan waktunya buat nge-beta read padahal anti percintaan hvmv
Livia yang kadang-kadang nagih. Aku seneng banget ada yang ingetin.
Natsuyuuki anakmu pulang, mak. Bawa fic belum selesai. Makasih banget masih inget anakmu yang aneh ini.
And YOU yang masih mau baca fic ini. Saya super senang dan lebih senang lagi kalau ada yang review XD makasih juga yang udah fav and follow
.
.
.
Suara ketukan kecil konstan terdengar. Meja kayu jati dalam ruang di rumah sakit menjadi penyebabnya. Diketuk-ketuk ringan oleh jari sang Decimo Vongola. Sebelah tangannya menopang pada pipi sebelah kiri. Duduk sembari membaca laporan yang telah ditulis Gokudera, kemudian menandatanganinya. Mission complete.
Kakak anak perempuan itu akan tertangkap cepat atau lambat, pikirnya. Menoleh, tangan-tangan jam menunjukkan pukul 8 pagi. Menghela napas, Tsuna beralih pada laptopnya. Membaca cepat schedul-nya yang seakan tak pernah berhenti. Bahkan ia belum keluar dari rumah sakit. Masih menyelesaikan administrasi Yamamoto beserta obatnya. 'Setidaknya Aku sudah mandi' pikirnya.
"Kau salah,"
Suara itu membuat Tsuna menoleh. Hibari. Dengan kaus abu-abu gelap dan celana hitam panjangnya. Duduk santai di sofa ruang rumah sakit sembari membaca buku yang entah apa. Tsuna menatapnya, bingung. Sang Raven melirik sekilas lalu menutup buku itu. Melambaikan tangan singkat, Hibari memerintah Tsuna untuk duduk disebelahnya.
"Dalam hal apa?" Tsuna memiringkan kepalanya. Berjalan menuju detektif di depannya.
Hibari menunjukkan artikel miliknya. Deret-deret angka diagram dan gambar mempermudah penjelasannya. Pada dasarnya, kasus yang dimiliki oleh Vongola adalah kasus psychopath yang dilakukan oleh seorang lelaki setengah baya tambun yang memakan banyak korban. Beralih pada ditemukannya microchip pada lelaki itu. Yang artinya microchip itu menciptakan halusinasi pada sang pria. Tertangkapnya gadis berambut blonde itu tak banyak menjelaskan sebenarnya. Memang, kesimpulannya adalah bahwa gadis itu dan kakaknya adalah yang menanam microchip itu. Tapi masih ada satu kotak hitam lagi. Kotak hitam yang terlupakan.
"Bukankah yang seperti itu ada banyak, hm?"
Detak jantung sang Vongola Decimo berdetak cepat. Benar, benar sekali. Kenapa ia tak memikirkannya? Tidak mungkin itu terjadi hanya pada satu korban saja. Mereka pasti memiliki banyak 'boneka' yang seperti itu. Penjahat seperti itu pasti ada banyak. Dan Tsuna lupa sama sekali.
Tsuna menatap Hibari dengan pandangan cemas. "Bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan?"
"Tidak ada," Tsuna hampir jatuh dari sofa demi melihat wajah sang Raven yang datar. "Itu bukan urusanmu, itu urusan penegak hukum."
Tsuna tersenyum kecut. Benar. Walau itu menyakitkan, tapi itu benar. Lagipula, status kriminal tingkat tinggi hanya dimiliki oleh lelaki paruh baya itu. Untuk apa Dia berniat menangkap semuanya. Naif sekali.
"Lalu? Apa yang salah dengan 'mission complete-ku, Hibari-san?" membuat Tsuna tersadar suatu hal.
Hibari tak menjawab. Malah menatap keluar jendela kantor yang dekat dengannya. Hanya terlihat langit biru tanpa awan sedikit pun. Musim gugur menerbangkan banyak angin dan sinar mentari. "Badai akan datang,"
Huh?
[Sisilia, Italia]
Sebuah pencakar langit dengan desain elegan. Ketika masuk pun tetap mempertahankan intensitasnya. Desain interior yang mewah namun classy. Beberapa resepsionis yang ramah menjaga bagian depan dari pintu masuk. Di belakang mereka terdapat sebuah lambang peluru dengan dua senapan yang saling bersilangan diatasnya. Pada puncak teratas terdapat sebuah kerang berwarna emas. Begitu juga pada bordiran disekelilingnya.
Sawada Tsunayoshi melangkah masuk. Bersama dengan 'teman' barunya. Hibari kyoya. Sang helai brunnete mengenakan kemeja berwarna putih garis-garis tanpa jas sedangkan Hibari mengenakan kaus berwarna hitam legam dengan jaket abu-abu. Membuat para resepsionis membungkuk hormat.
"Selamat datang di Vongola Head Quarter, Vongola Decimo."
Tsunayoshi tertawa. Melambaikan tangan singkat. Ia tak begitu suka dipanggil secara formal begitu. "Panggil saja salah satu dari namaku. Sawada Tsunayoshi"
Ketika ia meneruskan langkahnya menuju lift, salah seorang guardian-nya memanggil. Sang Decimo menoleh. Orang itu melangkah kecepat kearahnya. Membawa dokumen. Gokudera. Tsuna mengira ia akan mendapat setumpuk kertas seperti biasanya. Tapi tidak. Raut sang manik emerald dihadapannya menekukkan alis.
"Juudaime, anak perempuan penjahat itu masih berada di sel penjara kita. Kepala kepolisian Italia menitipkannya pada kita. Mereka bilang bahwa Ia adalah buronan internasional. Jadi, mereka tengah menyiapkan penjara tingkat keamanan tertinggi. Akan diambil besok lusa. Nampaknya mereka sudah benar-benar mempercayai kita." Gokudera menatap boss-nya. Memainkan pulpen yang tengah dibawanya dengan tangan kiri.
Tsunayoshi mengangguk. "Yah, itu karena hasil kerja keras kita, Gokudera-kun. Oh, dimana gadis itu sekarang?"
"Di penjara bawah tanah kita. Aku tadinya akan meminta persetujuanmu untuk melakukan interogasi. Tapi si kepala nanas sialan itu sudah melakukannya lebih dulu sepuluh menit lalu." Sang emerald berdecak. Tsunayoshi tersenyum khawatir.
'Apapun yang Mukuro lakukan, itu bukanlah hal bagus.' Pikirnya. Hingga sang Decimo memutuskan untuk menemui perempuan itu. Gokudera meninggalkan mereka. Bilang akan menyelesaikan pekerjaan lain didekat perbatasan wilayah. Tsuna mengangguk. Kemudian sang Strom Guardian juga berpesan bahwa ia dan yang lain sudah membuat laporannya. Ditaruh diatas meja kerja Tsuna. Bersama dengan bertumpuk-tumpuk paper work lain. Jantung sang Decimo berdetak lebih kencang untuk sesaat. Ini yang ditakutkannya. Kertas-kertas sialan.
"Hebat, huh? Mafia yang dipercayai polisi." Hibari membuka percakapan. Berjalan mengikuti Tsuna.
Sang manik cokelat mendongak. Memencet tombol lift. "Well, ada banyak kejadian, Hibari-san. Lagipula... lagipula Aku tak mau berdiri sebagai pihak yang jahat,"
Hibari menatap Tsuna sejenak. Melihat pancaran mata yang menatap lurus kedepan. Tak lama, pintu lift terbuka. Membuat Hibari mengalihkan pandangannya. Melangkah masuk kedalam lift. Di dalam, Sang Decimo menekan tombol untuk lantai bawah tanah. Lift bergerak turun.
Beberapa menit kemudian pintu terbuka. Menampilkan sebuah lorong panjang bercatkan putih gading. Kedua lelaki itu melangkah keluar. Hening. Tak ada suara apapun kecuali gema konstan langkah kaki. Hingga mereka sampai pada sebuah pintu yang terbuat dari metalik. Disebelahnya terdapat sebuah sensor dan alat penanda.
"Nah, Hibari-san, ruang ini adalah penjara keamanan tertinggi Vongola HQ. Aku mengatakan begitu karena sebenarnya kami punya penjara sendiri ditempat lain." Tsuna tersenyum. Menatap Hibari. "Coba kau tebak, sensor ini mensensor bagian apa?"
Hibari mengamati sensor itu. Bentuknya seperti sensor sidik jari. "Sidik jari, hng?"
"Bukan, lihat." Sang brunnete menggigit sendiri ibu jari kanannya hingga berdarah. Kemudian menempelkannya pada sensor tersebut. Alat itu kemudian berbicara, 'Identitas DNA terdeteksi. Selamat datang, Sawada Tsunayoshi,'. Dan pintu terbuka. "Bagaimana, kerenkan?"
Hibari menyeringai. Benda itu jelas merupakan sesuatu yang baru. Bocah disampingnya benar-benar tak bisa diremehkan.
Tsunayoshi mengajaknya masuk. Hal yang kemudian dilihat Hibari adalah sebuah ruang penjara temaram dengan beberapa sel. Mereka berbelok. Menuju sebuah ruang lain yang didalamnya terdapat sebuah kaca satu arah. dibalik kaca itu, seorang perempuan dengan helai pirang panjang duduk dengan tangan dan badan terikat di sebuah kursi. Didepan perempuan itu terdapat sebuah meja dan kursi lain. Ruang interogasi.
"Kufufufu~ aku sudah menunggumu, Tsunayoshi." Dari sudut ruangan yang temaram, muncul Sang Kabut. Rokudo Mukuro. "Ini catatan medis tentang anak perempuan itu."
Tangan sang Decimo meraih file itu. Terdapat foto gadis itu pada bagian kiri atas. Bagian nama tak diisi. Menurut pemeriksaan DNA, genetik Kaukasoid 60%, Mongoloid 50%, Australoid 0%, dan Negroid 0%. Kolom selanjutnya tentang kesehatan. Tak ada masalah. Tak ada alergi atau apapun. Juga tak ada kerusakan pada otak. Semua bagus. Pada bagian bawahnya, kolom golongan darah. AB rhesus negatif. Kemudian umur. Gadis itu berumur 17 tahun. Selisih setahun dari Tsunayoshi.
"Engg, Mukuro, lalu? Apa yang tidak beres?" Tsunayoshi menatap manik hetero chrome milik Mukuro.
"Oya, oya, kau tidak membaca semuanya, ya? Lihatlah kolom IQ." Mukuro menunjuk pada baris kolom ketiga dari bawah.
Manik Tsunayoshi membola ketika membaca jajaran huruf disana. "I-IQ-nya 159?!"
Sepertinya Sang manik brunnete merasa shock karena IQ-nya cuma 113.
IQ 159 berada dalam jajaran jenius, namun belum sampai pada taraf idiot. Membuat dirinya mempunyai sifat agresif ketika ia berada dibawah intimidasi. Mukuro sudah menginterogasi menggunakan ilusi selama lebih dari 30 menit. Orang biasa akan kehilangan kesadarannya dan mengalami shock hebat jika mengalaminya. Tapi gadis itu tetap sadar walau napasnya tersengal.
"Mana anggota timmu yang lain, Mukuro? Tim interogasi Vongola," Tsuna memiringkan sejenak kepalanya. Teringat.
"Oya, oya~ walau kau mengatakan 'tim', kami hanya terdiri dari 4 orang, Tsunayoshi," Mukuro menarik sebelah alisnya. Kemudian berpikir. "Maiko sedang membantu saudara kembarnya. Sepertinya akhir-akhir ini data base Vongola sedang masih di rumah sakit. Sedangkan Lal Mirch menyelesaikan misi lain dari CEDEF. Bukankah aku begitu malang?"
Tsunayoshi menyilangkan tangannya didepan dada. Memasang pose berpikir. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menemui gadis itu sendiri. Melangkah menuruni tangga sendiri, setelah sebelumnya meminta Hibari untuk mengamati gerak-gerik Sang terdakwa. Ujung dari tangga itu adalah sebuah pintu menuju ruang introgasi.
Pintu itu dibuka. Menampilkan seorang gadis yang tengah menunduk sambil menatapnya tajam. Sang Decimo melangkah maju. Diluar perkiraan, ia malah melepaskan ikatan pada tangan dan kaki gadis itu. Kemudian duduk disebuah kursi kosong. Tepat dihadapan Sang penjahat.
"Aku ingin menemui pengacaraku." Gadis itu mengusap pergelangan tangannya yang memerah karena tergesek oleh borgol. Menatap tajam pada Tsunayoshi.
"Yah, aku tak yakin dapat memanggilkan pengacara untukmu, nona," Sang brunnete tersenyum. "Omong-omong, siapa namamu?"
Perempuan itu muak. Muak dengan keramahan yang menurutnya palsu. Ia menggebrak meja didepan Tsuna dengan keras. Sang Decimo tetap mempertahankan ketenangannya.
"APA-APAAN WAJAH BUSUKMU ITU, HAH?! AKU INGIN MENEMUI PENGACARAKU!" gadis itu berteriak. Tersengal. Ia mendekatkan wajahnya pada Tsunayoshi. "Menemui pengacara adalah hak dari seorang terdakwa! Jika itu dilanggar, kau akan dapat masalah dari mahkamah internasional, bajingan!"
Walau tak nampak, namun Tsunayoshi cukup tersentak. Ia kembali memunculkan senyum simpulnya. Gadis itu semakin jengkel. Diangkatnya tangan kanannya. Hendak menampar sang Decimo. Dengan cepat, tangan itu ditangkap oleh Sang brunnete. Manik safir gadis itu melebar. Tsunayoshi beranjak dari duduknya. Mendekati wajah sang gadis. Tatapan matanya berkilat tajam. Tsunayoshi memiringkan kepalanya sedikit. Menyeringai.
"Tidakkah kau mengerti posisimu saat ini, huh? Ini bukan kantor kepolisian. Ini kantor mafia. Yang artinya jika aku menyiksa atau bahkan membunuhmu, itu bukanlah suatu pelanggaran." Tsunayoshi kembali duduk. Mendongakkan sedikit kepalanya. "Jika kau tak ingin bekerja sama dengan kami, apa kami perlu menarik paksa kakak tersayangmu dan mencabut satu persatu kukunya dihadapanmu, misalnya?"
Sang gadis menggertakkan giginya. Menggeram tertahan. Ia meremas pahanya sendiri. Tak punya pilihan adalah pilihannya saat ini. Kembali duduk, menahan luapan amarahnya. Lelaki dihadapannya ini benar. Benar dan sangat menjengkelkan.
"Jadi, siapa namamu?" Tsunayoshi bertanya sekali lagi. Dengan senyum ramah terukir pada wajahnya.
Sementara itu diatas sana, Hibari tengah mencoret-coret kertas yang dipegangnya. 'Agresif, namun mudah untuk menjadi regresif. Tipe yang sangat tidak konsisten.' Pikirnya. Hibari kemudian menggambar secara sederhana grafik keadaan psikologi dari gadis itu. Kemudian menuliskan secara singkat opininya tentang sang gadis bermanik safir dibawah sana.
"Oya, oya, rupanya kau pintar juga, Hibari." Mukuro memperhatikan tersenyum yakin. "Kau baru lulus kuliah, kan? Jurusan apa?"
Hibari meliriknya sekilas. Lalu kembali menggoreskan kalimat demi kalimat. Menjawab tanpa menoleh. "Kriminologi dan hukum internasional. Aku menyelesaikan kedua-nya di tahun yang sama."
Mukuro bersiul. Mengatakan itu hebat. Melirik saja tidak, Hibari memilih mengabaikan dan menyelesaikan hipotesanya.
Setengah jam kemudian, Sang Decimo keluar dari ruangan tersebut. Menampakkan wajah yang sulit diartikan. Manik heterochrome Mukuro menatap kasihan. Jarang-jarang Tsunayoshi menampakkan raut sedemikian rupa.
"Berjalan rumit ya?" Sang indigo menyeringai. Hibari menatap datar.
Mengangguk, Tsunayoshi tersenyum, "Yah, begitulah. Tapi Dia jadi takut padaku."
Hibari mengangguk. Kemudian menoleh, menatap gadis pirang itu tengah digiring oleh anggota Vongola. Kembali menuju penjara yang dingin. Lalu kembali menatap kertasnya. Berpikir. 'Apa yang akan dilakukan kakaknya, huh?'
[Sebelah barat Palermo, Italia]
Lelaki berumur sekitar dua puluh tahun dengan helaian cokelat tersenyum. Menyandarkan dirinya pada sebuah sofa. Mengangkat perangkat elektroniknya. Di layar, dapat terlihat sederet nama beserta foto. Para korbannya. Boneka-boneka selanjutnya yang akan membantunya dalam mencapai keinginannya.
"Kakak akan membebaskanmu, Mary sayang," sembari mencium foto adiknya dalam-dalam. "Kakak akan menghancurkan Vongola untukmu."
Kemudian lelaki itu terkekeh mengerikan yang semakin lama semakin keras. Sejurus kemudian, seseorang mengetuk pintu ruangan tersebut. Kemudian masuk setelah dipersilahkan. Berlutut kepada pria didepannya, "Tuan Anderson, kami berhasil membujuk yakuza ternama di Jepang serta menyelidiki tentang Sawada Tsunayoshi"
Anderson, lelaki itu, menyeringai lebih lebar. "Bagus, dengan begini puzzle kita sudah lengkap. Sekarang kau akan rapat dalam enam jam kedepan. Strategi untuk menyerang Vongola di bandara Jepang"
"Baik, tuan."
Kemudian Anderson menginjak wajah orang didepannya. "Nah, pergilah. Decimo Saiveesto."
"Baik tuan," lelaki itu berangsur pergi. Dengan tatapan kosong.
Anderson sebenarnya hampir gila saat tahu adiknya tertangkap oleh Vongola. Ia menjerit, menangis, dan melempar barang. Siapa sangka Vongola akan secerdas itu menemukan adiknya.
Saat itu pada dasarnya sang kakak tak ingin meninggalkan adiknya di gedung pemerintah kosong yang berjarak lima mil dari markas Cavallone. Tapi apa boleh buat, ada hal mendesak lain yang harus ia lakukan. Maka inilah yang terjadi. Karma yang harus diterimanya. Adik tersayangnya tertangkap. Membuatnya menjadi seorang diri. Tapi tak apa, Anderson sudah siap.
Amunisinya sudah lengkap. Bidak-bidak yang ia perlukan juga sudah siap. Tinggal menunggu waktu. Bagaikan seekor harimau yang tengah mengintai mangsanya. Mencari saat yang tepat.
Lelaki itu tahu bahwa Sawada Tsunayoshi akan pulang tepat setelah adiknya dibawa oleh kepolisian Itali. Maka ia harus tepat menyerang mobil pembawa adiknya itu. Dan mafia lain akan mengurus si Sawada sialan itu. Bandara akan jadi lokasi yang tepat. Banyak orang tak bersalah. Mafia sok suci seperti mereka akan kalah.
"Sawada Tsunayoshi, aku datang,"
[Namimori, Jepang]
Malam tiba. Menyisakan suara hembusan angin dan jangkrik. Namun tidak dengan rumah kediaman keluarga Sawada. Tetap ramai dengan adanya tiga anak kecil. Namun Nana, sang Ibu, hanya tertawa. Demi melihat tingkah mereka.
Makan malam telah usai. Saatnya ia berberes piring-piring. Namun, ketika dirinya akan mengambil piring-piring itu, sepasang tangan lain telah mendahuluinya. Seorang gadis berhelaian ungu dengan eye-patch dimata kanannya.
"Bi-biar saya saja yang mencuci piringnya, Ma-mama." Chrome, gadis itu segera menumpuk piring-piring. "Anda istirahat saja."
Nana tersenyum. "Terima kasih, Chrome-chan. Kau jadi menemaniku dua harian ini. Harusnya kau pergi berlibur bersama Tsu-kun,"
"Ti-tidak mengapa, toh saya juga merepotkan Anda."
Setelah itu Nana tertawa. Menggeleng. Beranjak untuk mencuci piring. Chrome mengikuti sambil membawa tumpukan piring kotor. Pada akhirnya kedua perempuan tersebut mencuci piring-piring itu bersama.
Percikan busa dan suara gemericik air memenuhi pengelihatan sang Mist Guardian. Menggosok piring tanpa perasaan. Pikirannya jauh melayang. Cemas memikirkan pasangan Mist-nya dan sang bos yang tengah berada di Italia. Tapi bagaimanapun juga, sebenarnya di sini sudah cukup sibuk. Ryohei bersama tim lainnya tengah meneliti mikrochip tersebut. Belum lagi mafia lain yang iri terhadap Vongola. Menyerang kediaman Sawada. Gadis itu terpaksa harus berkelahi. Melindungi Nana dan anak-anak lain.
"Chrome-chan ada apa? Raut wajahmu berubah." Nana bertanya, membuat Chrome terkejut dalam hati.
Sang gadis berhelaian ungu tersebut menggeleng. Tersenyum gagap. "Sa- saya hanya mengingat tugas sekolah yang belum saya kerjakan. Matematika dua puluh lima nomor."
"Kau harus segera menyelesaikannya, Chrome-chan. Atau kau akan terburu-buru seperti Tsu-kun." Nana tertawa. Tetap mencuci piring didepannya. "Omong-omong, bagaimana liburan anakku itu, ya?"
Demi mendengar hal itu, jantung Chrome tersentak. Ini adalah salah satu hal yang selalu dipertanyakannya dalam hati. Sawada Nana TIDAK PERNAH mempertanyakan setiap hal aneh yang Tsuna lakukan. Sejak dari awal pertemuan dengan Reborn, hingga saat ini. Bahkan sekarang Tsuna malah berlibur padalah sekolahnya masih aktif. Yang lebih aneh, Nana tak pernah melarang atau memarahi tindakan anaknya tersebut.
"Saya rasa liburannya menyenangkan, Mama. Karena Bo- Tsuna-san sering menelepon saya dengan riang gembira. Jadi Anda jangan khawatirkan hal itu." Hanya itu yang dapat dikatakan oleh Chrome.
Cuci piring selesai. Waktu terasa berjalan lambat.
Nana menghela napas sejenak. "Terkadang anak itu memaksakan dirinya. Jadi Aku sedikit khawatir." menoleh, "Terima kasih telah berteman dengan Tsu-kun,"
Chrome bergetar. Apa itu? Apakah ini yang namanya naluri seorang ibu? Chrome tidak tahu. Tapi yang jelas orang didepannya tidak boleh tahu tentang sisi lain bos-nya. Tentang Vongola. Tentang mafia. Tentang sisi gelapnya. Tidak boleh.
Membuat Chrome teringat saat dimana Boss-nya membungkuk dihadapan semua guardiannya. Demi menjaga sang ibu dari semua pekerjaannya. Bagian hitam itu harus ditutupi. Entah bagaimanapun caranya.
Ya ampun, ini membuat Chrome pusing.
Gadis berhelaian ungu itu menengok kiri-kanan. Memastikan Sawada Nana sudah berada di dalam kamarnya sendiri. Setelah itu kembali masuk kekamar, menoleh. Jarum-jarum jam menunjuk pukul sebelas malam waktu Jepang. Yang dimana masih pukul empat sore di Italia. Chrome menyalakan layar handphone-nya. Kemudian memencet rentetan nomor. Setelah itu menuliskan beberapa kata dan mengirimnya.
Beberapa menit kemudian, handphone-nya bergetar. Menandakan ada panggilan masuk. Chrome segera menekan gambar telepon berwarna hijau.
'Malam, Chrome.' Suara diseberang memulai terlebih dahulu.
"Mu-Mukuro-sama."
'Bagaimana keadaan disana, huh?'
"Kami mengalami kendala dalam menyelidiki kasus mikrochip itu. Tapi kabar baiknya kami juga berhasil mengidentifikasi tiga orang yang ditanam mikrochip di kepalanya. Salah satunya telah diamankan pagi tadi."
'Siapa?'
"Himamura Sato."
'Kufufufu~ tak kusangka bahwa politikus kontroversial itu dikendalikan oleh orang-orang konyol. Terima kasih Chrome, kau sangat membantu. Jika kau bertanya perkembangan disini, maka jawabannya adalah baik.'
"Kapan Anda pulang?"
'Oya~ kau mengingatkanku. Lusa besok rencananya kami akan pulang. Tunggu saja,'
Setelah itu kedua mist tersebut membincangkan berbagai macam hal. Tentang hari-hari mereka. Bercengkrama. Bagaimanapun juga adanya saling keterikatan membuat mereka bergantung satu sama lain.
"Engg, tolong sampaikan pada Bossu bahwa mama- maksudku Nana-san baik-baik saja. Tak ada yang perlu dikhawatirkan."
'Oya oya~ sekarang kau jadi lebih bisa diandalkan, hm?'
"E-eeh? Te-terima kasih, Mukuro-sama."
'Ada lagi?'
"Ku-kurasa tidak. Itu saja."
'Kufufufu~ kalau begitu sebelum kututup, Chrome-'
"Y-ya?"
'Berhati-hatilah.'
Kemudian sambungan telepon ditutup. Menyisakan debaran jantung pada sang gadis ilusionis. Mukuro selalu menyisakan waktu diakhir telepon untuk kata-kata perhatian seperti itu.
Kepala gadis itu mendongak. Menatap langit malam. 'Anda juga harus berhati-hati, Mukuro-sama,'.
Gadis itu kemudian beranjak. Entah kenapa ia merasa ingin minum. Membuka pintu kamar tamu, menelusuri lorong. Hingga ia melihat sebuah kamar yang pintunya terbuka sedikit.
'Kamar Mama,' pikirnya. Tanpa sadar ia berhenti. Memilih mengintip sejenak. Maka disanalah seorang Sawada Nana. Duduk dipinggir ranjang dengan memejamkan matanya. Mendekap tangannya didepan dada.
"Wahai dewa-dewa diatas sana," perempuan itu berbisik lirih. "Wahai roh-roh yang menjaga keluarga Sawada, atas saksi langit beserta isinya. Ku mohon. Naungilah suamiku dan anakku. Aku tahu mereka sedang berjuang-"
Chrome tak sanggup melanjutkan. Memilih berbalik perlahan. Pergi secepatnya dari tempat itu. Kembali kekamar.
Benar-benar tak sanggup.
[Sisilia, Itali -dua hari kemudian-]
"Terima kasih telah menjaga buronan ini untuk kami, Vongola."
"Hahaha, tak masalah, dengan begini Anda dapat mempersiapkan penjara untuk tahanan kelas berat itu kan?" Yamamoto tertawa. Menjabat tangan seorang kepala sipir kepolisian Itali didepannya.
Lelaki itu mengangguk. "Ya, bagaimanapun saudaranya belum tertangkap. Tapi Anda tenang saja. Akan kami urus masalah ini bersama dengan kepolisian internasional."
"Saya percayakan pada Anda," lelaki bermanik hazel itu membungkuk.
Setelah dua-tiga kalimat lagi, pria itu pamit undur diri. Yamamoto melambaikan tangannya. Setelah benar-benar pergi dengan mobil polisi yang berisi gadis berbahaya itu, Yamamoto berbalik. Menuju kedalam Head Quarter.
"Yo, Tsuna," lelaki itu menyapa sahabatnya yang tengah berberes kertas-kertas pekerjaan.
Tsuna menoleh, "Bagaimana? Sudah?"
"Sudah," Yamamoto mengangguk. "Perempuan itu sudah dibawa oleh kepolisian Itali. Jangan khawatir,"
"Terima kasih, Yamamoto. Dan oh- kita sudah ditunggu yang lain di rumah Lal. Kau sudah berkemas, kan?" Tsuna berbicara tanpa menoleh. Tangannya terus bergerak memilah kertas-kertas yang penting dan yang tidak. 'Ke Jepang bawa oleh-oleh kerjaan, huh?'
"Sudah, kemarin. Dibantu Gokudera." Lelaki berhelaian hitam cepak itu memilih duduk di atas meja. Memperhatikan sahabatnya yang masih rusuh dengan kertas.
Lima menit kemudian, beres-beres selesai. Tsunayoshi meregangkan punggungnya. Cerah menatap Yamamoto. Saatnya kembali kerumah Lal.
.
.
.
Sebelum Yamamoto dan Tsuna benar-benar sampai didepan rumah Lal, halaman depannya sudah ramai oleh orang-orang. Dan barang-barang tentunya.
"Apa kami harus menua dulu hingga kalian datang, kora!" itu Collonello. Menyeringai saat mobil merah Yamamoto resmi terparkir dihalaman.
Yamamoto tertawa. "Maa~ maa~ maaf deh,"
Tsuna turun. Diikuti Yamamoto, bergabung dengan yang lain. Lelaki berhelaian brunnete itu memperhatikan sekeliling.
"Sudah lengkap jika kau bertanya soal itu." Lal yang seakan-akan bisa membaca pikiran tiba-tiba datang dari samping. "Si kembar Mikami juga sudah datang."
Tsuna mengangguk senang. Entah bagaimana, namun intuisinya menyatakan bahwa ia harus membawa anggotanya itu. Dan baiklah, saatnya berangkat menuju bandara.
"Bagaimana keadaanmu, Hibari-san?" Sang Decimo menatap Hibari yang tengah membaca buku. Secara kebetulan mereka satu tempat duduk dipesawat.
Hibari meliriknya sejenak. "Seperti yang kau lihat."
"Hahaha, kuanggap itu berarti baik-baik saja,"
"Kau membawa anggota baru. Siapa mereka?" Hibari memilih mengambil topik lain.
"Oh, mereka?" Tsuna menunjuk diam-diam dua orang diseberang bangku mereka. "Itu Mikami Maiko-san dan Mikami Saito-san. Anggota Vongola yang sangat membantu kami. Mereka ahli komputer dan psikologi kriminal. Padahal mereka baru saja ditugaskan di Itali dua bulan lalu. Well, apa boleh buat, mereka dapat membantu Gokudera lebih baik daripada anggota yang lain."
Hibari mengangguk sejenak. Melirik sepasang saudara kembar tersebut. Yah, tidak buruk untuk ukuran mafia sekelas Vongola. Lelaki berhelaian raven itu kembali menatap bukunya. Namun pikirannya melayang. Kasus ini sepertinya tidak akan berhenti sampai disini. Belum lagi masih banyak misteri yang belum terselesaikan.
'Sudah lama tidak berpikir hingga seperti ini, huh?' pikir Hibari dalam hati. Ada desiran adrenalin didalam otaknya. Hibari suka sensasi ini. Namun harus ditahannya.
Memilih menutup bukunya, Hibari menyandarkan kepalanya dipundak Tsuna. Membuat empunya kaget.
"Herbivore, bangunkan kalau sudah sampai di bandara." Hibari kemudian menatap tajam sang helaian brunnete. "Jika kau bergerak, aku akan membunuhmu."
Dijawab dengan anggukan sweatdrop Tsuna. "Ha-hai!"
Sudah tiga jam burung besi ini terbang melaju diatas awan. Sudah 45 menit pula Hibari tidur dipundaknya. Tsuna memilih menatap jendela pesawat disampingnya. Melihat indahnya lautan dari atas.
Hibari. Yang dipikir-pikir sebenarnya adalah orang yang misterius. Ia tiba-tiba saja datang. Menyelamatkannya, kemudian seenak jidat ikut masuk kedalam urusannya. Tsuna tidak tahu apa-apa tentang Hibari. Yang ia tahu hanya nama, alamat rumah, dan pekerjaannya. Hanya itu. Hibari terlalu misterius. Dan bodohnya ia sudah mempercayainya.
Tapi intuisinya mengatakan bahwa Hibari dapat dipercaya namun juga berbahaya. Tsuna tak tahu yang dimaksud oleh berbahaya itu berbahaya bahwa Hibari itu sangat kuat, atau Hibari bisa saja berkhianat. Entah apa, namun Tsuna tak ingin memikirkannya lebih lanjut.
Setelah itu tiba-tiba saja bayangan ibunya berkelebat. Jantung lelaki itu seakan berhenti sejenak.
"Kaa-san..." ucapnya lirih. Menelan ludah.
Bagaimanapun juga ia memikirkan ibunya. Ibunya yang penuh kasih sayang dan optimisme namun juga naif. Tsunayoshi sangat menyayanginya. Wanita itu rapuh. Jadi Tsuna tak ingin ibunya tahu bahwa anak satu-satunya terlibat dengan kekerasan. Bahkan perjanjian tak tertulis ada diantara ia dan ayahnya. Jangan beritahukan pada ibu. Untuk melindunginya.
Ibunya.
Lagi-lagi Tsunayoshi tak ingin berpikir lebih lanjut. Bukankah manusia selalu begitu, huh? Lari dari kenyataan. Memilih zona nyaman.
Merasa mengantuk, Tsuna memilih ikut tidur dengan menyandarkan kepalanya diatas puncak kepala Hibari. 'Rambut Hibari-san wangi,' pikirnya. Beberapa saat kemudian ia jatuh tertidur.
Dan bukannya momen itu lepas dari pengamatan. Adalah Reborn yang berada didepan mereka yang pertama kali mengetahui hal tersebut. Kemudian, Yamamoto di serong depan mereka tertawa saat tahu alasan Gokudera mencak-mencak lihat Juudaime tersayangnya bobo bareng orang lain. Gokudera aja nggak pernah begitu sama Tsuna.
"Maa~ maa~ kalau gitu sama aku aja sini, yuk," Yamamoto bermaksud menenangkan. Mengira Gokudera juga mau bobo dalam posisi begitu.
"OGAH!" dan ditolak mentah-mentah.
"Ara~ yaoi desu!" sang pendatang baru cerita ini, Maiko, tertawa. Memotret banyak hal.
Sang kembaran tertawa. "Bukankah kau tidak mendukung hal seperti ini, Mai?"
"Tergantung situasi~ situasi~"
Burung besi pribadi Vongola itu tetap melaju. Menyisakan canda tawa para penumpang yang masih terjaga.
Mengesampingkan sejenak fakta bahwa kelompok mafia di Jepang sana telah sampai pada penghujung rencana. Telah menyiapkan senjata dan prajurit. Hanya menunggu saat pesawat pribadi itu datang.
Bandara akan menjadi tempat pembantaian besar-besaran. Bagaikan karnaval mayat. Demi balas dendam. Demi kekuasaan. Demi ego yang tak realistis.
Satu setengah jam lagi.
Bandara berubah menjadi neraka.
.
.
.
Tamat. #nggak Bersambung, kok tenang aja.
Bersambung.
A/N
Fyuuhh... Setelah nggak nulis untuk sekian abad lamanya, rasanya tangan agak kaku. Dan- oh, kalau otak, otak saya sedang dikeluarkan untuk didinginkan sebentar. :v
Baiklah, ada yang ingat Kai? Ada? Ga ada? Ya udah #buang
Maaf lagi-lagi saya ga bisa balas review satu-satu disini, tapi akan saya balas di inbox aja ya? Sekali lagi maafkan saya #bow
Makasih banget yang udah mau baca... Sepertinya chapter depan bakal ada darah-darah gitu. Mungkin. Saya nggak tahu. :v
Omong-omong, saya masukkan chara tambahan pendukung yaoi~ #bukan Ga gitu juga, sih... Yah, bagaimanapun, Vongola terlalu besar kalo juma diisi dengan kurang dari 30 orang. :v
Yak, mind to Read and Review? (Flame juga boleh kalo nyangkut ketidak etisan cerita)
Kai