Disclaimer: Masashi Kishimoto

Warning: YAOI, AU, OOC dan hal absurd lainnya

Pairing: Always NaruSasu

Rated: M for Mature and Sexual Content

(Don't Like Don't Read)


We Got Married!

.

By: CrowCakes

~Enjoy~


.

.

Menjadi pegawai kantoran biasa atau istilah kerennya adalah salaryman bukanlah cita-cita yang diinginkan setiap orang, melainkan sebuah KEHARUSAN dan tuntutan hidup di era modernisasi seperti sekarang ini. Termasuk Uzumaki Naruto yang bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan ternama. Dengan gaji kecil dan tugas yang menumpuk membuat tingkat stresnya meningkat tinggi. Untung saja ia memiliki tunangan yang cantik sehingga beban pikirannya sedikit menjadi ringan.

Dan hari ini, tepatnya hari minggu di kawasan taman hiburan Konoha, Naruto sedang menunggu sang tunangan dengan sabar. Mereka sudah merencanakan untuk berkencan di saat waktu luang. Dan kebetulan sekali, tugas serta laporan Naruto sudah beres, jadi mereka bisa bersenang-senang dengan puas.

"Kenapa dia lama sekali sih?" Gerutu Naruto seraya melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 10.00 pagi. Satu jam telat dari janji kencan mereka. Sedikit mengerang kesal, Naruto memilih bersandar di sisi stand karcis sambil memasukkan kedua tangannya di kantong jacket. Menunggu merupakan hal yang dibencinya, namun kali ini ia memilih mengalah demi sang tunangan tercinta.

"Na—Naruto-kun, maaf menunggu lama." Sapaan dari seorang gadis bermata lavender membuat pemuda pirang itu menoleh dengan cepat. Gadis tersebut bergerak menuju sisi sang kekasih dan membungkuk minta maaf di depannya. Sang Uzumaki membalasnya dengan senyuman lebar.

"Ya Hinata-chan, tidak apa-apa." Jawabnya lagi.

"Apakah aku terlalu lama?" Tanya Hinata takut-takut sembari menatap sang kekasih dengan pandangan menyesal.

Naruto berdehem sebentar. "Ugh—tidak apa-apa. Tidak lama kok, ayo kita masuk." Sambungnya lagi seraya menggandeng tangan sang Hyuuga kemudian bergerak menuju kawasan taman hiburan tersebut.

Hinata mengangguk dan menanggapinya dengan tawa senang.

Ah—betapa bahagianya memiliki tunangan yang baik hati seperti Naruto. Pemuda pirang itu merupakan anugerah terindah dari Tuhan.

.

.

.

"Cih—tidak menarik. Membosankan."

Di tempat lain, gerutuan terdengar dari salah satu ruang kerja di perusahaan Uchiha's Corp. Lebih tepatnya lagi, dari mulut seorang pria berambut raven dan berjas hitam mahal yang sedang duduk angkuh di sofa empuknya.

"Ta—Tapi Sasuke-kun, bukankah kita akan kencan di taman hiburan hari minggu ini?" Ucap seorang gadis berambut pink dengan dress merah muda yang membuat penampilannya terlihat makin imut.

Pemuda yang dipanggil Sasuke hanya berdecak untuk kesekian kalinya. "Sudah kukatakan, Sakura. Hari ini aku sibuk, laporanku masih banyak." Tegasnya lagi tanpa mengalihkan pandangan dari depan layar komputer.

Sakura menghempaskan pantatnya di kursi tepat di depan meja kerja Sasuke. Kedua tangannya dilipat di depan dada. "Kerja inilah, laporan itulah! Aku tunanganmu, Sasuke! Seharusnya kau lebih mementingkan diriku dibandingkan pekerjaanmu itu!" Bentaknya kesal.

Sasuke melempar delikan tajam. "Tanpa uang dari pekerjaanku ini, kau tidak bisa berfoya-foya keluar negeri, Sakura." Ketusnya tajam.

Pernyataan itu sedikit menohok jantung sang Haruno. Ia membenarkan bahwa dirinya memang'sedikit' suka menghamburkan uang demi barang belanjaan, tetapi hal itu tidak masalah bukan? Sasuke merupakan Chief Executive Officer atau bisa disingkat sebagai CEO dari perusahaan ternama di Konoha. Dan dia adalah tunangan dari orang berpengaruh di Konoha. Jadi, fashion merupakan hal utama untuk menunjang hubungan mereka. Sakura tidak mau dicap sebagai tunagan konglomerat terkaya di Konoha yang berpakaian lusuh dan kumal. Hell No!

"Aku bukan berfoya-foya, Sasuke-kun." Nada suara Sakura melembut. "—aku hanya ingin terlihat menarik di depan media massa. Kalau aku jelek, kan kau sendiri yang malu karena punya tunangan yang lusuh." Sambungnya membela diri. Kalau sudah begitu, Sasuke hanya bisa memutar kedua bola matanya dengan malas.

"Keputusanku tetap tidak berubah. Kita tidak akan pergi ke taman hiburan." Sahut Sasuke ketus yang kembali berkutat dengan dokumennya.

Sakura terdiam sebentar. Kemudian mulai terisak pelan. "Aku kan hanya ingin bersamamu—hiks—aku ingin kau perhatian padaku."

Sasuke melirik sekilas kemudian memutar bola matanya lagi. Ia sudah paham air mata buaya sang tunangan.

"Aku—hiks—hanya ingin pergi ke taman hiburan—hiks—" Lanjut Sakura yang masih meneruskan drama tangis menangisnya, berharap hati Sasuke luluh dan menuruti keinginannya.

Bukannya kasihan, Sasuke malah semakin kesal melihat tingkah berlebihan gadis pink itu. Dengan terpaksa, ia bangkit dari kursi dan melangkah menuju pintu depan ruangan, membuat Sakura terdiam dan menatap heran ke arah pemuda itu.

Sang Uchiha berhenti di ambang pintu, kemudian melirik Sakura sekilas. "Kenapa kau masih diam disana? Ayo pergi ke taman hiburan."

Mendengar ucapan sang kekasih, Sakura terlonjak senang dan bergegas mengikuti Sasuke. Kemudian menggamit lengan pemuda itu dengan penuh sayang. "Sasuke-kun, kau yang terhebat." Pujinya senang.

Sasuke lagi-lagi memutar bola matanya, malas. "Hn—"

.

.

.

Taman hiburan Konoha merupakan wahana bermain yang cukup besar dan luas. Tempat yang cocok untuk bermesraan dengan sang kekasih di saat waktu libur ataupun waktu senggang. Namun hal itu sepertinya tidak berpengaruh pada Sasuke. Pemuda raven itu benci dengan kerumunan dan tempat ramai. Ia hanya berdecak kesal ketika Sakura terus saja menyeretnya ke wahana permainan, entah itu jet coaster, merry-go-round, ataupun racing car untuk anak kecil. For God's Sake! Sasuke lebih suka mengerjakan laporan perusahaannya daripada tertawa layaknya orang idiot di taman hiburan seperti ini.

"Sasuke lihat!" Sakura berteriak senang sembari menunjuk salah satu stand yang menyediakan arena menembak dengan hadiah boneka besar. "—Aku menginginkan boneka beruang besar itu!" Lanjutnya lagi sambil berdecak kagum pada orang yang berhasil menembak susunan kaleng dengan tepat.

Sasuke memutar bola matanya malas. " Beli saja di toko mainan." Jawabnya bosan.

Sakura menoleh galak. "Tidak seru! Aku ingin kau menembak susunan kaleng itu dan membawakan hadiahnya padaku." Paksa sang tunangan lagi.

"Aku tidak bisa menembak." Tolak Sasuke kesal.

"Ayolah Sasuke, jangan begitu. Bersenang-senanglah sedikit." Ucap Sakura lagi, melembutkan intonasi suaranya.

Dengan erangan terpaksa, Sasuke akhirnya mengikuti Sakura untuk menuju ke stand permainan menembak tersebut. Pemuda raven itu mengambil salah satu senjata mainan tadi dan mulai mengarahkan moncongnya ke susunan kaleng. Disebelahnya, Sakura mengulum senyum riang, berharap sang pujaan hati bisa mendapatkan boneka beruang yang ukurannya lumayan besar itu.

Sasuke bersiap-siap untuk menembak. Matanya terarah ke susunan kaleng sedangkan telunjuknya sudah berada di atas pelatuk. Kemudian—

DOOR!—Suara tembakan terdengar. Sakura yang tadinya tersenyum senang langsung kecewa saat peluru Sasuke sama sekali tidak menjatuhkan satu kaleng pun. Gadis pink itu menoleh dengan gusar.

"Kau tidak menembak kalengnya, Sasuke-kun." Gerutunya.

"Shut up!" Balas Sasuke yang tak kalah kesalnya. Ia kembali mengangkat senjata dan mengarahkannya kembali ke susunan kaleng kosong tadi. "—Kali ini pasti berhasil." Gumamnya pelan.

DOORR!—Tembakan lagi. Namun hasilnya tetap sama. Sasuke tidak berbakat dalam hal tembak-menembak.

"Ughh—kau payah." Gerutu Sakura dengan cibiran kesal.

Sasuke menggeram sebal dengan kekalahannya. Padahal ia sudah yakin dan memperkirakan arah dan sudut tembakan, tetapi kenapa masih gagal juga? Apakah perhitungannya tidak tepat?

.

DOOR—Suara tembakan yang terdengar dari arah sebelah Sasuke membuat cowok onyx itu menoleh penasaran. Apalagi suara tembakan tadi disambung bunyi 'KLANGKLONTANG' dari susunan kaleng yang berjatuhan. Sasuke yakin, orang yang berada di sebelahnya berhasil menjatuhkan kaleng-kaleng tadi dengan sekali tembakan. Benar-benar mengagumkan.

"Wah Naruto-kun—kau hebat!" Seruan seorang gadis indigo membuat Sakura ikut menoleh penasaran. Ia bisa melihat sepasang kekasih sedang bercanda dengan riang. Tampak seorang pemuda berambut spiky pirang yang tersenyum lebar karena berhasil menembak dengan jitu dan seorang gadis bermata lavender yang tersenyum malu-malu saat menerima boneka beruang besar dari sang kekasih, hadiah dari tembakannya yang menakjubkan.

"Ah!—Hinata-chan?" Sakura yang pertama kali memanggil dengan nada kaget saat melihat teman masa kecilnya itu. Yang dipanggil ikut menoleh dengan terkejut.

"Sa—Sakura-san?" Jawab Hinata dengan senyum di bibirnya. Gadis Hyuuga itu bergerak menuju ke arah sahabatnya dan memeluk sang Haruno dengan gembira. "—Aku senang bertemu denganmu disini. Sedang apa kau?"

Sakura membalas dengan cengiran lebar kemudian menggamit lengan Sasuke dengan penuh sayang. "Aku kesini untuk berkencan dengan tunanganku." Ucapnya manja.

Hinata tersenyum lembut kemudian membungkuk ke arah Sasuke. "Salam kenal." Sapanya sopan.

"Hn—" Jawab sang Uchiha seadanya. Mata onyx nya lebih memilih memandang tajam ke arah Naruto. Sedangkan pemuda pirang itu membalasnya dengan tawa gugup.

"Se-selamat siang Uchiha-sama." Sapanya dengan membungkuk 90 derajat dengan hormat. Membuat Hinata memandang heran.

"Uchiha-sama?" Tanya gadis lavender itu heran.

Naruto berbisik pelan. "Sstt—dia pimpinan di perusahaan tempatku bekerja." Jelasnya lagi.

Hinata mengangguk paham dan ikut-ikutan membungkuk hormat ke arah Sasuke lagi. Sakura yang pertama kali menghentikan sikap canggung temannya itu. "Ayolah Hinata, kau dan pacarmu tidak perlu bersikap hormat begitu. Santai saja, oke?" Ujar sang Haruno lagi seraya menggamit lengan Hinata dengan riang.

Gadis Hyuuga itu tersenyum lembut. "Oh ya Sakura-san, bagaimana kalau kita naik ke biang lala bersama?"

Sakura menoleh. "Biang lala? Maksudmu roda besar berputar itu?" Tanyanya seraya menunjuk ke arah wahana kincir besar dengan lampu yg berkelap-kerlip."Oh wow! Ide bagus. Kita bisa double-date. Ya kan Sasuke-kun?" Ucapnya lagi sembari melirik sang tunangan dengan pandangan penuh harap.

Pemuda raven itu memutar bola matanya tidak tertarik. "Terserahlah—" Jawabnya pasrah. Percuma saja berdebat dengan keegoisan sang kekasih. Ia tidak akan pernah menang. Jadi yang dilakukannya adalah mengekor Sakura menuju ke wahana mewah itu.

.

Petugas wahana biang lala tersenyum ramah menyambut kedatangan Sasuke dan yang lainnya. Ia membuka pintu kabin dan mempersilahkan kedua pasangan itu untuk masuk ke dalam kotak tadi.

Sakura mendudukkan pantatnya tepat di sebelah sang tunangan, sedangkan Hinata dan Naruto duduk tepat di depan mereka.

"Jadi, apakah kalian sudah tunangan?" Sakura membuka suara sembari menatap lekat-lekat ke arah Hinata dan Naruto secara bergantian, tidak terlalu peduli dengan kabin yang mulai bergerak pelan. Sang Hyuuga menundukkan wajah malu-malu, mencoba menyembunyikan rona merah di pipinya.

"Ya, dan besok kami akan melangsungkan pernikahan kami." Jawab gadis lavender itu.

Sakura membelalakkan matanya. "Benarkah? Wow, aku iri." Sahutnya. Kemudian melirik ke arah Sasuke. "Sayang, bisakah besok kita juga melangsungkan pernikahan?" Tanyanya.

Sang Uchiha hanya mengerang kecil. "Terserah kau sajalah."

"Yay!" Sakura tersenyum lebar.

"Uhhm, Sakura-san, sebelum menikah, seharusnya kau membuat surat nikah dan dokumen lainnya dulu." Jelas Hinata lagi.

"Oh benarkah? Apakah kau sudah membuat surat-surat yang dibutuhkan untuk menikah Hinata-chan?" Tanya Sakura penasaran.

"Sejujurnya Sakura-san, sore ini kami akan membuat surat-suratnya." Jawab gadis Hyuuga itu lagi. "—Tetapi aku ada kesibukan sore ini, jadi Naruto-kun saja yang akan membuatnya ke catatan sipil." Sambung Hinata lagi sembari melempar senyuman lembut ke arah sang tunangan.

Sakura mengangguk paham. "Hmm, aku juga sibuk sore ini mengurus cabang Haruno's Group di luar negeri."

Sasuke mendengus pelan. "Bukannya kau cuma ingin jalan-jalan untuk belanja? Urusan perusahaan kan Kakashi-san yang mengurusnya." Celetuk pemuda itu dengan cepat.

Sakura tertawa hambar. "Wah, kau benar-benar pengertian, Sasuke-kun." Ujarnya manja yang disambut dengan putaran bola mata dari sang onyx. "—Jadi Sasuke-kun, maukah kau yang mengurus surat nikah sore ini?"

Sasuke mendelik galak. "Kenapa harus aku? Dan lagi, kenapa harus sore ini? Kita bisa mengurusnya besok atau lusa."

"Tidak mau!" Sakura memotong dengan cepat. "—Aku ingin menikah di hari dan waktu yang sama dengan sahabatku, Hinata-chan. Dan harus di gereja yang sama juga." Paksa gadis pink itu lagi.

Tepat ketika Sasuke ingin mengeluarkan protesannya, Naruto sudah terlebih dahulu berbicara. "Kalau Uchiha-sama sibuk, aku bisa mengurus surat nikah anda dan Sakura-san." Sahutnya memberi jalan tengah.

Sasuke mengangguk pelan. "Ya, terima kas—"

"Tidak!" Lagi-lagi suara Sakura menyela, ia mendelik galak ke arah sang tunangan. "—Kau yang harus mengurusnya sendiri. Mandiri lah sedikit dan berhenti mengurusi perusahaanmu itu!" Bentak sang Haruno kesal.

"Cih, lihat siapa yang berbicara tentang 'kemandirian' disini. Sifatmu sendiri tak kalah buruknya." Sahut sang Uchiha kesal.

"Cukup! Pokoknya kau ikut dengan Naruto untuk mengurus surat nikah dan surat penting lainnya. Tidak ada penolakan!" Tegasnya yang membuat Sasuke lagi-lagi hanya bisa berdecak kesal. Sedangkan Naruto sudah meneguk air liurnya panik.

Pemuda pirang itu stres memikirkan nasibnya sore ini. Mengurus surat nikah bersama pimpinan CEO Uchiha's Corp? Oh great, ini benar-benar kutukan. Batin Naruto sarkastik. Ia tidak bisa menikmati pemandangan indah yang tersaji dari kabin mereka, otaknya terlalu gugup memikirkan apa yang akan dia lakukan nantinya?

Semoga saja ini berjalan lancar, doa Naruto lagi.

Namun begitu melihat delikan tajam sang Uchiha, nyalinya kembali ciut.

Nope! Ini akan menjadi kutukan yang mengerikan. Batinnya lagi dengan bulu kuduk yang merinding.

.

.

.

_Civil Registration Department, pukul 16.00 sore_

.

Naruto dan Sasuke berhenti tepat di sebuah gedung mewah bercat putih yang terkesan formal. Beberapa orang dan pegawai terlihat berseliweran disekitar bangunan tersebut. Naruto menebak bahwa mereka semua mempunyai kepentingan disana, seperti dirinya dan Sasuke sekarang ini. Mereka berdua harus mengurus beberapa surat dan dokumen untuk pernikahan. Damn! Menyebalkan. Bisakah mereka hanya menggelar acara pernikahan langsung tanpa merepotkan diri dengan membuat surat-surat tersebut? Gah!

"Uhh—Uchiha-sama—"

"Cukup panggil aku Sasuke." Potong pemuda raven itu lagi.

Naruto menggaruk pipinya salah tingkah. "Uhh—Sasuke, haruskah kita masuk ke dalam sekarang?"

"Yeah, whatever." Jawab sang Uchiha lagi, terkesan malas-malasan. "Cepat selesaikan dan kita pulang. Aku masih banyak kerjaan." Sambungnya angkuh yang langsung berlenggang masuk ke dalam gedung catatan sipil tadi. Sedangkan Naruto mengikutinya tanpa banyak berkomentar.

Mereka bertanya ke salah satu pegawai untuk mendaftarkan diri membuat surat pernikahan, pegawai tadi menunjuk ke salah satu ruangan dengan mengatakan bahwa disanalah mereka harus membuatnya. Naruto membungkuk berterima kasih dan mengikuti arahan salah satu pegawai tadi.

Dan disinilah mereka, duduk saling bersebelahan tepat di depan seorang wanita tua yang ber-name tag 'Chiyo' di seragamnya.

"Jadi, ada keperluan apa kalian kesini?" Tanya wanita atau lebih tepatnya disebut nenek tua itu.

Naruto menggaruk pipinya bingung. "Uhh—kami disini untuk membuat surat nikah." Jawabnya pelan.

Nenek Chiyo menatap Naruto dan Sasuke bergantian. "Kalian akan menikah?" Tanyanya ambigu.

Naruto dan Sasuke berpandangan sejenak kemudian menggeleng dengan panik. "Bu—Bukan kami." Sahut sang Uzumaki cepat. "—Maksudku, aku dan Sasuke." Jelasnya seraya menunjuk dirinya sendiri dan sang Uchiha dengan gerakan brutal. Berharap wanita tua itu mengerti. Sayangnya, nenek Chiyo terlalu renta untuk bisa mendengar dengan baik. Pendengarannya menurun dan hanya bisa mendengar beberapa kata saja.

"Jadi kalian akan menikah?" Ulang nenek Chiyo yang membuat Naruto hampir menampar pipinya sendiri.

Sasuke yang mengambil langkah untuk menghentikan sang Uzumaki untuk kembali protes dan membiarkan dirinya sendiri yang menjelaskan kedatangan mereka ke nenek Chiyo. "Bisakah kami membuat surat nikah disini? Apa saja persyaratannya?" Ucapnya langsung tanpa basa-basi. Khas Uchiha sekali.

Nenek Chiyo berdehem sebentar dan mengambil beberapa lembaran kertas dari laci meja kerjanya. Kemudian menyerahkannya kepada Naruto dan Sasuke. "Isi dokumen itu dengan keterangan diri dan tanda tangan."

"Hanya itu?" Potong Naruto heran.

"Ya, hanya itu." Jawab nenek Chiyo dengan tenang.

Sasuke mengambil lembaran yang dijulurkan oleh wanita tua itu dan mulai mengisi dokumen tadi dengan serius. "Cepat isi saja, Dobe. Aku malas berlama-lama disini." Ketus sang Uchiha lagi.

Naruto menggerutu pelan. Kalau bukan pimpinannya, mungkin saja pemuda pirang itu sudah menghajar Sasuke tanpa ampun. Tingkah dari keluarga Uchiha benar-benar membuat emosi.

Dalam diam, mereka mengisi lembaran kertas tadi tanpa banyak berbicara. Setelah selesai mereka mengembalikannya lagi ke nenek Chiyo.

"Jadi—" Wanita tua itu kembali membuka suara setelah mengambil lembaran kertas dari tangan Naruto dan Sasuke. "—apa kalian sudah menyiapkan pernikahan kalian?"

"For god's sake, yang menikah bukan kami!—Melainkan aku dengan tunanganku dan Sasuke dengan tunangannya!" Jelas Naruto setengah berteriak marah.

Nenek Chiyo tertawa kecil. "Oh ya ampun, aku tidak menyangka kalau kalian sudah tunangan juga."

Naruto sukses menampar pipinya lagi. Percuma saja berbicara dengan nenek tua yang pendengarannya bermasalah seperti ini. Membuatnya darah tinggi sekaligus makan ati.

"Maksudku, aku dengan tunanganku dan Sasuke dengan tunangannya. Bukannya kami berdua yang tuna—"

"Hentikan Dobe. Percuma saja berbicara lebih banyak lagi." Sela Sasuke cepat. "—Lagipula kita perlu mengurus hal yang lainnya. Seperti wedding organizer dan dekorasi untuk pernikahan kita—err—maksudku, pernikahan aku dengan Sakura dan kau dengan Hinata." Ucap pemuda raven itu lagi, membetulkan pernyataan ambigunya.

Nenek Chiyo lagi-lagi hanya tertawa kecil. "Oh, kalian membutuhkan wedding organizer? Aku punya kenalan yang bisa melakukannya."

Naruto menoleh dengan pandangan berbinar. "Benarkah?"

Wanita tua itu mengangguk pelan. "Ya, agency nya cukup terkenal, jadi semua urusan dekorasi, undangan dan lainnya dapat diserahkan kepadanya tanpa perlu khawatir. Kalian hanya perlu bersiap-siap untuk menikah saja. Untuk masalah undangan, kau hanya perlu memberikan alamat-alamat tamu yang perlu dituju, selebihnya serahkan ke agency itu saja, mereka yang akan mengirimnya." Jelas nenek Chiyo lagi.

Naruto mengangguk senang kemudian melirik Sasuke penuh pengharapan. "Apa pendapatmu, Sasuke?" Tanyanya.

Sang Uchiha mendengus kecil sembari melipat kedua tangannya di depan dada. "Terserah saja. Aku tidak peduli, lagipula pernikahan tidak berarti apapun untukku." Jawabnya asal.

Naruto hanya memberikan senyuman puas lalu kembali menatap wanita tua didepannya. "Baiklah kami setuju. Bisakah hari ini melakukan dekorasinya di Konoha's Church? Besok kami akan langsung menikah. Waktunya agak mendesak."

Nenek Chiyo mengibaskan tangannya dengan santai. "Tidak perlu khawatir, anak muda. Santai saja. Kalian bisa langsung menikah besok."

Pemuda pirang itu bangkit dari kursi dan membungkuk ke arah nenek Chiyo penuh hormat. "Terima kasih banyak. Kalau begitu kami pamit dulu."

"Ya, ya. Tidak masalah." Sahut wanita tadi seraya melambai senang ke arah Naruto dan Sasuke yang sudah meninggalkan ruangannya. Nenek Chiyo meletakkan kertas-kertas tadi diatas meja dan mengambil telepon terdekat untuk menghubungi kenalannya.

"Hallo? Ya aku Chiyo-san. Begini, bisakah sore ini kau mengurus undangan dan dekorasi di Konoha's Church?" Tanyanya dengan bahasa sopan. "Ya benar, ada pernikahan." Sambungnya lagi sembari meneliti lembaran kertas milik Sasuke dan Naruto. "Oh bukan, yang menikah bukan pria dan wanita. Tetapi pasangan gay." Jelas nenek Chiyo sembari tertawa kecil.

Ada jeda panjang dari seberang telepon sebelum akhirnya orang tersebut mengatakan setuju untuk menerima tawaran itu.

Nenek Chiyo tersenyum lebar. "Baiklah, terima kasih kalau begitu." Ujarnya lagi seraya meletakkan teleponnya kembali.

Mata tuanya beralih untuk meneliti profil dari Naruto dan Sasuke. "Anak muda jaman sekarang benar-benar menarik."

.

.

_Keesokan harinya_

.

_Konoha's Church, Pukul 10.00 Pagi_

.

Naruto duduk dengan gugup di salah satu ruangan. Tuxedo hitam dengan mawar merah di saku jas serta rambut pirang yang tersisir rapi membuat penampilannya terlihat elegan dan menawan saat itu. Ia cukup kagum dengan wedding organizer yang dikenalkan oleh nenek Chiyo, wanita tua itu benar-benar hebat dalam memilih agency. Gereja tua dan besar itu disulap menjadi tempat yang menakjubkan dengan beberapa pita dan hiasan mewah, sanggup membuat beberapa tamu terpukau melihat keindahan gereja kuno yang ternyata sangat bergelimpangan kemegahan itu.

Keluarga dari Uchiha dan Namikaze sudah duduk tenang menunggu calon pengantin. Namun bukan itu yang membuat Naruto gugup, melainkan belum ada tanda-tanda Hinata dan Sakura untuk datang. Apakah pengantin wanita selalu datang terlambat seperti ini?

Sedikit panik, Naruto mencoba menelepon Sasuke. Beberapa detik kemudian terdengar suara sang Uchiha dari seberang sana. Pemuda pirang itu dengan cepat memulai pembicaraan. "Uhh—Halo Sasuke? Kau dimana? Apakah Sakura dan Hinata sudah datang?" Tanyanya beruntun.

.

"Aku di ruang rias yang lain. Sakura dan Hinata belum datang. Memangnya ada apa?" Tanya Sasuke agak malas-malasan.

.

Naruto menggaruk pipinya dengan bingung. "Aku hanya heran. Kenapa pengantin wanita sama sekali tidak datang. Dan lagi, keluarga dari pengantin wanita juga tidak ada." Ucapnya membuka suara.

.

Sasuke terdiam sejenak. Ia menatap jam tangannnya. "Benar juga. Ini sudah telat satu jam. Kalau begini, aku akan coba menghubungi Sakura dan kau coba hubungi Hinata lagi, oke?"

.

"Ya, baiklah. Sampai jumpa di altar." Ujar Naruto lagi.

.

"Hn—" Jawab Sasuke seadanya kemudian mematikan sambungan telepon mereka. Pemuda raven itu beralih untuk menatap cermin besar dihadapannya.

Tuxedo putih dengan mawar merah yang terselip di saku jas, serta rambut ravennya yang terlihat menawan seperti biasa, membuat penampilannya cukup mengagumkan.

"Hmm—not bad." Gumam Sasuke lagi. Tepat ketika ia ingin menekan nomor Sakura, suara ketukan di depan pintu membuat perhatiannya teralihkan. "Ya, masuk." Sahutnya dari dalam.

Pintu ruang rias terbuka, menampilkan sosok Tenten, seorang gadis yang menjadi penata riasnya sekaligus sahabat dirinya dan Sakura saat kecil. "Oh Sasuke, kau sudah siap? Pengantinmu sudah menunggu di altar."

Alis sang Uchiha berkerut heran. "Pengantinku?"—Bukankah Sakura belum datang? Batinnya dalam hati.

Tenten menarik lengan Sasuke untuk segera keluar dari kamar rias. "Ayo cepat Sasuke. dan—oh—ini—" Gadis itu memberikan sebuket bunga pengantin untuk di genggam oleh sang Uchiha. "—Bawa ini saat kau berjalan menuju altar, oke?"

"Huh? Kenapa aku yang harus membawa buket bunga? Seharusnya pengantin wan—"

"Sudahlah Sasuke, berhenti bergumam sendiri. Cepat pergi dan menikahlah segera." Potong Tenten sembari mendorong pemuda itu untuk keluar dari ruangan dan segera menuju altar.

Sasuke menoleh untuk terakhir kalinya dengan wajah bingung ke arah gadis itu, kemudian mulai beranjak pergi dengan gestur malas-malasan. Tenten yang berada dibelakangnya hanya melambai dengan riang. Setelah sosok sang Uchiha sudah menjauh, ia mulai mengambil ponselnya dan menelepon Sakura.

"Hallo, Sakura-san? Kau kemana saja? Aku tidak menyangka Sasuke-kun akan menikah hari ini." Cerocos Tenten dengan nada riang. Diseberang telepon terdengar nada heran dari Sakura.

.

"Apa maksudmu? Hari ini memang kami akan melangsungkan pernikahan, tetapi Sasuke sama sekali tidak menghubungiku, aku pikir dia memundurkan jadwal pernikahannya." Jelas gadis pink itu lagi. "Ngomong-ngomong, apakah kau yang menjadi wedding organizer-nya, Tenten?" Tanya Sakura.

.

"Yup! Benar sekali!—Dan hari ini Sasuke melangsungkan pernikahannya dengan Naruto."

.

"WHAAT?! NARUTO DAN SASUKE MENIKAH?!" Sakura berteriak terkejut. "Bagaimana mungkin? Seharusnya aku yang menikah dengan Sasuke dan Naruto menikah dengan Hinata! Hari ini kami akan melangsungkan double-wedding!"

.

Kedua alis Tenten naik dengan heran. "Huh? Kalian yang menikah? Apa maksudnya ini? Nenek Chiyo memberitahuku untuk mengkoordinasi pernikahan atas nama Naruto dan Sasuke. Bukan atas nama kau dan Sasuke." Sahut gadis itu lagi, masih tidak mengerti maksud sang Haruno.

.

Sakura terdengar menggeram penuh amarah. "Maaf Tenten, tapi aku perlu menelepon Hinata. Bye"

.

"H—Hei Sakura, tunggu dul—"

Tuut!Tuut!—Sambungan telepon diputus secara sepihak oleh Sakura, membuat Tenten hanya bisa mengerutkan alisnya dengan penuh keheranan.

"Sebenarnya apa yang terjadi sih?" Gumamnya pelan.

.

.

.

Di depan altar gereja, Naruto berdiri gugup dihadapan seorang pendeta. Sesekali ia melirik ke arah pintu menunggu pengantinnya datang. Saat di ruang rias tadi, ia belum sempat menelepon Hinata untuk menanyakan keberadaan gadis itu. Dan sekarang, ia sudah diharuskan berdiri di atas altar untuk menanti pasangan pengantinnya.

Mata birunya memandang kedua orangtuanya yang terlihat tersenyum penuh haru. Sedangkan disisi lain, ia bisa mengenali keluarga Uchiha yang memandangnya tajam, hanya istri dari Fugaku saja yang tersenyum ramah ke arahnya. Naruto terpaksa membalas senyuman itu dengan cengiran kering. Jujur saja, sebenarnya ada apa ini? Kenapa seluruh tamu memandangnya dengan aneh sambil berbisik? Oh God, Naruto merasakan firasat buruk.

Dan benar saja, firasat buruk itu mulai menggelantungi hatinya saat melihat daun pintu gereja terbuka perlahan dan menampilkan sosok Sasuke berpakaian tuxedo putih sambil membawa buket bunga pengantin di kedua tangannya.

Pendeta dihadapan Naruto tersenyum dan mulai berseru dengan suara menggelegar. "Hadirin sekalian! Sambutlah pengantin dari Uzumaki Naruto—" Pendeta tersebut membentangkan kedua tangannya dengan lebar. "—Uchiha Sasuke!" Lanjutnya lagi yang langsung membuat Naruto serta Sasuke tersedak berbarengan.

"Tu—Tunggu dulu, apa maksudmu?" Naruto berbalik panik ke arah pendeta. Namun pria renta itu hanya tersenyum penuh wibawa.

"Oh anak muda, jangan malu. Pernikahan sejenis sudah sering terjadi di luar negeri, dan pemerintah Konoha sudah melegalkan hal tersebut." Sahutnya yang semakin membuat Naruto kalang kabut.

"Apa maksudmu 'sejenis'? Kami normal!" Seru Narutoo seraya menunjuk dirinya dan Sasuke. "Kami disini untuk melangsungkan pernikahan dengan tunangan kami!" Jelasnya lagi setengah emosi.

Pendeta tersebut mengerutkan alisnya bingung, kemudian menatap undangan yang ada di sakunya dan menunjukkannya di depan Naruto. "Disini, tertulis namamu dan Sasuke yang akan menikah."

Sasuke yang mendengar pernyataan itu langsung berjalan cepat menuju Naruto, kemudian mendorong tubuh pemuda pirang itu menjauh agar dia bisa menyambar undangan di tangan sang pendeta. "A—Apa maksudnya ini?" Ucap Sasuke dengan suara tercekat.

Naruto yang melihat kepanikan di mata sang onyx langsung ikut menatap undangan tadi. Di atas kertas itu, tidak tertera nama Sakura maupun Hinata, hanya nama mereka saja. Mulut sang Uzumaki langsung kering seketika. "Ja—Jangan-jangan, wanita tua bernama 'Chiyo-san' itu salah mengerti tentang hubungan kita dan mengira kita yang akan menikah?"

Sasuke menggeram marah kemudian meremas undangan tadi dan menginjaknya dengan kesal. "CUKUP SUDAH MAIN-MAINNYA! PERNIKAHAN INI BATAL!" Teriaknya lantang ke arah seluruh tamu di dalam gereja tersebut. Membuat seluruh hadirin tersentak kaget.

Suasana mulai ricuh, namun Fugaku langsung menghentikan keributan itu dengan satu kalimat pernyataan yang membuat Sasuke hampir mati sekarat. "Aku tidak peduli ini salah siapa, kalian tetap harus melangsungkan pernikahan sekarang juga. Kau tidak boleh membuat keluarga Uchiha malu dengan membatalkan seluruh acara, Sasuke." Tegas sang kepala keluarga Uchiha tadi dengan suara dingin.

"Tapi ayah—" Sasuke ingin mengeluarkan protes keras. Namun suaranya tercekat mendadak saat pintu depan gereja menjeblak terbuka dengan suara -BRAK!- keras, menampilkan sosok Hinata dan Sakura yang berdiri diambang pintu dengan mata penuh kemurkaan dan amarah.

"APA MAKSUD SEMUA INI, SASUKE!" Sakura berjalan mendekat seraya meraung keras. Dibelakangnya, Hinata menatap tajam Naruto penuh benci.

"Aku tidak menyangka kau sangat brengsek, Naruto-kun." Kata gadis lavender itu penuh desisan sinis.

Naruto yang pertama kali membuka suara dengan nada gugup. "Kau salah mengerti, Hinata sayang. Ini kesalahpahaman, semua ini salah wanita tua itu!"

"DIAM!" Hinata berteriak keras. "Aku tidak mau melihatmu lagi, Naruto! Aku membencimu!" Tepat ketika pernyataan keras dari gadis lavender tersebut, sosoknya langsung berbalik arah dan pergi berlari meninggalkan gereja. Membuat Naruto hanya bisa terdiam shock melihat sikap gadis itu. Ia tidak pernah menyangka kalau Hinata bisa murka seperti tadi.

Kini, Sakura yang memulai perdebatannya dengan Sasuke. Gadis pink itu berkacak pinggang penuh emosi. "Kau mengkhianatiku, Sasuke! Apa maksudmu dengan semua ini?! Kau bahkan tidak menghubungiku sama sekali!" Bentaknya kasar.

Sasuke membalas dengan geraman yang tak kalah kesalnya. "Aku sudah mencoba menghubungimu tapi Tenten—"

"Jangan menyalahkan Tenten! Kau yang salah disini!" Potong Sakura lagi.

"Aku tidak salah! Ini semua salah wanita tua yang tuli itu! Kau hanya membesarkan masalah saja!" Balas Sasuke.

"Tadi kau menyalahkan Tenten! Sekarang kau menyalahkan wanita tua yang tidak aku kenal! Sebenarnya apa maumu!" Raung Sakura lagi.

"Kau tidak mengerti! Aku—"

"CUKUP!" Sakura memotong dengan teriakan keras. "KITA PUTUS!" Lanjutnya lagi yang langsung berlari keluar dari gereja dengan penuh sakit hati.

Sasuke mencoba mengejar tunangannya, namun langkahnya langsung dihentikan oleh seruan Fugaku.

"Sasuke! Cepat langsungkan pernikahan!" Teriak kepala keluarga Uchiha itu, hampir meluapkan emosinya.

Pemuda raven itu berdecak kesal. Mau tidak mau, suka tidak suka, pernikahan akan terus berlanjut. Ia tidak mungkin mempermalukan nama 'Uchiha' karena pembatalan pernikahan ini. Dengan terpaksa, Sasuke menyeret Naruto yang masih terlihat shock karena ditinggalkan oleh Hinata dan mulai berdiri di atas altar.

"Dobe, kuatkan dirimu beberapa menit lagi." Bisik Sasuke pelan. Namun pemuda pirang itu hanya terdiam dengan pundak merosot. Mata sapphire nya kosong tanpa nyawa, kemurkaan Hinata masih terbayang di otaknya.

"Aku ingin mati saja—aku mau mati—tak ada gunanya aku hidup." Gumam Naruto penuh kesedihan.

"Dobe!" Sasuke menyentak lengan sang Uzumaki. "Fokuslah untuk sekarang, oke?" Jelasnya lagi.

Naruto tersentak kecil karena guncangan Sasuke. Sapphire nya menatap sang onyx dengan pandangan terkejut. "O—Oke."

"Bagus. Setelah menikah, kita bisa langsung cerai dan kembali ke kehidupan kita sebelumnya. Anggap saja ini tidak pernah terjadi." Jelas Sasuke lagi, berusaha berpikiran positif.

Naruto mencoba mengangguk paham. "Baiklah, Sasuke. Kita lewati pernikahan palsu ini dengan segera."

Sasuke tidak membalas, ia hanya menunduk diam seraya berpikir. Kekacauan ini benar-benar membuat kewarasannya berubah menjadi kegilaaan, dan semua ini terjadi karena ulah wanita tua bernama Chiyo itu. Damn it! Rasanya Sasuke ingin menghajar nenek itu hingga babak belur. Dasar ratu kesialan!

Mata onyx nya beralih memandang sang ayah. Ia bisa melihat kilatan tajam dari mata sang kepala keluarga Uchiha itu. Seakan-akan bisa menelannya bulat-bulat sekarang juga. Sasuke bergidik ngeri, ia menyadari sebentar lagi nyawanya akan terancam. Tidak ada yang lebih mengerikan dari kemurkaan Uchiha Fugaku.

MotherFucker!

.

"Psst—hei Sasuke—" Naruto berbisik pelan seraya menguncang pelan bahu pemuda raven itu.

Sasuke tersentak kecil dan memandang tajam ke arah sang Uzumaki. "Apa?" Ketusnya.

Naruto menunjuk jari manisnya. "Cincinku—cepat sematkan ke jariku." Bisiknya lagi.

Sasuke menatap jari manisnya dan melihat sebuah cincin emas sudah tersemat dengan cantik di sana. Sejak kapan Naruto menyematkan cincin ini ke tanganku? Hm, mungkin saat aku melamun tadi. Batin Sasuke dalam hati. Sedikit tidak peduli, pemuda raven itu mulai menyematkan cincin di genggamannya ke jari manis Naruto.

Pendeta yang melihat ritual pemasangan cincin sudah dilakukan mulai berseru dengan menggelegar. "Dengan ini, ku sahkan kalian menjadi pasangan suami-istri! Silahkan cium pasangan mempelai kalian."

Naruto tersentak kaget, ia mencoba menolak hal itu dengan cepat. "Bi—bisakah kita melewatkan ritual cium-ciuman itu? Perasaanku—err—tidak nyaman." Alasannya lagi, sembari melonggarkan kerah dasinya dengan canggung.

Pendeta menggeleng dengan bijaksana. "Maaf, tapi acara ini sangat sakral untuk dilewatkan. Kau harus mencium mempelaimu." Jelasnya lagi.

Pemuda pirang itu meneguk air liurnya panik. Matanya beralih memandang manik hitam sang Uchiha, meminta bantuan. Namun Sasuke hanya mendesah pasrah seraya melipat kedua tangannya dengan angkuh.

"Lakukan dengan cepat." Ucap sang onyx lagi.

Naruto hampir tercekat oleh ludahnya sendiri. "A—Apa maksudmu?"

"Cepat cium aku dan akhiri penderitaan ini segera." Desis Sasuke dengan tatapan tajam.

"Tu—Tunggu dulu, aku tidak mungkin mencium seorang cow—"

Sasuke menghentikan ocehan Naruto dengan mencengkram lengan pemuda itu, kemudian menyentaknya kasar. "Jangan membuatku malu. Cepat cium dan berhenti bersikap idiot, Dobe." Sinisnya.

Sedikit terpaksa dan juga karena tatapan intimidasi dari keluarganya serta para tamu, membuat Naruto akhirnya setuju untuk menempelkan bibirnya ke mulut sang Uchiha. Tangannya menyentuh perlahan ke bahu Sasuke, kemudian mencondongkan tubuhnya dengan gerakan kaku.

"Pejamkan matamu, dan cukup pikirkan tentang Sakura, oke?" Bisik Naruto.

Sasuke mendengus pelan. "Hentikan ocehanmu dan cepat cium aku."

Naruto memutar bola matanya dengan malas. "Terserah kau sajalah." Sahutnya lagi, kemudian mendekatkan wajahnya dan detik selanjutnya—sebuah tekanan lembut dan manis menyentuh bibir sang Uzumaki. Naruto yakin tekanan hangat itu dari mulut Sasuke.

Oh god!—Naruto tidak pernah merasakan bibir cowok bisa selembut ini. Hampir membuatnya hilang kesadaran dan terlempar ke dunia fantasi dengan kupu-kupu yang berterbangan. Sensasi hangat itu membuat sang Uzumaki tidak tahan untuk menggoda rongga mulut Sasuke.

Naruto menekankan bibir mereka lebih kuat. Lidahnya mencoba bergerak untuk membuka celah bibir milik Sasuke. Berharap dapat mengecap sedikit rasa dari lidah sang Uchiha. Tetapi gerakannya langsung terhenti saat sebuah tangan menarik bahunya dengan keras.

Naruto menoleh dengan heran, kemudian meneguk air liurnya saat menyadari bahwa Fugaku lah yang sudah menarik bahunya tadi.

Pria Uchiha itu membuka suara dengan nada dingin. "Cukup pertunjukkan kalian. Kita perlu berbicara sekarang."

Naruto mencoba tertawa kering. "Berbicara?"

"Ya, mengenai tempat tinggal kalian berdua nantinya." Jelas Fugaku lagi seraya berbalik dan berjalan menuju tempat duduknya. Meninggalkan Sasuke yang mendesis sinis sembari menyapu bersih bibirnya dan Naruto yang hanya bisa terdiam gugup menantikan eksekusi kematiannya.

Shit!

.

.

.

Acara pernikahan di gereja megah itu tidak berlangsung lama, hanya sekitar beberapa jam saja, sebab kedua pengantin sudah dibawa pergi oleh Fugaku dan Minato menuju ke kediaman keluarga Uchiha. Kedua belah pihak keluarga sepakat untuk segera mendiskusikan tentang pernikahan dua pemuda itu sekaligus menentukan dimana mereka akan tinggal nantinya.

Dan sekarang, disinilah Naruto, duduk bersebelahan dengan Sasuke di ruang tamu yang sangat luas di kediaman mewah sang kepala keluarga Uchiha.

Pemuda pirang itu menunduk gugup tanpa berani memandang wajah Fugaku yang duduk angkuh dihadapannya, sedangkan Sasuke memilih tidak peduli dan duduk dengan santai disebelah 'sang suami'.

"Jadi—" Fugaku membuka suara. "—Sudah berapa lama kalian berhubungan?" Tanyanya dingin.

Sasuke yang pertama kali membuka suara seraya mengerang kesal. "Sudah berapa kali kukatakan, ini cuma kesalahpahaman saja. Aku tidak mengenal Naruto dan sebenarnya kami berencana melakukan double-wedding." Jelasnya lagi.

Minato yang duduk disebelah Fugaku mulai mencondongkan tubuhnya, berusaha mendengarkan dengan pandangan tertarik. "Double-wedding? Apa maksudnya?"

"Well—" Naruto yang kali ini berbicara. "—kami sudah merencanakan untuk melangsungkan dua pernikahan sekaligus. Aku dengan Hinata sedangkan Sasuke dengan Sakura." Ujarnya lagi, berharap Fugaku berhenti menatapnya dengan tajam, seakan-akan bencana ini merupakan kesalahannya.

"—Tetapi gara-gara wanita tua itu, pernikahan ini kacau." Sambung Naruto lagi seraya menjambak rambut pirangnya frustasi.

"Wanita tua?" Tanya Fugaku dengan satu alisnya terangkat, penasaran.

Sasuke berdecak kecil sebelum menjawab. "Ya, wanita tua yang bekerja di Civil Registration, aku rasa namanya adalah 'Chiyo-san'." Mata onyxnya menatap sang ayah dengan serius. "—Nama wanita tua tidak penting. Yang sekarang kami butuhkan adalah perceraian." Lanjutnya lagi.

Fugaku mengangkat kedua alisnya terkejut. "Perceraian? Kau baru saja menikah dan kau ingin perceraian?"

"Oh ayolah—" Sasuke memutar kedua bola matanya malas. "—Sudah kukatakan berapa kali kalau pernikahan ini bencana dan aku ingin berce—"

BRAAKK!—Fugaku menggebrak meja tamu dengan kasar, membuat Minato dan Naruto terlonjak kaget. "Cerai katamu?" Desisnya sinis. "Keluarga kita sudah malu karena kau menikah dengan seorang pria dan sekarang, apa kau berencana untuk mempermalukan nama keluarga 'Uchiha' lagi dengan skandal perceraian?!" Lanjutnya lagi.

Sasuke menatap tak kalah tajamnya. "Aku tidak—"

"LALU APA?!" Fugaku mulai meraung. "Kalau kau menikah kemudian detik selanjutnya kau bercerai, apa kata media pers nantinya?! Kita akan di hina karena sikap kita yang suka mempermainkan pernikahan yang sakral!" Sinisnya lagi.

Tepat ketika Sasuke ingin membalas ucapan sang ayah. Suara Mikoto dan Kushina dari arah dapur menginterupsi pembicaraan 'panas' itu.

"Kami membuat apple pie." Ucap Mikoto riang seraya membawa seloyang kue yang masih hangat, tidak peka terhadap situasi yang tengah menegang itu. "Kushina benar-benar hebat dalam hal memanggang kue." Pujinya dengan tawa kecil.

Kushina tertawa renyah dengan malu-malu. "Ah tidak masalah, lagipula Mikoto-san juga hebat dalam mengolah bahan." Balasnya dengan pujian yang manis.

Kedua wanita itu saling tertawa akrab seraya meletakkan loyang kue tadi di atas meja. Tepat ketika Mikoto menoleh ke arah Fugaku, tawanya terhenti sebab sang suami menatap tajam ke arah anaknya.

"Uhh—ada apa? Kenapa atmosfir di sini terasa sangat berat?" Tanya Mikoto sembari mendudukkan diri disebelah sang suami.

Fugaku dan Sasuke mendengus pelan dan saling memalingkan wajah.

"Tidak ada apa-apa." Kata kepala keluarga Uchiha itu.

Mikoto berusaha tersenyum. "Baguslah, kalau begitu, kita bisa membicarakan mengenai tempat tinggal Naruto dan Sasuke." Ucapnya membuka diskusi.

Kushina mengangguk senang. "Ya, mereka bisa tinggal di rumah kami. Walaupun sempit setidaknya—"

"Aku tidak ingin tinggal dimana pun. Aku sudah mempunyai apartemen sendiri." Sela Sasuke dengan dengusan malas.

Kushina terlihat salah tingkah. "Uh—baiklah, mungkin Naruto bisa menemanimu di—"

"Tidak—" Lagi-lagi sang Uchiha menyela. "—Aku lebih suka hidup sendiri daripada bersama si bodoh ini." Tunjuknya dengan angkuh ke arah Naruto.

Naruto menggeram marah, rasanya ia ingin menghajar wajah sombong Sasuke dengan bogem mentahnya. Namun apa daya, dirinya hanyalah pegawai biasa, sedangkan Sasuke merupakan CEO dari Uchiha's Corp. Jarak orang kaya dan orang miskin memang terpisah oleh derajat dan martabat. Jadi yang bisa dilakukannya hanyalah diam tidak melawan. Tetapi berbeda dengan Mikoto, wanita lembut itu menajamkan alisnya seraya memandang dingin sang anak.

"Apa ibu mengajarimu untuk berbicara tidak sopan begitu, Uchiha Sasuke?" Luncuran kalimat itu sontak membuat Sasuke mendongak kaget. Ia tidak pernah takut akan kemurkaan sang ayah, tetapi kemarahan ibunya benar-benar membuat bulu kuduknya menggigil. Saat kecil, ayahnya pernah berkata, 'kemarahan seorang wanita memang mengerikan, tetapi kemarahan seorang ibu sanggup melemparkanmu ke neraka'. Dengan berpedoman ucapan sederhana itu, Sasuke tidak pernah berani melawan Mikoto, bahkan ia selalu menuruti perkataan wanita yang melahirkannya itu.

Sasuke mencengkram jemarinya dengan gugup. "Ma—maaf, Ibu."

Raut wajah Mikoto berubah menjadi ceria kembali. Ia menepuk kedua tangannya dengan suara -Plok!- senang. "Baiklah kalau begitu, sudah diputuskan kalau mulai dari sekarang Naruto akan tinggal di apartemen Sasuke."

"Tu—Tunggu dulu, Bu." Sasuke mencoba meluncurkan protesannya. Namun begitu melihat Mikoto mendelik ke arahnya dengan galak, mulut pemuda raven itu langsung terasa kaku dan memilih meneguk air liurnya sendiri. Kepala ravennya tertunduk pasrah. "Terserah ibu sajalah." Ucapnya lagi.

Melihat wajah murung Sasuke membuat Naruto sedikit iba, ia mencoba mengeluarkan pendapatnya sendiri. "Uhm—Mikoto-san, sebaiknya aku tinggal terpisah saja dengan Sasuke. Lagipula kami akan mencoba bercerai secepat mungkin dan kembali ke tunangan masing-mas—"

"Tidak boleh ada kata cerai." Potong wanita berambut hitam itu. "Di keluarga Uchiha, perceraian adalah hal yang tabu. Hal itu akan membuat skandal di media massa. Jadi tidak ada perceraian." Jelasnya dengan senyuman terlembut.

Naruto meneguk ludah gugup, ia menatap kedua orangtuanya untuk meminta bantuan, namun Minato dan Kushina hanya tersenyum senang mendengar ucapan Mikoto. Mereka terlalu gembira karena sang anak menikah dengan orang kaya. Ahorangtua yang tidak bisa diharapkan, batin Naruto sedih.

Sasuke masih sedikit enggan dengan keputusan sepihak dari Mikoto. "Tapi ibu—bagaimana dengan Sakura? Bukankah kami akan menikah? Jadi aku perlu bercerai dengan Naru—"

"Tidak. Kau tidak akan menikah dengan Sakura." Potong wanita berambut hitam itu lagi. "—Aku sedikit tidak suka dengan sifat berfoya-foya gadis itu. Untuk urusan Sakura serahkan saja pada ayahmu. Dia bisa mengatakan pada keluarga Haruno kalau pernikahan kalian dibatalkan." Jelas Mikoto lagi.

Fugaku mendelik galak. "Kenapa harus aku?"

"Sebab ayah Sakura adalah rekan kerjamu." Balas Mikoto dengan delikan yang tak kalah sadisnya. "Pokoknya aku tidak setuju kalau gadis itu yang akan menjadi istrimu, Sasuke." Tambahnya lagi.

Sasuke mengerang seraya memutar bola matanya kesal. "Terserah ibu sajalah. Aku ingin kembali ke apartemenku." Ucapnya sembari bangkit dari sofa menuju pintu depan.

"Kalau begitu ajak 'suami'mu juga, Sasuke." Sela Mikoto sambil menarik tubuh Naruto dan mendorongnya ke arah sang anak.

Sasuke mendengus sebal. Ia melirik pemuda pirang itu dengan tajam. "Jangan pernah berpikiran kalau aku akan bersikap lembut padamu, Dobe." Bisiknya sinis.

Naruto meneguk liurnya. Shit! Ini tidak bagus.

"Uhm—Mikoto-san sebaiknya aku—" Tepat ketika Naruto ingin menolak untuk ikut ke apartemen Sasuke. Sang mertua sudah terlebih dulu membungkuk hormat 90 derajat.

"Tolong jaga Sasuke, Naruto-kun. Aku percayakan anakku padamu." Kata Mikoto sembari menyembunyikan tangis haru. Mau tidak mau, Naruto ikut membungkuk hormat dengan tawa gugup.

"Te—tenang saja, Mikoto-san, Fugaku-san. Aku akan menjaga Sasuke dengan hidupku." Sahutnya lagi. Mata birunya mencoba melirik sekilas pada sang Uchiha, namun pemuda raven itu hanya membalasnya dengan delikan angkuh, seakan-akan berkata 'orang kampung sepertimu tidak akan bisa menjagaku, Idiot!'.

Ahh—Rasanya Naruto ingin menangis saja di dalam kamar sembari mengutuki nasibnya yang selalu sial.

God!Tolong selamatkan aku. Cobaanmu ini terlalu berat untuk jiwa polosku.

.

.

.

TBC (To Be Continued)

.

.

Yuhuuuu~ CrowCakes membawa fic baru lagi tentang pernikahan. Memang agak mainstream ya, tetapi aku ingin sekali menulis tentang pernikahan Naruto dan Sasuke...

Disini umur Naruto dan Sasuke berkisar 26 tahun (umur yang cocok untuk menikah) #plak XD, sedangkan Sakura dan Hinata 24 tahun. Rated M nya juga masih belum ada (bungkuk minta maaf), mungkin nanti... Huehehehe...

Untuk next chap, mungkin bakal update 4-5 hari lagi, masih dalam tahap pengerjaan soalnya... hehehe :)

Aku harap kalian semua suka dengan fic aku ini ya...

RnR please! ^^