Audaces Atropine

Main Cast:
- Lee Sungmin.
- Cho Kyuhyun.
- Ren (Choi Min Ki).
- Cho Seungri (Lee Seung Hyun).

Warning:
YAOI | Semi M | Typo(s) | dll.

Disclaimer:
KyuMin saling memiliki, dan cerita ini milik kakak saya :D
.

.

:: Happy Reading ::

Barangkali ia akan menjadi lakon terakhir di tempat aku berpijak sekarang. Pada pusat panggung gedung pertunjukan opera megah, tua dan kelam. Cahaya lilin muram di sekeliling panggung seolah kesedihan yang disulut. Segalanya terasa bagai kesenduan di gedung ini. Nyaris seperti kenangan duka yang terkubur dalam ingatan.

Kostumnya yang berwujud jubah hitam beserta tudung begitu kontras bersinggungan dengan kulit wajah pucat hampanya. Sehampa bingkai raut satu per satu penonton yang duduk khusyu memperhatikan penampilannya. Beberapa dari mereka antusias di balik bayang-bayang keputus asaan. Bila kau berniat menikmati pertunjukan, urungkanlah sebab tiada kursi tanpa isi di gedung ini.

Kupejamkan kelopak dalam-dalam. Membuat tubuhku seakan gelombang udara dingin berdesir. Keheningan mengalir deras.

Musik itu mulai menyelusup lembut ke telingaku. Requiem, alunan nada ketenangan arwah mengiringi nyanyian dan tarian kelabu itu. Ia bernyanyi, juga menari menuruti alur. Mendalami kenangan yang pelan-pelan terhapus.

Seluruh penonton seakan menahan napas. Kisah pertunjukan itu berjalan penuh kepahitan. Nada piano Requiem makin pilu mengalun. Pertunjukan itu tengah mengisahkan ceritanya.

Lihatlah aku. Di sebuah kota terang dengan danau beraliran riak lembut disisiku. Aku bahagia, suka cita bergelayut bagai merambat. Aku tersenyum penuh demi melihat seseorang di tepi sana. Alasanku untuk menjadi bahagia adalah seseorang itu.

Ia balas tersenyum. Wajahnya menguarkan cahaya. Oh kekasihku begitu rupawan. Hatiku berbunga, harapanku membuncah, bahagia di depan mata.

Aku berlari. Perlahan, menahan gelora tak terbahasakan. Kulihat ia merentangkan kedua lengan, mengundangku berlari lebih cepat. Aku mengerti, kuperlekas putaran langkah. Sesaat lagi... beberapa langkah kemudian aku akan datang di dekap rengkuhan hangatnya.

Selangkah lagi... aku genggam erat bahagia itu, takkan ku lepas.

Hingga bahagia itu ditelan udara, sama seperti sosoknya. Lenyap. Kini, aku seperti didorong menuju lapisan bumi terdalam dari bubungan melesat menuju langit ketujuh. Oh Tuhan...

Kebingungan ini mendadak pecah oleh hujatan. Mereka begitu beringas, membuat hatiku ketakutan. Lelaki-lelaki kekar menyergap kemudian menyeretku tanpa belas kasih.

"Bunuh dia! Bunuh hingga mampus!"

"Bakar menjadi abu!"

"Tak pantas ia hidup!"

"Mati saja kau!"

"Manusia sampah!"

"Pembunuh pantas dibunuh!"

Aku menjerit juga meronta, diseret masuk ke dalam rumah kosong di tengah hutan. Aku menjerit lagi, tak kuasa melawan ketika kurasai belati menikam kulitku beberapa kali. Tiada respon atas kalimat ibaku memohon diampuni. Mereka semua serupa binatang!

Aku mencoba berlari namun tersandung hingga terjerembab. Kawanan itu keluar ruangan kemudian mengunciku sendirian. Semua seakan buntu. Tak ada cahaya. Tangisan yang sedari tadi kutahan, kini lepas. Kemana... Dimana dia? Dia berkhianat. Meninggalkanku bersama gelap dan para bajingan di luar sana. Dia pergi ataukah malah menjadi dalang utama di balik permainan ini? Aku sesak.

Aku meringkuk menyedihkan ketika api yang berasal dari lelaki-lelaki kejam di luar ruangan berkobar di sekelilingku. Aku hanya mampu berharap dia datang dan membawaku pergi dari kekejaman ini. Namun hingga api mulai melalap kakiku, dia tak pernah muncul. Dia tak ada disini seberapa pilupun aku meratap.

Hingga semua terjadi begitu cepat. Jiwaku terbebas dari ragaku yang telah menjadi abu. Kini, jiwaku melayang, seperti lautan kelam yang perlahan berombak dan menggenang. Jiwa-jiwa lain, teman-teman baruku, tersenyum menyambutku, tiada lagi denyut lembut pada nadi mereka.

Kami berpijar, membumbung, melesat jauh. Memulai kisah kehidupan kami didalam kematian.

Dan kisah di panggung terus berlanjut.

Aku masih disini. Di gedung pertunjukan, duduk diam, bersama penonton, setia menikmati pertunjukan. Kucermati penonton sekitarku yang sedari awal tiada kuteliti wajah mereka. Hingga aku lihat lebih dekat dan... aku baru tahu. Mereka semua pucat dan... buta! Sepasang mata mereka bengkak berdarah. Menetes teratur pada permukaan pipi seperti tangisan berkabung.

Hingga pertunjukan usai. Tubuhku melemas, tak kuasa bahkan untuk berdiri. Cahaya lilin di atas panggung masih bersinar lamat-lamat.

Teater musikal ini tak kuasa menahanku untuk tidak tersedu. Aku disini seorang diri. Menjadi penonton terakhir dan yang masih bernyawa...

.
"Miiinnn... Sungmin... hey ayo bangun."

Sebuah guncangan seolah menarikku menjauh. Cahaya nyaris tajam, menghujam penglihatan. Masih samar, telingaku menangkap suara menggerutu. Aku memaksa bangkit, duduk di atas kasur. Perlahan, kelopakku terbuka untuk kemudian mengeksplor sudut-sudut kamar, berharap sekelilingku bukanlah dinding sebuah gedung tua kelabu. Syukurlah, dinding disini masih merah muda seperti biasa. Oh untunglah. Lagi-lagi...

"Mimpi buruk?"

Aku menoleh. Eunhyuk menatapku malas. Tapi yang kuherankan, ia seperti tak pernah merasa bosan menanyakan pertanyaan serupa, hampir setiap pagi. Baiklah, biar kuperkenalkan anak ini terlebih dulu. Nama aslinya Lee Hyuk Jae, tapi ia lebih senang dipanggil Eunhyuk. Kami roomate dan bagian terpentingnya, aku hanya punya dia sebagai sahabat. Mungkin ini kebetulan tapi kami selalu mendapat kelas yang sama dua tahun belakangan, dan itu berdampak pada semakin tak terpisahkannya kami.

"Jam berapa sekarang?" Aku menguap lebar, masih ngantuk sekali sebenarnya mengingat masalah tidur malamku yang menyebalkan. Aku beranjak dari kasur sambil menggeliat. Mencoba merilekskan tubuh setelah mengalami mimpi yang selalu membuat segalanya berubah tegang.

"Kau tahu, aku hampir gila semalaman tadi," bukannya merespon pertanyaanku, ia malah bersungut dengan mimik wajah kesal.

Aku menaikkan alis menanggapi. "Apakah ini soal majikanmu?"

"Yeah, siapa lagi yang membuatku gila." Eunhyuk mengendikkan bahu, kemudian berjalan menuju lemari. Berusaha menemukan seragamnya. "Selalu saja membuat segalanya menjadi tambah rumit. Lee Donghae sialan! Semalam ia hampir saja membuatku mati tercekik. Si pendek itu kira mudah membiarkanku menangani seorang diri! Aku tahu ia yang menggajiku, tapi tidak ada salahnya memikirkan keselamatan anak buahnya. Aku bisa mati bila ia tak pernah merasa puas..."

"Kau hampir mati tercekik?" Potongku cepat sembari ikut mencari seragam didalam lemari. Yang kutahu, Donghae adalah seorang player, jadi tak ada salahnya bila aku cemas, bisa saja Eunhyuk diapa-apakan.

Eunhyuk sudah mendapatkan seragamnya, kemudian mulai sibuk menyiapkan peralatan setrika. "Ya, untung saja tidak. Jangan bertanya macam-macam lagi karena suasana hatiku sedang tidak bagus dan kau tahu akibatnya apabila membuatku pusing, oke?" Ujarnya galak.

Aku mendengus. "Salahmu. Tidak bisakah kau berhenti kerja sambilan tidak jelas seperti itu. Kita sudah lelah belajar dan berlatih sampai sore, dan malamnya kau harus bekerja sampai larut di asrama siswa elit. Memangnya apa detail pekerjaanmu? Mengapa susah sekali memberi tahuku?" Aku mengomel panjang lebar.

Eunhyuk menghela napas menatapku sekilas, kemudian kembali pada setrikanya. "Aku tahu itu melelahkan dan kau khawatir akan kesehatanku. Bukan bagaimana, tapi orang tuaku sudah tiada, sama sepertimu. Hanya bedanya, ayahmu meninggalkan tabungan yang cukup untuk membiayai pendidikanmu sedangkan aku tidak. Satu-satunya cara aku harus bekerja Min. Apalagi Donghae memberiku upah lumayan. Yah, setidaknya cukup untukku tidak ditendang dari bangunan ini. Soal detail pekerjaan... aku tidak bisa memberitahumu Min, sungguh. Donghae yang memintaku merahasiakan, lagipula tadi malam hari terakhirku bekerja, jadi untuk kelas 12 ini, aku bisa lebih fokus belajar," ia tersenyum lebar.

Alisku menyatu mendengarnya. "Apa... dia memecatmu?"

Eunhyuk telah selesai dengan baju seragamnya kemudian beralih ke celana. "Tidak, kontrakku memang hanya sampai hari kemarin. Untunglah tabungan hasil kerjaku masih cukup untuk biaya satu tahun ke depan. Untuk saat ini, bebanku terasa berkurang."

Aku menatapnya sedih. "Hyuk, kau terlalu banyak berjuang. Mmm... tapi pekerjaanmu tidak menyimpang kan?" Aku bertanya, agak kurang ajar sebenarnya. Tapi siapa yang tahu?

Eunhyuk berdelik malas. "Singkirkan pikiran kotormu itu Min. Tapi tetap saja aku tidak akan membocorkan."

Aku berdecak gemas. "Hey, aku tidak berpikiran kotor, hanya saja-

"Hanya saja kau belum mandi dan ini sudah pukul setengah tujuh lewat lima menit. Demi Tuhan bahkan kita belum turun untuk sarapan! Ini hari penting Min! Cepat mandi sana dan kemarikan seragam kumalmu, biar kusetrikakan."

Aku menyengir tidak enak. "Kau memang sahabatku yang paling baik sedunia Hyuk. Oke aku mandi dulu."

~Audaces Atropine~

Coissant Vachgaux. Dua kata yang tidak familiar untuk perbendaharaan kata dasar Korea bukan? Tapi itulah nama sekolahku. Sekolah kami,Coissant VachgauxSenior High School. Mirip campuran bahasa Swiss serta Perancis menjadi satu.

Selain akademik, di tempat ini dituntut pula agar menguasai seni. Nyaris semua seni, terutama memprioritaskan lagu, vokal, dialog ucapan, akting dan tarian. Kami harus baik dalam kelimanya demi melahirkan artis teater musikal berstandar tinggi. Kriteria pelatih seni disini pun terkerah dari mereka yang telah mumpuni di bidang masing-masing dan mengajar kami dengan tingkat kedisplinan maksimal. Tak bisa tidak, kadar prestisius disini benar-benar dipuja dan dijunjung tinggi.

Soal bangunan fisik sekolah. Semua tempat seperti terstruktur rapi dengan bagian-bagian khusus dalam sekolah 6 lantai serta luas ibarat penggabungan 3 stadion sepak bola. Bahkan terkadang, hingga kini aku masih sangsi apakah ini bangunan sekolah atau komplek perumahan distrik. Untuk ukuran sekolah dengan persyaratan wajib asrama sekalipun, luas ini terlalu berlebihan.

Aku telah selesai dengan nasi dan roasted potatoku ketika kulihat Eunhyuk masih berkutat dengan seporsi scrambled tofu diiringi sosis panggang di tangan kirinya. Sarapan kami selalu beragam seperti biasa, begitupun makan siang dan makan malam. Kami duduk di aula besar dengan ratusan meja makan persegi, masing-masing tersedia 6 kursi. Sejujurnya aku dan Eunhyuk terbilang jarang sarapan di aula besar. Kupikir kami akan menikmati menu sarapan di kafetaria seperti biasa, sebelum kami menemukan fakta tiada kursi kosong pagi ini dan Eunhyuk menghadiahiku tatapan tajam, menyalahkan keterlambatan bangun pagiku, kemudian berakhirlah kami di tempat ini.

Aula besar terlalu mencolok dengan murid-murid kaum elit yang hendak selalu serba 'wah' bahkan mereka belum menjadi artis besar, itulah sebabnya kami memilih tempat di pojok dekat pencucian piring daripada harus menerima tatapan sinis di pagi hari yang semestinya bebas dari segala kedongkolan batin. Dan ini salah satunya...

"Coba lihat mereka berdua. Oh mereka benar hanya memesan itu? Sayang sekali padahal menu sarapan berkelas hari ini dipenuhi campuran bumbu saffron. Yeah, tapi tentu mereka tidak sanggup memesan sesendok pun!"

Aku paham gadis dengan gumaman yang sengaja dibuat senyaring mungkin dari meja seberang sana hendak memprovokasi aku dan Eunhyuk. Kulihat teman-teman satu mejanya tertawa sinis. Setiap hamburan kalimat dari mulutnya hanya penuh akan pernyataan merendahkan diiringi nada-nada angkuh. Ingin sekali cepat-cepat kutanggapi hinaannya dengan kalimat tak kalah kejam dan membuatnya mati kutu. Sayangnya aku tidak dan bukan orang yang seperti itu. Aku tidak pandai berdebat apalagi saling menjatuhkan harga diri orang. Lagipula dia perempuan, apa yang dapat dibanggakan bila seorang lelaki terlibat perang mulut dengan perempuan? Yang ada aku akan semakin dipermalukan. Kurasa, mengeluarkan ekspresi acuh tak peduli merupakan solusi terbaik. Anggap saja mereka hantu, patung, meja, kursi atau bekas sisa makanan. Tetapi tidak bagi Eunhyuk.

"Terima kasih atas pujiannya. Lebih baik pedulikan dirimu sendiri, wanita pohon! Kami tidak butuh kau untuk berkomentar atau apapun itu karena kau tidak berguna!" Cetus Eunhyuk sadis membuat mereka tak berkutik. Eunhyuk tidak akan mempertimbangkan gender jika ada yang mengusiknya maupun sahabatnya. Ia juga pintar bermain kata-kata pembalasan. Diam-diam aku bersyukur memiliki sahabat tipe pelindung seperti Eunhyuk.

Oh ya soal wanita pohon, Yuri, nama siswi yang merecoki kami tadi, memang berperan sebagai hamadriad saat pentas penentuan genre class teater musikal beberapa bulan lalu. Kostumnya yang nyaris membuat ia tampak seakan pohon berjalan, menjadi ledekan tersendiri. Kebetulan, aku satu grup dengannya. Saat pentas di hadapan para guru dan murid, tak sengaja aku menyenggol tubuhnya hingga ia tampak persis pohon tumbang ketika terjerembab dan itu mengundang gelak tawa seluruh penonton. Itulah awal kejadian Yuri mendendam setengah mati padaku.

Namun aku tidak memusingkannya. Yang aku pikirkan adalah apakah aku mampu menjadi pemain teater musikal yang berhasil. Maksudku, berkompetisi di sekolah ini saja aku sudah kelimpungan menghadapi saingan yang jauh lebih berbakat juga fisik lebih menarik serta nilai akademik di atas standar. Sedangkan aku? Semua serba biasa kecuali beberapa bidang akademikku. Itupun tidak begitu bisa dibanggakan. Tersirat sedikit rasa iri ketika kulirik Eunhyuk yang kini tengah asyik menyesap secangkir black tea latte hangat. Walau kadang tampak seperti orang bodoh, jangan salah, dia pernah menjuarai kompetisi dance tingkat Asia Timur. Ia juga menjadi salah satu penari terbaik didikkan Vachgaux. Vokalnya memang tidak istimewa, tapi dapat disiasatinya dengan kemampuan rap yang tidak dapat dinilai pas-pasan. Intinya, aku merasa tidak yakin dalam segala hal. Karena itu aku kerap membanding-bandingkan kemampuanku dengan orang-orang di sekitarku. Apakah aku lebih baik, sama saja, atau lebih buruk. Sialnya, selalu saja berakhir pada kesimpulan 'aku lebih buruk'. Atau penilaian 'sama saja', itu sudah paling bagus.

"Hah?! Mereka bercanda?!" Pekikan melengking Eunhyuk membuyarkan pikiranku.

"Tidak bisakah kau tidak berteriak seperti gadis?!" Aku menatapnya jengkel. Telingaku berdengung karenanya dan ia tak mempedulikan, malah setia menyimak serius kertas selebaran seolah itu surat dari kekasihnya. Bedanya, kini mata Eunhyuk membulat penuh.

"Min... kelas Audaces dihadirkan kembali. Wah wah wah."

Keningku mengkerut sarkastis. Cepat-cepat kuraih selebaran milikku yang baru saja dibagikan pembina. Terdapat beberapa peraturan lama juga peraturan revisi. Rupanya untuk kelas 12, mata pelajaran akademik terbatas pada 4 jam per hari karena siswa Vachgaux telah menjalani ujian nasional di kelas 11, berbeda dengan sekolah umum. Selebihnya sekolah akan memfokuskan pendidikan pada pengajaran teater musikal. Dan yang paling menarik adalah ada yang baru dari daftar kelas teater musikal kami dengan nama-nama unik.

"Maraville (adventure,fantasy), Lacrime (angst,tragedy), Arma (crime,suspense), Fidelty (family,friendship), Felix (humor,parodi), Amare (romance,poetry), Texere (sci fi,western), dan Audaces (horror,mystery)," gumamku biasa.

"Semoga tidak masuk Audaces, lagipula karakterku tidak ada horror-horrornya kan?"

Aku mengangkat bahu. "Belum tentu. Siapa tahu ada bakatmu disitu dan para guru melihatnya?"

Eunhyuk mengangkat alis lalu menggeleng cepat seperti gelisah. "Tidak... aku ini penakut dan cengeng," Eunhyuk tertawa garing, berusaha menyamarkan kegundahannya.

"Memang apa yang salah?"

Eunhyuk menatapku tidak percaya."Jangan katakan kau tidak tahu menahu peristiwa 3 tahun lalu."

"Tidak. Ini kelas baru kan? Aku betul-betul tidak tahu mengenai peristiwa yang kau maksud," aku menggeleng serius. Yang kutahu sekedar soal pembagian kelas berdasarkan karakter penilaian pihak sekolah yang cocok untuk peran masing-masing siswa, kelas 12 sengaja fokus pada pendidikan seni karena secara akademik kami telah lulus di kelas 11. Tapi aku tidak paham sama sekali menyangkut sejarah kelas Audaces, kupikir itu hanya kelas baru biasa.

Eunhyuk mengerjapkan mata lambat, kemudian memutar tubuh menghadapku. Ekspresinya seakan hendak berkisah sesuatu penuh teka-teki. "Dengar. Semenjak sekolah ini baru beroperasi sekitar awal tahun 70-an, kelas Audaces memang telah ada. Tapi entah karena alasan apa, 3 tahun belakangan Audaces divakumkan padahal tidak terhambat apapun dalam penyelenggaraannya, bahkan hampir setiap tahun Audaces lah yang selalu meraih predikat kelas genre tersukses," Eunhyuk terdiam sesaat. "Dan timbul kabar, penyebab kelas ditutup sementara adalah akibat menghilang mendadaknya semua siswa Audaces angkatan 3 tahun lalu. Tidak ada yang tahu kepastian motif dibalik menghilangnya 35 murid itu. Pihak sekolah, bahkan pihak wali murid seolah dipaksa bungkam dan menghindari pers, kentara sekali pasti ada sesuatu yang ditutup-tutupi," Eunhyuk berkata nyaris berbisik.

"Banyak opini simpang siur. Ada yang berkata hal ini sengaja diciptakan sebagai jalan menaikkan popularitas sekolah, ada yang beranggapan sengaja didesuskan oleh pihak tak bertanggung jawab sekolah umum karena merasa tersaingi, tapi ada yang bilang..." Eunhyuk menghela napas dalam sebelum melanjutkan. "35 siswa itu dibunuh serempak di aula asrama saat makan malam."

Nafasku seperti terhenti sesaat. "Yang benar saja. Apa memang terdapat bukti bahwa mereka dibunuh?"

Eunhyuk terdiam. Seperti memikirkan masalah bukti yang kusinggung tadi. Setelah satu menit, ia membuka suara pelan. "Memang belum ada bukti. Sektor selatan lantai 6 telah ditutup 3 tahun ini. Tidak ada yang berani kesana bahkan penjaga sekolah. Tidakkah itu mencurigakan?"

Baru saja hendak kubuka mulut memberi pendapat ketika suara bel melengking menginterupsi. Cepat-cepat kami berhambur bersama siswa lain. Melangkah ramai-ramai menapaki koridor, menuruni tiga kelokan tangga sebelum tiba di aula utama. Dinding-dindingnya dipenuhi fresko bercahaya buram sehingga walau masih siang pun, sinar matahari takkan leluasa menerangi.

Oh inilah saat-saat paling mendebarkan sepanjang tahun karena pembagian kelas ini merupakan titik awal penentuan akan kemana kita untuk ke depan.

"Kau yakin kita sekelas lagi setelah ini?" tanyaku pada Eunhyuk.

Eunnhyuk menatapku sedih. "Aku tidak pernah berpikir tentang ini, aku tidak tahu min, sahabatku cuma kau."

Aku berharap tidak ada tumpahan air mata disini, kami berdua sama-sama sensitif.

"Hey min, hey hyuk. Sudah siap untuk penetapan nasib?" Ryeowook menyengir lalu duduk disisi Eunhyuk.

"Oh tidak bisa tidak," jawabku pasrah.

"Sebenarnya asyik juga bila genre kita dibatasi. Lebih fokus kan?" Eunhyuk menimpali.

Dan obrolan ringan kami masih terus mengalir sebelum kepala sekolah naik ke altar menyuguhkan sebuah pidato sambutan hingga dengungan bisik-bisik mulai terjalin demi mendengar peraturan baru yang beberapa detik lalu keluar dari mulut kepala sekolah.

"Jadi mulai hari ini kelas laki-laki dipisahkan dengan perempuan?" Tanyaku memastikan.

Eunhyuk mengangguk antusias. "Oh aku setuju untuk yang satu ini, perempuan itu terlalu berisik."

"Kudengar tadi tiap kelas akan terbagi lagi menjadi dua yaitu khusus lelaki dan khusus perempuan," Ryeowook ikut memperjelas.

Aku tidak menggubris kala Eunhyuk dan Ryeowook asyik beropini. Sekilas aku tersenyum puas melihat siswi-siswi genit macam Seohyun, Yuri, Yoona dan sejenisnya tengah berdecak di ujung sana.

Aku masih menikmati beraneka ragam ekspresi yang sebisa mungkin tersorot mataku sebelum seluruh aula mendadak menahan napas ketika seorang siswa naik ke depan altar disisi kepala sekolah.

Tidak sekalipun kulihat dia sebelumnya, apakah dia murid baru? Sosoknya elegan dan menghanyutkan di saat bersamaan. Tapi mengapa hampir seluruh murid seakan telah mengenalnya? Dan yang makin membuat keningku berlipat adalah tatapan mereka, antara shock berbaur kagum kurasa. Yeah kumaklumi bila itu menguar dari mata murid perempuan, karena kuakui murid lelaki di depan sana memang... ehm, tampan, sangat. Tapi murid lelaki juga menatapnya tak berkedip, tak terkecuali Eunhyuk. Hey apakah hanya aku yang buta disini? Oh aku musti secepatnya menggali informasi.

"Hyuk?" aku menyenggol pelan lengan kirinya.

"Sssttt," Eunhyuk menegakkan telunjuk di depan mulut, menyuruhku bungkam.

Aish, sahabat macam apa dia?! Ia lebih mengutamakan siswa baru dibanding aku, sahabatnya bertahun-tahun?! Aku masih merasa dongkol di dalam hati ketika kudengar bisik-bisik sekitarku.

"Oh my Godness, dia betul kembali."

"Ternyata rumor itu nyata."

"Dia makin tampan bila dilihat langsung."

"Satu setengah tahun tampil di New York dan London pasti melelahkan."

Oh, jadi dia baru tiba dari New York atau London. Oh God! Jangan bilang dia telah tampil di...

"Lima teater broadway di Theatre District, Manhattan antara lain Majestic Theatre, Music Box Theatre, New Amsterdam Theatre, Shubert Theatre dan Vivian Beaumont Theatre dengan penonton lebih dari 1500 orang pada masing-masing penampilan. Selebihnya ia juga menjalani tur teater musikal di bilangan Theatreland London untuk 3 produksi multi episode berbeda. Sebuah hetero prestasi yang tentu saja ikut mengharumkan nama Coissant Vachgaux. Tanpa banyak basa basi lagi, mari kita sambut dengan penuh rasa bangga kembalinya siswa didikan terbaik Vachgaux, Cho Kyuhyun yang akan melanjutkan pendidikan kelas 12 di sekolah kita tercinta."

Dan riuhan tepuk tangan bergema menggaung di seisi aula mengakhiri pidato kepala sekolah. Kyuhyun membungkuk sopan lalu kembali ke tempat duduk, dan hal itu tidak lantas menyadarkanku untuk berhenti menatapnya.

Di sana, kulihat ia langsung memeluk erat seorang lelaki berambut pirang sambil tersenyum kecil dan sesekali menanggapi komentar teman-temannya yang kutebak adalah kawan-kawan sekelas Kyuhyun ketika kelas 10. Jujur, tidak pernah terbersit di benakku bahwa orang sehebat dia sempat satu bangunan denganku, dulu dan sekarang.

"Lupakan saja min, jangan lupa dia itu bulan dan kau pungguk, oke?" Eunhyuk menjitak pelan kepalaku membuat konsentrasiku kembali padanya.

"Terima kasih banyak, salahkah kalau aku hanya sekedar ingin tahu?" aku menopang dagu menatap Eunhyuk.

Eunhyuk terkekeh geli, lalu tiba-tiba ia memandangku... entahlah, memandangku sedih kurasa. Aku tidak sempat menginterpretasikan tatapan Eunhyuk lebih jauh karena kekehan menyebalkannya terdengar lagi.

"Hentikan tawamu hyuk! Aish..." aku berakting marah lalu mengalihkan pandangan ke arah lain, tepat tiba-tiba mataku tak sengaja bertemu dengan mata kelam Cho Kyuhyun.

Akibat gugup, secepatnya kualihkan pandanganku ke arah lain, tapi kuyakin Kyuhyun masih memandangku dengan pandangan multitafsir serta sarat akan ambiguitas, beberapa detik kemudian, ia ikut memutus kontak. Kulirik Eunhyuk dan Ryeowook telah memergokiku saling menatap dengan Kyuhyun.

Eunhyuk menelan ludah ketika Ryeowook hati-hati membuka suara. "Ya Tuhan min... sepertinya Cho Kyuhyun tertarik padamu."

Aku terdiam sesaat, lalu menggeleng sambil tersenyum. "Kau bercanda, tentu saja tidak mungkin."

Ryeowook menyengir ceria. "Oh, hahaha... tapi tatapannya tadi... ah, sudahlah."

Eunhyuk menepuk-nepuk pundakku. "Sungmin tidak mungkin selingkuh dariku Wook."

Kami tertawa bersama mendengar lelucon Eunhyuk. Lega rasanya mereka tak berpikiran aneh-aneh lagi.

Dan soal Kyuhyun, aku tidak akan memusingkan hal itu. Hanya saja aku berpikir... tidak yakin 100% tapi... salahkah aku bila sesungguhnya aku membenarkan penuturan Ryeowook tentang sepasang mata kelam itu?

.

Namaku, Lee Sungmin, terpampang begitu nyata. Pada secarik kertas yang direkatkan di sisi papan buletin aula. Bersama deretan nama 31 siswa lain. Aku masuk kelas Audaces. Aku tidak pernah mampu memprediksi ini sebelumnya. Kupikir kelas lain lebih cocok untukku, sebagai contoh Fidelty atau Amare mungkin. Setidaknya Lacrime adalah yang paling sulit untuk orang berbakat minim sepertiku.

Kusimak kembali daftar nama teman sekelasku di Audaces. Posisi puncak menorehkan nama Kyuhyun. Aku tidak kaget tentang hal ini. Kemudian Donghae, Kibum, Siwon, Hankyung, Nickhun, Key, Taecyeon, Minho, Seungri... Hm, baru kusadar daftar ini berdasar skor. Pantas tidak sesuai abjad dan aku berada di posisi 32 dari 32 siswa! Oh great!

Eunhyuk patut bergembira, pasalnya ia dapat kelas Felix. Kelas cerah serta berisi murid-murid ceria dan murah senyum. Beberapa dari mereka termasuk teman akrabku. Ryeowook juga lolos ke Felix dan kurasa disini aku sendiri saja yang dirundung kesialan. Awalnya, Eunhyuk sudah nyaris menangis ketika memelukku. Namun urung ia lakukan, takut ditatap aneh oleh sekitar akibat suara tangisnya yang bisa saja seperti menangisi ibunya yang sudah meninggal. Ryeowook yang pada dasarnya berhati lembut, memandang kami iba.

Paham situasi, cepat-cepat Ryeowook pisahkan kami lalu menarik Eunhyuk berlalu menuju pojok aula, tempat siswa Felix berkumpul. Dengan setengah hati, aku melakukan hal yang sama, mendekati kumpulan siswa Audaces di tengah aula. Tiada satu pun wajah yang kukenal disini. Garis wajah sebagian besar dari mereka melukiskan rasa angkuh dan hebat. Aku tahu, mereka siswa andalan sekolah.

"Mohon perhatian," sebuah suara berat menggema dari sisi altar. Ya Tuhan, inilah saatnya. "Kalian telah tahu dimana tempat kalian untuk 1 tahun ke depan. Dengar baik-baik. Kalian memiliki wilayah masing-masing mencakup asrama, kelas, panggung pertunjukkan dan aula besar sesuai kelas. Untuk lantai 5, Amare berada di sektor selatan, Felix di sektor sektor utara, Fidelty sektor timur, Maraville sektor barat," Kim songsaenim berdehem sebentar, untuk kemudian melanjutkan. "Untuk lantai 6, Texere di sektor timur, Arma di sektor utara, Lacrime di sektor barat dan Audaces di sektor selatan. Kalian sudah paham dan dalam 15 menit, saya harap kalian telah tiba di pintu utama sektor masing-masing karena wali kelas kalian tengah menunggu."

Yeah bagus. Audaces lantai 6 sektor selatan sedangkan Felix di lantai 5 sektor utara. Posisiku dan Eunhyuk betul-betul tidak dekat.

~Audaces Atropine~

Aula utama Audaces lebih besar dan mewah dari aula utama sekolah. Lantai berlapis marmer bening, kursi meja gelap mengkilap, dan langit-langit yang kutahu dari Yesung songsaenim, wali kelas Audaces, apabila malam, akan diberi efek lampu kunang-kunang terbang di permukaan sisi bawah.

Kulirik jam analog besar di dinding bagian atas altar tengah menunjuk angka 10. Ini masih pagi namun hatiku seperti tidak merasakan suasana itu disini. Entah akibat pengaruh genre atau efek tak dihuni 3 tahun, walau telah diperbaharui serta berkesan mahal, aura disini seakan kekelabuan yang terhampar secara alami. Jendela besar di kanan kiri seolah menumpahkan cahaya matahari muram, seperti sengaja mengusir hawa ceria jauh-jauh. Beberapa lukisan tokoh-tokoh berpengaruh dalam dunia teater musikal seperti Gilbert and Sullivan, George .M. Cohan, juga lukisan musikal The Black Crook tahun 1866 terpajang pada dinding belakang altar. Patung-patung replika lelaki bertudung, membatu di sudut-sudut, kesepian sepanjang tegaknya.

Menatap patung itu, tanpa kuasa kuelak, hatiku berdesir hebat. Sisi lain jiwaku seperti tengah direnggut paksa. Menuju gedung tua kelabu.

Tiba-tiba saja ada bagian yang nyeri di rongga dadaku. Aku tahu, ini sekedar pemutaran kembali memori tentang mimpi yang membuatku tidak pernah merasakan tidur nyenyak selama beberapa bulan belakangan. Tapi kupikir itu hanya mimpi biasa.

"Selamat pagi, kau Sungmin kan?" seseorang duduk di sisiku ditambah dengan sapaan yang jelas sekali menunjukkan sikap seseorang yang bersahabat. Bukan ciri khas murid Audaces kebanyakan, tapi aku cukup lega ada yang mencoba bersikap ramah padaku.

Oh rupanya benar ia siswa elit. Pantas saja seragamnya seperti masih tampak baru. Jangan lupakan jam tangan Girard Perregaux tampak melingkar elegan di pergelangannya.

"Pagi. Err... kau... tahu aku?" Aku mengangkat alis heran. Tentu saja, aku bukanlah siswa yang terdaftar dalam deretan siswa populer.

Ia tersenyum lebar sembari menyodorkan tangan untuk bersalaman. "Kenalkan, aku Seungri," ujarnya masih tersenyum.

Aku turut tersenyum sembari menyalami tangannya. "Aku Sungmin. Aku sempat membaca namamu di papan buletin tadi," ujarku sambil melepas jabatan kami.

"Kau tidak keberatan kan aku duduk disini. Lagipula aku malas dengan Kyuhyun."

Mataku memicing heran. Hey, jadi dia kenal dengan orang itu? "Kau... kenal baik dengannya?"

Paham akan kebingunganku, Seungri berkata. "Kyuhyun itu sepupuku. Sepupu kandung," ujarnya singkat namun jelas.

Aku terdiam karena bingung hendak bertanya apa. Kulirik Seungri untuk menerka-nerka apa yang ada dalam benaknya.

"Ayahku memiliki adik, dan itu adalah ayah Kyuhyun. Sedari kecil, ayahku selalu kalah unggul dibanding adik satu-satunya, ya ayah Kyuhyun tadi. Kurasa, masalah keunggulan itu terulang lagi pada putra mereka masing-masing," Seungri terdiam sambil tersenyum kecut. Sejenak, aku heran, begitu mudahnya ia membeberkan masalahnya padaku. Tapi mungkin karena kami memang sejiwa, dan sama-sama tidak punya teman disini, jadi ia merasa nyaman bercerita. Diam-diam, aku mulai tertarik dengan hubungan kurang harmonis Seungri dan Kyuhyun.

"Kita teman sekarang. Kau bisa cerita tentang kegundahanmu padaku," aku menawar sambil tersenyum lebar. Jujur, aku memang senang mendengarkan kisah hidup orang lain.

Seungri tertawa pelan kemudian mengangguk. Ia menghela napas sebelum berkata. "Tadi aku mencoba menyapa Kyuhyun tapi jangankan membalas, melirik pun tidak ia lakukan. Ia berubah makin sombong semenjak prestasinya kian menumpuk, aku tahu ia meremehkanku sama seperti ayahnya memandang rendah ayahku, maka itu aku jadi malas berurusan apapun lagi dengannya."

Aku mengangguk paham. Memang menyebalkan bila diri kita kerap dianggap si pecundang oleh seseorang yang nyatanya lebih hebat dari kita.

"Mmm... menurutku kau tidak semenyedihkan itu. Maksudku... kau masih punya banyak uang dan prestasi. Jadi intinya, ada baiknya kau jangan lagi menjadikan Kyuhyun sebagai patokan dalam bertindak. Kau akan selalu merasa lebih buruk bila seperti itu terus."

Seungri tersenyum lebar, kemudian mengacak gemas helai rambutku. "Tidak salah aku mengajakmu berteman."

Aku tertawa kecil mendengarnya. "Tapi aku belum menjawab ya atau tidak."

"Mesti ya. Haha... kau harus," Seungri mengangguk percaya diri.

Aku terkekeh sendiri melihatnya mengalami perubahan mood cukup signifikan. Sembari mendengarkan Seungri mengoceh tentang persahabatannya terdahulu, aku mengalihkan pandang menuju altar, mengecek kalau saja wali kelas kami telah tiba. Namun tanpa sengaja, aku malah menangkap basah Kyuhyun yang sedang melumat ringan bibir seorang pria cantik berambut pirang. Lelaki yang Kyuhyun peluk erat ketika Kyuhyun turun panggung seusai pidato kepala sekolah tadi. Jadi mereka...

"Sepasang kekasih yang panas kan?" Seungri menjawab langsung pertanyaan di benakku.

Lagi-lagi kejutan ini begitu tak terbersit di otakku. "Mereka... terlihat mesra."

Seungri menyeringai, hey ternyata ia tampak lebih keren bila menampilkan smirk. "Kalau kubilang, Kyuhyun terlampau memanjakan kekasih cantiknya itu. Saat baru pulang dari London kemarin, Ren mendapat oleh-oleh sebuah Bugatti Veyron dan DEOS Group's Diamond Earbuds seharga 15000 dollar. Tidakkah kau pikir itu... pfff... min, aku tahu berita ini menakjubkan, tapi bisakah kau mengatupkan bibirmu?" Seungri nyaris terbahak menyaksikan wajah konyolku di hadapannya.

Aku menutup mulut malu. Hey, salahkah bila aku refleks mengekspresikan sebuah keterkejutan? 15000 dollar tidak seharusnya digunakan hanya demi untuk menikmati musik.

Kupukul pelan lengan Seungri yang masih terkikik menyebalkan. "Hentikan! Ini tidak lucu... aish."

.

Aku suka kamar ini. Mahal tetapi nyaman. Furnitur disini tidak terlalu menampilkan kemewahan mencolok, begitu pula desain interiornya. Bila diberi tamsil, ruangan ini ibarat juragan emas beraksesoris plastik. Kaya raya namun tetap down to earth.

Sekarang telah pukul sekitar 23.00 dengan selimut menangkup tubuhku di atas kasur. Tentu saja aku tidak sendirian disini. Kasur di seberang sana tengah ditempati tubuh Seungri beserta deru nafas halusnya.

Beruntung, Yesung songsaenim berkata kami bebas memilih roomate sendiri. Dengan gembira, aku menerima ajakan Seungri.

Pelajaran akan dimulai besok sehingga satu hari kosong tadi, aku dan Seungri isi dengan mengobrol seharian di kamar sambil makan cemilan. Terlalu malas keluar kamar karena siswa Audaces pun kurang gemar berbasa-basi.

Lama kami mengoceh hingga Seungri kelelahan sendiri dan dengan teganya meninggalkanku tidur. Ini nyaris tengah malam namun kantuk seolah enggan bernegosiasi dengan mataku. Alhasil daripada frustasi, aku memutuskan untuk keluar kamar sebentar mencari kantuk.

Kakiku melangkah gontai sepanjang lorong gelap mencekam. Harus berterima kasih pada cahaya bulan yang membias pucat melalui jendela besar karena telah berbaik hati menjadi lampu alam disini. Mungkin, bila hujan mengguyur, lorong ini akan betul-betul buta. Sejenak aku heran dengan jendela yang dibiarkan terbuka, tanpa kaitan gorden sama sekali. Bukan mengapa, hanya saja tampak sedikit menyeramkan karena pohon-pohon menjulang di luar akan terlihat jelas dari dalam sini. Angin malam mulai menyungkup dingin. Kusesali telah melupakan mantel di lemari, tapi sudah lumayan jauh untuk berbalik hingga kuputuskan melanjutkan langkah dengan masih mengenakan piyama pink.

Aku terus melangkah ringan, belok kanan, lurus, menaiki tangga, menyisiri aula gelap, belok kiri sampai kutemui pintu kaca menuju balkon belakang yang tidak terlalu besar.

Kuraih bagian gagang pintu, walau mungkin telah terkunci sejak pukul sembilan malam. Tahu-tahu tidak. Pintu ini terbuka membuat hatiku girang, entah karena apa. Tidak berniat memikirkan mengapa selarut ini masih ada pintu terlewat oleh penjaga asrama, aku melangkah ke depan. Menumpu kedua lengan di pagar balkon, nyaliku agak ciut.

Pohon-pohon menjulang masih menari kecil bersama angin. Baru kutahu, ternyata seperti ini panorama belakang sekolah.

Beberapa menit melamun, kejenuhan mulai bergelayut menghampiriku. Dalam kesendirian berbaur senyap, aku mulai merindukan keberadaan Eunhyuk.

"Tidak baik terlalu jauh bermain."

Suara rendah seseorang membuatku terlonjak tidak karuan. Ia tersenyum tipis, tidak ada perasaan bersalah sama sekali. Aku terdiam begitu saja, menyadari siapa yang kini tengah berdiri santai, bersandar pada dinding balkon tak jauh dari pintu. Keningku mengerut. Ada keperluan apa orang ini keluyuran malam-malam?

"Tidak, aku hanya tidak bisa... menguap," kutatap matanya yang bagai langit menjelang tengah malam dipenuhi bintang. Pas sekali. Hanya saja diatas sana sedang tidak ada bintang. Mungkin bintangnya berada disini bersamaku. Dia tetap tampan walau hanya mengenakan piyama abu-abu dibalut mantel coklat tebal.

Kyuhyun tersenyum kecil mendengar jawaban konyolku. Mungkin ia berpikir aku bodoh. "Bukan tidak, tetapi belum. Setiap orang pasti menguap."

Oh, aku baru tahu ternyata Kyuhyun seteliti itu, aku saja tidak begitu peduli akan apa yang kukatakan tadi. Kyuhyun mendekat ke arahku, kemudian melakukan posisi serupa. Kami berdiri bersebelahan dan aku berusaha agar tidak kikuk dengan posisi sedekat ini.

Kyuhyun menjatuhkan pandang pada pohon-pohon di depan sana. "Kau siapa?"

"Bukan siapa-siapa," ujarku sekenanya. Aku hanya bosan dan ingin bermain-main sedikit. Lagipula memang benar aku bukanlah siapa-siapa dibanding Kyuhyun.

"Hey, aku serius."

Aku terkekeh mendengar nada suaranya."Baiklah baiklah. Aku Sungmin, Lee Sungmin. Kau... oh tidak perlu, semua mengenalmu."

Kyuhyun mengangkat alis. Menatapku, tapi aku terlalu pengecut untuk melakukan hal yang sama. Ia tertawa kecil menyadari gelagat nervousku. "Aku tahu. Mereka semua mengenalku, sayangnya tidak ada satupun yang mendalamiku."

Kali ini aku menatapnya. "Apa point terakhir yang kauharapkan?"

"Mmm... hanya ingin, bukan berharap. Bila tidak pun, aku baik-baik saja."

Aku mengangguk. Pelan-pelan, aku mulai terbiasa. Ia tidak seangkuh kulit luarnya. Well, untuk saat ini. Bisa jadi besok sudah berubah.

"Kau yakin baik-baik saja?" Aku sedikit heran dengan intonasi suaraku yang seperti begitu mengkhawatirkan Kyuhyun. Kami baru berbincang beberapa kalimat, tidak mungkin aku mencemaskan perasaannya.

"Aku senang kau tidak begitu percaya pada pernyataanku tadi."

Lagi-lagi jawaban rumit meluncur dari belah bibirnya. Mengapa setiap kalimat Kyuhyun nyaris selalu membuatku berpikir dua kali lipat? Otak payahku tidak akan mampu mencerna cepat. Pada akhirnya, diriku hanya dapat saling mengusap kedua telapak tangan.

"Kemarilah."

"Apa?" Kulihat ia melepas sebelah mantelnya kemudian mengulurkan lengan mengundangku mendekat. Namun aku tak juga bergeming.

"Kau gila mengenakan piyama setipis itu padahal hidungmu sudah berkabut. Kita gunakan mantelku berdua."

Aku masih terdiam. Merasa bingung sekaligus tidak pantas.

Kudengar ia berdecak gemas. "Aku tidak mau kau kedinginan dan pada akhirnya memutuskan kembali ke kamar. Aku sedang bosan. Hanya ingin mempunyai teman untuk mengobrol. Bisakah?"

Aku mengerjap makin bingung. Tapi tetap kuturuti permintaanya dengan helaan napas. Aku mendekat kemudian ia sampirkan mantel coklatnya melingkup punggung belakangku. Oh, ternyata mantel ini cukup besar dan hangat. Lebih hangat dari mantel-mantel murah milikku. Wajar saja, semua mantel Kyuhyun pasti mahal dan berkualitas tinggi.

"Masih dingin?"

"Hm, sedikit," aku mengangguk pelan.

Tanpa dapat kucegah, lengannya menyelinap, mendekap erat pinggangku. Mengikis jarak. Tubuh kami rapat dan erat. Nafasku seperti terlilit ketat. Hey, berani sekali dia. Apa maksudnya? Sebelum sempat aku protes, ia bersuara kembali. Nada suaranya sarat akan perhatian.

"Sudah lebih hangat?"

"Y-ya.." Protesku teredam oleh kehangatan rengkuhannya.

Kami terdiam lagi. Pikiranku berubah tidak teratur. Umpamanya, apabila otakku adalah sebuah jalan raya berlalu lintas tertib, sialnya tak mencapai hitungan detik, Kyuhyun menyabut semua rambu-rambu hingga menimbulkan kekacauan dimana-mana.

Bagian terpentingnya, aku mendapat kesimpulan bahwa Kyuhyun adalah si salju yang hangat. Aku tidak berharap ia akan tetap sebaik ini hingga esok pagi, namun dalam hati aku bersyukur sempat merasakan hangat lengannya di tubuhku, walau pasti akan berakhir sebentar lagi. Dan apa ini? Ia berkata ingin memiliki teman bercakap-cakap. Bahkan yang kudengar sekedar napas halusnya di rambutku. Akupun tidak paham mengapa tidak juga menjauh. Apakah terdapat semacam paku tertancap di kedua kaki ini? Rasanya begitu tidak rela bila tubuhku melepas kenyamanan ini.

"Aku suka matamu," aku berujar nyaris berbisik.

"Ya?"

"Seperti langit menjelang dini hari."

"Hm."

"Kau suka?"

"Aku selalu menyukai pujian."

Aku menghembuskan napas perlahan, sedikit kecewa. "Aku berkata seperti itu bukan untuk memujimu."

"Lantas?" Kyuhyun tertawa tanpa suara sambil melirikku sekilas.

Sejenak aku berpikir, apakah penting menjawab bagian ini? Aku tahu bila kalimatku bukan sekedar sebuah pujian, tapi ungkapan jujur dari hati pun tidak. Sementara itu, angin malam makin melumat jemari tangan memutihku.

"Mencoba ingin mendalamimu, kurasa," aku pun tidak tahu menahu mengapa malah berujar makin tidak jelas.

"Kalau begitu, kau sukses pada percobaan pertama." Kyuhyun mengusap lembut pinggangku di balik mantel. Hidungnya menciumi ringan rambutku beberapa kali. "Banyak juga yang memuji tentang mataku yang mereka bilang bagus, atau indah, dan ada juga tajam serta mempesona bahkan penakluk. Ya, sebatas itu. Tiada yang sepertimu. Kau lebih dari memuji. Kau... mengibaratkannya dengan tepat. Tidak karena pengaruh pesona, tapi... betul katamu. Mendalamiku."

Ini merupakan kejutan buatku. Kali ini benakku sibuk akan penyangkalan dan harapan. Oh, apakah Kyuhyun tengah memberiku harapan?

"Itu berarti, aku lulus percobaan pertama?" Aku mendongak ke wajahnya membuat ia ikut menatapku.

"Aku harap kau bersedia melakukan percobaan kedua, hingga kau selesaikan semua dan..." Kyuhyun semakin merunduk, semakin dekat hingga mempertemukan kedua lekuk bibir kami. Ia menghisap bibirku penuh kehati-hatian namun tidak gugup sama sekali. Sesekali lidahnya menyapu bibir ini. Kemudian dikulumnya lagi.

Aku mematung, tidak yakin hendak bagaimana. Sudah sepatutnya aku memberontak atau menjauh dari sikap seenaknya ini. Baru saja kutaruh kedua tanganku pada permukaan dadanya, hendak mendorong, mendadak tenagaku melemas ketika sisi lain tangannya mengelus lembut tengkukku.

Tak bisa tidak, aku mulai membalasnya pelan. Mengiringi ritme lidah hebatnya sebisaku. Entah hal sinting apa yang berada di kepala kami. Ini kali pertama kami bertemu dalam arti sebenarnya. Namun telah seberani ini kami bertindak. Tidakkah segalanya menjadi terasa rancu ?

"Sayang... kau disini?"

Teriakan seseorang dari arah dalam membuatku tergeragap. Pautan bibir kami terlepas saat kudorong paksa dada Kyuhyun. Kulihat Kyuhyun berusaha untuk tetap tenang. Dalam satu gerakan cepat, ia memindahkan seluruh mantel membalut tubuhku lalu memakaikannya. Nafasku masih terengah halus.

"Untukmu," kata-kata Kyuhyun begitu multitafsir bagiku.

Ia mengecup kedua kelopak mataku lalu berbisik. "Aku juga suka matamu," lalu bergerak pergi menuju koridor di balik pintu. Langkah Kyuhyun sedikit tergesa.

"Sayang, mengapa keluar kamar?" Samar kudengar Kyuhyun bertanya khawatir pada kekasihnya. Aku menggigit bibir, takut terlihat, tapi sepertinya Kyuhyun melindungi keberadaanku. Mengapa sedari tadi bersama Kyuhyun, tidak pernah terpikirkan olehku tentang sosok Ren?!

"Kau tidak ada ketika aku terbangun. Begitukah sikapmu setelah puas bercinta? Meninggalkanku sendiri di tempat tidur?"

"Haha.. bukan begitu sayang, maafkan aku. Hey kau tidak pakai mantel? Disini berangin. Ayo kembali.

Suara langkah kaki mereka perlahan menghilang ditelan jarak. Ya Tuhan, yang kami lakukan tadi betul-betul keterlaluan.

.
TBC

A/N:
Hallo Hallo! Ada yang kenal kami?! Enggak! Yaudah, gakpapa -_- sebenarnya kami sudah lama nongkrong di ffn, tapi akun lama dengan tidak elitnya terlantar begitu saja karna kami sama2 lupa pw sama emailnya -" jadi, kami mencari keberuntungan lain lewat akun lain pula xD, mudahan bisa diterima baik! :D
Oke, seperti disclaimer diatas, cerita ini punya kakakku, asli kakakku gada serempet2an(?). Aku cuma bantu menyalurkan hobinya.

Jadi ini lanjutatau tidak?

RnR, please?