Jean, Sasha — pemuda itu berpikir bahwa gadis itu mungkin dapat meledakkan supernova di semestanya yang pepat.

rating: T

notes: AU. Sebuah fanfiksi romens eksperimental; tidak menjamin adanya deret fluff manis.

Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime. Tidak mengambil keuntungan materiil dari fanfiksi ini.


Mereka berpisah di depan pintu kamar kumuh bergantung miniatur kentang dari karet bertuliskan 'Brauss'; udara malam bercampur bau asap rokok dan lantai linoleum yang lama tak digosok.

Jean merogoh sakunya, mengeluarkan uang sejumlah tarif yang dipasang Sasha sewaktu di bar tadi—namun di luar dugaan, gadis itu hanya menatapnya dengan mata cokelat yang membulat, mantel yang dikenakan untuk menutupi mini-dress ketatnya tampak dikancingkan dengan kacau.

"Eh?" Jean memandangi lembaran uang yang ada di tangannya dengan bingung. Apa kurang? Ia merogoh saku celananya lagi, matanya setengah berair karena mengantuk dan di malam dingin penghujung bulan Januari ini, ia merasa konyol.

"Hah, tidak, tidak!" sang gadis segera mengibaskan tangannya buru-buru, gesturnya sekilas kelihatan kekanak-kanakkan—namun mata Jean yang entah sudah lelah menerjemahkannya sebagai 'manis'. "Kau…" Sasha terdiam sejenak, tangannya terkulai lagi di samping tubuhnya, "tidak usah."

"Huh?" Jean mengerjapkan matanya sekali, menatap Sasha seakan gadis itu baru saja mengeluarkan asap dari kepalanya. "Tidak… dibayar? Tapi kan," Jean melirik ke samping sebentar, sejenak hampir saja mengatakan 'kau kan wanita bayaran' tapi sesuatu di kepalanya menahannya.

Sasha mengangkat bahunya cuek. "Kau tidak melakukan apa-apa padaku. Kau cuma duduk di ranjangku dan mengajakku mengobrol, meskipun setengah jam setelahnya kau hanya bengong dan menatap langit-langit. Lalu tertawa," Sasha mengangkat bahu lagi. "Kau aneh."

Jean menahan keinginan untuk menepuk dahinya dengan lembaran uang yang dipegangnya. Apa yang barusan kulakukan?

Suara dentang bel terdengar dari kejauhan. Jean memijat kepalanya yang terasa berdenyut karena mengantuk, lalu memasukkan sebagian dari uang yang dipegangnya ke sakunya.

"Ini," ia menyorongkan sisanya pada Sasha. "Ambillah!" tukasnya serius, mengabaikan pandangan Sasha yang menatapnya dengan mata coklat yang membulat. "Ehm, ah…" ia bergumam setengah meracau, pikirannya terasa berkabut karena telanjur dicekoki limun dingin terlalu banyak.

"Seorang wanita butuh uang," katanya pada akhirnya. Nah. Sudah. Kalimat paling jenius yang pernah dilontarkannya selama bulan Januari ini.

Di luar dugaan, mata cokelat gadis itu berbinar sekilas, lalu senyuman lebar muncul di wajahnya.

"Oh, oke!" Sasha mengambil uang itu tanpa ragu, menjejalkannya ke saku mantelnya tanpa mengecek jumlahnya. "Uh, thanks," Sasha menangkupkan tangannya yang terasa kedinginan, lalu mengangguk riang pada pemuda di depannya.

Jean hanya mengangguk setengah melamun, pikirannya yang sudah terombang-ambing akibat overdosis limun kini semakin goyah saja. Ia menyadari kalau Sasha tengah mengucapkan terima kasih, lalu mengangguk sekali lagi.

"Ehm, selamat… malam?" balas Jean canggung. "Aku harus pergi," ia berbalik, tanpa berkata lebih jauh lagi. Sepatu ketsnya menjejaki debu di lantai seiring dengan langkahnya yang setengah mengantuk.

Suara flat shoes yang berbenturan dengan lantai terdengar di belakang ketika Jean sudah mencapai tangga.

"Wait," suara ragu yang kekanak-kanakkan memecah keheningan. Jean menghentikan langkahnya.

Mata cokelat gadis itu bertemu dengan matanya ketika ia menoleh. Ia mendapati gadis itu melempar pandangannya ke samping, sebelum kemudian menggaruk pipinya. "Kau belum menyebutkan nama lengkapmu tadi, Jean," tukasnya mendadak.

Jean mengangkat alis.

Nama lengkap…?

"Jean Kirschetein," balasnya pada akhirnya, meskipun ia merasa ada yang janggal. Sepertinya ia melupakan sesuatu, tapi apa…

"Oh, oke! Jean Kirschetein," Sasha mengucapkan nama itu lambat-lambat, matanya berbinar-binar seakan ia baru saja mendapat hadiah undian suplai keripik kentang untuk seumur hidup. "Nama yang indah, haha," ia tertawa. Tapi tawanya terdengar canggung. Dan matanya tidak ikut berbinar.

Jean terdiam, mengerjapkan matanya beberapa kali. Sejenak ia merasa tengah berada di sebuah skenario roman picisan. Hanya saja,kali ini perannya terbalik. Harusnya si tokoh pria yang memuji nama si tokoh wanita.

Eh, sejak kapan ia mulai hapal skenario ala ala opera sabun?

Jean memandangi Sasha sekilas, sebelum kemudian mengangguk dengan senyum yang terlihat seperti orang sakit gigi—dan buru-buru menuruni tangga keluar.


Jean terbangun di pagi bulan Januari yang dingin, selimut tertendang ke pinggir tempat tidur dan matanya seakan digantungi pemberat kertas.

"Hmmh?" ia menggumam mengantuk, sebelum kemudian melempar pandangannya ke jam beker yang ada di nakas. Bola matanya langsung terfokus seketika.

Jam setengah sembilan.

Ia terlambat kerja! Si Nona Hidung Besar pasti akan memotong gajinya!

Jean segera terduduk di tempat tidur, menggosok matanya yang terasa berat dengan tangan yang berkeringat. Jam sembilan. Mendadak ia teringat sesuatu.

Oh, iya. Ia kan sudah dipecat oleh si Leonhardt itu.

Jean membenamkan kepalanya ke bantal dalam-dalam, menggumamkan segala macam kata-kata kasar yang terpikir olehnya untuk ditujukan pada bosnya itu. Tapi tentu saja si Nona Leonhardt itu tak bisa mendengarnya. Well, pagi yang indah.

Selimut ditarik ke atas, dan Jean memutuskan untuk mengubur dirinya lagi ke alam mimpi.


Ia terbangun lagi ketika matahari tengah bersinar di puncak kepala. Jean menggosok-gosok matanya dengan malas, lalu beranjak ke kamar mandi untuk bercukur dan mencuci muka.

Ia mengganti baju yang dipakainya dengan kaus bergambar logo grup band rock kesukaannya, lalu memakai celana jeans terdekat yang bisa diraihnya. Dibukanya lemari ruang makan. Hanya ada sekaleng sarden awetan yang tanggal kadaluarsanya sudah terlupakan, sekotak susu, serta sebungkus roti isi. Jean meraih rotinya, mendapati kalau itu sudah dihuni kapang di pori-porinya, lalu segera membuangnya ke tempat sampah. Setelah menimbang-nimbang tentang kemungkinan memasak sarden atau tidak, akhirnya ia menutup lagi pintu lemari dan memutuskan untuk membeli makanan di luar.

Diambilnya ponsel yang ada di meja dan kunci apartemennya, lalu bergegas keluar. Setelah mengunci pintu, Jean membuka layar ponselnya—wallpaper-nya seorang gadis berambut hitam dengan syal merah hasil candid—untuk mengecek kalau-kalau ada pesan. Oh, ada. Dibukanya notifikasi itu buru-buru. Pesannya: Kepada pelanggan Yth, terima kasih sudah menggunakan—

Jari-iarinya segera melompat ke ikon delete. Ia menghela napas panjang. Cih,sudah tidak ada pekerjaan, ponselnya sepi pula.

Jean menyusuri jalanan ramai di dekat apartemennya, membeli Koran di kios majalah, lalu mampir ke kafe yang ada di dekat situ. Setelah memesan roti bakar dan secangkir kopi, ia membuka koran yang dibelinya tadi—langsung ke halaman yang memasang iklan baris.

Jean menyusuri deretan iklan yang ada, lalu segera men-skipnya ke bagian lowongan pekerjaan. Administrasi, tidak. Bidang marketing, tidak. Kasir, tidak. Penjaga toko, apalagi. Perusahaan makanan beku, tidak juga. Babysitter? Well, no. Jean memelototi lagi deretan lowongan pekerjaan di depannya dengan seksama, bau cappuccino yang dipesannya menguar samar di udara.

Setelah menyeleksi sekian lowongan yang ada, pandangannya berhenti pada lowongan asisten konselor. Job desc-nya: menjaga arsip, menyimpan data klien, menjawab telepon dari klien, menyusun jadwal pertemuan. Jam kerja dari pukul 9 hingga 5 sore, makan siang gratis, ada break di pertengahan hari. Gaji lumayan. Ada bonus tambahan sewaktu-waktu. Wow, sempurna. Jean mengangguk puas, lalu mencatat nomor telepon yang tertera di situ . Nama pemasang iklannya: Biro Psikologi Smith.

Kelihatannya sebuah kantor yang terpercaya, pikir Jean puas.


Di penghujung lain kota, sebuah telepon berdering di atas meja tanpa debu.

"Heichou, bisa tolong kau angkat teleponnya?" sebuah suara terdengar di sela dering telepon, "aku sedang mengganti tinta."

Seorang pria menaruh teh hitam kental yang sedang diminumnya, lalu beranjak ke meja tempat telepon berada dengan muka datar.

"Ya, Biro Psikologi Smith disini," katanya tanpa basa-basi. "Apa maumu?"

Di ruang sebelah, seorang pria berambut klimis rapi mengernyitkan keningnya mendengar kalimat barusan.

"Ehm, halo?" suara di seberang menjawab ragu, "apakah…. lowongan asisten konselor masih dibuka?"

Sang penerima telepon terdiam sejenak, lalu menjawab lugas. "Masih. Pergi ke kantor kami besok jam sepuluh untuk wawancara," balasnya tanpa basa-basi.

"…Alamatnya?"

Sang pria penerima telepon menyebutkan alamat ringkas, lalu telepon segera ditutup tanpa ada penjelasan lebih jauh.

Di sudut lain ruangan, sang gadis yang baru saja selesai mengganti tinta printer hanya menghela napas panjang melihat tingkah pria itu, lalu mengambil tas kuliahnya dan bergegas keluar.


.

.

Bersambung…


.

notes: maap update-nya lama. ;_; makasih banyak untuk yang sudah menunggu kelanjutan fanfiksi ini! chapter depan diusahakan akan di-publish secepatnya :')

terima kasih sudah membaca ^^