summary: Jean, Sasha – pemuda itu berpikir bahwa gadis itu mungkin dapat meledakkan supernova di semestanya yang pepat.

rating: T

notes: AU. Sebuah fanfiksi romens eksprimental; never been wrote any romance before.

Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime


Jean Kirschetein tak memiliki banyak pengalaman dalam berurusan dengan wanita.

Malam minggu, di penghujung bulan Januari yang dingin, dan pemuda itu sama sekali tak mengajak siapapun untuk berkencan. Meletupkan popcorn instan rasa keju asin di dapur sementara acara televisi sedang memasang jeda iklan, ia mematikan kompor sebelum kemudian membawa camilan itu ke depan.

Meletakkan badannya di sofa dengan ringan, Jean mulai mengunyah berondong jagung itu dengan bunyi renyah sementara televisi sedang menayangkan iklan pasta gigi anti bakteri. Ia meraih remote dengan malas, mengganti saluran ke acara lain yang lebih menarik hatinya.

Saluran berganti, menampilkan karakter komikal berwarna kuning cerah dengan temannya yang berwarna merah jambu, sedang memancing makhluk-makhluk Coelenterata lunak di dasar lautan. Ditaruhnya remote di samping, dan ia mulai menikmati tayangan itu sembari mulutnya tak henti melumat berondong jagung.

Jean mematikan televisi setengah jam kemudian; matanya menatap hampa ke arah monitor yang menggelap. Bosnya, Annie Leonhardt, baru saja memberitahukan soal pemecatannya kemarin, yang ditanggapinya dengan kesal setengah mati.

Alasannya konyol; Jean, menurut gadis hidung bengkok itu, mendistraksi perhatian milik Armin Arlert—rekan kerjanya yang memegang bagian editing—terlalu banyak sehingga pemuda Arlert itu beberapa kali membuat kesalahan dalam mengerjakan laporan.

Jean mendengus. Itu salah Armin sendiri, yang suka mengajaknya mengobrol di sela-sela jam kerja. Bilang saja si Nona Hidung Besar itu iri karena tidak pernah diajak berdiskusi oleh si pemuda Arlert; tentang kuda, laut, atau apapun…

Jean tertawa dalam hati dengan pemikiran itu.

Ia menghela nafas sejenak, sebelum kemudian jemarinya meraih berondong jagung terakhir yang tersisa di mangkuk, dan mengunyahnya.

Pikirannya jenuh. Segalanya terasa begitu membosankan baginya.

'Mungkin ini saatnya untuk mencari pekerjaan baru,' simpul Jean dalam hati. Tapi masalah sebenarnya tak semudah itu.

Berhenti dari pekerjaan bukanlah sebuah masalah besar bagi Jean, namun berpisah dari sang gadis Ackerman yang selalu dipelototinya diam-diam di kantor adalah siksaan sebenarnya.

Jean Kirschetein menghela nafas sekali lagi, sebelum kemudian memutuskan kalau satu-dua gelas wiski di bar mungkin bisa membuat kepalanya terasa lebih ringan.


.

Hingar-bingar musik disko segera menyambut Jean begitu ia memasuki bar itu. Bau alkohol, diselingi asap rokok, bau parfum murahan, dan keringat yang menyengat bercampur-baur di dalam. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali; berusaha beradaptasi dengan cahaya di dalam bar yang kelewat menyilaukan, sebelum kemudian berjalan ke arah meja layan.

"Satu gelas wiski, dengan cola," pesannya pada sang bartender; seorang wanita jangkung berambut gelap yang diikat, dengan bintik-bintik kemerahan yang mendekorasi pipinya. Si bartender mengangguk, sebelum kemudian mengangsurkan gelas berisi minuman yang dipesan pemuda itu.

"Thanks," Jean segera membayar, dan matanya memandang berkeliling, memutuskan untuk mengambil tempat di pojok ruangan.

Tegukan pertama terasa begitu menyenangkan.

Ia menaruh gelas yang kini isinya sudah berkurang sebagian di meja, dan memandang berkeliling bar itu. Satu pasangan muda tampak sedang bercumbu di sudut ruangan; sang pemuda yang terllihat setengah mabuk menyentuh gadis di depannya dengan penuh nafsu, sementar a sang gadis tampak begitu menikmati sentuhan-sentuhan yang dilancarkan pemuda itu.

Jean buru-buru memalingkan pandangannya.

Di sudut lain, tampak dua orang pemuda yang tengah bersaing dalam merayu seorang gadis berambut merah menyala; yang kelihatan dicat dengan asal-asalan. Dan seorang pemuda bergaya punk yang baru saja mengajak pasangannya turun di lantai untuk berjingkrak di hingar-bingar musik.

Jean meneguk minumannya sekali lagi, dan lagi. Lima belas menit kemudian, cairan di gelas itu mulai surut, sebelum akhirnya kosong.

Pemuda itu mengerjapkan matanya yang mulai terasa berat beberapa kali, sebelum kemudian matanya berkeliling untuk mencari pelayan. Nah, itu ada, beberapa meja di dekatnya. Jean melambaikan tangannya, memanggil gadis pelayan itu, dan beberapa saat kemudian pelayan itu segera tiba di mejanya.

"Ya?" Gadis itu menanyakan permintaannya dengan santai, diselingi suara kunyahan berisik dari mulutnya, yang terdengar seperti gumpalan permen karet.

"Satu gelas wiski cola, Nona," pesan Jean, dan gadis itu segera ke bartender, sebelum kemudian tiba lagi di meja Jean dengan minuman di tangannya.

"Thanks," Jean mengangsurkan tip ke pelayan itu, dan mulai meneguk minumannya.

Namun di luar dugaan, si gadis pelayan tak juga bergeming dari tempatnya berada.

"Maaf?" Jean memicingkan matanya keheranan pada si gadis, yang kini dengan cueknya menarik bangku dari sisi lain mejanya, dan duduk.

"Kakiku pegal," ujarnya seraya mengangkat bahu. "Gak apa-apa kan kalau aku duduk disini?"

Jean mengerjapkan matanya beberapa kali.

"…tidak, tak apa-apa," balasnya pada akhirnya. Gadis itu, yang berambut cokelat dan dikuncir ke atas, menganggukkan kepalanya dengan puas.

Hening sesaat melingkupi mereka berdua.

"Uhm, kau…." Jean menjeda kalimatnya, dalam usahanya untuk membuka percakapan, "tidak minum, Nona?"

Gadis itu kelihatan seperti baru tersadar dari lamunannya, dan mengangkat bahu. "Nggak. Aku gak minum alkohol."

"Oh?"

"Benaran, deh," gadis itu menambahkan dengan cuek.

Jean meneguk minumannya sekali lagi. "Mm. Jadi kau bekerja di bar, namun tidak pernah minum-minum.

Gadis itu mengangguk.

"Well, itu aneh," komentar Jean. Gadis itu tertawa.

"Yah, mungkin," ia mengambil sesuatu dari sakunya, dan memasukkan benda berwarna merah muda kenyal ke mulutnya. Bunyi kunyahan berisik segera terdengar.

"Kau kesini bersama pasanganmu?" Gadis itu memecah keheningan. Jean meneguk minumannya sekali.

"Tidak. Aku sendirian."

"Oh. Belum punya pacar?"

"Well, belum…hm. Lagipula, aku tak peduli dengan itu," Jean mengangkat bahu, dan meneguk minumannya sekali lagi, kali ini lebih banyak. Matanya mulai terasa berkabut.

Gadis didepannya tak juga beranjak dari tempatnya.

Jean memicingkan mata, mencoba memandangi gadis itu lekat-lekat. Usianya mungkin tak lebih dari sembilan belas atau dua puluhan. Rambut cokelatnya yang dikuncir terlihat ditata seadanya, dandanan yang melapisi wajahnya bahkan tak terlalu kentara.

Namun tak dapar dipungkiri kalau gadis ini, yang daritadi tak berhenti mengunyah entah apa yang ada di dalam mulutnya, cukup manis. Sebentuk kecantikan yang polos.

"Nona?"

Kraus, Kraus. Nyem. "Hm?"

"Kau cantik."

Nyem, nyem. "Oh," gadis itu terdiam sejenak, tak yakin bagaimana harus menjawab pernyataan itu. "Ehm, makasih."

"Bibirmu seksi."

Kraus. Glep, glep. Si gadis melebarkan matanya, mencoba mengingat-ngingat apakah ia membubuhkan terlalu banyak lip-gloss di bibirnya tadi sore.

"Matamu….indah—"

Kraus, uhuk. Nyem, nyem.

"…aku melihat pelangi disana, dan ada ubur-ubur yang sedang berenang…."

Nyem, nyem. Glep.

Kali ini si gadis melongo sejenak, sebelum kemudian sebuah tawa lepas meluncur dari bibirnya.

"HAHAHA," suara tawa itu meninggi, sebelum akhirnya mereda. "Kau ini lucu sekali."

Jean terdiam.

...dan sebuah rasa hangat yang aneh mendadak terasa menjalari pipinya.

"Uhm, ha-ha-ha," pemuda itu akhirnya memutuskan untuk tertawa, meskipun suara yang dikeluarkannya lebih mirip suara kuda yang tersedak, lebih kepada upayanya untuk menutupi kecanggungan yang ada—

sebelum kemudian sebuah ide absurd muncul di benaknya.

"Hei, Nona," ia mencondongkan badannya maju, dan membisikkan sesuatu di telinga gadis berkuncir ekor kuda itu.

Sejurus kemudian, wajah gadis itu memerah.

"Sekarang?" gumam gadis itu, terlihat ragu sejenak.

Jean mengangguk, berusaha sebisa mungkin untuk terlihat sebagai seorang pria jantan yang sudah pernah berurusan dengan ribuan wanita sebelumnya.

"Wah, baiklah kalau 'gitu," gadis itu tersenyum.

"Berapa tarifmu?" gumam Jean, berusaha sebisa mungkin agar tak terlihat macam pria hidung belang—meski sepertinya kenyataan berkata sebaliknya.

"Dua ratus dolar semalam. Minat?" balas gadis itu, yang kini sudah mulai beranjak dari kursinya, dengan suara rendah.

"…oke." Dalam hati Jean berharap ia tak lupa nomor rekeningnya.

"Hm, baiklah," gadis itu bangkin, dan meraih tangan Jean. "Lewat sini."


.

Gadis itu mengeluarkan kunci dari sakunya, dan membuka pintu sebuah kamar dengan tulisan 'Brauss' di tengah-tengah sebuah miniatur kentang dari karet yang tergantung disana.

Pintu terbuka dengan derit pelan, menyingkapkan sebuah ruangan bernuansa remang-remang dengan cat dinding berwarna merah muda. Ada sebuah ranjang dengan sprei bermotif gula-gula, serta sebuah meja rias dengan gelas bening berisi lilin aromaterapi di atasnya.

"Ayo…oh iya, aku lupa tanya siapa namamu," gadis itu menyeretnya masuk, sebelum kemudian menatap wajahnya lekat-lekat.

"Jean Kirschetein," sahutnya terburu-buru. "Eh, panggil saja Jean. Kau?"

"Sasha," jawabnya singkat, sebelum kemudian mengunci pintu, dan duduk di pinggir ranjang. "Sasha Brauss."

Hening sesaat melingkupi ruangan itu. Sasha Brauss menatap Jean Kirschetein lekat-lekat, jemarinya bergerak naik turun di mini-dress ketat berwarna cokelat salem yang dikenakannya.

Jean Kirschetein tak juga bergeming dari tempatnya di depan pintu.

Sasha terdiam, menunggu dengan sabar sementara mata cokelatnya bergerak menatap langit-langit.

Lima belas menit kemudian, akhirnya Jean Kirschetein menghampirinya.

Sasha menahan nafas—sebelum kemudian mendesah pelan, berusaha membuat dirinya terlihat menggoda. Jean maju, mencondongkan badannya…

dan mengacak rambut gadis itu lembut.

Semburat merah menjalar di wajah Sasha.

Terdengar bunyi ranjang yang berkeriut pelan begitu Jean mengambil tempat di samping Sasha, dan membaringkan badannya.

Sasha menahan nafas sekali lagi.

1 detik.

2 detik.

4 detik.

10 detik.

1 menit.

2 menit.

3 menit.

.

.

4 menit…

.

.

.

namun tidak terjadi apa-apa.

"Eh?" Sasha yang penasaran menoleh ke belakang, dan menghampiri Jean yang tengah menatapnya intens. "Kau tidak…mulai?"

Jean menguap sejenak.

"Huh? Mulai apa?"

Sasha memalingkan wajahnya yang merona merah. "Mulai….itu, yah, kau tahu."

Hening sejenak, sebelum kemudian tawa lepas yang terdengar seperti suara kuda mau kawin terdengar dari sang pemuda Kirschetein.

"Hahaha…fufu. Uhuk."

Sasha Brauss bengong.

"Kenapa ketawa?" akhirnya gadis itu bertanya, keningnya berkerenyit. Jean bangkit, sebelum meletakkan telunjuknya di bibir Sasha; yang lembab karena lip-gloss.

"Eh, Sasha, kau kira aku ini pria murahan yang mau menidurimu?" gumamnya lembut. Sasha tercekat.

"Apa menurutmu…." Jeda sejenak. "Apa menurutmu…aku jelek?"

.

"Eh?!" Jean terkejut, dan buru-buru menggelengkan kepalanya. "Tidak, tentu saja tidak, Sasha…"

"—kalau begitu, untuk apa kau membayarku?"

Jean terdiam sejenak, sebelum kemudian merangkul gadis itu, dan menatap iris cokelatnya lekat-lekat. Mencoba menemukan kilat cahaya, atau apapun yang menghuni langit kecokelatan itu, namun tak berhasil memetakan apapun disana.

Hanya ada kepolosan, kehampaan, dan tatapan serupa kanak-kanak dari seorang Sasha Brauss.

Telunjuk Jean bergerak, menelusuri tulang punggung gadis itu—yang terasa rapuh namun kuat di saat yang bersamaan—dengan lembut, turun naik sembari menyenandungkan sebuah irama lagu tidur.

"Aku membayarmu bukan untuk menidurimu, Sasha," didekatkannya wajahnya ke wajah gadis itu, sehingga dahi mereka bersentuhan.

"Aku membayarmu untuk mengobrol denganku; Sasha… ma chere."


.

.

Bersambung.

notes ii: oh alright, saya gak tau apakah saya udah naruh Jean dan Sasha-nya dengan cukup IC atau malah sebaliknya ;_; please tell your opinion about this.

thanks for reading.