Mohon maafkan daku yang bikin fic baru, padahal yang kemarin belum kelar…o''

.

.

.

Crown Imperial

Disclaimer : Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

Main Pairing : Akashi Seijuuro x Kuroko Tetsuya

Genre : Romance & Supernatural

Warning : BL, malexmale, Shounen ai, Slash, AU, OC, OOC, Typo nyelip, dll.

.

.

.

Sesosok bayang dan khayal

Buatan untaian seribu mimpi

Menempuh berbagai cerita tak berakhir

Dalam kepala mengalir bagai memori

Terbentuk berdasar indah cipta Sang Kuasa

.

.

.

.

.

"Selamat malam Seijuurou-sama."

Seorang anak bersurai merah darah yang baru menapakkan diri di atas karpet berudru, mendongakkan kepala sedikit untuk melihat siapa penyapanya. Nampak beberapa pria kekar berbaju tuxedo hitam, berdiri berjajar di tengah ruangan bergaya semi modern. Membungkukkan dada menyambut dirinya yang merupakan majikan muda mereka. Anak lelaki itu hanya memandang datar. Wajah putih imutnya khas umur 10 tahun, tidak menunjukkan ekspresi atau gestur yang berarti untuk membalas salam sopan para pengawalnya.

"Seijuurou-sama, mari duduk di ruang tamu. Saya akan menyiapkan teh untuk anda," kata pria paruh baya yang penampilannya berbeda dengan yang lain. Hanya memakai kemeja putih, dasi, vest, dan celana hitam tanpa jas.

Seijuurou menyerahkan mantel crimson yang semula dipakainya pada orang itu. "Dimana Otou-sama?" tanyanya bersuara dingin.

"Beliau akan datang terlambat, harap menunggu sejenak," jawab pria itu kalem sambil berjalan memandunya menuju ruang tamu.

Anak berbalut kemeja dark blue selengan dan celana senada itu mengikuti si butler dalam diam. Dari sudut mata bermanik Deep Scarlet-nya, Seijuurou melirik para pengawal yang juga melangkah di belakangnya. Dia menyerngitkan kening samar. Merasakan sesuatu yang ganjil meski sikap mereka biasa saja.

Butler mengajaknya menyusuri lorong panjang yang terletak di puncak gedung berlantai 40. Bangunan di pusat kota ini, menjadi tempat pertemuannya dengan sang ayah setelah sekian lama tidak berjumpa. Ayahnya, kepala keluarga Akashi konglomerat kaya Kyoto, terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Sering pergi keluar kota untuk urusan yang tidak Seijuurou ketahui. Beliau lebih dekat pada kakak lelakinya dibandingkan dirinya. Dan sebagai putra kedua, posisinya hanyalah bayangan sang kakak. Kalau diingat-ingat ini adalah kali kelima dia bertemu ayahnya sejak 2 tahun sang ibu meninggal.

"Silahkan masuk," ucap butler ketika membukakan pintu ruang tamu begitu sampai di ujung lorong.

Pemilik marga Akashi cilik tersebut melangkah masuk bersama para pengawal yang mengekorinya. Kemudian duduk di sofa panjang bermotif bunga Plum yang bertempat di sisi jendela besar. Ruang 15x10 meter itu nampak modern dengan cat, karpet, dan perabotan kayu bermodel elegan. Namun sunyi dan dingin. Seakan tidak pernah dijejaki. Diam-diam, Seijuurou kembali memperhatikan pengawalnya yang berdiri tegap di hadapannya. Batinnya tidak nyaman. Rasanya seperti diawasi. Seijuurou menggerlingkan mata ke arah butler yang bekerja menyajikan teh untuknya. Menyelidiki seakan ada yang disembunyikan darinya. Tapi tidak ada tanda apapun.

"Teh Sur le Nil, kurasa cocok untuk suasana malam ini," tutur butler tersenyum kecil seraya menghidangkan secangkir teh di atas meja depan Tuan Mudanya.

Harum chamomile yang berasal dari cairan coklat manis itu tidak membuat Seijuurou tertarik. Mata merahnya justru menatap tajam pria itu. Menilik seksama mimik butler yang berdiri kalem nan tenang. "Katakan."

Butler mengerjap tidak mengerti kala mendengar perintahnya tiba-tiba. Begitu juga para pengawal yang sedikit kaget. Anak bersurai api menyala itu menyandarkan punggungnya di badan sofa. Melipat kedua tangannya di dada dan mengangkat dagunya angkuh. Sorotan rendah serta dingin dilayangkannya pada pria yang terdiri 7 orang tersebut. Suatu sikap yang agaknya tidak pantas ditunjukkan anak berumur 10 tahunan. Tapi tidak bagi dirinya yang sudah dilatih dewasa sebelum waktunya.

"Apa sebenarnya yang kalian rencanakan padaku?" tutur Seijuurou tenang, meski dalam hati masih mempertanyakan dugaannya. "Otou-san bukan seseorang yang suka menunda waktu. Dia akan selalu menepati janjinya tanpa mempedulikan apapun."

"—Dan dilihat dari sikap kalian, aku tahu kalian menyembunyikan sesuatu."

Para pria di hadapannya menegang terkejut. Anak kecil ini, bisa menebak apa yang mereka pikirkan dan rencanakan?!

"Kkh," salah seorang dari mereka berdecih sebal. "Kelihatannya memang percuma kita berpura-pura di depan bocah ini," ujarnya menyeringai sinis serambi menyisir rambutnya ke belakang.

Seijuurou mendelik padanya tidak suka. "Kalian tidak akan bisa mengelabuiku. Mataku mengetahui semuanya," tegasnya.

"Ya benar, karena kau bocah terkutuk, pemilik mata setan," timpang pria lain mengejek.

Tangan kecil Seijuuro terkepal erat. Dia bangkit memandang kesal mereka. Memang benar dirinya terlahir berbeda dari anak biasa. Dianugrahi oleh sang Kuasa yaitu mata yang mampu melihat segalanya. Termasuk masa depan dan masa lalu. Tapi, dirinya tidak terima dikatainya mentah-mentah seperti orang-orang rendahan ini. Sudah siap mati rupanya.

"Kalian punya nyali juga untuk mencelaku huh? Tikus-tikus got tak tahu diri," bibir mungilnya membentuk seringaian menghina. Sepasang iris Scarlet-nya menyalang intimidasi.

Ketujuh lelaki paruh baya itu terperanggah. Mereka melotot naik pitam pada anak kecil tersebut.

"Kau?! Kurang Ajar!" sergah salah seorang lain dari mereka. Tangannya mengeluarkan pisau lipat dari saku celananya. "Mulutmu perlu diberi pelajaran!"

Seijuurou bergerak waspada. "Kalian pangawal keluarga Akashi, tapi mengapa mengincarku? Siapa yang memerintahkan kalian?" ucapnya tanpa nada takut sedikitpun.

"Heh, tentu saja kami pengawal keluarga Akashi," jawab pria tadi menyeringai lebar. "Kami diperintah untuk menyingkirkanmu, membunuhmu lebih tepatnya. Sebelum Tuan Besar sampai kemari."

"…Oleh siapa?" kedua alis Seijuuro berkerut dalam.

"—Oleh Yoshinori-sama sendiri."

Ungkapan tersebut menjadi pukulan telak bagi Seijuurou. Anak yang biasanya datar dan tertata mimik wajahnya, membulatkan matanya tidak percaya. Wajah dan tubuhnya kaku menegang. Bibirnya terkatup rapat. Jatungnya berdetak cepat. Seakan aliran darah yang mengalir ke dalamnya dipompa paksa.

"—Otou-sama—?!" cekatnya lirih.

"Benar, beliaulah yang memerintahkan kami. Beliau menginginkan kematianmu. Kematian bocah terkutuk yang tidak diharapkan kelahirannya sama sekali di dunia ini."

'Bocah terkutuk'

'Titisan setan'

'Pergi kau bocah pembawa sial'

Badan mungil Seijuurou bergetar. Mata bermanik merah apinya bergetir nanar. Ayahnya menginginkannya lenyap? Otou-sama yang dikagumi dan dihormatinya selama ini, menginginkan kematiannya?!

"Karena itu bocah…" Pria itu berjalan maju sambil memutar pisau lipat berlancip tajam di tangannya enteng. "Sejak awal kau tidak diinginkan, Tuan Besar hanya berlaku selayaknya orang tua pada anak-anak. Tapi beliau tidak pernah menunjukkan rasa sayang dan cintanya padamu. Dari lubuk hatinya beliau sangat membencimu. Begitu pula dengan Nyonya besar yang melahirkanmu. Dia hanya sebatas memberikan keturunan saja."

"—Hanya Seiji-sama-lah yang beliau inginkan. Putra tunggalnya yang berharga."

'Tunggal?!—sejak awal aku sudah tidak ada?' kata itu memberi jawaban kenapa kakaknya selalu dekat dengan sang ayah dibanding Seijuurou.

"Bagi Tuan Besar, kau hanyalah pengganggu," Pria tadi berhenti di hadapan Seijuurou. Mengangkat dagu kecilnya dengan ujung pisau. Memperlihat ekspresi Akashi cilik yang tercengang luar biasa. "Kau hanya akan membuat tujuannya terhambat di masa kejayaannya."

Seorang pengawal lain membuka jendela besar di belakang Seijuurou. Melebarkannya hingga angin berhawa dingin malam itu masuk ke dalam ruangan. Pria yang mengacungkan pisau itu mendorong Seijuurou mundur, hingga punggungnya menghantam bingkai jendela. Pembatas antara ruang di lantai 40 dan udara bebas yang dasarnya lebih dari 100 meter.

"Berbahagialah karena telah mengorbankan hidupmu untuk kebaikan ayahmu. Matilah dengan tenang."

Dengan sekali sentakan, badan Seijuuro yang masih tegang dijatuhkan ke belakang. Melewati bingkai jendela dan terjun bebas ke bawah gedung. Seijuurou sempat melihat seringai yang terpatri di muka para pengawalnya. Mereka telah merencanakan semua ini.

Seijuurou melayang jatuh. Menabrak keras unsur kasat mata dari angin kencang yang menerpa tubuhnya. Dari posisi yang terbalik, dia bisa melihat pemandangan dasar gedung yang tadinya kecil berangsur membesar. Matanya mengerjap cepat, sakit karena kelopaknya terpukul oleh helaian poni rambut crimson-nya yang panjang.

'Apakah aku akan mati?' batinnya dengan sorot sendu memeta jelas iris Scarlet-nya. 'Apakah ini akhir hidupku?'

Jantungnya berdegup gundah.

'Apa—sebenarnya arti keberadaanku?"

.

.

.

Menyalurkan kehangatan dan kekuatan batin

Mencurahkan kesejukan yang tiada banding

Membawa diri ini dalam utopia kalbu

.

.

.

Hawa malam di tengah musim dingin ini lumayan sejuk. Tapi semakin kau berdiri di tempat tinggi, suhunya akan menjadi rendah dan dingin. Itulah yang dirasakan pemuda bersurai blunette yang duduk di pagar beranda lantai 15 gedung tersebut. Remaja itu duduk tenang dengan satu kaki menjuntai ke bawah dan yang lain ditekuk merapat ke dada. Membiarkan satu kakinya bergerak bebas di udara tanpa takut dengan ketinggian yang bisa membuatnya terjungkal kapan saja.

Lelaki berkaus hitam panjang dilapisi jaket hoodie dan celana kain coklat muda itu, menghiraukan udara beku karena tidak akan berpengaruh pada tubuhnya. Manik mata biru Aquamarine-nya memandang datar panorama di salah satu daerah Kyoto ini. Dasar bangunan itu memiliki taman berhias pohon-pohon sakura yang kering, serta rumah beraneka bentuk yang berjajar rapi. Gemerlap lampu mewarnai sekelilingnya yang tertutup hamparan putih salju. Beberapa orang berlalu lalang melewati jalannya dengan santai. Damai. Tentram. Tapi nampak hambar di matanya langitnya.

Pemuda bernama kecil Tetsuya itu mengalihkan perhatiannya lurus ke depan. Melihat seluruh kota dari kejauhan. Kota ini hampir tidak ada bedanya dengan kota lainnya. Penuh gedung tinggi dan kebisingan di sana-sini.

Dengan wajah bosan yang datar, Tetsuya menghela nafas. Sepanjang penjalanannya memutari kota ini, dirinya tidak menemukan apa yang dicari. Dia perlu mengisi perutnya yang sedari seminggu lalu menjerit kelaparan. Namun untuk memenuhi nafsu serta hasratnya agar kenyang, dia perlu sesuatu yang enak. 'Makanan' lezat dan terasa nikmat di lidahnya.

"Lapaar~" elunya bernada jemu. "Apakah tidak ada manusia yang enak di sekitar sini, ya?" kelopak matanya terbuka setengah malas.

"—aku butuh energi mereka."

Bertepatan akhir kalimatnya, Tetsuya dikejutkan oleh sesuatu yang melintas cepat di hadapannya. Di depannya terjun seorang anak kecil berusia 10 tahun. Matanya biru nilanya melebar ketika berpapasan dengan manik merah delima milik sosok tersebut. Sorot getir dan luka tersirat dalamnya. Menunjukkan emosi yang tertahan. Hanya sesaat. Tapi mampu menghantarkan pesona di mata Tetsuya.

Pemuda berumur layaknya remaja 17 tahunan itu membelalak kaget. Segera dia melihat kemana jatuhnya anak itu. 'Bunuh diri?' Seolah tergerak, badan Tetsuya langsung terpelanting ke bawah. Mengikuti arah terjun anak yang ternyata Seijuurou.

Seijuuro menengok ke atas. Menemukan lelaki yang barusan meluncur menujunya. 'Bodohkah dia? Mau jadi pahlawan demi menyelamatkannya?' batinnya tertawa remeh. Merasa percuma sama tindakan yang dilakukan Tetsuya.

Dengan memejamkan mata, Seijuurou menyerah sepenuhnya. Dia tidak akan selamat dari insiden ini.

Tetsuya menyerngitkan dahinya heran. Dirinya tidak pernah melakukan hal seperti ini. Menyelamatkan manusia tidak pernah ada dalam kamusnya. Selama hidup sebagai mahkluk berbeda, dia hanya memikirkan makanan untuk mengisi perutnya. Yaitu energi dari tubuh manusia. Mau manusia itu hidup atau mati karena dirinya, Tetsuya tidak peduli. Selama rasa laparnya terobati, Tetsuya tidak perlu mengacuhkan apapun.

Namun kenapa? Tatapan mata merah sewarna darah itu, melekat kuat di benak Tetsuya. Seakan sanggup mengungkapkan segala rasa serta isi hatinya dalam sekali lihat. Seakan mengajaknya untuk menari dalam emosinya. Membuatnya tanpa sadar bergerak mengikuti naluri.

Jarak yang membentang di antara mereka, membuat Tetsuya berdecih. Kakinya menyentak-nyentak berusaha mempersempitnya. Kelopak putih matanya menyipit kesal meski raut mukanya tetap datar. Tangannya terangkat mengapai kaki bersepatu kulit milik Seijuurou. Berniat membawa tubuh mungil itu ke dalam pelukan.

Dapat. Dengan sekali tarikan, Tetsuya mendekap Seijuurou erat. Seketika dirinya terkesiap. Bau ini, enak. Wangi partikel atau zat energi manusia yang menggoda. Membangkitkan nafsu makannya yang lapar. Tetsuya melirik wajah anak itu yang menutup mata rapat. Sepertinya sudah tidak sadarkan diri. 'Apakah aroma itu berasal dari tubuh anak ini?'

Membuang rasa ingin tahunya sejenak, Tetsuya mendongak. Kurang 10 meter lagi mereka akan terjebur di kolam renang besar bawah sana. Beruntung karena mereka tidak perlu merasakan kerasnya tanah saat terbanting dan dapat dipastikan langsung menemui ajalnya. Tapi rugi karena harus melawan dinginnya air bersuhu rendah itu.

Sebelah lengan remaja bersurai biru cerah ini terbentang. Selagi yang lain merengkuh Seijuurou rapat. Tetsuya mengayunkan tangannya ke arah kolam di dasar sana. Dengan kekuatan supernatural-nya, dia menggerakkan jemarinya untuk mengejolakkan air yang semula tenang menjadi bentuk riakan gelombang. Kemudian menggelak hingga airnya terangkat tinggi ke atas. Menyurutkan hampir setengah kolam karena membuat pilar air raksasa.

Tetsuya kembali melingkarkan kedua lengannya ke badan Seijuurou. Membenamkan wajah anak itu ke dadanya untuk melindunginya. Lalu menjatuhkan diri mereka berdua, menumbuk ujung teratas pilar air. Terjebur ke dalam unsur cair yang dingin luar biasa. Pilar itu hancur. Runtuh ke bawah. Menyebabkan air beriak hebat dan menumpahkan sisanya ke pinggir-pinggir kolam. Lalu kembali ke posisinya semula.

Remaja bluenette yang masih menyelam, menggerakkan badannya untuk berenang ke permukaan. Kaki tangannya mengayun bergantian. Sampai akhirnya kepalanya menyembul keluar air. Tanpa perlu menarik nafas lega karena telah selamat dari maut, dia langsung mengangkat Seijuurou ke tepi kolam. Merebahkan tubuh basah kuyupnya untuk diperiksa.

"Hei, sadarlah," Seusai melepaskan jaket basah miliknya, Tetsuya menepuk-nepuk pelan pipi pucat Seijuurou berupaya menyadarkannya. Namun, tidak ada respon. Tetap menutup mata dengan nafas lemah. Muka datar Tetsuya mengeras saat meraba dada anak merah itu. 'Detak jantungnya tidak terasa, gawat.'

Tangan Tetsuya beralih mengangkat tengkuk Seijuurou lalu membuka bibir mungil anak itu. Dia menempelkan mulutnya sendiri padanya untuk melakukan nafas buatan. Diiringi gerakan tangan yang menekan-nekan dadanya. Terus berulang-ulang. Rupanya ada gunanya juga Tetsuya membaca buku teori pengobatan beberapa tahun yang lalu. Walau hanya untuk mengisi waktu luang, setidaknya dia punya pengetahuan. Sekarang dia mempraktekannya. Alhasil anak berambut merah itu terbatuk dan mengeluarkan air dari mulutnya. Melegakan paru-parunya yang perih sesak.

Tetsuya bergegas membangunkan Seijuurou. "Tarik nafas pelan-pelan," katanya mengusap punggung basah itu pelan.

Akashi cilik itu menurut. Menghela nafas dalam-dalam kemudian mendesah berlahan. Kepulan asap putih tercipta dari nafas mulutnya. Badannya bergetar kedinginan. Tetsuya lupa jika manusia tidak tahan dengan udara bersuhu rendah. Apalagi sehabis mandi air dingin seperti tadi.

"Bertahanlah sebentar."

Lewat mata Deep Scarlet-nya yang terbuka setengah, Seijuurou mendapati pemuda itu memanggulnya di pundak. Tetsuya memeluknya erat dan berlari cepat menuju rumah sahabatnya yang jalannya sudah dia hapal luar kepala. Merasa masih lemah, Seijuurou mengerjap tidak sanggup melawan rasa kantuk.

Sekali lagi, membiarkan dirinya jatuh dalam kegelapan.

.

.

.

Aku menunggumu untuk datang padaku

.

.

.

To Be Continued

.

.

.

Berikan komentar, review, kritikan apa aja untuk fic satu ini!

Terinspirasi dari salah satu scene komik yang barusan kubaca semalam. Judul Alive. Terbitan beberapa tahun lalu.

0.0"