Yifan Wu masih terdiam di sana. Sejak satu jam yang lalu, tepatnya ketika ia baru pulang dari kantor; tanpa mampir ke rumah apartemennya, ia langsung membawakan diri menuju rooftop. Memandang langit senja yang berwarna jingga. Merasakan angin sore yang membawakan ketenangan dan mengusir gundah gulana.

Perlahan, mata Yifan Wu yang semula menatap orang-orang, atau kendaraan yang berlalu lalang dibawahnya, tertutup rapat. Mulutnya sedikit demi sedikit terbuka, ia gunakan untuk membuang karbon dioksida dari sirkulasi pernafasannya. Membiarkan angin menghantam tubuhnya yang merasa lelah dan pegal. Yifan Wu mengingat – ingat kejadian hari ini, dan ia memilahnya antara kejadian yang penting dengan yang tidak penting.

Meskipun ia telah menjadi orang yang sukses di bidangnya, namun pria muda tersebut merasa bahwa kehidupannya terlalu berjalan normal dan terasa sempurna. Membuatnya bosan, teramat bosan—hingga sering kali ia berkeluh kesah tentang hidupnya yang selalu tanpa cela.

Sikap yang amat diherankan oleh beberapa sahabatnya.

Yifan Wu mengatupkan kedua mata dan bibirnya rapat-rapat. Merapalkan kata-kata yang biasanya ia lakukan selama tiga belas tahun terakhir ini dalam hati. Penuh kesungguhan.

Tanpa semua orang terdekatnya tahu, setiap malam sebelum tidur dan setiap pagi setelah ia bangun; Yifan Wu selalu memohon agar ia mendapatkan sesuatu yang berbeda dalam alur kehidupannya di hari itu juga. Namun hingga sekarang, ia belum mendapatkan apa yang ia inginkan.

Tapi Yifan Wu tidak menyerah untuk berdo'a, berharap, dan memohon. Ia percaya bahwa suatu hari, akan ada suatu hal menakjubkan yang akan merubah poros hidup-tampak-sempurna-tanpa-cela miliknya—

—dan mungkin itu diawali dengan kejadian di detik ini.

.

.

BUUUMMMM...!

.

Suara yang memekakan telinga mengaum di angkasa, terdengar seperti suara dari benda tumpul yang melayang jatuh. Dan bersamaan dengan itu, Yifan Wu membuka matanya.

Terasa ada angin kencang yang berhembus dari belakang punggungnya. Nyaris membuatnya terpental menuju pagar rooftop, jika ia tidak segera menahan beban tubuhnya dengan kedua kaki. Kedua tangan Yifan melindungi wajahnya. Dan dari bilik poni pirangnya yang berkibar-kibar karena angin kencang tersebut, sang pria Wu bisa melihat sesuatu di balik kabut yang mulai tipis.

Lantas matanya terbelalak dan mulutnya menggumam 'apa yang terjadi?' dalam kosakata bahasa Inggris. Secara singkat dan cepat, Yifan Wu membalikkan tubuhnya. Menghadap kearah sesuatu yang tergeletak tak berdaya di lantai semen rooftop. Ia memicingkan mata, untuk memastikan sesuatu itu adalah jenis apa. Namun ia tak perlu melakukannya lagi, karena perlahan, kabut yang telah menipis itu semakin lama semakin menghilang. Hanya tersisa beberapa kepulan asap tipis yang melayang ringan.

Ekspresi syok dan tegang terpoleskan di wajah rupawan Yifan Wu.

Kedua bola matanya bergerak kecil. Tanpa ia sadari, ketika matanya menangkap siluet abu-abu penyebab terjadinya bunyi debuman dahsyat barusan, secara refleks tubuhnya mundur dua langkah. Lalu kedua tangannya merenggang dengan jari-jemari yang bergetar kecil.

Beberapa meter dari tempatnya, ia melihat sesuatu—

—Sesosok manusia bersayap berwarna putih salju. Dengan beberapa goresan dan bercak-bercak darah di sayap milik sosok tanpa busana tersebut.


.

Bab 1 :: Malaikat Jatuh; Saat langit berwarna jingga di atas atap

.


Fallen Angel

.

Screenplays!Kristao with other official pairing

.

I don't own anything except this storyline

.

Akai Momo (c) 2015

.

T - M

.

Fantasy-Supranatural-Suspense-Mystery-Romance-Psychological

.

Yaoi/ BL/ Be eL/ Boys love/ Alternative Universe with typo(s)

.

No like, don't read!

.

Summary! : Yifan Wu yang seorang pengusaha sukses merasa bahwa kehidupan sempurna tanpa celanya terasa membosankan. Karenanya, ia selalu berharap jika setiap ia bangun dari bunga tidur, ia akan mendapatkan sesuatu yang akan merubah poros hidupnya. Lalu, apa yang akan terjadi jika ia menemukan sesosok manusia bersayap yang jatuh di rooftop apatermennya saat senja hari?

/ "... Tao. Hanya itu yang Tao ingat."/

/ "Dengar, aku memang berharap jika sesuatu yang menarik datang di kehidupan- sempurna-tanpa-cela-yang-terasa-membosankan-bagiku; tapi, bukan berarti jika itu adalah aku harus menjadi baby sitter mahkluk sepertimu, Tao!"/

(My first fantasy multichapter-fiction!)


.

.

.


Sosok itu masih membuka mata mutiara hitamnya dengan tatapan sayu. Nafasnya tersengal-sengal seolah ada sesuatu yang membebani paru-paru kembarnya. Di wajahnya, terdapat beberapa cipratan darah; ada yang telah mengering dan ada yang masih mengalir menodai rupanya yang cantik. Sedangkan di beberapa tempat di tubuhnya yang tidak tertutupi sayap, ada beberapa luka lebab dan sayatan dengan darah segar yang masih mengalir.

Yifan tercekat melihat pemandangan menakjubkan yang terlihat ironis di depannya.

Ia bingung dengan apa yang ia temukan hari ini. Sesosok manusia bersayap—Malaikat!, batinnya retoris.

Pria Wu itu menghembuskan nafas dengan cepat dan kasar hingga mengesankan bahwa ia dilanda kekesalan atau tidak sabaran.

Entahlah. Sebagian otaknya masih dipengaruhi oleh hal yang rasional. Hingga membuat Kris menggelengkan kepala jika eksistensi mahkluk gaib nan suci itu seolah tidak benar-benar tampak nyata.

Akan tetapi, pikiran rasional itu berhasil dikalahkan oleh pikiran non-rasional yang bersekutu dengan perasaannya. Karenanya, tanpa Yifan Wu sadari, ia berjalan mendekat dengan langkah teramat pelan. Begitu ia telah sedikit dekat beberapa langkah dengan mahkluk suci itu, ia baru menyadari sesuatu,

Ia baru sadar, bahwa sosok manusia bersayap dihadapannya telah menutup mata—

—dengan beberapa butir air mata yang tercampur dengan percikan darah jatuh meluncur cantik pada pipi sesosok mahkluk yang memiliki warna kulit putih porselen.


.

.


Yifan Wu menghembuskan nafasnya pelan; dan terdengar berat. Lalu ia meletakkan cangkir kopi siangnya dan kembali menatap jendela luar café. Sesekali, jika ia merasa bosan, secara spontan jari telunjuknya yang kurus dan panjang itu akan mengetuk-ketuk meja. Tak apa-apa, ia yakin jika Chanyeol Park—sahabat semasa SMAnya yang kini sedang membaca berita dari media online itu tak akan terganggu. Justru Chanyeol akan menumpuk melodi yang dibuat tangannya dengan ketukan pena yang sedang ia genggam.

Sadar atau tidak, keberadaan mereka berhasil mencuri lirik perhatian para pengunjung café. Seandainya mereka memilih menjadi seorang penyanyi ataupun aktor alih-alih pengusaha; kemungkinan besar para wanita berbondong-bondong di barisan depan mengakui sebagai penggemar setianya. Kalau tidak dari kemampuan bermusik alami mereka, kalau tidak ya, karena rupa mereka yang tampan.

Karena ini adalah waktu yang ditunjuknya, maka salah seorang karyawan café mempersiapkan dirinya untuk memainkan sebuah piano klasik yang terdapat di pojok ruangan. Karyawan yang bergender wanita dengan rambut hitam pendek sebahu itu memakai sarung tangan putih, dan setelahnya ia bertepuk tangan sekali untuk meminta perhatian pada pengunjung.

"Baiklah, karena hari ini adalah hari-merekues-lagu, apa diantara Anda semua ada yang ingin mengajukan lagu..?" wanita berpakaian ala konduktor sebuah konser musik itu memberi senyum manis.

Dan suasana yang tadinya bising menjadi sedikit sunyi, hanya bisik-bisik tetangga yang terdengar satu sama lain.

Tidak sampai satu menit, ada seorang ibu-ibu berusia pertengahan abad mengangkat tangannya. Dengan wajah yang masih terlihat cantik alami walaupun memiliki kriput, ia tersenyum manis. "Apakah nona tahu dengan lagu Everytime You Kissed Me milik Emily Bindiger..?"

Sekarang semua pertanyaan-pertanyaan di pikiran Chanyeol terjawab. Saat ibu – ibu itu mengajukan rekues lagu, Chanyeol melihat wajah sang ibu berbadan sedikit gemuk itu. Dengan sedikit kurang yakin, ia merasa bahwa ibu-ibu yang berada di belakangnya ini bukanlah orang korea. Dan benar saja. Sebab samar – samar, ketika ia mendengar ia merekues lagu dari mulut si ibu; temannya berbisik – bisik dalam berbahasa jepang.

Pelayan café merangkap konduktor itu mengangguk pelan. "Baik. Apa nyonya ingin versi dengan lirik atau hanya instrumen piano..?"

"Bagaimana jika dengan versi lirik..? Karena lagu itu saya persembahkan untuk suami saya."

Dan kemudian, terdengarlah suara gemerisik yang bersumber dari ponsel pintar berwarna hitam mengkilat. Setelah mendapat kode anggukan, sang pelayan itu langsung siap di tempat. Membiarkan kesepuluh jarinya itu menari diatas tuts-tuts monokrom sang piano.

("Everytime you kissed me,

I trembled like a child..,")

Sekarang, di café yang terlihat asri karena beberapa pot tanaman menghias beranda dan ruang dalam café terdengar alunan lagu yang dipadukan dengan suara piano klasik. Semua orang menikmati suguhan khas café mini bertingkat dua itu.

Sesekali, sang wanita paruh baya yang merekues lagu tersebut menyahuti lirik yang dinyanyikan oleh sang wanita yang memainkan piano. Atau sesekali juga suara pria tua terdengar dari speaker ponsel, mengikuti alunan musik yang liriknya telah ia hafal diluar kepala.

("Gathering the roses,

we sang for the hope.)

("Your very voice is in my heartbeat,

sweeter than my dreams.")

("We were there in everlasting bloom.")

Angin siang yang terasa kering dan kasar di kulit merangsek masuk melewati ventilasi jendela juga pintu cafe yang terbuka lebar. Menyapa para pengunjung café yang didominasi oleh karyawan kantoran dan anak kuliahan. Menambah suasana damai yang Yifan Wu cukup akui—ini adalah salah satu bagian yang ia sukai dari hidupnya yang selalu berjalan teratur dan membosankan.

Menikmati melodi dari piano tua yang berwarna coklat gelap, dan hembusan angin siang yang menampar kulit wajahnya.

("Roses die,

the secret is inside the pain.")

("Winds are high up on a hill,

I can not hear you~")

Semua yang ada di sana menghayati lagunya. Terlampau hanyut ke dalam melodi dan lirik lagu tersebut hingga bising dari deru kendaraan dan suara klaksonnya bahkan tak mampu mengganggu mereka yang menikmatinya. Lirik lagu yang memiliki makna ganda: sedih, bahagia, dan berisi harapan. Terdengar seperti sebuah lantunan do'a dari lubuk hati terdalam.

("Come and hold me close,

I'm shivering cold in the dark of rain.")

Sayup-sayup, Yifan Wu mendengar suara lembut. Sebuah suara yang bukanlah berasal dari piano yang dimainkan oleh karyawan cafe tersebut. Bukan juga suara bisik-bisik dari beberapa pengunjung cafe yang mengomentari tentang arti lagunya maupun tentang bertapa bagus suara sang pianis. Suara lembut yang terdengar rapuh, meskipun ada sisi lirih dan tidak kuat.

Suara yang menyerupai bisik sangat kecil itu entah kenapa terdengar dan menggema di telinganya. Membuat Yifan Wu merasa risih, tidak nyaman, dan agak takut. Maka dari itu, ia menutup kedua telinga dan matanya rapat-rapat berusaha menghalau sebuah suara asing tersebut yang mengusik kesadarannya.

Sementara itu dengan Chanyeol Park, ia masih sibuk menikmati alunan musik yang disuguhkan, tidak menyadari kegelisahan yang dialami sang kawan lama.

("Darkness falls..,")

Yifan perlahan memamerkan bola matanya yang berkabut dan berkaca-kaca, dengan setitik air mata pada pelupuknya, ia melirik ke segala arah untuk menemukan pelaku yang berhasil membuat dirinya benar-benar merasa takut.

("I'm calling for the dawn.")

Tak berselang lama, Yifan Wu memelototkan mata, terkejut. Mulutnya terbuka dengan getar-getar kecil di sekeliling bibirnya.

Tubuhnya yang gagah bergetar dan detak jantungnya berdegup kencang seperti orang yang sedang dilanda teror dan ketakutan hebat. Keringat dingin mulai mengalir dari pelipisnya. Dan tidak lupa dengan nafasnya yang terdengar tercekat dan menderu – deru tidak stabil.

Tanpa sadar, tangan kanan yang semula ia gunakan untuk menutup telinga demi menghalau suara lirih asing penganggu, melayang menuju dadanya. Tepat dimana jantungnya masih berdegup-degup hebat.

Semua itu Pria Wu rasakan ketika ia melihat sesuatu di seberang jalan.

Sosok yang ia kenal, yang sedang berdiri manis diantara orang – orang yang mulai berjalan melewati zebra cross. Sosok itu berdiri tegap dengan kepala bersurai hitam jelaganya sedikit menunduk. Sedangkan di dalam pelukannya yang terlihat cukup erat, terdapat boneka berbentuk panda yang dililitkan pita berwarna merah darah di bagian lehernya, boneka itu menyeringai dengan gigi-gigi taring pamer eksistensi.

Yifan Wu merasa ia mulai susah untuk bernafas normal. Bahkan ia merasa sesak di bagian organ pernafasannya seolah ada yang menghantamnya bertubi-tubi.

Sosok itu memakai jubah lengan panjang putih polos selutut, dan ujung jubah itu berkibar perlahan mengikuti pergerakan angin semu. Ia juga memakai sepatu boot pendek bertali; dimana talinya bergerak kecil seperti ujung jubahnya. Selain itu, meskipun ia berdiri di tengah orang yang berlalu lalang, sosok itu masih berdiri tegap dan entah kenapa; ia tetap terlihat di mata monokrom Yifan. Seolah tak ada yang mengusik keberadaannya sedikitpun.

Tampak seperti bahwa keberadaannya terasa transparan. Dan memang demikian.

Yifan Wu baru menyadari jika sosok berambut hitam yang cukup tinggi itu tersenyum dibalik poninya yang berkibar – kibar. Senyum yang cukup lebar, dan mengartikan beberapa arti yang sedikit ambigu baginya.

Perlahan tapi pasti, sesuatu menyembul keluar dari balik punggung sosok berbentuk anak kecil tersebut. Semakin lama, bentuk sesuatu yang keluar dari punggung sosok yang transparan itu membentuk sesuatu dengan ukuran yang cukup lebar. Dan itu adalah sepasang sayap berwarna putih yang membentang dengan cantik.

Membuat Yifan menganga sedikit lebih besar. Roman mukanya antara terkejut, takut dan kagum disaat yang bersamaan.

Dan sosok yang Yifan telah kenal beberapa jam lalu itu menghilang menjadi abu dan pasir, terbang ditiup angin yang disertai dengan beberapa helai gugur daun.

Bersamaan dengan kejadian itu, lagu yang dinyanyikan sang pelayan wanita telah berakhir. Digantikan dengan tepuk tangan yang meriah. Chanyeol Park bahkan bersiul-siul nyaring juga mengacungkan kedua jempolnya; disertai komentar manis yang membuat sang pelayan tersipu-sipu seperti gadis belia.

Di lain pihak, Yifan masih termangu di tempat. Dengan bola mata yang masih berkaca-kaca juga berkabut dan tubuh yang masih sedikit gemetar. Tak lupa dengan tangan kanannya yang telah berkeringat dingin; masih mencengkram erat dadanya tepat dimana sang jantung berada. Deru nafasnya mulai kembali stabil, tapi tidak dengan degup jantungnya.

Karena, sebelum sesosok lelaki yang seharusnya kini sedang tertidur manis di kamar apartemennya menghilang dengan cara yang membuatnya terkejut—

—sosok itu sempat menatap Kris dengan kedua mata yang pupilnya mencekung melotot. Tampak cantik dan terlihat menyeramkan disaat yang bersamaan; dengan senyuman yang kini berubah menjadi sebuah seringai mematikan di wajah manisnya.


.

.


Sesosok lelaki muda bersurai hitam jelaga yang tertidur dengan posisi meringkuk dan salah satu sayapnya yang meyelimuti tubuhnya itu bergerak kecil. Nafasnya memburu dan dahinya mengerut. Keringat dingin mulai membasahi beberasa sudut tubuh telanjangnya.

"Uh. Hh. Hh. Uh."

Salah satu tangannya mengerat pada seprai ranjang yang berwarna coklat tua, gerak tubuhnya semakin tak tenang dan gelisah. Tak lama ia merintih kecil dengan nada lirih dan tubuhnya bermandikan keringat dingin, padahal AC dan hembusan angin yang melewati jendela kamar datang silih berganti. Namun, tetap saja sosok bermata hitam semalam tersebut dibanjiri keringat dingin pada tubuh tanpa sehelai benangpun.

Sekejap, kedua matanya terbuka dan menampilkan bola mata hitamnya yang bergerak gelisah, tampak takut dan khawatir akan keadaan seorang pria yang melintas di benak dan pikirannya.

Mulut melengkung khas lelaki muda itu terbuka perlahan, memanggil sebuah nama dengan nada lirih tak berdaya.

"Yifan."


.

.

.


See you next chapter!