.

.

Secret Mission

Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

Story © miniReeto & megaReeto

Warning : Typo(s), maybe OOC, alur gaje, membingungkan, dsb kebanyakan kalo disebutkan satu-satu~

Note : Setting diambil berdasarkan fic miniReeto sebelumnya (Please Be Cute For Me!), atau mungkin malah sequel ya? #plak. Dimana OC/Reader adalah kakaknya Akashi, siswi kelas 3 SMA Rakuzan yang selalu berharap keajaiban adeknya jadi imut.

Saa, please enjoy!

.

.


Di tahun terakhirku bersekolah ini, sudah menjadi rutinitasku duduk di bench pinggir gym seraya bertopang dagu mengamati permainan yang disuguhkan tim basket almamaterku. Seperti saat ini. Sambil memangku sekotak bento yang belum tersentuh isinya, aku tersenyum simpul. Suara decit sepatu yang bergesekan dengan lantai gym telah akrab menyapa indera pendengaranku. Sesekali berdecak mengagumi kegesitan masing-masing pemilik raga di tengah lapangan sana dalam mengontrol bola oranye penentu permainan. Sebut saja Mibuchi, Hayama, Nebuya, Mayuzumi, dan satu orang lagi.

Bukan. Aku disini bukan karena tertarik pada olahraga memasukan bola ke dalam ring tersebut. Aku bahkan tidak mengerti aturan-aturannya, pula istilah-istilah di dalamnya. Yang aku tahu, tim basket almamaterku adalah tim yang kuat. Tim basket SMA Rakuzan. Dimana adikku berperan penting sebagai kaptennya, pemimpin dari komunitas orang-orang hebat itu.

Dan itu adalah alasanku berada disini. Aku disini karena adikku. Bukan kemauannya, tapi aku yang bersikeras.

Karena aku punya misi penting.

Hari ini pun, pandanganku tak pernah luput menampilkan sosok pemuda merah bernomor punggung 4 tersebut. Ia mempesona, seperti biasa. Berwibawa besar dibalik tubuh kecilnya. Penguasa dalam arti sebenarnya.

Sejenak aku menggigit bibir bawahku. Kami-sama sungguh baik menganugrahi adik sesempurna dirinya. Ya, sungguh baik. Sampai-sampai, mungkin, ia tidak menganggapku kakak yang harus dihormati. Aku hanyalah kakak yang berfungsi sebagai pelayan baginya, sampai kapanpun.

Dan sampai kapanpun pula, aku tidak akan bosan mencoba membuatnya mengakui, bahwa ada sisi lain dirinya yang pantas ia tunjukan padaku selain daripada arogansinya.

.

.

.


Flashback

"Siaaal, kenapa aku bisa lupa sih!" umpatku pelan sambil berlari-lari kecil menerobos kerumunan orang. Di ujung jalan sana, Sei-chan hanya berdiri diam menyilangkan tangan di depan dada, menatap punggungku tajam tidak suka.

Sepanjang perjalanan kembali ke gym sekolah, tak henti-hentinya mulutku meracau tidak jelas. Mengutuki kebodohanku sendiri yang bisa-bisanya meninggalkan ponsel ketika mengantarkan bento untuk adikku itu. Untunglah, sepertinya mood Sei-chan hari ini sedang baik sehingga ia bersedia menungguku dan membiarkanku kembali lagi ke sekolah. Justru moodkulah yang sekarang sedang kacau.

Pintu gerbang SMA Rakuzan kini sudah berada di depan mata. Langkahku berangsur semakin cepat. Semakin lebar. Tanpa sadar aku berlari. Napasku mulai tersengal. Ini sudah sore, sebentar lagi hari akan gelap. Aku tidak boleh membiarkan Sei-chan menunggu lama jika tidak ingin terkena amukan guntingnya.

"Doumo, Akashi-senpai," sapa seseorang yang tiba-tiba sudah ikut berlari di samping kananku, membuatku terlonjak kecil ke samping saking kagetnya. Ia tersenyum memamerkan gigi taringnya yang runcing padaku, mengangkat sebelah tangannya sesaat lalu kembali memfokuskan pandangan pada halaman utama sekolah yang lengang di depan kami. Hayama Kotarou.

"Hayama-kun! Jangan muncul tiba-tiba, kau membuatku kaget!" semburku spontan pada salah satu kouhaiku itu. Ia hanya menanggapinya dengan kikikan pelan.

"Gomen, gomen.. Aku ingin mengambil mainanku yang tertinggal di sekolah.. Hh hh.."

Tidak ada yang tanya itu, kouhaiku sayang, lagipula buat apa kau membawa mainan ke sekolah? Kau pikir sekolah kita itu taman kanak-kanak?

Aku hanya bergumam pelan, tidak membalas lagi ocehannya. Berbicara sambil berlari hanya akan membuang-buang tenaga saja.

"Yo, Hayama to Akashi-senpai," suara berat lain menginterupsi kekhusyukan olahraga lari sore aku dan Hayama. Aku sontak berjengit ke kanan, nyaris menabrak Hayama jika saja ia tidak punya refleks yang bagus untuk menahan lenganku.

Kami berdua serempak menoleh ke sumber suara sambil terus meneruskan acara lari kami. Orang itu malah ikut berlari di samping kiriku, memasang wajah datar sambil menatap lurus ke depan koridor yang sebentar lagi kami capai. Badannya yang tinggi besar serta kulitnya yang kecoklatan membuatku berburuk sangka sebelum akhirnya mengenali sosok tersebut. Nebuya Eikichi.

"Nebuya-kun.. Hh.. Jangan bilang ada sesuatu milikmu yang tertinggal di sekolah juga," dengusku sedikit ketus. Entah kenapa, aku punya firasat seperti itu. Dan Hayama yang mendengarnya hanya bisa nyengir kuda merasa dirinya juga ikut tersindir.

"Ah, ya.. Aku meninggalkan persediaan snackku.." jawabnya malas, masih dengan tampang stoic. Benar saja ya, firasatku ini. Dan lagi-lagi aku tidak berniat membalas. Aku menyeka setetes keringat di dahi sambil terus berusaha mengatur ritme pernapasan. Tenagaku lebih berharga untuk dipakai berlari dibandingkan dengan berbicara basa-basi.

Drap drap drap.

Drap drap drap.

Drap drap drap.

Tunggu. Kenapa mereka berdua terus mengikutiku sih?!Tidakkah mereka mengerti bahwa aku merasa agak risih dengan keberadaan mereka yang mengekoriku? Kenapa mereka tidak langsung berpencar saja mengambil masing-masing barangnya? Ayolah, moodku sedang tidak bagus.

Bruk!

"Ah..! Itte–"

Detik selanjutnya, Hayama dan Nebuya menghentikan kegiatan larinya. Dengan cepat, mereka berjongkok menghampiriku yang kini jatuh terduduk. Hayama memposisikan diri di samping bahuku. Ia tampak sangat khawatir, dibuktikan dengan kalimat menanyakan keadaanku yang ia lontarkan, bertubi-tubi tanpa jeda–berbuntut tohokan lemah sikuku tepat di perutnya. Sedangkan Nebuya berusaha membantuku menepuk-nepuk seragamku yang kotor terkena debu lantai–meskipun yang kurasakan hanyalah pukulan keras di sekujur tubuhku, lantas menarik tanganku untuk membantuku berdiri.

"Ah sakit.. Bokongku sakit.. Aku menabrak apa sih.." rintihku pelan seraya menepuk-nepuk bagian belakang rokku. Ada-ada saja. Aku harus cepat menemukan ponselku sebelum Sei-chan mencincangku, tapi malah dihambat kejadian menyebalkan seperti ini. Rasanya tadi aku tidak melihat apapun di depanku, lalu sebenarnya apa yang menghadang jalanku tadi?

Tiba-tiba saja, di depanku bangkit sesosok pemuda tinggi dengan ekspresi wajah stoic hampir mendekati ekspresi pembunuh berdarah dingin. Matanya menatap kosong ke mataku, membuatku seketika meneguk ludah. Mayuzumi Chihiro.

Gawat, sepertinya aku membuat teman sekelasku itu marah.

"M-M-Mayuzumi-san! Sumimasen, sumimasen! Aku tadi tidak melihatmu!" refleks aku membungkuk dalam-dalam ke arahnya mengharapkan sebuah pengampunan darinya. Kedua saksi mata tabrakan kami hanya bisa menggaruk-garuk tengkuk sambil menatap iba padaku. Ya, aku tahu. Mayuzumi tidak mungkin menanggapi permintaan maafku jika mengingat sikap acuhnya selama ini kepada orang lain. Tapi aku sungguh menyesal, tidak ada niatan lain dariku selain ingin menjaga perasaannya agar tidak membenciku.

Puk puk puk.

Seketika aku menegakkan kembali tubuhku ketika merasakan tepukan lembut di kepalaku berkali-kali. Di hadapanku, Mayuzumi tampak meletakkan sebelah tangannya di atas kepalaku. Tatapannya masih menghujam lekat mataku dan ia masih tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Seperti dugaanku sebelumnya, dia tidak menggubris permintaan maafku. Namun untuk apa tepukan di kepalaku ini? Oh, nampaknya di otakku sudah muncul pikiran yang tidak-tidak. Pipiku mulai memanas, entahlah, entah gara-gara malu diperlakukan seperti ini atau karena pikiran aneh yang tiba-tiba menyusup di otakku ini. Mungkin juga keduanya..?

"S-sumimasen.. Ada apa ya..?" tanyaku akhirnya, tergagap sambil menunjuk tangannya yang masih erat menempel pada pucuk kepalaku.

"Belakangmu.." ujarnya dingin sembari memutar tubuhku 180 derajat layaknya kepalaku ini bola basket, "Ada banci."

Cup.

Tubuhku sekejap menegang. Oh tidak. Benar kata Mayuzumi, ada pemuda heteroseksual di belakangku sejak tadi. Mibuchi Reo.

Parahnya, aku baru saja membiarkannya mengecup pipiku. Melumatnya penuh kasih, yang justru membuatku merinding ngeri. Aksi yang seharusnya tak dipertontonkan di depan Hayama, Nebuya, dan Mayuzumi yang detik ini memandangku kasihan–atau jijik?

"Kau memang manis seperti Sei-chan, senpai," bisiknya seduktif setelah melepas kecupannya, "Andai saja kalian berdua terlahir sebagai anakku.."

Mou, sudah cukup. Refleks kudorong kedua bahunya kasar dan langsung menghadiahinya death-glare. Tidak mempan, karena dia tetap memandangku teduh bak memandang seorang anak kecil yang sedang merajuk. Aku cukup tahu sifat lembut dan tipikal keibuan seorang Mibuchi Reo–yang kuakui tidak jarang membuatku betah berada di dekatnya. Namun jika ia bermaksud mengangkatku anak seperti yang dia katakan tadi, itu sudah keterlaluan. Mana mungkin ada anak yang umurnya lebih tua daripada orangtuanya? Lagipula aku tidak sudi!

"Lupakan keinginan konyol itu, Mibuchi-kun.." jeda sejenak karena kepalaku mendadak berdenyut, masih terlalu syok untuk menerima kenyataan pipiku yang telah ternodai ini. Aku kemudian memijat-mijat pelipisku sebelum akhirnya melirik kembali Mibuchi yang masih tersenyum hangat kepadaku. "Kenapa masih di sekolah?"

"Aku mau mengambil handuk yang tertinggal di gym," yang ditanya langsung menjawab cepat. Ia kemudian mengedarkan pandang, menatap satu per satu aku beserta rekan setimnya yang lain. "Kebetulan aku melihat kalian. Sekalian saja menyapa."

Ya, sapaan yang benar-benar ekstrim.

"Wah kebetulan sekali Reo-nee, aku juga mau ke gym! Gundamku tertinggal disana, uuuh.."

"Snackku juga sepertinya disana."

"Novelku."

Ara? Jadi mereka semua juga menuju gym? Oh pantas saja daritadi mereka mengikutiku. Tapi, tunggu sebentar.

Tanganku spontan terlipat di depan dada. Mengabsen keempat anggota first string andalan Rakuzan yang sedang berbincang ringan di hadapanku tersebut. Ini agak ganjil, mengingat mereka semua–entah kenapa termasuk diriku juga–kehilangan masing-masing benda di hari yang sama dan di tempat yang sama pula. Kira-kira apa maksudnya? Apa memang hanya sebuah kebetulan belaka? Atau ada unsur kesengajaan disini?

Ah, sepertinya aku terlalu banyak berburuk sangka hari ini. Ini memang hanya kebetulan, kok. Tidak mungkin ada yang bisa mengatur pemikiran dan tindakan manusia lain sesuai keinginannya selain Kami-sama.

"Akashi-senpai!"

Sontak aku menegakkan kepalaku ketika mendengar teriakan Hayama. Mereka semua–minus Mayuzumi–tampak menunjukan kekhawatirannya padaku. Ah, sudah berapa lama aku tenggelam dalam pikiranku sendiri disini? Wajar jika mereka berekspresi seperti itu. Buru-buru kulempar senyum selebar mungkin.

"Nande, Hayama-kun?"

"Kami semua akan ke gym sekarang. Senpai bagaimana? Sepertinya senpai kurang sehat ya," ujarnya seraya mendekatkan wajahnya padaku. Menangkupkan kedua tangannya di pipiku. Menempelkan keningku dengan keningnya. Menatapku intens dengan sepasang matanya yang bulat dan legam. "Apa perlu kutelpon adikmu untuk menjemput kesini?"

..Bocah satu ini lagi. Tidakkah dia belajar bersikap sopan kepada seorang senpai? Lihatlah apa efek yang disebabkan tindakannya padaku. Aku sekarang susah payah mengontrol air mukaku agar tetap terlihat normal. Rokku mungkin telah kusut parah terkena imbas pelampiasan rasa malu dan jengkelku karena kuremas kuat.

Tidak. Aku tidak boleh kehilangan kontrol di depan mereka. Mereka masih harus memandangku sebagai pribadi yang kalem dan ramah.

Ups. Aku sepertinya melupakan sesuatu yang penting.

"Daijoubu dayo. Aku juga sebenarnya ingin ke gym," hari ini, untuk kedua kalinya aku mendorong bahu kouhaiku, "sebenarnya ponselku tertinggal disana."

"Sou ka? Baiklah, kita akan secepat kilat menemukannya," sang gorila Rakuzan menyahutku. Kedua tangan kekarnya tanpa permisi menyelip ke bawah paha dan belakang punggungku, kemudian menariknya cepat. Membuatku otomatis terjatuh dalam gendongannya. Membawaku kembali berlari bersama teman-temannya yang sudah mendahuluinya. "Senpai butuh istirahat 'kan?"

..Sungguh. Anak zaman sekarang benar-benar tidak tahu malu.

.

.

Di gym.

"Hora! Aku sudah temukan gundamku!"

"Snackku *Kraus Kraus* sudah ketemu juga."

"Ih, handukku bau sekali.. Sampai rumah nanti harus kucuci bersih.."

"..Hm."

Aku hanya berdiri mematung di depan bench tempatku biasa duduk. Seingatku, disinilah biasanya aku meletakkan ponselku sebelum berlari menghampiri Sei-chan untuk memberinya bento atau minuman, atau sekadar memberinya pelukan hangat–berujung tolakan mentah-mentah darinya. Siang tadi pun sepertinya begitu. Tidak ada bedanya. Aku cukup yakin soal itu. Tapi, aneh. Sekarang dimana ponsel itu? Tidak mungkin kan benda mati bisa jalan sendiri?

Aku kembali melipat tangan di depan dada. Tak kuhiraukan racauan nyaring Hayama yang berkali-kali memanggilku untuk memamerkan gundamnya, suara berisik snack yang dikunyah Nebuya, serta gerutuan tertahan Mibuchi. Sepertinya disini hanya aku yang belum berhasil menemukan benda milikku.

Tanpa sadar aku menjambak rambutku sendiri. Ah! Sial! Aku sudah terlalu lama membuat Sei-chan menunggu!

Mayuzumi yang tampaknya memahami kebingunganku akhirnya berjalan mendekatiku, lalu berhenti tepat di sebelahku. Ia tidak berbicara apapun, seperti biasa. Hanya menatap lamat-lamat bench yang berada di hadapan kami. Sejenak aku menghentikan analisis kejadian sebelum ponselku hilang. Perasaanku saja atau apa? Pemuda di sebelahku ini memang tidak berbuat atau berbicara apapun, tapi entah kenapa, aku seperti merasakan dia hendak memberitahuku sesuatu. Dia seperti berbicara langsung ke hatiku, tetapi aku tidak bisa menangkap maksudnya.

"Doushite, senpai-tachi?" tiba-tiba Hayama telah berada diantara aku dan Mayuzumi, pura-pura meninju bahu kami. "Sepertinya butuh bantuan ya?"

"Ponselku tidak ada," jawabku cepat sembari melirik ke arah Mayuzumi di sampingku. Berharap ia mau sedikit mengeluarkan suara untuk membantuku.

Eh? L-lho? Kemana Mayuzumi..? Mattaku. Kemampuannya menghilang sekejap mata membuatku beranggapan selama ini bahwa dialah makhluk paling unik yang pernah diciptakan Kami-sama.

"Baca ini."

"Gyaaaaaaaa!" jeritku spontan ketika tiba-tiba suara Mayuzumi terdengar menggelegar. Ia telah kembali berada di sampingku. Jeritanku itu sukses menarik perhatian Hayama, Mibuchi, dan Nebuya, memancing mereka untuk berkumpul mengeliliku dan Mayuzumi.

Dan dengan wajah tanpa dosanya, Mayuzumi menyodorkan secarik kertas padaku yang masih berusaha mengatur ritme detak jantung. "Kutemukan di bawah bench."

Dengan cepat kurebut paksa kertas itu darinya sembari menggerutu pelan. Oke, mungkin sikapku ini akan memudarkan imej yang sudah susah payah kubangun di hadapan mereka berempat selama ini–seorang kakak dari Akashi Seijuurou yang lembut dan baik hati. Ah, persetan–untuk hari ini saja. Salahkan moodku yang tidak kunjung membaik ini. Ditambah, apa-apaan ini? Sebagai teman satu almamater yang baik, mereka seharusnya membantu mencarikan ponselku. Bukannya malah memberiku kertas yang tidak ada hubungannya dengan masalahku dan hanya mematung menungguku membacakan isinya!

"Senpai, cepat baca," ujar Mibuchi akhirnya. Mereka–minus Mayuzumi yang sepertinya sudah membaca isinya duluan–serentak berkumpul di belakangku. Bergelayut pada bahuku seraya sedikit mencondongkan kepalanya ke kertas yang kini berada di genggamanku.

Aku menarik napas panjang. Baiklah, aku menyerah. Sejenak aku melupakan masalah ponselku, menurut untuk membaca isi kertas tersebut. Kertas itu kemudian kubentangkan lebar agar mereka bertiga pun bisa leluasa membaca.

'Ponselmu ada padaku.'

Kalimat pertama membuatku seketika meneguk ludah. Reaksi ketiga kouhaiku pun tak jauh berbeda. Jadi, memang ada yang sengaja menyembunyikan ponselku?

'Seluruh isi ponselmu sudah kubongkar habis tak bersisa.'

Refleks kedua tanganku meremas ujung kertas tersebut. Kriminal sekali tindakannya itu!

'Pada awalnya, aku berniat mengembalikan ini langsung padamu, namun kuurungkan ketika aku menemukan satu file yang menarik disini.'

A-apa katanya..? Memangnya ada apa di ponselku? Sesaat aku mencoba mengingat-ingat sambil terus melanjutkan membaca.

'Jika kau tidak ingin file ini kusebarluaskan, lakukan apa yang akan kuperintahkan.'

Ayolah, file apa sih yang dimaksud? Aku sungguh tidak tahu di ponselku ada sesuatu yang memalukan atau apa, tidak mungkin ada! Aku tidak pernah menyimpan sesuatu yang aneh-aneh!

'Untuk membantumu melaksanakan perintahku, aku sengaja mengatur agar empat orang temanmu (yang kuyakin sekarang sedang membaca bersamamu) ikut terlibat juga.'

"Eh? Jadi kita sengaja dikumpulkan disini?" Mibuchi yang cepat tanggap spontan menyuarakan pikirannya.

Aku dan yang lain sejenak berpandang-pandangan, bingung. Tentu saja. Kami berkumpul disini jelas-jelas hanya karena sebuah kebetulan. Mana mungkin orang yang menulis ini bisa mengaturnya dengan cepat, mengingat ponselku baru saja hilang siang tadi.

'Aku akan terus mengawasimu. Dengan cara apapun, buatlah adikmu–'

Aku terdiam sebelum melanjutkan. Entah kenapa, membaca kata 'adik' membuatku ingat. Mungkinkah file yang dia maksud adalah yang itu..? Untuk kesekian kalinya aku meneguk ludah. Jika benar yang itu.. Tidak memalukan sih bagiku, tapi kan itu

'Dengan cara apapun, buatlah adikmu yang sombong itu….'

.

.

.


"Latihan hari ini cukup! Segera benahi diri kalian dan cepat enyah dari sini!" titah Sei-chan membuyarkan lamunanku pada kejadian kemarin. Aku melempar pandang ke arah anggota tim basket lain. Hayama, Nebuya, Mibuchi, dan Mayuzumi masih terengah-engah di tengah lapangan setelah menjalani latihan keras ala adikku itu.

Sei-chan tampak berjalan ke arahku. Sebelah tangannya terjulur menagih minuman dan bento yang kubawa. Dengan cepat aku pun berdiri dari dudukku, memberinya apa yang dia minta. Setelah memastikan Sei-chan sibuk menenggak minumannya, aku mencuri pandang ke tengah lapangan. Memberi kode pada keempat 'anak buahku'.

Saat itu, mereka dengan senang hati mengatakan bersedia membantuku mendapatkan kembali ponselku. Ya, dengan senang hati menuruti keinginan pelaku pencuri ponselku. Aku pun melakukannya dengan senang hati. Dan detik ini adalah awal dimulainya misi kami berlima.

Yosh. Sepertinya mereka berempat telah cukup mengumpulkan tenaga. Sekarang adalah giliranku.

Dengan langkah mantap, aku memposisikan diriku tepat di depan Sei-chan. Menatapnya antusias sehingga membuat Sei-chan menghentikan kegiatan minumnya, mengangkat sebelah alis heran.

"Etto.. Nee, Sei-chan.."

.

.

TBC

.

.


A/N : Saya bukan miniReeto. Rata-rata manggil dia Reeto ya? Baiklah, biar ga pusing, anggap saya megaReeto saja dan panggil seperti biasa. Pertama, tolong maafkan si mini yang lama ga muncul-muncul dikarenakan akhir-akhir ini kondisi kesehatannya sedang tidak memungkinkan buka fanfiction. Saya ngetik fic ini berdasarkan ide si mini (ditambah improvisasi sedikit), juga hasil niru gaya nulis dia, tehe~ Oh tenang saja, saya sudah dapat izin dari beliau buat make akunnya selama dia berhalangan, karena saya gapunya akun sendiri :D Dan mungkin fic ini bakal rada lama updatenya. Mohon dimaklumi ya..

Yosh, sudah bacotnya. Mungkin kalo liat fic sebelumnya, ada yang sudah tau apa rencana mereka?