Kuroko no Basket | Modern Day AU | Bahasa Indonesia | Main Pairing : AoKuro | Rated : M

!WARNING! : This piece of work will contain homosexuality, possibly writing errors, sexual activities, foul language and so on. Read on your own risk.

Kuroko no Basket adalah hak milik dari Fujimaki Tadatoshi. Penulis tidak mendapatkan keuntungan material dari fanfiksi berikut.


Prologue | The "Story"

Untuk pertama kalinya dalam dua puluh tujuh tahun hidupku, ada rasa nyaman yang menyelinap masuk ke dalam sanubariku ketika seseorang –yang sama sekali tidak memenuhi kriteria 'hening'– mengoceh tepat di hadapanku.

Suaranya kasar, keras, dengan nada yang unik dan tekanan di beberapa suku kata tiap kali ia berbicara. Terkadang jika tengah bersemangat, disertai dengan hentakan-hentakan mantap di sana-sini. Tiap kali ia bernyanyi, musik yang mengalun merdu dari sepasang bibir gelap menggoda selalu manjur untuk obat lelah tubuhku. Bisikan manisnya di samping telingaku, seolah ia adalah seorang pemain kecapi yang memetik dawai-dawai dalam lubuk hatiku. Panggilan sayangnya –"Tetsu"– sesuatu yang selalu terekam oleh otakku. Saat ia menyerukan nama kecilku itu –"Tetsu"– lidahnya bergerak di antara giginya –"Te-"– kemudian ditarik masuk dan menyentuh bagian bawah rongga mulutnya –"-tsu".

Aku menyukainya.

Sekalipun ia berisik, sangat berisik dan tidak bisa diam dalam banyak hal, Aomine Daiki memiliki suara magis yang dapat dikategorikan sebagai senjata paling berbahaya dalam sejarah kehidupan seorang Kuroko Tetsuya.

Kalimatnya biasa, sederhana, tidak ada yang istimewa. Oh tolong. Dari segala mahkluk yang hidup dan bernapas di seluruh galaksi, Aomine Daiki menduduki peringkat pertama dalam daftar orang blak-blakan paling tidak bisa baca situasi, daftar orang nyolot dan tidak sensitif, juga daftar lelaki paling tidak romantis. Ingatkan aku bagaimana aku bisa menerima lamarannya dua tahun yang lalu –"Tetsu, kawin yuk".

Ya, aku sendiri sering heran bagaimana penulis novel romansa sepertiku bisa tertarik pada pria berkulit cokelat matang yang tidak kenal situasi kondisi selain saat sedang bekerja dengan kertas dan pena di atas pianonya. Kemudian aku akan teringat pada bagaimana ia membawakan dulang kecil berisikan dua gelas cokelat hangat di malam ketika otakku bekerja keras menyusun serentetan kalimat puitis berbelit-belit yang tidak dapat dimengerti sekali baca semalam suntuk guna mengejar deadline yang sudah di depan mata.

Aomine-kun akan duduk di atas kasurku setelah meletakkan nampan di atas rak kecil samping tempat tidur. "Tidak lelah?" ia bertanya padaku, menyesap cokelat berkadar gula ekstra miliknya (Aomine-kun selalu suka yang manis-manis).

Jika aku menjawabnya, Aomine-kun akan menatapku dalam lurus di mata sambil tersenyum polos (seolah macan kumbang yang melahapku rakus malam sebelumnya bukanlah malaikat cokelat munafik ini). Kemudian dengan lancarnya Malaikat Manisku itu akan menuntunku ke ranjang, perlahan-lahan karena jika itu terjadi berarti mood-nya sedang baik. Entah dengan ciuman manis di pipi sebagai pengawal sesi, atau kecupan ringan di bibir.

Jika aku bersikap keras kepala dan tidak menjawab, Aomine-kun akan berjalan ke belakangku. Bisa saja mengisap cuping telinga, menggigit selangka, atau menjilati tengkukku karena "Hei, aku ini komposer nomor satu di seluruh penjuru negeri. Beraninya kau mengabaikanku". Setelah itu ia menarikku ke lantai dan mencumbu bibirku dengan napsu menggebu tetapi gerakan yang malas. Seringkali mengusapkan pipinya ke leherku, menjilat singkat di atas kulitku dan sebagainya. (Dan oh, betapa aku mengagumi kulit kami yang begitu kontras itu berpadu menjadi satu).

Tidak peduli apa yang kulakukan, aku akan kalah. Awalnya aku pikir hanya suara dewanya saja yang membuatku bertekuk lutut, tetapi tiap kali mengingat malam-malam itu, aku sadar; aku mencintai segalanya yang ada pada dirinya. Begitu cintanya hingga hanya ciuman selamat malam cukup untuk membawakanku tidur nyenyak meski hanya dua jam. Hingga hanya dengan bisikan cintanya yang manis mengalirkan racun panas hingga ke ulu hati. Hingga hanya dengan sentuhan kecil mampu mengobati lelah letihku yang duduk berjam-jam di bangku ruang kerja sambil menorehkan pena di atas kertas usang.

Malam ini aku berbaring telanjang di bawah selimut yang sama dengan kekasihku yang tertidur lelap. Wajah tidurnya yang kelihatan bodoh dengan mulut yang sedikit terbuka dan suara hembusan napas stabil seirama naik-turun dada menggodaku untuk menggigit hidungnya. Ia mengerang, alis saling menyatu, air muka terganggu. Tersenyum, aku mengambil buku kecil dan pensil mekanik dari dalam laci nightstand.

Beberapa kali sudah aku berpikir untuk menerbitkan novel baru karena belakangan aku hanya merilis tulisan-tulisan untuk komisi di koran, majalah, antologi, dan website saja. Bukan karena masalah dana. Aku hanya tidak dapat menghilangkan pemikiran ini dari benakku. Saat aku memejamkan mata di kala tidur siang singkat, aku dapat melihat bayangan masa lalu kami. Kemudian segalanya menjadi jelas berputar-putar di dalam kepalaku. Mulai dari saat kami pertama bertemu, hari-hari penuh dengan masalah yang membuat kami berpisah ke dua kutub berbeda, hingga kini kami kembali bersama dan hidup seolah dunia milik berdua.

Aku memutuskan untuk memamerkan pada dunia betapa cantiknya keajaiban cinta Aomine Daiki dan Kuroko Tetsuya.

To Be Continued