A/N: Fic pertama saya di fandom ini, salam kenal semuanya~ ^ ^/
Fic ini dibuat sebagai usaha saya untuk kembali ke dunia perfanfiksian, sekaligus menghilangkan WB. :3 #kretekinjari Oke, langsung saja, selamat membaca dan semoga menikmati~
first
one morning
Cahaya matahari merembes masuk, menembus tirai tipis yang menggantung di atas bingkai jendela. Kicauan burung membuka pagi, sementara angin mengantarkan wangi musim semi ke dalam ruangannya. Akashi Seijuurou membuka mata, dan hal pertama yang disadarinya adalah bahwa ia tidak ingat apa-apa.
Akasylum © Alitheia
Kuroko no Basket © Tadatoshi Fujimaki
.
Saya tidak mengambil keuntungan apa pun dari menulis fanfiksi ini.
.
AU. Possibly OOC. Mad!Characters. Absurd. Banyak dialog.
Di sini Akashi memanggil GoM dan Kuroko dengan nama depan mereka dalam narasinya, lol. Dan ya, saya tahu judulnya alay.
Manik delima dan emasnya menyapu langit-langit yang tidak dikenalnya, tubuhnya terbungkus pakaian yang bukan miliknya, dan ia berbaring di atas ranjang yang asing baginya. Hanya butuh sekali lihat untuk tahu bahwa ia tidak sedang berada di rumahnya; Akashi bahkan tidak yakin kalau ia masih berada di Kyoto. Tangannya bergerak ke kepala, berusaha mengusir nyeri yang berdenyut pelan di pelipisnya tapi sia-sia.
Di mana, kapan, dan bagaimana? Tiga pertanyaan muncul di dalam kepalanya secara bersamaan, dan saat tak ada satu pun yang bisa ia jawab, sebuah pemahaman langsung memasuki kepalanya; ia kehilangan ingatannya.
Tapi di antara pertanyaan-pertanyaan itu, tidak ada siapa, yang artinya ia masih ingat identitasnya.
Aku Akashi Seijuurou, Akashi meletakkan tangannya di dada, seakan-akan menegaskan siapa dirinya pada langit-langit yang kosong. Aku tidak ingat apa yang terjadi.
Reaksi yang normal mungkin panik, tapi Akashi tidak mau melakukan itu, dan sebagai gantinya ia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya. Perlahan, ia berusaha menggali memori itu dari kepalanya. Ingatan terakhir yang bisa diraihnya adalah ia sedang dalam perjalanan kereta menuju ke suatu tempat—mungkin Tokyo—tapi untuk apa, ia tidak ingat.
Lalu layaknya ada sebuah lubang hitam yang menelan segalanya, ingatannya setelah itu hanya berupa kehampaan; semua gambar, warna, dan suara seakan tersedot keluar dari kepalanya, meninggalkan suatu sudut di otaknya kosong dan gelap. Tidak terjamah, tidak terlihat.
Akashi tidak bergerak di tempatnya. Jadi… ingatannya hilang? Ia terdiam, lama. Apa yang akan dilakukannya sekarang?
Ia sedang menatap ke atas sambil masih menimbang-nimbang ketika pintu mendadak terbuka. Akashi menelengkan kepalanya ke samping dan mendapati Kuroko Tetsuya melangkah masuk ke ruangan dengan sebuah nampan di kedua tangannya.
Tunggu, Tetsuya?
Figur yang tidak terlalu tinggi, rambut sewarna langit, mata yang besar dengan ekspresi tak terbaca, kulit pucat. Akashi mengenal benar sosok itu; ia hapal cara berjalannya yang tidak menimbulkan suara, ia hapal gerakannya yang seperti bayangan. Akashi tidak mungkin salah—ia tidak pernah salah—itu memang benar-benar Tetsuya—teman satu klub basket di SMP-nya dulu—Tetsuya yang itu.
Apa yang dilakukannya di sini?
"Tetsuya," panggil Akashi, suaranya sedikit serak. Ia bangkit dari posisi berbaringnya, bahkan saat duduk pun, ranjang itu tetap terasa keras, asing, dan tidak nyaman. Ruangan itu minim perabotan, dengan dinding putih dan lantai ubin yang juga putih, membuat Tetsuya yang mengenakan pakaian biru pastel hampir menyaru dengan sekitarnya.
"Selamat pagi, Akashi-kun," Tetsuya meletakkan nampannya di meja samping ranjang. Ada dua mangkuk, sebuah piring, dan sebuah gelas di sana. Salah satu mangkuk berisi sup miso, yang lainnya entah apa—Akashi hanya memerhatikan tofu yang mengambang dalam kuah sup—tapi ia tebak itu adalah sarapannya.
Akashi kemudian memandangi Tetsuya lekat-lekat, menyerap setiap detail selagi pemuda itu menolehkan kepala ke arahnya. "Bagaimana keadaanmu, Akashi-kun? Sudah merasa baikan?"
Sejujurnya, Akashi tidak bisa menjawab itu karena ia bahkan tidak bisa mengingat kondisinya sebelum ini. "Apa yang kau lakukan di sini, Tetsuya?"
Alis Tetsuya sedikit terangkat ketika ia menjawab, "Aku bekerja di sini."
"Maksudmu aku tadi tertidur di taman kanak-kanak?"
Sekarang alis Tetsuya mengerut. "Ini bukan taman kanak-kanak. Aku perawat di sini."
Perawat? Sejak kapan Tetsuya menjadi perawat? Terakhir kali Akashi mengecek, Tetsuya masih menjadi seorang guru taman kanak-kanak. Ia tidak mungkin keliru—orang lain bisa salah, ia tidak. Akashi menatap Tetsuya dari atas kepala sampai ujung kaki, memang, seragam birunya itu tidak terlihat seperti pakaian yang akan dikenakan seorang guru. Mungkinkah Tetsuya mendadak berganti pekerjaan setelah ia terakhir kali berkunjung? Bisa saja, meski Akashi tidak ingat kalau Tetsuya punya latar belakang pendidikan yang memenuhi kualifikasi sebagai perawat.
Atau mungkin Tetsuya memang punya, dan Akashi sudah tahu kalau ia berganti pekerjaan, hanya saja, ingatan itu berada di bagian memorinya yang hilang. Baiklah, mungkin itu yang sebenarnya terjadi. Sejauh ini, ia yakin itu adalah kemungkinan yang paling masuk akal. Akashi tidak pernah salah.
Akashi beranjak turun dari ranjang, lantai terasa dingin di bawah kakinya. Ia berjalan ke jendela dan menyibakkan tirai, langsung berhadapan dengan halaman luas yang tidak dikenalnya. Dari jarak dirinya dengan tanah, ia tahu sedang berada di lantai dua. "Di mana ini?"
"Tokyo." Tetsuya menjawab. "Akashi-kun tidak ingat apa pun?"
Berarti benar, perjalanan kereta yang terakhir diingatnya memang menuju ke Tokyo. "Hanya sampai perjalananku ke kota ini. Sisanya aku tidak ingat."
"Sepertinya Akashi-kun kehilangan ingatan, ya," ujar Tetsuya, nadanya tidak seperti bertanya, melainkan menyatakan sesuatu yang telah jelas. "Baiklah, Akashi-kun banyak-banyaklah beristirahat. Aku yakin nanti ingatanmu akan kembali dengan sendirinya."
Masih di depan jendela, pemuda berambut merah itu menelusuri setiap jengkal taman. Ia bisa menangkap hijau segar rerumputan, warna-warni bunga—banyak sekali bunga-bunga—dan jalan-jalan setapak yang dihiasi kerikil, membentang luas di seluruh halaman, dan tunggu, apa benda putih panjang yang ada di ujung itu—apa itu tembok?
Ada sesuatu yang janggal menggelitik dasar perutnya sehingga Akashi berbalik begitu mendadak. "Tempat apa ini?"
"Rumah sakit jiwa."
Jawaban Tetsuya membuat rasa yang menggelitik di perutnya itu berubah menjadi bongkahan es. Pertama, ada Akashi yang lain berbagi tubuh dengannya; hari ini, ia masuk rumah sakit jiwa; lalu besok apa? Mungkin ia akan jadi benar-benar sinting dan membunuh seseorang.
Matanya melebar. "Aku harap kau tidak sedang bercanda, Tetsuya."
"Aku tidak akan bercanda, Akashi-kun."
"Kenapa aku berada di sini?"
"Akashi-kun telah membunuh seseorang."
Lihat, kan? Akashi tahu dirinya tidak pernah salah.
Bongkahan es itu meleleh dan dinginnya menjalar ke seluruh tubuh Akashi. Bukannya ia tidak menyangka dirinya mampu membunuh seseorang, hanya saja, ia heran ada yang cukup berani untuk kurang ajar sehingga ia sampai membunuhnya.
"Bagaimana kejadiannya?"
"Akashi-kun menusuknya dengan gunting."
Gunting, kah? Akashi tidak terkejut. "Kalau begitu, bukankah seharusnya aku berada di penjara sekarang?"
"Tadinya, tapi Aomine-kun yang menemukanmu ketika ia sedang bertugas, dan dia bilang Akashi-kun kacau, jadi mereka membawamu ke sini."
Daiki, huh? Ia tidak pernah memikirkan keuntungan yang bisa didapatkannya dari mempunyai kenalan seorang polisi, tapi Daiki mungkin "melindunginya"; Akashi tahu ia punya kesempatan yang lebih besar di rumah sakit jiwa dibanding dalam penjara jika dirinya terbukti membunuh. Omong-omong, ternyata si bodoh pemalas itu ada gunanya juga, Akashi membuat catatan mental untuk menemui Daiki secara pribadi nanti.
"Oh?" ujar Akashi. Ia membiarkan dirinya tetap tenang meski suara lain di dalam kepalanya memukul-mukul, Kaupembunuhkaupembunuhkaupembunuh—"Lalu kau tidak takut hanya berdua di ruangan tertutup seperti ini bersama seorang pembunuh, Tetsuya?"
Wajah itu masih menatapnya dengan ekspresi datar yang sama. Tetsuya tidak banyak berubah, dan Akashi suka itu. "Tidak," kata pemuda itu mantap, "karena aku percaya bukan Akashi-kun yang melakukannya."
Ia suka Tetsuya tidak menganggapnya sebagai pembunuh, ia suka Tetsuya membelanya. Tapi Akashi merasa ada sesuatu yang janggal. "Mungkin bukan aku yang melakukannya, atau bisa saja memang aku pembunuhnya. Kau pasti tidak ada di sana saat kejadiannya, kan? Bagaimana kau bisa memastikan siapa yang membunuh?"
"Ya," Tetsuya menatap Akashi dengan matanya yang besar, biru, dan penuh determinasi, "mungkin saja, tapi aku percaya bukan Akashi-kun yang melakukannya. Aku tetap dan mau percaya."
Akashi sedang menghirup kuah terakhir di sup misonya saat seorang lain melangkah masuk ke dalam ruangannya, lagi-lagi tanpa mengetuk pintu. Ia meletakkan mangkuknya dan beralih untuk melihat siapa yang datang.
Hijau dan kacamata, Akashi mengira ia hampir melihat seragam oranye Shuutoku yang menggelikan itu saat matanya memindai ke bawah, tapi sekarang yang didapatinya hanyalah jas putih. Satu lagi orang yang berpakaian seperti warna dinding, tapi ia tidak samar seperti Tetsuya. Lagi pula, tidak akan ada yang bisa menganggap lelaki dengan tinggi hampir dua meter samar.
"Shintarou," nama itu masih terasa akrab di lidahnya, seakan-akan mereka baru saja bertemu kemarin. Midorima Shintarou, shooting guard mereka di klub basket dulu, temannya yang paling akrab di SMP Teikou. Ia tahu Shintarou menjadi seorang dokter, biarpun ia tidak mengetahui detail tempatnya bekerja. Jadi sekarang ia dokter untuk para orang gila? Akashi merasa geli sendiri. Kalau Shintarou masih percaya ramalan dan membawa benda keberuntungannya ke mana-mana, seharusnya ia yang menjadi pasien di sana.
"Akashi," Shintarou menarik kursi ke arah Akashi yang sedang duduk di dekat meja, "sejak dulu aku selalu menganggap kepribadianmu itu bermasalah, tapi tidak sekali pun aku pernah membayangkan kalau kau akan berakhir di sini."
Akashi tersenyum. "Itu bukan jenis kalimat pembuka yang baik, Shintarou. Setidaknya berikan aku sapaan selamat pagi yang baik terlebih dahulu sebelum bicara. Sudah berapa lama sejak reuni terakhir kita?"
"Selamat pagi," Shintarou berkata dengan jengkel, "enam bulan."
"Sudah selama itu kah?" ujar Akashi. Ia memerhatikan Shintarou, lelaki itu juga tidak banyak berubah. Rambutnya masih menyangi hijau musim semi, matanya tetap dibingkai kacamata, dan ujung-ujung bibirnya selalu melengkung ke bawah. Ia mengenakan kemaja dengan dasi yang ujungnya menghilang ke balik jas putihnya. Jari-jari di tangan kirinya masih diperban. Akashi memandanginya saat ia mengeluarkan sebatang pulpen dan memangku papan jepitnya. Shintarou memiliki aura dan citra seorang dokter, meski akan lebih sempurna jika ada stetoskop yang menggantung di pundaknya. Tapi kemudian Akashi ingat kalau mereka sedang berada di rumah sakit jiwa, dan Shintarou adalah dokter untuk orang gila, jadi mungkin lebih aman baginya untuk membawa suntikan berisi obat bius dibanding stetoskop.
"Umurmu akan pendek kalau merengut terus, Shintarou." Akashi bersandar di kursinya. "Santailah sedikit."
"Bagaimana aku bisa bersantai kalau orang-orang yang kutemui di sekolah dulu sekarang berkumpul di sini?" Suaranya bernada marah. "Pertama Kise, sekarang kau, nanti siapa lagi? Mungkin aku akan menemukan Aomine berteriak-teriak frustrasi di gerbang depan karena menjadi polisi membuatnya tak sempat membaca majalah porno."
"Ryouta ada di sini?"
"Ya. Dia masuk beberapa minggu yang lalu—jangan tersenyum, Akashi, ini tidak lucu. Dan kau seharusnya sudah tahu soal Kise." Shintarou membetulkan letak kacamatanya. "Kukira pekerjaan ini akan menjauhkanku dari kalian, tapi nyatanya aku hanya menemukan orang-orang yang sama. Harusnya plang yang ada di depan itu bukan bertuliskan 'rumah sakit jiwa', tapi 'balai reuni'."
Akashi tidak bisa menghapus senyumnya, malah ia bisa merasakan bibirnya tertarik semakin lebar. Ia tahu Shintarou bukannya benci bertemu mereka, melainkan benci bertemu mereka sebagai pasiennya. Shintarou tidak mau teman-temannya menjadi orang gila, ia peduli pada mereka, ia mengkhawatirkan mereka; tapi ia hanya tidak mau mengatakannya secara langsung. Apa sebutannya? Tsundere, ya?
Akashi ingin mengikuti permainan ini sebentar. "Apa kau tahu kenapa aku bisa berada di sini?"
"Jangan meledekku. Kau membunuh seseorang dengan gunting." Shintarou membalik kertas-kertas yang dijepit di papannya. "Tugasku sekarang adalah memeriksamu. Bagaimana keadaanmu pagi ini?"
Akashi sedikit tergoda untuk tahu siapa yang dibunuhnya, tapi entah kenapa ia merasa bahwa sekarang bukanlah saat yang tepat untuk bertanya. "Aku tidak ingat apa-apa."
Akashi memerhatikan saat mata hijau itu melebar dan naik, beradu pandang dengannya. "Kau serius?"
"Aku tidak sedang bercanda."
"Berarti kau tidak ingat soal Kise?" Shintarou menanyakan sesuatu yang sudah teramat jelas. "Aku yang mengabarkanmu soal Kise lewat telepon, tapi kau sedang tidak bisa datang waktu itu, kau juga tidak ingat?"
"Tidak ingat. Ingatan terakhirku adalah perjalanan keretaku ke sini."
"Jadi kau tidak ingat sudah berapa hari kau berada di sini?"
"Tidak."
"Lalu tentang pembunuhan itu?"
"Aku sama sekali tidak ingat apa yang terjadi, Shintarou."
"Termasuk kejadian pembunuhannya, ya," dokter muda itu bergumam sambil mencatat, "apa lagi yang kau rasakan?"
"Tofu di supku kurang banyak."
"Sampaikan komplain yang itu ke bagian dapur." Shintarou menyesuaikan letak kacamatanya sekali lagi. "Ada lagi yang kau rasakan? Sakit kepala, mual?"
"Sedikit sakit kepala saat aku terbangun, tapi sudah hilang sekarang."
"Baiklah." Suara goresan terdengar saat si dokter mencatat lagi. "Itu saja?"
"Itu saja."
"Kalau begitu, selesai untuk pagi ini."
"Kau tidak akan memeriksa mata atau tenggorokanku dengan senter atau yang semacamnya?"
"Kau kelihatannya baik-baik saja, jadi aku akan memberi pengecualian." Shintarou merapikan kertas-kertasnya.
"Itu penyalahan prosedur."
"Kau tidak benar-benar sakit, Akashi."
Seringai muncul di bibir si pemuda berambut merah.
Sebelum Shintarou sempat berdiri, Akashi meletakkan sebelah tangan di lututnya. "Apa yang akan terjadi setelah ini?"
Mata Shintarou menyipit. Akashi tidak tahan untuk tidak menatap langsung ke bulu mata bawahnya yang lentik, terkadang ia ingin mencoba mencabutnya, atau mungkin mengguntingnya sedikit; bulu mata seperti itu terlalu cantik untuk seorang laki-laki. "Perkembangan keadaanmu akan terus dipantau, kemungkinan besar hingga ingatanmu kembali," kata Shintarou, "setelah itu, kasusmu akan diproses."
Akashi menatap Shintarou dengan tajam, membuatnya berjengit mundur ke sandaran kursinya.
"Aku mau keluar dari sini."
Shintarou berdiri. "Sekali ini, aku tidak bisa menuruti permintaanmu."
"Aku tidak sedang meminta."
"Lalu apa, memerintah? Kata-katamu tidak absolut lagi di sini."
"Shintarou."
Dokter itu mendekatkan badannya sedikit saat ia melanjutkan dengan suara rendah. "Dengar, aku tahu kau tidak benar-benar gila, Akashi. Dan aku tidak tahu apakah kau sungguh-sungguh kehilangan ingatanmu, tapi aku akan bersikap seolah-seolah aku percaya. Kalau kau mau lolos dari masalah ini, aku sarankan kau mainkan peran orang gilanya dulu sebentar."
Tetsuya, Daiki, Shintarou; mereka semua masih setia padanya. Akashi menambahkan nama Shintarou dalam daftar orang-orang yang akan ia ajak bicara pribadi nanti.
Akashi kembali bersandar, lalu menyilangkan kakinya. "Baiklah, aku akan berada di sini sebentar."
"Bagus, setelah ingatanmu kembali, akan kukeluarkan kau dari sini," Shintarou menyelipkan pulpennya ke saku jas, "setiap hari melihat wajah-wajah kalian lagi membuatku muak."
Akashi tahu Shintarou hanya tidak ingin mendapati teman-temannya berada di rumah sakit jiwa, dan itu membuatnya tersenyum. "Dan setelah itu kau bisa bersantai?"
Dokter berambut hijau itu berbalik. "Tidak, masih ada Kise dan yang lainnya. Masih banyak pengganggu yang harus kuusir dari sini."
Terkadang Akashi begitu ingin memerintahkannya untuk berkata jujur saja, tapi kemudian ia mengurungkan niatnya lagi karena merasa tidak bisa berterus terang telah menjadi salah satu "daya tarik" Shintarou. Biarpun ia sangat payah dalam mengekspresikan dirinya sendiri, setiap orang tetap punya caranya masing-masing, kan?
Akashi mengamati punggung yang lebar dan tinggi itu berjalan ke arah pintu. Sudah ditentukan sekarang, ia akan tinggal di sini sebentar untuk memainkan perang orang gilanya, sambil mencoba mendapatkan ingatannya kembali dan melihat perkembangan, sebelum akhirnya mengambil langkah yang berikutnya. Meskipun begitu, ada satu hal yang masih menganggunya.
Akashi bertanya tepat saat Shintarou memutar gagang pintu, "Shintarou, kenapa celanamu ungu dan polkadot?"
Ia telah menahan dirinya untuk bertanya sejak awal Shintarou masuk tadi. Celana itu bahkan lebih menggelikan lagi dari seragam oranye Shuutoku yang membuat Shintarou terlihat seperti wortel dengan rambut hijaunya; Akashi sangat ingin melubanginya dengan pandangan mata—atau dengan guntingnya.
Shintarou menoleh ke belakang sekilas saat menjawab, "Ini, tentu saja, adalah lucky item hari ini."
Kemudian ia menutup pintu di belakangnya.