A/N: Entah setan apa yang merasuki Ito sampai nekat publish cerita biasa ini. Oke, ini fanfiksi. Jadi Ito bebas membuatnya jadi begini atau begitu(maksudnya?).

It's my first NaruIno fic. Aku bahagia karena akhirnya bisa mem-publish cerita ringan. Semoga kalian tak kecewa.

Happy reading minna:)

.

My Princess Serenity

By: Itou kyuu-chan

Naruto

By: Masashi Kishimoto-sensei

Warning: Bad story, maybe typo(s), ooc, etc.

Pairing: Namikaze Naruto & Yamanaka Ino

Genre: Romance, Humor, dll.

Rated: T

.

.

.

Sore itu, hari benar-benar dingin, salju tak henti-hentinya berjatuhan. Ino harus merutuki dirinya sekali lagi karena telah menerima ajakan mantan pacarnya untuk bertemu di taman saat kondisinya sedang tidak baik. Ya, ia sedang flu. Kalau dipikir-pikir, ia benar-benar bodoh, Sai hanyalah mantan pacarnya dan ia merelakan dirinya yang sedang flu hanya untuk bertemu dengan pemuda itu? Yang benar saja, Yamanaka Ino?! Kau tidak berharap bahwa kalian masih mempunyai kesempatan, bukan?

Ino melirik arlojinya. Jam 5 lewat. Ia sungguh merasa bodoh. Sudah satu jam ia menunggu pria bodoh itu. Ia berdiri dari kursi kayu di sana, dan beranjak untuk pergi namun, ia merasa kebodohannya semakin menjadi-jadi saat seseorang menabraknya—ditabraknya, mungkin—dan membuatnya ketumpahan kopi panas. Ia sedikit bersyukur karena cuaca benar-benar dingin sehingga ia hanya merasakan hangat saat kopi itu mengenai sebagian kecil tangannya.

"Maaf.." Jawab Ino. Suaranya cukup serak, hingga mungkin pemuda di depannya ini tak mendengarnya.

"Kau bilang apa?" Tanya pemuda itu sambil mendekatkan dirinya pada Ino. Ino menurunkan syal-nya—yang tadinya menutupi sebagian wajahnya—dan berkata dengan suara yang lebih keras. "Maaf... Aku tidak sengaja."

Pemuda itu mengangguk-angguk, ia menatap kopinya yang tumpah— tak tersisa sedikitpun—,kemudian menatap bagian baju Ino yang terkena tumpahan kopi-nya.

"Aku yang harus meminta maaf... Aku membuat baju-mu basah..."

Ino tersenyum kecil. "Tidak apa. Hanya basah sedikit. Justru aku yang meminta maaf, kau baru membeli kopi-nya, ya? Biar aku ganti..."

"Tidak perlu!" Pemuda berambut pirang itu menjawab cepat. Ia menggeleng kemudian tersenyum manis, "... Kita sama-sama salah, benar? Bagaimana kalau duduk bersama dan minum kopi?"

Ino terdiam. Menatap wajah pemuda di depannya dengan tatapan tak yakin. Wajah pemuda ini memang terlihat seperti pemuda baik-baik, dan Ino yakin bahwa ia tak melihat sedikitpun alasan tersembunyi di balik wajah manis itu. Tapi... Itu mungkin cukup aneh, karena mereka baru saja mengenal. Atau mungkin... Pemuda itu memang selalu bersikap ramah pada semua orang?

"Hm?" Pemuda itu kembali bertanya tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Ino berusaha untuk tersenyum, ia bisa merasakan sendiri hembusan napasnya yang panas. Oh... Ia baru ingat bahwa ia sedang sakit.

"Maaf tapi aku—"

"Kau sakit?" Pemuda itu memotong ucapan Ino dan seenaknya menyentuh kening gadis pirang itu. Ino bisa merasakan tangan dingin pemuda itu menyentuh kulitnya. Terasa dingin, tapi ia yakin tangan pria itu sebenarnya sangat hangat.

"Um... Maaf aku tidak tahu. Bagaimana kalau aku mengantarmu ke rumah. Kebetulan orang yang kutunggu belum datang."

"Tidak usah. Aku bisa sen—"

"Akan aku antar..." Lagi. Pemuda berambut pirang itu memotong ucapannya dan seenaknya—lagi—menarik lengannya. Membawanya masuk ke sebuah porsche targa merah yang sebagian atapnya hampir tertutup salju.

Oke. Mungkin karena ia sedang sakit, ia membiarkan pemuda tampan tak dikenal ini membawanya masuk ke sebuah mobil yang juga tak di kenal—tentu saja. Mungkin saja, teman pemuda asing ini telah menunggu di dalam mobil dan bersiap untuk membekapnya kemudian menculik dan meminta uang tebusan pada ayahnya, itu mungkin saja terjadi, kan? Tapi Ino sangat bersyukur karena dugaan-dugaan itu tak terjadi. Tidak ada satupun orang yang berada di mobil, selain ia dan pria itu.

"Rumahmu mana?" Pemuda itu mulai menyetir mobilnya. Ino menjawabnya dengan suara yang lebih pelan. "Kau tahu route 23? Lurus terus, dan kemudian kau akan menemukan sebuah toko bunga."

"Astaga! Suaramu serak sekali... Maaf, aku tak akan bertanya lagi."

Belum semenit semenjak pemuda yang tidak ia ketahui namanya itu, berkata bahwa ia tidak akan bertanya lagi, pemuda itu sudah membuka suaranya untuk kembali bertanya. "Ngomong-ngomong, aku Namikaze Naruto. Kau?"

"Ino. Yamanaka Ino." Pemuda yang sekarang Ino ketahui bernama Naruto itu, menepuk keningnya sendiri. "Maaf... Aku lupa kau sedang serak!"

"Tak apa..."

Terjadi keheningan beberapa saat, sebelum kemudian Naruto berkata. "Kau cukup mengangguk saat aku bertanya, oke?"

Ino mengangguk.

"Lurus saja?"

Ino mengangguk lagi. Naruto tersenyum. Ia kembali fokus ke jalanan yang cukup sempit itu, sambil terus mengarahkan matanya ke kanan-kiri untuk mencari toko bunga yang Ino maksud.

"Rumahmu toko bunga?"

Ino mengangguk. Naruto tersenyum canggung, ia bukan tipe pemuda yang menyukai keheningan. Ia lebih suka berbicara dengan orang yang cerewet daripada orang pendiam—kecuali Sasuke. Tapi mau bagaimana lagi, gadis di sampingnya ini kehilangan suaranya, dan ia tak punya pilihan lain selain berceloteh tanpa ada respon.

"Berhenti..." Tiba-tiba Ino berkata pelan dengan nada bergetar. Naruto sontak menghentikan mobilnya dan menatap Ino. "Ada apa? Aku belum melihat toko bunga satupun."

Ino tak menjawab. Melainkan menatap ke arah depan terus-menerus. Naruto mengikuti pandangan Ino, dan melihat sepasang kekasih tengah duduk, sambil tertawa bahagia. Dan yang membuatnya terkejut adalah...

Salah seorang itu adalah Sakura. Gadis yang ia sukai sejak SMP.

"Sai..." Ino bergumam pelan. Naruto tentu saja dapat mendengarnya. Ia menoleh dan mendapati Ino hampir meneteskan air matanya.

"Aku menunggunya selama se-jam, dan ternyata ia sedang asyik berpacaran?"

Naruto terdiam. Bukan niatnya untuk mencampuri urusan orang lain, tapi mungkin karena ia tidak suka karena melihat Sakura bersama pria lain, karena itu ia keluar dari mobil dan mendatangi kedua orang itu dengan alasan yang jelas-jelas tak ada sangkut pautnya dengan dirinya.

"Ino sudah menunggumu selama satu jam. Dan ternyata kau malas berpacaran dengan dia?" Tanya Naruto kesal, sambil menunjuk Sakura. Sai menaikkan sebelah alisnya, sedangkan Sakura menatap heran Naruto.

"Kau... Siapa?" Ucapan Sai membuat Naruto terdiam seribu kata. Ia merutuki dirinya dalam hati karena telah berbuat ceroboh.

"U-um... Sai?" Dari belakang Naruto, Ino muncul. Ia telah memakai kembali syal yang sempat ia lepas saat berada di dalam mobil Naruto. Tangannya bergerak.

"Ino?" Sai gelagapan. Ia berdiri dan menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Maaf, kupikir kau tidak akan datang, kau tidak membalas pesanku, jadi—"

"Kau berpacaran dengannya?" Naruto memotong ucapan Sai dan menunjuk Sakura lagi.

"Aku punya nama, Naruto." Sakura berkata sinis. Tentu saja, Naruto yang sudah terbakar emosi hanya menatap Sakura seolah ia tak mengenalnya.

"Oke, cukup! Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi disini. Siapa kau? Dan... Sakura-chan mengenalmu?"

S-Sakura-chan...?

Oh... Mendengarnya, membuat Naruto nekat berkata.

"Aku pacar Ino. Dan kau telah membuat kesalahan karena membiarkan dirinya menunggu pria bodoh yang lupa dengannya, saat sedang sakit. Dan Sakura? Kupikir dia adalah temanku... Sebelum ia membuatmu melupakan Ino."

Ino mengerutkan keningnya. Sakura menatap Naruto tak percaya. Dan Sai menatapnya heran.

"Kau... Pacar Ino?"

"Bu—"

"Ya. Kami sepasang kekasih." Naruto menyela Ino. Membuat gadis itu menatapnya tajam.

"Jadi... Kau sudah mempunyai pacar, Naruto?" Sakura tak dapat menyembunyikan nada kecewa itu, tapi sepertinya Naruto tak cukup peka untuk menyadarinya.

"Hm... Aku dan my princess serenity, langsung saling menyukai saat pandangan pertama, kami saling mencintai."

My princess serenity?

Pandangan pertama?

Saling mencintai?

Astaga, Naruto benar-benar gila. Baiklah, Ini harus segera dihentikan, sebelum semuanya bertambah kacau.

"Naruto.."

Sebelum Ino dapat menyelesaikan ucapannya, gadis berambut merah muda yang ia ketahui bernama Sakura itu, berlari sambil menangis. Sai yang melihatnya, hanya meminta maaf dan mengejar gadis pinky itu.

Naruto terdiam. Ino dapat menarik sebuah kesimpulan, bahwa pemuda beriris indah itu bukan orang yang peka dalam menyadari perasaan wanita. Jelas sekali bahwa Sakura menyukainya. Tapi ia sama sekali tak berniat bertanya tentang itu dan malah bertanya hal yang membuat Naruto memerah.

"Apa maksudmu dengan 'My princess serenity'?"

Ino dapat melihat Naruto kesulitan menjawab, karena itu ia memutuskan untuk membuka suaranya lagi, dan tentunya ia hanya menambah rasa malu Naruto. "Suka pada pandangan pertama? Saling mencintai? Yang benar saja! Kita bahkan belum mengenal satu sama lain lebih dari se-jam."

"I-itu..."

"Kau menyukai gadis bernama Sakura itu?"

"A-a.."

"Aku benar—" ucapan Ino terhenti. Kali ini bukan karena Naruto memotongnya, tapi karena suaranya sekarang habis. Ia mencoba untuk melanjutkan, tapi tenggorokannya terasa sakit. Jadi ia memilih diam.

Ia tidak menyangka,

Naruto tertawa...?

"Haha! Aku sudah bilang, jangan bicara.. Ayo aku antar pulang." Naruto menggenggam tangan Ino dan menuntunnya menuju mobil.

Wajah Ino memanas. Senyuman Naruto benar-benar manis. Dan lagi... Sekarang dugaannya terbukti benar, bahwa... Tangan itu amat sangat hangat.

.

.

.

Mobil porsche targa merah Naruto memasuki pekarangan rumah Ino yang tak bisa dibilang kecil. Well, ternyata rumah Ino berada tepat di sebelah toko bunga-nya. Dan ia merasa bodoh, karena barusan ia bertanya apakah toko bunga ini adalah rumahnya.

"Itu mobil ayahku..." Gumam Naruto saat ia melihat sebuah sedan hitam telah terparkir dengan mulusnya di tempat parkir.

"Ayahmu mengenal ayahku?" Ino bersyukur ke-sekian kalinya karena suaranya kembali, yah... Walaupun tak akan bertahan lama.

"Aku juga ingin tahu." Naruto memarkirkan mobilnya tepat di samping mobil ayahnya. Keduanya turun.

Naruto menatap lekat mobil sedan hitam itu, dan melihat plat-nya. Meskipun ia sudah mengucek-ngucek matanya berkali-kali, hasilnya tetap sama... Itu mobil ayahnya.

"Masuk saja, mungkin itu memang mobil ayahmu." Usul Ino. Naruto mengangguk, kemudian ia mengekor di belakang Ino. Ternyata benar, ayahnya memang sedang berada disana sekarang.

"Oh... Ino? Kau dari mana? Kau keluar saat sedang sakit bersama..."

"Putraku." Minato meneruskan kalimat Inoichi. Kening Inoichi mengerut, tapi kemudian sebuah senyum terukir di bibirnya. "Oh... Jadi ini yang namanya Naruto?" Kepala keluarga Yamanaka itu berjalan mendekati Naruto dan menepuk pundaknya, melupakan putrinya begitu saja. "Kau sudah sebesar ini? Wajahmu semakin tampan saja..."

"A-ahahaha..." Naruto tertawa garing sambil menatap ayahnya dengan penuh tanda tanya. Minato mengangkat bahu dan menunjuk ke arah belakang. Dan tak lama kemudian, seorang wanita berambut merah datang membawa nampan berisikan minuman-minuman hangat.

"Naru-chan... Kau ada di sini? Ibu pikir kau sedang mengajak berkencan Sa—hah...?!" Kushina. Wanita cantik yang merupakan ibu dari Naruto, hampir menumpahkan semua minuman itu seandainya Minato tidak dengan sigap mengambilnya dan menaruhnya di meja.

"Wow! Ibu kira kau akan selamanya mengejar-ngejar gadis itu. Tapi ternyata..." Kushina memberi jeda, kemudian tersenyum nakal, "... Kau bersama Ino-chan, ya?"

"Ng... Iya, mungkin?" Jawab Naruto. Ino menyenggol dada Naruto dengan siku-nya dan mencoba membuka suaranya. "Kami—" dan sialnya suaranya menghianatinya. Ia kembali kehilangan suaranya.

"Oh... Lebih baik kau beristirahat di kamarmu, sayang!" Ucap Ibu Ino yang tahu-tahu datang dari arah dapur sambil membawa makanan ringan. Ia tersenyum saat mendapati Naruto berdiri tepat di sebelah Ino. "Naru-kun tidak tahu ya, Ino-chan sedang sakit? Kau tidak seharusnya membawanya saat ia dalam kondisi tak sehat."

"Bu—"

"Dasar bakaa! Kau itu benar-benar tak peka! Seharusnya kau menyadari bahwa Ino-chan sakit, lalu membawanya pulang ke rumah dan merawatnya, dasar anak bodoh!"

"Tapi—"

"Jangan cari alasan!" Sekarang Ino tahu darimana asalnya sikap Naruto yang suka memotong ucapan orang lain, dan bertindak seenaknya mengambil keputusan sendiri.

"Tapi..."

"Sudah cepat bantu Ino-chan ke kamarnya!"

"B-baik," Ino tak menyangka Naruto benar-benar anak yang takut pada ibu ibunya, Naruto bahkan belum sempat menjelaskan bahwa ia dan Ino hanya kebetulan bertemu, dan kemudian mengantarnya.

"Maaf..." Sebenarnya Ino ingin berkata, 'maaf karena telah membuat mereka salah paham tentang kita,' tapi hanya itu yang bisa keluar, maka...

"Kenapa minta maaf? Aku tidak apa kalau hanya di suruh merawatmu.. Haha..."

Ino memutar kedua bola matanya. Sulit kalau harus berbicara dengan seorang pemuda 'tak peka' seperti Naruto.

Naruto tersenyum, kemudian berjalan ke arah Ino untuk membantunya melepaskan syal dan jaketnya. Ino terkejut karena gerakan tiba-tiba Naruto, membuatnya mendorong dada pemuda itu. Sayangnya, Naruto malah menggenggam erat syalnya dan membuat Ino ikut terjatuh di atas tubuhnya, dalam keadaan... Sedikit tercekik.

"Astaga!" Ibu Ino yang tadinya ingin memgantarkan obat untuk putrinya, mendadak kembali menutup pintu. Naruto dan Ino saling menatap, bahkan setelah ibu Ino kembali membuka pintu dan menaruh obat dan segelas air mineral di lantai.

"Jangan bilang kalau ibumu berpikir, kalau kita..." Naruto sengaja tak melanjutkan ucapannya. Ino mengerutkan kening, dan menarik diri dari Naruto. Ia juga ingin protes tentang itu, tapi... Suaranya..

"Yang benar saja!" Naruto mendudukan dirinya di pinggiran kasur Ino sambil menjambak rambutnya sendiri. Frustasi.

"Eum..." Ino hanya bisa bergumam. Untung saja pendengaran Naruto tak seburuk dirinya dalam berurusan dengan wanita, sehingga pemuda Namikaze itu menoleh. "Ada apa?"

Ino mengisyaratkan Naruto untuk keluar. Saat dirasanya Naruto tidak cukup mengerti dengan itu, ia memperlihatkan bajunya yang masih basah, dan Naruto mengangguk sambil memasang tatapan 'O'.

"Tentu saja..." Ujarnya, kemudian pemuda itu keluar dengan kedua tangannya ia taruh di belakang kepala sebagai sandaran.

Pintu tertutup. Bersamaan dengan itu, suara helaan napas yang berasal dari Yamanaka Ino terdengar.

Lelahnya.

Batinnya. Ia melirik ke arah obat yang masih terletak di lantai, dan mengambilnya.

Mungkin sudah saatnya ia minum obat.

.

.

.

Ino keluar dari kamarnya tepat saat ia mendengar suara pemuda yang baru ia kenal mengatakan sebuah penolakan, dengan kalimat yang berkali-kali dipotong.

"Tidak! Percayalah kami tidak—"

"Sudahlah mengaku saja, Naruto! Bagaimana kalau minggu depan? Ibu sudah tidak sabar menimang cucu. Kau tahu ibu sudah pernah mengatakan ini sejak 5 tahun yang lalu."

"Tapi kami tidak—"

"Kau sudah berumur 26 tahun, Naruto!"

Oh... Sudah jelas kearah mana pembicaran ini, kan? Belum lama semenjak Ino meninggalkan Naruto dan kedua pasang orang tua mereka, sudah sampai sana pembicaraannya? Astaga! Ditambah lagi, Naruto bukan pemuda yang dapat membela dirinya sendiri.

"A—" sial! Suaranya hilang tanpa sisa! Mau tak mau semua yang berada di ruangan itu menoleh menatap Ino.

"Ino-chan setuju, kalau kalian akan menikah minggu depan, kan?" Kushina yang paling antusias mengambil alih. Ino menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

Parah.

Bukannya bertanya apakah ia bersedia untuk dijodohkan, malah bertanya apakah ia bersedia dinikahkan. Dan lagi... Minggu depan? Mimpi buruk apa ia semalam?! Ia hanya bisa berharap, para orang tua itu bisa mengerti dengan gelengan kepalanya.

"Oh... Kau mau di percepat?" Ino tak menyangka ibunya benar-benar gila. Padahal Kushina sudah menghela napas kecewa karena mengira Ino menolaknya.

"Oh.. Kau mau dipercepat? Boleh?" Kushina meminta persetujuan kedua orang tua Ino dan tersenyum saat mendapat anggukan. Ia kemudian menatap Minato. "Bolehkah, sayang?"

Minato menggaruk pelipisnya, bingung. Apalagi ketika ia melihat putranya menggeleng-geleng dengan keringat dingin. "Err... Bagaimana, ya? Sebenarnya ini tergantung mereka berdua..."

"Ino ingin pernikahannya dipercepat." Ujar ibu Ino tiba-tiba. "Dan Naruto pasti setuju." Tambah Kushina. Dan karena ia adalah ayah kandung dari seorang Namikaze Naruto, ia juga memiliki sifat yang sama. Tidak sanggup melawan wanita.

"Hm.. Baiklah, aku setuju."

Harapan satu-satunya hanyalah Naruto. Ino menatap Naruto penuh harap, meminta pemuda itu mengatakan sesuatu. Namun, pemuda itu hanya menatapnya pasrah.

"Jadi... Kau setuju dengan pernikahanmu, kan?"

Cling! Naruto dapat merasakan tatapan mata Kushina yang mirip seperti setan kelaparan yang siap memakannya hidup-hidup bila menolak. "T-t-tapi... T-tapi.."

"Kau mau pernikahannya dipercepat menjadi besok? Astaga, Naruto! Kau harus menjadi seorang lelaki yang sabar. Ino tidak akan siap kalau harus menikah besok, iya kan, Ino-chan?" Kushina menatap Ino lembut. Namun, tatapan ibunya yang sudah seperti mengatakan, 'katakan ya, atau—', membuatnya tak dapat merespon, bahkan ia tak berani menggelengkan kepalanya.

"Baiklah, pernikahannya 5 hari lagi!" Teriak nyonya Yamanaka dan nyonya Namikaze serempak. Inoichi ikut tertawa sambil sesekali menyeruput teh-nya. Dan Minato berpura-pura sedang sibuk dengan handphone-nya sehingga mengacuhkan putra tersanyangnya,—mungkin sudah bukan.

"Apa bedanya dengan besok?" Gumam Naruto pelan. Tapi buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Telinga Kushina mirip dengan Naruto, sudah seperti telinga superman, maka ia mendengarnya.

"Bagaimana kalau lusa? Aku yakin Ino-chanku siap..." Usul dari sang nyonya Yamanaka diberi tanggapan positif oleh yang lain. Bahkan Minato hanya tersenyum kecil.

Ino menatap Naruto dengan tatapan horror. Bagus, Naruto memperparah semuanya.

Dalam dua hari mereka akan menikah.

...Tbc.

A/N: Oke, cukup sampai disini chapter 1. Rencananya pengen langsung publish dua chap sekaligus, tapi yah... Begitulah(Begitulah apanya?).

Panggilan Princess serenity tentu berasal dari anime Sailor Moon. Ito cuma asal aja, karena rambut mereka hampir sama warnanya:p

Suka tidak? Lanjutkan?

Terima kasih.