Disclaimer: Naruto, and all characters below are forever and ever Masashi Kishimoto's character.

Warning: AU, bikin galau. Typo as always. T+, T semi M, author tukang php.

Don't like - Don't read - Don't judge.

Jadilah pembaca yang bijaksana. Kalau tau engga suka pair, alur, penulisan, konfliknya, atau apapun, yah back saja. Jangan menghakimi saya. Okey? *wink*

Release, Special Made For Retasukyo.

.

.

A little explanation,

Geisha adalah entertainer atau pekerja seni yang berasal dari tradisional jepang. Terkadang dikonotasikan sebagai prostitusi, padahal BUKAN. Menjadi geisha pun harus belajar, tidak mudah untuk menjadi geisha. Geisha hanya memberikan keperawanannya dengan harga tinggi, dengan seseorang yang sanggup membelinya dengan mahal. Seseorang ini yang disebut danna. Seorang geisha bisa mempunyai satu atau dua danna selama hidupnya. Ketika danna membeli geisha, geisha dapat keluar dari okiya, atau tetap menetap disana. Danna ini kadang disebut sebagai pelindung geisha, karena membebastugaskan geisha dari menghibur orang lain, melainkan khusus hanya menghibur seorang danna saja.

.

.

.

.

Mengapa aku dilahirkan seperti ini?

Aku ingin menjalani hidupku seperti gadis pada umumnya, yang bangun jam 6 pagi untuk berdandan, berangkat sekolah sedikit telat sehingga tidak ketahuan kalau sudah berdandan lebih dari 2 jam sebelum masuk sekolah, menggosip dengan teman-teman mengenai lelaki yang disukai, bertukar nomor handphone, saling mencicipi bentou, dihukum bersama-sama karena tidak memperhatikan pelajaran, pergi ke café, makan eskrim dan karaoke sepulang sekolah, lalu dilanjutkan dengan berfoto di purikura dengan berbagai gaya, dan mengenang foto itu nanti, ketika sudah tak bersama-sama lagi.

Apakah permintaanku rumit?

Bagian mana yang membuat-Mu merasa susah mengabulkannya?

Tuhan?

.

.

.

"Hinata, fokuslah sedikit."

Sedikit kata-kata dari mamma, sang ibu dari Okiya tempat Hinata tinggal membuat lamunan Hinata terhenti seketika. Anko menunjuk ke arah sulaman syal Hinata yang sudah tak berbentuk. Beberapa benang merah terpilin dan keluar dari jalur rajutan.

"Ah, maafkan aku."

Hinata sedikit membungkuk, membuat Anko mengangguk dan kembali ke tempatnya.

'Aku sudah merajut dan menjahit berbagai jenis pakaian. Aku bosan. Apa yang dilakukan gadis yang berumur 21 tahun saat ini? Ah, mereka pasti sibuk dengan tugas kuliah.'

Ujarnya dalam hati sambil membuka rajutannya yang berantakan dengan sebuah senyum sendu. Tiba-tiba pandangannya menggelap karena seluruh rambutnya menghalangi pandangannya. Karet rambut yang digunakan Hinata putus. Ia meletakkan hasil rajutannya yang hanya tinggal diikat pada ujung-ujungnya, lalu menggelung rambutnya dengan sebuah pena.

"Hinata, dannamu akan berkunjung malam ini."

Hinata diam saja, ia mengangguk dengan sangat pelan, lalu menyelesaikan syalnya.

'Sudah dimulai, ya.'

.

.

.

Jari-jari Naruto Namikaze menari dengan begitu lincah di atas tuts-tuts hitam dan putih piano miliknya. Metronome di atas grand pianonya itu bergerak ke kiri dan ke kanan sesuai dengan tempo yang disusun Naruto. Matanya terpejam, membayangkan hal-hal yang membuatnya teringat pada seseorang. Jari-jari itu terus bergerak, hingga akhirnya terhenti karena ia mendengar suara pintu yang diketuk.

"Semuanya sudah siap, Namikaze-sama."

Pintu di tutup kembali. Bunyinya begitu pelan, namun cukup membuat Naruto membuka matanya yang terpejam. Ia kembali memainkan pianonya, namun kali ini dengan cepat dan emosi.

"Aarrrrrgh!" Metronome yang kini berbunyi bising di telinganya ia ambil dan ia lempar sekuat tenaga ke ujung ruangan. Ia kembali memainkan pianonya dengan kasar, dipukulnya tuts-tuts yang tidak bersalah itu dengan keras, membuat suara yang dihasilkan sumbang dan tidak enak didengar.

"Hah…"

Ia mengelap kasar mukanya, terkejut dengan beberapa tetes air mata yang turun dari matanya tanpa perintahnya.

Naruto terdiam sangat lama, lalu membelai pianonya dengan sayang. "Maaf, maafkan aku. Aku tidak akan merusak piano kesayanganmu." Ia berbicara dengan seseorang yang ditatapnya dalam sebuah pigura foto, dengan dirinya yang dipeluk oleh orang itu. Keduanya tampak bahagia, seakan tak pernah tau dan peduli dengan kejamnya malaikat maut yang memisahkan mereka berdua.

.

.

.

"Hinata."

Siapa?

Siapa yang memanggilku?

Hinata terkejut dan terbangun, membuat beberapa kecipak air bergemuruh dan jatuh dari ujung bathtub. Sudah lebih dari 30 menit ia berada di sana tanpa ada niat untuk menyudahi mandinya sedikitpun. Ia menyukai air. Bisa meredam sedikit suara hatinya yang selalu ingin memberontak.

Ia melihat jam yang terpasang di dinding kamar mandi. Masih ada 30 menit lagi sebelum Naruto Namikaze datang. Ia akan berendam 15 menit lagi, lalu bersiap-siap setelahnya.

Hinata mengambil nafas yang dalam, lalu menenggelamkan seluruh kepalanya di air. Kadang ia berharap tuhan mengubahnya menjadi ikan-ikan yang ada di sungai atau di laut, sehingga ia bisa selamanya hidup dalam air yang disukainya.

Mereka akan berenang kesana kemari dengan indah, tidak perlu memusingkan masalah-masalah yang rumit, makan ini dan itu yang disediakan alam, tak perlu bekerja susah payah. Ia akan memilih dirinya sebagai penyu, yang tidak melakukan apa-apa namun hidup selama lebih dari 100 tahun. Mungkin ia akan bertemu dengan bintang laut, hiu, lumba-lumba, paus, dan ubur-ubur. Hidupnya akan bahagia bersama koloni penyu lainnya, beranak di pesisir pantai dan meninggalkan mereka, lalu menunggu mereka kembali.

Tapi tuhan malah menciptakannya sebagai seorang geisha.

Splash!

Hinata menaikkan kepalanya dengan cepat ke permukaan air, lalu menghirup udara dengan rakus.

"Kau bisa berada lebih dari satu menit di air. Menakjubkan."

Hinata menoleh pelan ke samping, dan ia menemukan Naruto sedang bersandar di pintu kamar mandinya sambil melipat tangannya di dada. Senyumnya ramah, namun matanya tidak ikut tersenyum. Hinata tahu itu.

"Kau cepat datang."

Naruto tertawa, Hinata berbicara padanya dengan bahasa yang tidak formal. "Dimana tatakramamu? Apa perlu kau kuadukan pada Anko?"

Hinata terdiam.

"Maaf."

Naruto melangkah mendekatinya, membuat Hinata melipat kakinya rapat-rapat di depan dada, agar tidak terlalu kelihatan oleh Naruto, meskipun ada banyak busa yang menutupi badannya. Naruto duduk di samping bibir bathtub, lalu menangkup sedikit air yang berbusa itu di tangannya, dan membasahi Hinata dari ujung kepalanya. "Aku hanya bercanda. Selama kau nyaman berbicara denganku seperti itu, lakukanlah."

Ia meletakkan lipatan handuk di atas kepala Hinata, lalu pergi.

.

.

.

Hinata duduk di samping Naruto yang menggenggam tangan kanannya sambil mengemudi. Ia hanya menurut saja ketika Naruto mengajaknya pergi ke suatu tempat.

Lagipula, apa boleh ia menolak?

Ia pandangi tangannya yang digenggam oleh Naruto dengan erat. Warna kulit lelaki itu yang berwarna coklat tan eksotis sangat kontras dengan tangannya yang berwarna putih pucat. Lagipula, digenggam oleh tangan Naruto membuat tangan kecilnya tenggelam.

'Hangat.'

"Tanganmu hangat." Ujar Naruto memecah kesunyian, persis setelah Hinata membatin hal yang persis sama.

Naruto menaikkan tangan mereka berdua, lalu mengecup punggung tangan Hinata dengan lembut.

"Rasanya juga manis."

.

.

.

"Ini rumahku."

Hinata berjalan berkeliling sambil memandangi rumah besar yang tampak sepi itu. Tidak ada siapapun yang berkeliaran, termasuk keluarga Naruto ataupun pelayan. Rumah itu mungkin hanya berisi Naruto saja. Ruang tamunya bersih sekali, dengan tata interior yang membosankan. Ia berjalan ke arah ruang tengah, memandang sebuah lampu gantung besar di langit-langit rumahnya. Matanya meneliti ke arah tangga melingkar yang banyak terdapat guci-guci besar impor.

Apapun tentang interior rumahnya ini, membosankan.

Namun hal yang menarik perhatiannya dari tadi adalah begitu banyaknya pigura besar yang hanya berisi kertas putih, entah karena memang tidak ada fotonya atau memang Naruto menyukai warna putih. Di ruang tamu ada satu, di sepanjang lorong ke dapur, dan di ruang tengah, hingga pigura-pigura kecil berdiri di atas meja-meja.

"Kau lapar? Aku ingin makan sesuatu."

Hinata mengangguk saja. Tangannya yang masih digenggam Naruto digiring ke arah dapur.

'Aku juga ingin punya rumahku sendiri.'

"Anggap saja rumahmu sendiri. Masakkan sesuatu untukku.'

Hinata menoleh lagi ke arah Naruto. Dari tadi yang pemuda ini lakukan hanyalah membaca pikirannya saja. Ia melepaskan genggaman tangannya, dan mengambil apron yang tergantung di samping kulkas, lalu memakainya. Setelah itu ia menggulung rambutnya tinggi dengan sebuah sumpit dan mulai mengecek bahan yang ada.

Semua bahan-bahan masakan dari a hingga z ada dan tersedia lengkap di kulkas dan lemari dapur Naruto. Hinata heran, apa benar Naruto sendiri yang menyediakan ini untuk hidupnya sehari-hari? Apa ia punya istri? Atau ibu? Atau pembantu? Yang jelas perlu waktu dan bukti bagi Hinata untuk percaya kalau memang Naruto yang menyiapkan semuanya sendiri.

Ia mulai mengambil tomat, bawang, cabai, dan berbagai jenis rempah lain di dalam satu mangkok dan memotong. Ia mungkin akan memasak kare pedas.

Ditengah-tengah acara memotong bawang, ia merasa pinggang dan perutnya dipegangi oleh sesuatu, dan ketika ia tersadar, Naruto sudah memeluknya dari belakang.

Erat. Erat sekali.

"Bawang membuat mataku sakit, Hinata."

Naruto menyandarkan kepalanya pada bahu Hinata. Hinata sendiri hanya melanjutkan kegiatannya, namun ia merasa kaos yang dipakainya lama-kelamaan terasa basah di bagian bahu, seiring dengan pelukan Naruto yang semakin kuat.

Ia menangis.

Mungkin karena bawang.

Entahlah.

.

.

.

Naruto makan dengan lahap, seperti anak kecil.

Hinata sendiri sudah menyelesaikan makannya. Ia hanya makan sedikit karena sedang tidak berselera. Jadi, ia hanya memandangi Naruto dari tadi, sambil terus-menerus menuangkan air dingin dari teko ke gelas Naruto yang kosong.

Baju kaos polo yang dipakai Naruto basah karena keringat, mungkin Naruto merasa sangat kepedasan memakan kare yang dibuat Hinata. Menurut Hinata sendiri kare ini belum cukup pedas, malah tidak terasa menggigit lidahnya sama sekali.

"Kau suka?"

"Ah, aku lupa memuji makananmu."

Hinata kaget, sebenarnya bukan itu yang ia minta. Ia hanya ingin bertanya, jika Naruto tidak terbiasa makan pedas, mengapa memaksakan diri?

"Makananmu sangat enak, Hinata. Terimakasih."

Setelah itu ia tersenyum lebar dengan bibirnya yang memerah kepedasan.

.

.

.

"Malam ini kau tidur disini."

Hinata mengangguk. Akhirnya hal yang paling ia takutkan datang juga. Jantungnya memompa cepat, ia bergerak gelisah. Ia ingin menangis dan berlari pulang. Hari ini mungkin menjadi tanda-tanda final dari tuhan kalau takdirnya hanya menjadi seorang geisha. Tidak lebih.

Kamar Naruto sangat luas. Ada grand piano berwarna hitam di tengah-tengah ruangan, dengan tempat tidurnya yang luas persis dibawah jendela besar. Dan lagi, ia melihat berbagai frame foto dengan warna putih saja di dalamnya. Ada banyak pintu di sana, dan Naruto baru saja keluar dari pintu yang berwarna coklat. Mungkin itu pintu lemari. Di sebelahnya ada pintu lagi, Hinata menduga pintu itu pintu kamar mandi, karena sandal khusus toilet di depannya.

Lalu ada sebuah pintu lagi, pintu berwarna merah yang digembok.

Naruto sudah mengganti bajunya yang basah dengan piyama yang nyaman. Setelah itu ia menyodorkan sepasang piyama lagi dan memberikannya pada Hinata.

"Tidak nyaman tidur seperti itu."

Hinata menerimanya dengan tangan bergetar. Naruto yang melihatnya hanya tersenyum maklum. Ia menggenggam tangan Hinata, lalu mengecup punggung tangannya.

"Aku tidak akan berbuat macam-macam hari ini. Tenang saja dan tidurlah."

Aneh, tubuh Hinata percaya begitu saja dan bereaksi dengan cepat. Gemetaran dan degup jantung tidak nyaman yang ada sedari tadi hilang begitu saja. Namun hatinya tidak, ia tidak mau mempercayai lelaki ini. ia hanya ingin menyelesaikan tugasnya dengan cepat, dan pergi selamanya dari Naruto.

Naruto menunjuk ke arah pintu lemari, membuat Hinata melangkah cepat ke sana untuk mengganti bajunya.

Lemari itu sangat besar, dengan ada baju-baju khas lelaki di sebelah kiri. Namun di sebelah kanan ada banyak baju gaun, sepatu, dan tas-tas perempuan. Hinata melangkah ke sebelah kanan, melihat begitu banyaknya baju-baju yang luar biasa cantik di dalam lemari itu.

'Tas seperti ini pasti mahal sekali.'

'Uwa, sepatunya berkilau.'

'Ya ampun, gaun apa yang bisa terasa sangat halus seperti ini?'

Piyamanya pun terlihat mahal, dan terasa pas dengan tubuhnya.

Begitu akan kembali ke kamar, rasa gugup itu datang lagi. Namun, lagi-lagi mata Naruto yang begitu menenangkan dirinya, membuatnya terselimuti rasa nyaman yang hangat.

"Kau wangi sekali."

Naruto tertidur sambil memeluk Hinata erat.

.

.

.

Ini terasa salah.

Mereka begitu berbeda.

Naruto memandang Hinata yang tertidur damai dengan sedih. Beberapa air mata meluncur mulus dari matanya. Ia elus pipi Hinata dengan lembut, merasakan sendiri bahwa wanita yang ada di depannya ini terasa nyata.

Nyata yang begitu semu.

Ia kembali terisak. Meringkuk sambil mengepalkan tangannya erat-erat.

"Naruto…

-sama?"

Hinata yang begitu kaget melihat keadaan Naruto yang begitu terlihat kesakitan langsung terduduk. Ia sedikit panik. "Akan kupanggilkan ambulans."

Namun ketika ia ingin beranjak, tangannya sudah lebih dulu digenggam Naruto dan ditarik ke arahnya, hingga tubuh kecil perempuan itu menabrak tubuh besar lelaki yang ada di hadapannya.

"Jangan pergi."

.

.

.

Pergi adalah keinginannya yang paling utama.

Naruto sudah terlelap dari tadi. Pria ini orang baik-baik dan setia, sepertinya. Mengapa ia butuh seorang geisha hanya untuk memasak dan menemaninya tidur saja. Ia sudah membayar begitu mahal untuk membeli keseluruhan diri Hinata, bahkan mungkin masa depannya.

Entahlah, ia juga belum melihat isi kontraknya geishanya dengan Naruto, atau lebih tepatnya ia tidak boleh melihatnya.

Hinata menutup matanya dengan lengannya. Mencoba membayangkan pertemuannya dengan Naruto dengan berbagai cara lain, cara yang lebih normal.

Mungkin ia akan bertemu Naruto di trotoar jalan, mereka begitu sibuk tapi tidak memperhatikan satu sama lain. Tapi Naruto yang berjalan cepat menabrak Hinata hingga kunci rumahnya terjatuh di parit trotoar, dan Naruto akan membantu seharian untuk mendapatkan kunci itu kembali.

Mungkin ia akan bertemu Naruto ketika Hinata sedang bekerja paruh waktu di sebuah restoran, dan tidak sengaja menumpahkan air di jasnya. Ia akan dimarahi oleh manajernya, namun Naruto membelanya dan berkata bahwa ia baik-baik saja.

Atau mungkin ia bertemu Naruto di pelataran kantin kampus, dimana Naruto sedang mencari sebuah tempat untuk duduk dan makan, sementara Hinata mempunyai satu lagi kursi tersisa di hadapannya. Dan ia menawarkannya untuk Naruto.

Entahlah, apapun jenis prolog cerita romantis di novel-novel yang diam-diam ia baca di kamarnya.

Bukan sebagai danna-geisha.

Ah, Tuhan, atau siapapun yang bisa mendengarkanku, betapa aku ingin menjadi normal.

.

.

.

"Hinata, aku akan memberikanmu dua pilihan. Tinggal di rumahku atau aku akan membelikanmu sebuah apartemen?"

Hinata yang sedang meminum jusnya sedikit terbatuk. Naruto langsung bangkit dari kursinya untuk menepuk-nepuk punggungnya dan menyodorkan air putih. Tersedak makanan manis pasti akan membuat tenggorokannya sedikit sakit.

"Aku harus meninggalkan okiya?" tanyanya sambil menoleh ke arah Naruto yang berdiri di sampingnya masih mengelus-elus punggungnya.

"Ya. Aku juga sudah bicara pada Anko"

Hinata diam saja. Ia kembali makan dengan cepat, ia masih tetap saja dian hingga merapikan meja dan mencuci piring. Membuat Naruto heran akan tingkahnya.

"Hinata?"

Hinata menghentikan aktivitas mencuci piringnya. Dengan tangan penuh busa sabun ia berbalik menghadap Naruto. Naruto yang begitu dekat dengan Hinata harus reflek mundur sedikit ketika wanita itu berbalik. Ia kaget karena matanya sudah berseliweran air mata.

"Hi…nata?"

"Untuk apa kau menyuruhku untuk pindah ke rumahmu?"

Sakit. Sakit sekali melihat mata perempuan yang ada dihadapannya ini menangis. Naruto kembali merasakan sakit yang sama dengan apa yang selama ini dirasakannya ketika bergelut sendirian dengan kerinduannya terhadap orang itu.

"Agar kau bisa sesuka hati memakaiku?"

Hinata benar-benar banjir air mata. Ia mengelapnya dengan ujung punggung tangannya, tapi ia lupa bahwa tangan itu masih penuh dengan busa sabun. Pedih. Ia meringis kesakitan.

Naruto panik. Ia menelepon bawahannya untuk memanggil dokter, sementara ia membantu Hinata untuk membasuh matanya dengan air.

'Ceroboh sekali. Seperti anak kecil.'

.

.

.

"Sebenarnya tidak ada masalah lagi. Pembasuhan dengan air yang dilakukan tadi adalah pertolongan pertama yang paling tepat." Diluar kamar, Naruto, salah satu pegawainya, dan seorang dokter berbicara tentang kondisi Hinata. Ia memberikan Naruto sebuah buah tetes mata, dan hendak pulang.

Pegawai Naruto membungkuk dan mengantarkan dokter itu keluar. Namun, Naruto menyusulnya.

"Dok, bisa minta kasa putih?"

"Pedih?"

"…"

Apa dia marah?

"Kata dokter, matamu harus dibalut sampai besok."

Hinata terkejut. Ia sudah merasa matanya sudah baikan. "Tapi dia tidak bilang apa-apa padaku."

Tiba-tiba Naruto sudah ada di hadapannya dan memegang sebuah perban kasa putih. "Tutup matamu." Naruto membalut mata Hinata dengan lembut. Ia merasa begitu menyesal, hingga tak sadar ia menangis. Hinata tentu tak bisa melihatnya karena matanya telah tertutupi perban.

"Maafkan aku. Semua ini salahku." ujarnya sedih. Ia mengecup kedua mata Hinata, lalu menangkup wajahnya. "Maaf."

"Maaf."

"Maaf."

Mau tak mau Hinata terenyuh dengan sikap Naruto, ia tak pernah berhubungan dengan lelaki manapun di dunia ini semenjak ia lahir, ia hanya pernah membaca dan menonton film-film romantis. Lagipula, danna yang ada di hadapannya ini beda sekali dengan danna yang selalu senior-senior geishanya ceritakan. Tentang mereka yang bernafsu binatang dan memperlakukan mereka bagaikan alat pemuas saja.

Bisakah Hinata percaya pada Naruto?

"Aku hanya ingin kau dekat denganku, Hinata. Aku hanya ingin kau disisiku. Aku bukan seperti yang kau pikirkan. Aku membelimu karena aku menyukaimu."

Bisakah Hinata percaya?

"Aku tidak akan sampai merusakmu, mengotorimu, atau apapun yang selalu kau takutkan. Aku hanya ingin selalu ditemani olehmu."

Bisakah?

"Percayalah padaku."

Hinata menangguk pelan, membuat Naruto tersenyum.

.

.

Malam itu, Hinata bisa percaya tanpa bisa melihat ekspresi Naruto. Sedangkan Naruto tersenyum pahit bertabur rasa bersalah. Kedua manusia yang selalu mempertanyakan hidupnya pada Tuhan ini bertemu, dan membuat sebuah cerita baru.

Malam itu, Hinata setuju untuk pindah ke rumah Naruto dan hidup bersamanya.

Malam itu Naruto mengecup bibir Hinata lembut, berusaha mengenyahkan rasa bersalah yang ia miliki sebagai manusia biasa, menggantinya dengan rasa egois yang tinggi sebagai manusia biasa.

.

.

.

.

Tbc

.

.

WTF APAAN INI?

Terimakasih untuk para reader, reviewer, yang jadi alarm untuk update setiap bulannya, dan semua yang sudah menambahkan Chrizzle dan ficnya yang abal-abal kedalam alert maupun ke favoritnya. Itu apresiasi terbesar yang pernah aku dapat sebagai seorang author.

Aku akan senang sekali kalau kalian mau mereview lagi.

See you in 3rd!