Kyoto, 14 September 2014.

Surat ini kutulis dengan segala perasaan untuknya yang tidak dapat kuutarakan pada siapapun. Aku mecintai seseorang, namanya Akashi Seijuurou. Seorang CEO dari Akashi corporation. Ia menggantikan ayahnya untuk menjabat posisi itu karena sang ayah merasa anaknya telah pantas menduduki posisi tersebut walaupun usianya masih tergolong muda.

Saat ini dia telah menjadi suamiku. Sungguh bahagia jika mengingat hal itu. Akashi Seijuurou itu sosok yang kucintai semasa SMP dulu. Ya aku sudah belok sejak awal haha.

Namun sepertinya orang yang bersangkutan tidak merasakan apa yang aku rasa.

Ya.

Pernikahan kami ini adalah perjodohan untuk menolong ayahku yang terlilit hutang pada keluarga Akashi—sementara itu faktor lainnya adalah ibuku dan ibu Akashi-kun adalah teman dekat semasa SMA dan mereka berdua itu fujoshi, sebutan untuk seseorang yang menyukai homo sexual.

Mereka dengan senang hati menyetujui perjodohan ini. Padahal jelas kami berdua adalah lelaki, yang menjadi masalah itu pernikahan sesama jenis belum dilegalkan di Negara ini. Pernikahan kami terlaksana secara diam-diam—hanya kerabat dekat yang kami undang.

Sudah tiga bulan kami menikah namun ia masih bersifat dingin padaku, bahkan seringkali aku di abaikan olehnya.

Dianggap seolah tidak ada itu sungguh menyakitkan. Meskipun memang aku memiliki hawa keberadaan tipis, namun Akashi-kun lah orang pertama yang mengakuiku, mengangkatku dari jurang putus asa dengan kuasanya kala itu.

Aku tahu ini pernikahan yang tidak dikehendaki oleh salah satu pihak, tapi apakah aku salah jika mengharapkan sebuah kebahagiaan?

Apa kau tidak merasakan apapun selama 3 bulan ini?

Apa hanya diriku yang merasakan indah dan sakitnya dari mencinta, Akashi-kun?

Ah aku memang tidak pandai dalam merangkai kata… lihat, baru beberapa kalimat saja sudah berhasil membuat mataku berair.

Jika memang kau membenciku katakanlah, jangan membuatku seperti ini Akashi-kun..

Mengapa kau selalu mengabaikanku?

Mengapa kau tidak pernah memakan hidangan apa yang telah aku masak?

Apakah masakanku tidak cukup layak untuk dimakan?

Aku sendiri bingung mengapa aku bisa menangis hanya karena sepucuk surat yang berisikan tentang curahan hatiku sendiri.

Jujur, aku lelah.

Aku ingin berhenti memainkan peran menjadi "istri yang baik" untukmu. Ini bukanlah opera sabun.

Tapi aku sadar jika aku berhenti maka banyak pihak yang akan terluka nantinya.

Biarlah aku yang menanggung semuanya, biarlah aku yang terluka sendirian.

Toh kau tidak akan peduli kan?

Maaf aku tidak bisa menjadi yang terbaik untukmu.

Maaf.

-Kuroko Tetsuya-

.

.

RED

Disclaimer : Kurobas punya mas Fujimaki, Akashi punya saya /digampar

Pairing : Akashi x Kuroko

Genre : Romance, Hurt/Comfort, mungkin agak Humor.-.

.

.

Kesal dan kecewa.

Ia remas sepucuk surat yang berada pada genggamannya—sedetik kemudian ia menolehkan pandangannya pada pemuda bersurai biru muda di sampingnya.

"Mengapa kau tidak mengatakan semua ini padaku?"

Sayangnya ucapan itu tidak akan sampai pada pemuda tersebut. Sudah 2 hari berlalu dan pemuda dengan paras manis itu belum juga berniat untuk membuka kedua matanya.

FLASHBACK

"TETSUYA!"

Segera kedua ibu mereka menghampiri Kuroko yang tergeletak tak berdaya di jalanan. Chihiro panik dan langsung memeluk Kuroko erat. Sementara itu Natsuko langsung menyuruh Akashi menyalakan mobilnya untuk membawa Kuroko ke rumah sakit.

Selama perjalanan Akashi tidak hentinya memanjatkan do'a agar tidak terjadi apa-apa pada orang yang dicintainya itu.

"Sei-chan bisakah kau cepat sedikit!?"

Dengan kecepatan maksimal akhirnya mereka berhasil sampai di rumah sakit lebih cepat dari waktu yang diperlukan. Akashi bersyukur jika mereka masih diberi keselamatan—karena sepanjang hidupnya baru kali itu ia menyetir seperti orang gila.

.

.

"Tidak ada penyakit apapun yang diderita pasien, mungkin ia hanya kelelahan dan sedikit stress." Ucap dokter memberi keterangan.

Natsuko, Chihiro, dan Akashi memasang wajah lega ketika mendengar hal itu.

"Tapi, ada sesuatu yang aneh pada pasien. Anak itu enggan untuk membuka matanya. Saya tidak bisa memperkirakan apa penyebabnya." Lanjut dokter.

Akashi langsung menarik kerah baju dokter tersebut.

"KAU BILANG TETSUYA HANYA KELELAHAN, MENGAPA IA TIDAK LEKAS BANGUN!? APA KAU BERBUAT MAL PRAKTEK HAAAH!?"

Teriakan Akashi tersebut cukup menjadi sorot perhatian dan bisa dibilang mengganggu kenyamanan para pengunjung.

"SEI-CHAN!"

Akashi sadar apa yang telah ia perbuat—segera ia lepas genggamannya pada kerah baju dokter tersebut.

"Ehm.. mungkin anda harus belajar untuk mendengar perkataan seseorang sampai selesai." Akashi tidak mempedulikan omongan dokter tersebut yang bernada menyindir, sementara itu ia lihat ibunya tengah membungkuk meminta maaf pada dokter.

"Saya memang tidak tahu apa yang menyebabkan pasien enggan untuk membuka matanya, pasalnya jika hanya pingsan, normalnya orang tersebut akan bangun dalam jangka waktu kurang dari 12 jam."

"Lalu?"

"Jika saya perkirakan ia tidak akan membuka matanya bahkan dalam jangka waktu 24 jam." Mereka yang mendengar semua itu terkejut, terlebih Akashi.

Oh ayolah baru saja ia bertatap muka dengannya lagi selama beberapa hari. Mengapa Tuhan harus menguji cinta mereka sampai seperti ini.

Sudah 24 jam berlalu dan sampai saat ini pemuda berparas manis itu belum juga berniat untuk membuka matanya.

Mereka semua khawatir, baik keluarga maupun para pembantu yang bekerja di rumah Akashi sekalipun. Masalahnya sampai dokter sendiri berkata tidak mengetahui penyebab mengapa Kuroko enggan untuk membuka matanya.

Sempat diperkirakan jika Kuroko mengalami koma. Tapi rasanya itu mustahil—dikarenakan pasiennya sendiri tidak memiliki penyakit yang mematikan maupun menjadi korban tabrak lari. Lagipula detak jantung dan denyut nadinya normal layaknya orang yang sedang tertidur.

Setelah mepertimbangkan banyak hal, akhirnya mereka semua memutuskan untuk merawat Kuroko di rumah saja. Akashi sendiri lah yang ditugaskan untuk merawatnya dan mengabari mereka semua jika nantinya Kuroko terbangun dari tidurnya.

Hitung-hitung siapa tahu saja dengan adanya Akashi yang selalu berada disampingnya dapat memicu Kuroko bangun lebih cepat.

Siapa tahu.

Saat sedang termenung sendirian di kamar istrinya tersebut, Akashi menemukan sepucuk surat yang terletak di atas nakas kecil dekat tempat tidurnya.

Ya, selama mereka tinggal bersama Akashi menyuruh Kuroko untuk tidur di kamar yang berbeda dengannya. Pisah ranjang.

Setelah membacanya, Akashi akhirnya paham apa yang selama ini Kuroko rasakan saat serumah dengannya. Hal itu tentu saja menambah rasa bersalah dalam benak Akashi.

Terlebih ia sempat kaget saat menemukan kalimat, Aku ingin berhenti memainkan peran menjadi "istri yang baik" untukmu.

'Jadi selama ini ia ingin bercerai dariku?' Batinnya miris.

"Tetsuya.."

Dengan meruntuhkan semua harga diri yang ia pertahankan selama ini akhirnya ia berani membelai wajah pemuda tersebut yang notabene adalah istrinya sendiri—diiringi tatapan sendu ia pun berucap.

"Cepatlah bangun, Sleeping beauty."

Setelahnya ia mengecup kening pemuda tersebut lembut. Ia berharap saat mentari esok telah beranjak dari peraduannya sosok itu akan membuka matanya.

Dan menampilkan seukir senyuman yang mampu membuatnya jatuh cinta.

-o.O.o-

Langit telah menampilkan warna kelabu—senada dengan perasaan seorang wanita yang sama-sama memiliki surai senada langit hari ini.

Abu-abu.

"Chihiro-chan."

Seorang wanita bersurai abu-abu yang merasa memiliki nama tersebut segera tersadar dari lamunannya.

"Ya?"

Sahabat sekaligus besannya itu langsung mengerutkan kening.

"Kau melamun ya?" Chihiro hanya menatap lawan bicaranya dengan nada yang tidak antusias seperti biasanya.

"Tidak. Aku hanya memikirkan keadaan Tetsuya." Ucapnya pelan

Wanita berambut kuning keemasan itu langsung mengambil posisi duduk disampingnya.

"Apa yang kau pikirkan? Tidak baik jika kau memendamnya sendiri." Chihiro menengok sebentar ke arah Natsuko, kemudian ia menatap jauh ke depan dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Ini bukan sesuatu yang penting. Aku hanya penasaran mengapa anak itu tidak kunjung membuka matanya."

Natsuko yang melihat kondisi temannya yang seolah kehilangan semangat hidup itu ikut merasa sedih. Sedetik kemudian ia merangkul—lalu memeluknya erat.

"Chihiro-chan jangan sedih—ssu! Aku yakin Tecchan akan bangun sebentar lagi. Ayolah ini baru 2 hari berlalu, jangan berpikiran macam-macam!"

Perasaan hangat perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya, setelahnya ia tak kuasa menahan tangis—dibalasnya pelukan erat itu dan ia menumpahkan seluruh air mata di pundak sahabatnya itu.

"Menangislah.. jangan ditahan lagi Chihiro…chan." Gumamnya pelan, setelahnya Natsuko pun ikut menangis.

Mereka berdua menangis tanpa suara, saling berpelukan erat—seolah hal yang dialami Kuroko merupakan karma akibat perbuatan mereka yang terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangga anak sendiri.

Dalam tangisnya, baik Chihiro maupun Natsuko memanjatkan do'a kepada Tuhan Yang Maha Esa agar Kuroko segera siuman—dan semua kembali seperti semula.

-o.O.o-

Mentari telah beranjak dari peraduannya, pertanda pagi menjelang.

Tok Tok Tok!

Suara ketukan pintu yang dilancarkan oleh seseorang di luar sukses membuat Akashi Seijuurou, selaku pemilik rumah segera beranjak dari Kasur empuknya. Sekilas dilihatnya jam yang bertengger di atas dinding berwarna merah itu.

06:30 A.M

'Siapa yang bertamu sepagi ini sih.. menggangu saja.' batinnya sedikit kesal.

Setelah mengganti piyama berwarna navy blue nya—segera ia langkahkan kaki menuju pintu rumah untuk melihat siapa gerangan yang bertamu sepagi ini.

Dalam hati ia terus merutuk tamu yang tidak tahu sopan santun itu, bahkan jika itu orang tuanya sendiri ia tidak segan-segan akan memakinya.

Cklek!

"Kau!"

Terlihat sosok pemuda bersurai cokelat cerah dengan perawakan yang maskulin tengah berdiri tegap di hadapan Akashi.

"Aku harap kau tidak lupa siapa aku, Akashi." Akashi memicingkan mata menatapnya, sedikit ada perasaan tidak suka melihatnya saat ini.

"Ada urusan apa kau dengan Tetsuya?" Ucapnya dingin.

Sosok itu langsung menatap intens ke dalam mata Akashi. Ia pernah mengatakan hal serupa padanya kurang lebih 12 tahun lalu. Jujur itu membuatnya sedikit kesal.

"Bukan urusanmu, aku ini temannya."

"Aku suaminya."

Mendengar pertanyaan itu sontak menyadarkan dirinya tentang perbedaan status yang mereka sandang saat ini. Memang tidak pantas jika bertamu sepagi ini tapi ia khawatir akan kondisi kawannya saat ini—dikarenakan Kuroko sudah seminggu tidak membalas e-mailnya.

Ogiwara Shigehiro. Sahabat sekaligus cinta pertama Kuroko.

Menurut para fujoshi sih begitu.

"Apa katamu!?"

Sementara itu Akashi hanya menatap Ogiwara malas.

Setelah kedatangan Ogiwara yang mendadak itu, akhirnya dengan berat hati ia mempersilahkan dia masuk. Karena bagaimanapun kau harus memperlakukan tamu sebagai raja bukan?

Terlebih Ogiwara adalah sahabat dari istrinya sendiri, siapa tahu dengan kedatangannya Kuroko berniat untuk membuka matanya. Tapi Akashi sama sekali tidak mengharapkan jika orang yang berhasil membangunkan Kuroko itu adalah dia.

"Seingatku semasa kita kecil dia tidak mempunyai penyakit apapun." Akashi menatap Ogiwara dari sudut matanya.

"Meskipun ia memiliki fisik yang sedikit lemah sih." Lanjutnya.

"Aku yakin tidak lama lagi Tetsuya akan bangun."

Jawaban yang didengar Ogiwara dari mulut Akashi mungkin hanya sekedar harapan yang belum pasti, tapi Ogiwara yakin jika jawaban itu bisa dibuktikan kebenarannya.

"Shigehiro."

Sosok pemuda berambut coklat itu agak kaget saat Akashi memanggil nama kecilnya, memang mereka sudah bertemu sebelumnya tapi mereka bukan kawan akrab. Dia dan Kuroko yang sudah bersahabat sejak lama saja masih memanggil nama keluarga masing-masing.

"Ya?"

Ogiwara tidak ambil pusing dengan hal sepele seperti itu, yang lebih ia khawatirkan semoga kejadian semacam final Interhigh semasa SMP nya dulu tidak terulang kembali.

"Apa kau masih berhubungan dengan Tetsuya sampai saat ini?" Ogiwara menatap Akashi sejenak lalu menjawab "Ya."

"Maaf bisa kau jelaskan hubungan itu padaku, itu pun jika kau tidak keberatan."

Agak mengangetkan ketika kau melihat orang yang terkenal sangat dingin tiba-tiba meminta seperti itu, senyum tipis terpatri di wajahnya.

"Apa boleh buat jika kau sampai meminta seperti itu, tenang saja hubungannya bukan yang semacam 'itu' kok."

Mungkin Ogiwara tahu jika Akashi itu tipe suami yang mudah cemburu.

-o.O.o-

Flashback

Jadi hari ini adalah hari dimana Akashi dan Kuroko dijodohkan. Kuroko pernah cerita padaku jika memang ia memiliki perasaan khusus pada Akashi tapi hal itu tak berlangsung lama karena dia telah menyakiti hatinya dengan alasan yang tidak kuketahui.

Aku tahu hal tersebut setelah mendapat e-mail darinya tadi pagi

From : Kuroko

Ogiwara-kun hari ini adalah hari pernikahanku dengan Akashi-kun. Meskipun ini adalah perjodohan yang direncanakan oleh orangtua kami, semoga saja Akashi-kun tidak keberatan.
Aku tidak menyangka jika akan menikah dengan orang yang kucintai dulu, meskipun aku pernah berkata jika dia pernah menyakitiku tapi perasaan itu tidak benar-benar hilang dariku kok.
Maaf ya aku tidak bisa mengundangmu, hanya kerabat dekat yang diundang,
terlebih acaranya sendiri diadakan secara tertutup mengingat ini adalah pernikahan sesama jenis.
Semoga kau cepat menyusul ya haha
.

Melihat e-mail ada perasaan tidak rela di dalam diriku, karena bagaimanapun Kuroko itu sahabatku sejak kecil. Yah jika dia bahagia maka tugas seorang sahabat juga harus bahagia bukan?

Tapi melihat baris terakhir dari e-mailnya itu membuatku sedikit kesal, bagaimana mau menyusul jika kau belum punya calon yang pantas. Dengan senyum aku menjawab e-mail itu antusias.

To : Kuroko

Wahhh selamat Kuroko! Ehm—nyonya Akashi mungkin lebih tepatnya hahaha.
Jadi, apakah kita bisa bertemu setelah pernikahanmu nanti? mungkin lebih tepatnya setelah bulan madumu nyonya Akashi. Hahahaha doakan saja ya semoga aku diberi calon yang terbaik.
Sekali lagi selamat yaaaa.

Setelah mengirim tombol send Kuroko tidak lagi membalas pesanku, mungkin ia sedang bersiap-siap. Aku jadi membayangkan saat menikah nanti Kuroko mengenakan gaun pengantin atau Tuxedo ya.. kalau pakai gaun pengantin mungkin aku akan tertawa karena itu akan cocok sekali dengannya.

Kira-kira sudah tiga bulan berlalu sejak Kuroko memberitahuku tentang kabar pernikahannya dengan Akashi, aku sedikit khawatir karena biasanya Kuroko akan mengabariku seperti apapun keadaannya. Mungkin mereka sedang berbulan madu ya haha.

Baru saja berkata demikian kulihat ada satu notifikasi e-mail, dan begitu kubuka aku kaget siapa pengirimnya.

From : Kuroko tetsuya

Ogiwara-kun maaf sudah lama tidak menghubungimu, bagaimana kabarmu?

Dengan semangat aku membalas e-mailnya dan berselang satu menit kemudian ia menjawab. Setelah itu kami pun sering berkirim e-mail lagi setelah sekian lama, namun ia selalu menolak jika aku bertanya

'Apa kau sudah melakukan itu dengan Akashi?'

Dia bilangnya sih itu privasi tapi aku juga yang tidak sopan menanyakan hal itu padanya sih. Kalau menurut asumsiku mungkin saja mereka sudah sering melakukannya dan Kuroko malu untuk memberitahukan hal itu padaku.

Dia juga seringkali menceritakan jika Akashi sangat menyukai masakannya, bahkan menurutnya masakan terenak di dunia itu adalah milik ibunya dan istrinya sendiri. Atau saat itu ia bercerita menghabiskan waktu musim panas di Okinawa.

Yah mengetahui jika Kuroko baik-baik saja sudah lebih dari cukup bagiku.

"Dan sudah dua minggu ini ia tidak lagi mengirimiku e-mail, untung saja waktu itu aku pernah bertanya alamat rumah kalian padanya. Karena itu aku disini sekarang."

Mendengar hal itu Akashi jadi paham sekuat apa ikatan antara Kuroko dan Ogiwara, pantas saja ia sampai menangis saat dirinya mempermainkan Ogiwara di final dulu.

Cerita perihal rumah tangga yang dipenuhi oleh kebahagiaan itu hanyalah ilusi untuk membuat Ogiwara tidak khawatir akan kondisinya saat itu.

"Terima kasih sudah mau menceritakannya." Pemuda bersurai coklat itu menatap Akashi sedikit heran. "Maaf, tapi apakah cerita Kuroko—"

"Cerita itu sepenuhnya bohong belaka."

"Apa!?"

"Kebahagiaan yang Ia selalu beritahu padamu itu bohong, aku bahkan tidak pernah mencicipi satu pun hasil masakannya—apalagi pergi berlibur ke Okinawa saat musim panas."

Ogiwara merasa jika dinding kebahagiaannya perlahan runtuh—bukankah ia pernah berkata jika Kuroko bahagia maka ia pun begitu?

"Jadi selama ini.."

"Aku memang pria brengsek Shigehiro."

Mendengar hal itu seketika emosi Ogiwara tersulut, segera ia tonjok wajah Akashi hingga pemuda bersurai merah itu terjatuh.

"KALAU TAHU DIRIMU SEPERTI ITU AKU—"

"Biarkan kali ini aku yang memperbaiki semuanya dari awal. Karena itu kumohon agar orang luar sepertimu tidak mengganggu lagi."

"KAU—"

"Aku tahu kau memiliki perasaan khusus terhadap Tetsuya sejak dulu."

Mendengar hal itu jujur membuat dirinya ingin menonjok wajah Akashi lagi, tapi sepertinya kali ini ia benar-benar harus mengalah. Dan pertanyaan terakhir Akashi menyadarkan kembali statusnya yang bukan siapa-siapa bagi Kuroko.

"Kau benar, aku memiliki perasaan itu padanya sejak dulu, tapi karena diriku terlalu pengecut jadilah aku seperti ini haha." Ucap Ogiwara sambil tertawa, sementara itu Akashi hanya menatap dirinya datar.

"Berjanjilah padaku jika kau tidak akan menyakiti Kuroko lagi saat ia telah membuka matanya nanti, karena bagaimanapun kebahagiaan Kuroko adalah kebahagiaanku juga."

Akashi terbangun dari duduknya dan berdiri menghadap Ogiwara dengan kondisi pipi kanannya memar. Selanjutnya ia menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan pemuda di depannya.

"Aku berjanji."

Senyum tipis terlihat jelas di wajah Ogiwara, meskipun hatinya sakit entah mengapa ia masih bisa tersenyum untuk mengungkapkan perasaannya saat ini.

"Terima kasih."

Tidak lama setelah itu Ogiwara pun memutuskan untuk kembali ke Tokyo, karena bagaimanapun tujuannya datang ke Kyoto hanya untuk menemui Kuroko.

-o.O.o-

Jika terhitung semenjak pertiwa itu, ini sudah memasuki hari ke tiga dimana Kuroko Tetsuya pingsan. Akashi dan seluruh keluarga bingung apa yang menyebabkan Kuroko tidak juga membuka matanya.

Terlintas di pemikiran Akashi apa ia harus mencium istrinya itu agar ia bangun? Oh ayolah kisah itu hanya fiksi mana mungkin seseorang akan bangun hanya karena ciuman dari sang pangeran.

Mencium di bibir loh bukan di tempat yang lain.

Masalahnya itu… Akashi belum pernah mencium istrinya tepat di bibir, pernah sih berkali-kali itu pun saat dia mabuk. Masa ia harus mabuk dulu untuk mencium istrinya—sukur-sukur jika hanya mencium bibir kalau sampai memperkosanya lagi bagaimana?

Akashi pun jadi pusing sendiri dengan hal yang tak pasti.

"Tapi…tidak salah jika dicoba kan?"

Bukan.

Akashi tidak berniat untuk mabuk lalu mencium istrinya itu, tapi ia ingin mencobanya saat dengan keadaan sadar seperti ini.

Perlahan ia mendekati wajah istrinya yang masih terpejam itu, semakin dekat hatinya berdetak dua kali lebih cepat.

'Kenapa Tetsuya harus mempunyai wajah semanis ini sih..'

Jarak mereka terhitung tinggal 5 cm, dan selanjutnya.

CUP

Bibir mereka berdua bertautan. Selanjutnya Akashi sama sekali tidak bisa menebak jika hal itu berhasil atau tidak, karena Kuroko sendiri terlihat masih belum membuka matanya.

Namun,

Pergelangan tangannya mulai bergerak.

.

"Terima kasih."

.

-TBC-

A/N : Haloo semuanyaaa wah ganyangka chap kemaren lumayan banyak yg review /saya terhura. Dengan kekuatan bulan(?) saya ngebut bikin chap ini penuh cinta haha, ini jeda waktu tercepat saya loh ngelanjutin chap baru /gaadayangpeduliplis.

Yahh jadi berdasar dari para reviewer kemaren, kebanyakan dari kalian kepengen Kuroko disini Mpreg, jujur itu udah ada di pemikiran saya tapi untuk eksekusinya takut gagal karena authornya sendiri masih amatiran buat nulis mpreg atau ff nganu(?)

Setelah mempertimbangkan akhirnya memutuskan kalo RED bakal abis di chap 12. Jadi tunggu aja ya kira2 di sisa chap sebelum abis nanti Kuroko bakal bunting apa engga wkwkwk /dihajar.

Oke bales review dulu, yang login seperti biasa lewat PM.

Hoshi Akari : Halo makasih udah review~ Tetsuyanya lg jd sleeping beauty(?) ini udah lanjut ya jika berkenan silahkan mampir lagi )

Sekian dari saya~

Mind to RnR?^^