A/N: Ohisashiburi, minna-san. Ogenki desuka? :) Fi kembali lagi setelah sekian lama hiatus. Kali ini Fi kembali membawakan cerita multichapter dari fandom Naruto, salah satunya sebagai permintaan maaf karena belum juga mendapat pencerahan untuk membuat sekuel 'St. White's Day Romance'. #ojigi

Untuk cerita ini, Fi mencoba memasukkan genre Hurt/Comfort. It is my very first time writing in this genre, so please bear with me.. :)

Cerita ini terbagi atas empat bagian utama, yang masing-masing bagian ditandai dengan perbedaan Point of View. Well, let's get started! Happy reading, minna-san, hope you like it! ^^


.

~Hinata no Tame no Aijou~

ヒナタのための愛情

A Naruto Fanfic by FiDhysta

Rated: T

Genre: Drama, Hurt/Comfort, Romance

Pairing: Naruhina, Kibahina, Narusaku

Warning: Newbie, OOC, Typo(s), Canon

Disclaimer: I don't own Naruto. Masashi Kishimoto does.

.

If you don't like, just click the 'back' button, okay? ^^

.

Summary: Penolakan Naruto berdampak berat bagi hati Hinata. Meskipun diliputi rasa ragu, Hinata mencoba untuk menghargai keputusan tersebut, kemudian membuka hatinya untuk orang lain—orang yang tanpa disadarinya selalu ada kapanpun tanpa ia minta. Hinata dan yang lainnya pun harus belajar untuk memahami apa yang sebenarnya hati mereka inginkan, sebelum kesempatan itu terlewat dan menyisakan sebuah penyesalan. "Aku sangat bersyukur memiliki teman sepertimu."

.

Part I: Hinata's Part

.

Chapter 1

Cinnamon Rolls

.

"Naa, Sakura-chan, kudengar di Ichiraku Ramen ada menu baru, lho! Bagaimana kalau kita coba ke sana?"

"Aku harus bertemu dengan Tsunade-shishou sekarang, Naruto."

"Kalau begitu! Kalau begitu, habis kamu selesai dari Nenek Tsunade kita pergi, ya!"

"Mou, Naruto! Kapan kamu berhenti memaksaku, sih?"

.

Aku menatap sendu dua orang yang sedang beragumen tak jauh dari tempatku berdiri. Pemandangan ini sudah tak asing lagi bagi para warga Konoha, terlebih bagiku yang selalu memperhatikan pemuda itu. Tapi aku juga menyadarinya... Selepas Perang Dunia Shinobi Keempat, Naruto-kun memang...lebih intens merayu Sakura-san. Seperti sekarang ini.

"Sakura-chan 'kan sudah menyelamatkan nyawaku. Kalau bukan karena Sakura-chan, aku pasti sudah mati ketika Kurama ditarik keluar dari tubuhku. Makanya, aku 'kan ingin menunjukkan rasa terima kasihku!" pemuda berambut pirang itu nyengir, sedangkan gadis di sebelahnya terpaku sejenak sebelum menghela nafas.

"Pokoknya, aku ke tempat Tsunade-shishou sekarang..."

Gadis itu mempercepat langkahnya, sementara si pemuda terus mengekor sambil meminta agar gadis berambut pink itu menunggunya.

Tatapanku tak juga lepas dari kedua orang itu, setidaknya sampai mereka berbelok di persimpangan dan hilang dari pandanganku.

Aku menghela nafas.

Setelah perang usai dan dunia shinobi kembali damai, semua orang berbahagia dan kembali hidup dengan normal.

Tapi bagiku, ada sesuatu yang mengganjal... Sesuatu yang membuat hatiku serasa diremas setiap kali aku memikirkannya.

Sakura-san menyelamatkan nyawa Naruto-kun ketika dia sekarat, itulah berita yang kudengar dari sesama shinobi yang ikut berperang. Tentu aku merasa bersyukur dan berterima kasih pada Sakura-san karena dirinyalah, Naruto-kun masih bisa bersama-sama kami di Konoha.

Namun rupanya Naruto-kun terlalu bahagia ketika mengetahui Sakura-lah yang telah menyelamatkannya, dan sejak itu dia terus menerus mendekati Sakura-san dengan alasan ingin menunjukkan rasa terima kasihnya.

Atau alasan lainnya—kalaupun ada—apapun itu, yang tidak kuketahui.

Aku menghela nafas—lagi—lalu melangkahkan kakiku ke arah pertokoan desa Konoha. Aku tahu apa yang akan kulakukan untuk memperbaiki mood-ku.

.

.

.

"Ini dia, satu porsi cinnamon rolls untuk Nona Hinata," ujar wanita yang sudah kukenal itu seraya memberikan sekantong plastik berisi makanan yang kupesan.

"Terima kasih, Bibi," ucapku tersenyum, menerima bungkusan itu kemudian membayarnya.

"Kau tahu Nona, walaupun aku senang kau sering membeli cinnamon rolls di sini, kau harus tetap peduli dengan bentuk tubuhmu, lho!" canda wanita paruh baya itu, diikuti sebuah tawa kecil yang ramah.

"Tenang saja, Bibi pikir untuk apa jaket tebal yang selalu kupakai ini? Sedikit perubahan di pinggangku tak akan terlihat orang lain, kok," aku mengikuti candaannya, lalu tertawa kecil sambil melambai ke arahnya.

Aku kembali menyusuri jalan desa, menatap bungkusan yang menguarkan aroma manis di tanganku.

Ya, inilah yang kulakukan. Ketika mood-ku sedang berada di bawah, aku selalu membeli cinnamon rolls—berharap makanan manis ini akan sedikit membuat hatiku lebih ringan.

Ketika mulai memasuki daerah dekat rumahku, aku mendengar suara gonggongan anjing dari balik sudut jalan. Dari suara gonggongannya yang berat dan nyaring, pasti anjing itu berukuran besar. Suara tawa lepas seorang pemuda juga ikut terdengar mengikuti suara anjing tersebut.

Aku hafal dengan kedua suara itu.

Berbelok di sudut jalan, aku tersenyum mengetahui bahwa tebakanku tepat. Seorang pemuda berambut coklat terkikik menunggangi seekor anjing putih besar yang tengah mengibas-ngibaskan ekornya.

"Konnichiwa, Kiba-kun, Akamaru," sapaku pada dua rekanku yang telah kukenal baik itu. Kiba-kun menoleh, lalu memberikan cengiran lebar padaku seraya turun dari punggung Akamaru.

"Hei, Hinata! Baru saja kami akan mencarimu karena kamu nggak ada di rumah," ucap Kiba-kun, diikuti gonggongan Akamaru seakan ikut menyetujuinya.

Mengelus bulu halus Akamaru, aku tersenyum lembut, "Maaf ya, aku sedang jalan-jalan keliling desa..." ucapanku terhenti ketika menyadari raut wajah Kiba yang heran, kemudian dia mengendus-endus sejenak. Dia sontak mengernyitkan dahinya.

"Hinata, kamu beli cinnamon rolls lagi? Bukannya baru kemarin sore kamu makan itu, ya?"

Aku sedikit terbelalak. Kiba-kun memang tahu ini adalah makanan kesukaanku, tapi dia juga tahu aku tak akan mengonsumsi kue manis ini setidaknya lebih dari seminggu sekali—untuk menjaga bentuk tubuhku.

"A-ah, iya... Tapi, aku memang sedang ingin makan ini, sih, jadi tanpa sadar langsung beli..." adalah alasan bodoh yang kuberikan tanpa kupikirkan sebelumnya, disertai tawa yang terdengar kikuk untuk menyembunyikan rasa gugupku. Dasar bodoh, harusnya aku tahu—

"Hinata..." raut wajah Kiba-kun berubah serius, "Apa lagi yang mengganggu pikiranmu?"

Senyum palsuku kontan menghilang, digantikan dengan tatapan sendu dari mataku. Ya, harusnya aku tahu...

...Bahwa Kiba-kun juga mengetahui kebiasaanku memakan makanan manis jika aku sedang merasa sedih.

Tak ingin membuat sahabatku ini khawatir, aku hanya tersenyum kecil, berharap ini akan meyakinkan dirinya bahwa aku baik-baik saja. "Jangan dipikirkan. Hanya sedikit kepikiran sesuatu, kok. Tidak terlalu penting."

Aku mendengar Kiba-kun mendengus. "Kalau ini soal Naruto lagi, lebih baik kamu tak usah makan kue itu. Kalau setiap saat kamu kepikiran dia kamu langsung lari membeli makanan manis itu, aku tak mau tanggung jawab kalau tahu-tahu berat badanmu bertambah, lho!"

Wajahku terasa sedikit memanas mendengar nama pemuda itu, tapi sindiran Kiba-kun cukup untuk membuatku tertawa kecil. Dia selalu bisa membuatku merasa sedikit lebih baik.

"Ngomong-ngomong, karena kamu sudah di sini, ayo berangkat. Kurenai-sensei keluar dari rumah sakit hari ini, jadi aku ingin mengajakmu untuk menjenguknya bersama-sama," Kiba-kun melirikku sekilas, kemudian mulai berjalan bersama Akamaru. Berita itu sontak membuatku tersenyum senang. Kurenai-sensei yang terluka ketika perang karena melindungi putranya kini sudah baikan.

"Syukurlah! Oh ya, bagaimana dengan Shino-kun?" aku berlari-lari kecil berusaha menyusul langkah panjang Kiba-kun. Pemuda itu menggedikkan bahu.

"Dia ada misi dengan keluarganya. Well, kurasa hari ini hanya kau dan aku. Aku tak mau tahu kalau tiba-tiba nanti dia ngambek karena merasa ditinggalkan, toh aku sudah mencoba menjemputnya ke rumah. Suruh siapa dia lebih memilih ikut misi keluarga daripada menjenguk bersama teman-temannya? Lalu—"

Aku tak menyimak racauan Kiba-kun setelahnya. Aku hanya terkikik geli, dua temanku ini memang sulit sekali akur. Kiba-kun yang kasar dan tak sabaran serta Shino-kun yang terlalu pemikir dan sensitif.

Bersama sahabatku...kurasa hari ini aku tidak butuh cinnamon rolls lagi.

.

.

.

Menjenguk Kurenai-sensei memakan waktu yang cukup lama—ketika kami keluar dari rumah sakit, matahari mulai bersembunyi dari langit yang menyebarkan warna lembayung khas senja. Aku berjalan di samping Kiba-kun yang juga berjalan santai sambil mengelus anjing putih besarnya.

"Syukurlah Kurenai-sensei sudah baikan. Tapi... Kau merasa nggak sih, entah kapan terakhir kali kita menjalankan misi bersama dengannya?" tanya Kiba-kun seraya menatap langit.

Aku tersenyum maklum. "Yah, apa boleh buat... Karena sensei sekarang sudah punya bayi, akan sulit jika melakoni tugasnya sebagai shinobi sekaligus ibu rumah tangga..." meskipun kuakui, aku juga merindukan masa-masa saat kami masih bersama di Tim Delapan—menjalankan berbagai misi dengan Kurenai-sensei sebagai pembinanya.

"Haah... Entah kenapa aku merasa seperti ditelantarkan sekarang," menghela nafas, kepala bersurai coklat itu tertunduk lesu.

"Ng... Bersemangatlah, Kiba-kun! Kita masih bisa latihan bersama-sama dan menjalankan misi juga, 'kan, meskipun bukan di bawah pimpinan Kurenai-sensei," hiburku, memasang senyum yang kuharap bisa menenangkan pemuda pencinta anjing tersebut.

Dan sepertinya berhasil. Kiba-kun mengangkat wajahnya, menatapku sejenak kemudian tersenyum senang.

"Terima kasih, Hinata. Kalau begitu bagaimana kalau besok kita latihan bersama? Jam delapan di tempat biasa, ya!" cengiran pemuda itu mengiringi langkahnya menjauh dariku, kini dia berjalan ke arah kanan dari persimpangan menuju rumahnya.

"I-iya. Sampai besok," aku melambaikan tangan, yang juga dibalas lambaian tangan Kiba-kun dan gonggongan riang Akamaru. Setelah itu aku mengambil arah kiri dari persimpangan menuju kediamanku.

Baru beberapa langkah menyusuri jalan yang mulai gelap, aku mendengar suara seseorang—atau mungkin dua—dari arah depan, yang baru kusadari adalah sebuah kedai ramen.

Ichiraku Ramen.

"Haah, menu baru Ichiraku benar-benar enak! Syukurlah kita mencobanya, benar 'kan Sakura-chan?" seorang pemuda menyibak tirai kedai dan keluar dari dalamnya, menampilkan surai pirangnya yang mencolok. Langkahku seketika terhenti begitu menyadari pemuda itu. Cinta pertamaku. Uzumaki Naruto-kun.

"Kau tahu, kau tak perlu menungguku sampai selesai dari tempat Tsunade-shishou hanya untuk ini. Kau bisa mentraktirku lain kali 'kan, Naruto?" seorang gadis dengan surainya yang juga berwarna mencolok ikut keluar dari kedai, raut wajahnya tampak sedikit ditekuk.

Naruto-kun hanya memberikan cengiran khasnya yang tampan—kalau saja dia tahu betapa aku ingin dia juga memberikan cengiran itu padaku—lalu membalas dengan semangat, "Habisnya, aku nggak sabar ingin pergi berdua dengan Sakura-chan, sih. Syukurlah mengajakmu pergi sekarang sudah lebih mudah, aku nggak harus menerima bogem mentahmu tiap kali mengajakmu kencan."

"Naruto, aku sudah bilang 'kan, kamu tak perlu membalas budi untuk aksi penyelamatanku padamu. Semua orang pasti melakukan hal yang sama untukmu, lagipula Gaara juga berusaha keras menyelamatkanmu, kau tahu?" si gadis menautkan alisnya, menunjukkan protesnya pada pemuda di sebelahnya. Sementara yang diprotes justru semakin melebarkan cengirannya.

"Hehehe... Bukan cuma karena itu, sih. Aku hanya merasa senang sekali...karena Sakura-chan sudah mau menciumku."

Jantungku terasa berhenti berdetak. Aliran darah berhenti mengaliri wajah dan ujung jariku, membuat bibirku kelu dan jari-jariku terasa dingin. Dengan sisa tenaga dan tanpa diperintah otak, kakiku melangkah pelan merapat pada dinding kayu pinggir jalan, menyembunyikan tubuh kecilku dari pandangan orang lain.

Hati kecilku ingin aku segera pergi dari tempat itu, namun entah kenapa aku malah mematung di sana, membiarkan kedua telingaku menangkap percakapan kedua orang yang tengah menjauhi kedai ramen tersebut.

"Bo-bodoh! Itu bukan ciuman, tapi nafas buatan, tahu! Jangan salah paham!" dari nada suaranya, aku tahu Sakura-san kelabakan dan malu. Tapi rupanya Naruto-kun tidak mendengarkan pembelaan darinya.

"Hehehe... Aku dengar dari Gaara, kok! Sakura-chan berkali-kali menciumku dengan rasa panik kalau-kalau aku akan mati tiba-tiba," terdengar Naruto-kun menimpali dengan percaya diri.

"Makanya, kamu ini tahu perbedaan antara ciuman dengan nafas buatan, nggak sih?!" suara itu terdengar mulai frustasi sekarang.

"Aku bersyukur gadis pertama yang menciumku adalah kamu, Sakura-chan!"

"Dengarkan aku, Naruto!"

Aku tak mendengar percakapan mereka lagi setelahnya. Suara yang semakin lama kian samar, menunjukkan bahwa kedua orang itu telah berjalan menjauh dari tempatku berdiri. Sedangkan aku masih terpaku di sini, saling menggenggam jemariku yang bergetar di depan dadaku, mencengkram bungkusan plastik yang sejak siang tadi belum sempat kubuka.

Makanan favoritku.

Tiketku untuk kembali ceria—tapi apa sekarang masih bisa berfungsi seperti biasanya?

.

.

.

Aku tidak langsung pulang ke rumah.

Dengan perasaan yang hampa, aku hanya mengikuti ke mana kakiku melangkah, sepanjang perjalanan mataku hanya terpaku pada jalan yang kupijak. Mulai merasa bosan, aku berhenti, mengangkat wajahku untuk pertama kalinya sejak beberapa menit terakhir, untuk menyadari bahwa aku berada di daerah tempat tinggal Naruto-kun.

Pemuda yang mengisi pikiranku belakangan ini, pemuda yang membuat hatiku kacau seperti ini.

Aku tersenyum pedih, bahkan bawah sadarku pun membawaku ke tempatnya.

Saat itulah aku menyadari seseorang yang mendekat, dan seketika sudut bibirku kembali turun karena terkejut.

Seorang pria bersurai pirang dengan jaket hitam-oranye favoritnya, berjalan santai dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.

Naruto-kun.

Mataku terbelalak. Seberapapun aku ingin segera kabur, kedua kakiku berkhianat, tetap terpaku pada tanah yang kupijak.

Menyadari kehadiran seseorang di hadapannya, Naruto-kun mengangkat wajah, terkejut sesaat, lalu tersenyum ramah seperti biasanya ketika mengenali sosok diriku.

"Yo, Hinata! Ada apa malam-malam begini belum pulang?" sapanya ceria sambil melambai rendah.

Rasa gugup serta-merta merasuki tubuhku, membuat lidahku kelu dan tak dapat berbicara dengan lancar. "Ah, a-ano...aku... A-aku baru selesai menjenguk Kurenai-sensei di rumah sakit bersama K-Kiba-kun," tidak sepenuhnya bohong. Aku memang mengunjungi tempat itu. Setidaknya sebelum aku sampai di dekat kedai Ichiraku dan mendengar itu semua.

Aku menggigit bibir mengingat percakapan yang kudengar beberapa puluh menit yang lalu. Mengumpulkan segenap tenaga, aku memberanikan diri membalas pertanyaan basa-basi Naruto-kun.

"Na-Naruto-kun sendiri...ba-baru pulang?" kuedarkan pandanganku ke samping, ternyata aku tak sanggup menatap wajahnya.

"Begitulah. Aku baru saja mengantar Sakura-chan pulang sehabis dari Ichiraku," jawabnya santai. Bertolak belakang dengan nadanya yang ringan, kata-kata itu terasa menohok hatiku. Tapi aku tak bisa menghentikan percakapan ini begini saja. Itu namanya tidak sopan.

"Be-begitu, ya... Naruto-kun dan Sakura-san se-semakin akrab saja, ya..." kata-kata yang terasa pahit di lidahku, tapi tetap meluncur keluar dari mulutku.

Pemuda itu tersipu. "Yah, hehehe... Bisa dibilang begitu," dia menggosok hidungnya dengan jari telunjuknya, "Sakura-chan sudah menyelamatkan nyawaku, bagaimanapun juga."

Hatiku mencelos. Jika memang Naruto-kun menjadi lebih dekat dengan Sakura-san yang telah menyelamatkannya, tak bisakah aku juga merasakan hal yang sama? Aku juga... Bukankah aku juga pernah...

"Ah, Hinata juga pernah menyelamatkan aku dari Pain dulu, 'kan? Aku tak pernah melupakan usahamu itu, Hinata," seakan menyadari perubahan air mukaku, Naruto menambahkan.

Kata-kata itu sontak membuatku mengangkat wajah dan menatap wajahnya yang tengah tersenyum.

"Kau itu kuat. Dan keberanianmu waktu itu telah membuatku berhasil melawan Pain serta membawa Desa Konoha kembali dari kehancuran," ucapnya tulus, "Aku sangat bersyukur memiliki teman sepertimu..."

Sebagaimanapun aku merasa tersanjung oleh ungkapan tulusnya, hatiku kembali membeku ketika kalimat terakhirnya terucap. Apalagi dengan raut wajah Naruto-kun yang perlahan berubah serius, aku tahu dia sedang mereka ulang pernyataan cintaku padanya saat aku terjun menyelamatkannya waktu itu.

Dia kembali menatapku dengan kedua mata birunya yang selalu kukagumi. Tatapannya masih terasa lembut dan tulus—tapi tanpa ada cengiran khas di bibirnya, jantungku tak dapat berhenti berpacu karena rasa tak tenang.

.

"Tapi, kita...akan terus seperti ini, 'kan?"

.

Angin malam berhembus dingin menerpa wajahku. Aku tak terlalu merasakannya, mungkin karena sedari tadi memang wajahku sudah tak teraliri cukup dengan darah—pucat pasi. Genggaman jemariku pun melemah di depan dadaku seiring rasa dingin dan mati rasa yang semakin kentara dari ujung-ujung jariku.

"Tapi, kita...akan terus seperti ini, 'kan?"

Terus menjadi teman bagi Naruto-kun...

Aku mengerti sekarang. Itulah yang Naruto-kun inginkan dariku. Itulah jawaban Naruto-kun atas perasaanku yang sekian lama ini tak juga mendapatkan kepastian.

Melihatku yang menundukkan kepala, dengan kedua mataku tertutup oleh poni di dahiku, Naruto-kun kembali bersuara.

"Hinata...maaf, kau mengerti, 'kan?" suaranya begitu lembut, terdengar begitu hati-hati seakan dia akan mengoyakku jika dia menaikkan nadanya sedikit saja.

Pertanyaannya itu hanya membuatku semakin yakin bahwa yang ingin dikatakannya adalah bahwa aku hanya sebatas teman baginya. Bahwa dia hanya ingin aku tetap sebagai temannya. Aku menggigit bibir bawahku keras, berusaha menahan getaran yang keluar dari bibirku, menahan helaan nafas yang kutakuti akan keluar kapan saja.

Perlahan mengangkat wajahku, aku menyunggingkan senyum yang kuharap terlihat tetap tenang—atau setidaknya tak terlalu memperlihatkan isi hatiku yang entah sudah seperti apa bentuknya—hancur.

"Iya...aku mengerti. Terima kasih, Naruto-kun," melihat air muka pemuda di hadapanku yang menyiratkan simpati dan rasa bersalah, aku cepat-cepat membalikkan tubuh. Aku tidak sanggup.

"Aku pulang dulu, ya," aku maju selangkah, "S-selamat malam," menyadari suaraku mulai bergetar di kalimat terakhir, aku segera mempercepat langkahku. Membiarkan Naruto-kun menatap punggungku yang menjauh dengan penuh rasa bersalah.

Aku tidak sanggup.

Kupercepat lagi langkahku.

Aku sudah tak sanggup lagi menahannya.

Kini aku berlari di tengah jalan Desa Konoha.

Langkahku melambat ketika gerbang bertuliskan 'Hyuuga' terpampang di depanku. Lantas aku ambruk di pinggir gerbang kediamanku, kedua tanganku yang gemetar mengepal pada gerbang kayu tua kokoh itu. Tanpa terlebih dulu berusaha melangkah ke kamarku yang hangat—atau dapur tempat aku menyimpan piring kesayanganku untuk alas cemilan—aku membuka bungkusan plastik yang kubawa sejak siang tadi.

Menggigit potongan kue bulat beraroma manis itu, air mataku turun membasahi pipiku yang dingin karena angin malam.

"Aneh..." ucapku lemah, sambil terus memakan kue favoritku yang telah dingin, "Bukankah cinnamon rolls selalu bisa memperbaiki mood-ku?"

Memasukkan potongan terakhir kue itu ke dalam mulutku, aku menyadari air mataku turun semakin deras seiring bertambahnya jumlah suapan.

"Aku s-selalu percaya makanan manis seperti cinamon rolls b-bisa membuatku kembali ceria..." dengan sebelah tangan, aku menutup kedua mataku yang terus mengeluarkan air mata, "T-tapi ke-kenapa..."

"K-kenapa...Cinnamon rolls yang ini terasa begitu pahit..?"

.

.

.

TBC

.

.

A/N: Maaf untuk chapter pertama yang mungkin lumayan pendek ini, ya... Yah, terpaksa harus di-cut di situ karena ini baru awalnya. Terima kasih banyak sudah bersedia membaca, bersedia memberikan review? Fi tentu akan lebih senang lagi. ^^

Flame tidak akan Fi anggap, karena Fi percaya selalu ada cara yang lebih baik daripada menggunakan kata-kata kasar dan makian tak berdasar.

Sampai jumpa di chapter selanjutnya! ^^

Arigatou gozaimashita—FiDhysta, 2014