You're Not A Monster

Naruto © Masashi Kishimoto

Story by C.M.A


"Berubah itu… perubahan itu, akan terjadi jika kita berusaha dan tidak takut menunjukkan siapa diri kita sebenarnya."

"Monster atau bukan… kau adalah dirimu. Tidak ada yang lain."

Sekali lagi ucapannya pada Naruto kembali terngiang. Entah mengapa itu membuatnya gelisah. Dengan gerak perlahan ia mendudukkan diri di tepi ranjang dan melirik ke ranjang di ujung lain ruangan tempat teman sekamarnya tengah terlelap dengan selimut menutupi seluruh tubuh.

Hinata mendengus pelan lantas menyambar jubah tidur yang disampirkan di kepala jendela sebelum turun dari ranjang dan berjalan menuju jendela kamar yang menampilkan pemandangan bukit belakang sekolah. Ya, Hinata sangat suka pemandangan dari jendelanya karena ia bisa melihat pohon sakura itu yang terlihat kokoh berdiri di bawah siraman cahaya bintang.

Untuk sesaat Hinata hanya berdiri bersandar di kusen jendela yang dingin sambil membuat suara 'tuk' monoton dengan jari telunjuk yang mengetuk kaca jendela. Matanya menghadap sakura itu yang terlihat bergoyang karena tertiup angin sementara pikirannya sendiri terbang entah ke mana.

Bintang bersinar semakin terang dan beberapa kali sinar bulan terhalang awan yang berarak menutupi sebagian wajahnya namun Hinata masih sedia dengan aktivitasnya. Bunyi 'tuk' juga terus terdengar… pelan, pelan… dan

TRAK—

PRAANGGG—

Terkejut, Hinata menoleh ke kaca jendela yang sekarang lenyap dari posisinya lanas ke arah bawah tempat kaca-kaca itu terpecah belah hingga berkeping-keping karena terjatuh dari lantai 3. Was-was, Hinata menoleh cepat ke ranjang temannya, khawatir kalau-kalau ia membangunkan temannya. Untung saja hanya ada geliat kecil yang tertangkap mata Hinata.

"Bagaimana ini…?" lirih Hinata sambil meraba kusen jendela yang sekarang bolong itu, mengetuknya pelan. Padahal kusen jendela ini masih baru dan terbuat dari kayu jati yang kuat yang seharusnya tidak mudah rusak…

Mendengus untuk terakhir kalinya, Hinata membalikkan tubuh dan memutuskan untuk kembali tidur. Besok ia akan langsung memberi tahu bagian perbaikan sekolah ini untuk memperbaiki kaca jendelanya sebelum kedua pengawalnya tahu.

Ya, sebelum mereka tahu.

.

.

.

.

Akhir pekan tiba. Rasanya semua murid KEBS ingin menghela napas sekeras-kerasnya, melempar buku dari dalam tas, melempar sepatu olah raga sejauh-jauhnya dan berbaring manja di atas ranjang dengan ditemani guling beserta kawan-kawan. Namun sayang, sejak akhir pekan pertama mereka di KEBS, tidak ada lagi yang namanya berleha-leha di dalam kamar ber-AC dan kegiatan tidur sepanjang hari pun digantikan dengan bekerja rodi membersihkan kamar asrama serta lingkungan KEBS.

Tapi bahkan di tengaj pangawasan kepala asrama yang disiplinnya bukan main, Ino dan Sakura berhasil menyelinap ke asrama jurusan pendidikan. Mereka mengendap-endap hingga ke bagian belakang gedung yang dekat dengan kebun sayuran milik sekolah. Entah apa yang mereka lakukan, berjongkok dan bergerak seolah mengorek tanah, tapi hal itu jelas membuat seorang Uchiha Sasuke kepo luar biasa. Tanpa ba-bi-bu lagi, dia memutar tubuh dari direksi yang seharusnya dan membuat Naruto mau tak mau mengekor juga.

"Positif."

Itu suara Ino yang mereka dengar saat berdiri di belakang keduanya. Tubuh keduanya merapat hingga bahu-bahu mereka nyaris bersentuhan. Tidak ada yang dilakukan Sasuke di situ, hanya berdiri bak patung menunggu keduanya tersadar dengan kehadiran mereka.

Tapi toh sumbu kesabaran si Uchiha yang memang sudah pendek, makin pendek saja saat ia berhadapan dengan pemilik iris emerald yang baru saja berdiri dan berbalik lantas terkejut melihat kenampakan dua makhluk yang akhir-akhir ini membuatnya kesal.

"Apa yang kalian lakukan? Membolos bersih-bersih?" iris kelam milik Sasuke lantas terarah ke tangan Ino yang memegang sesuatu yang memantulkan cahaya—kaca. "Dan pecahan kaca apa itu?"

"Pecahan kaca yang bukan urusanmu," jawab Ino cepat sambil membungkus pecahan kaca itu dengan sarung tangan dan menyimpannya di saku jersey. "Ayo, Sakura!" ajaknya kemudian. Namun, yang dipanggil diam tak merespon dan malah terpaku menatap semburat biru keunguan di sekitar hidung berkulit pucat saingannya.

"Itu kenapa?" tanya Sakura dengan polos—atau pura-pura polos, Sasuke lebih memilih opsi terakhir. Nyaris 30 kali pertemuan di atas lantai kayu dojo yang dingin, selalu dirinya yang dibanting oleh gadis itu. Terlalu sulit bagi Sasuke untuk percaya kalau Sakura sekarang menanyakan hidungnya.

Atau terlalu tsundere untuk mengakui dengan sejujurnya saja.

"Terkena bola volli kemarin." Sahut Sasuke datar. Di belakangnya, suara tersendat Naruto yang berusaha menahan tawa sedikit mengganggu.

Sedetik…

Dua detik…

Tiga—

"Jangan bilang kemarin itu dia yang kena bola tepisan nona?" Sakura yang sigap langsung menarik Ino, memunggungi mata-mata yang heran dengan tingkah mereka.

"Memang." Dan jawaban datar Ino mengominfirmasi semuanya. Pantas saja…

"Hei!"

Sentakan di bahu kanan Sakura membuatnya membalikkan tubuh lagi. Kali ini dengan sudut-sudut bibir tertarik membuat senyuman geli.

"Ah, maaf! Lain kali hati-hati ya! Kami pergi dulu!" cepat-cepat Sakura menarik lengan Ino yang masih juga berwajah datar menjauh dari TKP. Tak lupa ia melambai sekilas di depan wajah stoic Sasuke yang memerah tanpa alasan.

"Jadi, apa kita tanyakan pada nona?" tanya Sakura bergitu mereka sudah menyebrangi taman pembatas asrama kedua jurusan.

"Sebaiknya jangan. Kita lihat saja dari jauh."

"Apa tidak berbahaya?" tanya Sakura ragu. "Aku khawatir…"

Ino menghela napas juga. Bohong kalau ia tidak merasakan yang sama. Tapi menurutnya yang terbaik yang bisa mereka lakukan adalah memantau dari jauh dan berdoa semoga saja apa yang mereka pikirkan tidak terjadi.

"Lagi pula ini cuma kaca, pasti tidak akan jadi terlalu buruk," ujar Ino lirih. "Dan selama semuanya masih jadi rahasia, nona akan aman-aman saja."

Sakura menggigit bibirnya. "Semoga saja."

.

.

.

.

"Ada kelopak bunga di rambutmu."

Hinata belum sempat merespon apalagi menangkis tangan yang seenaknya saja menggapai helaian rambutnya mseki dengan alasan mengambil kelopak bunga. Kedua tangan gadi itu tengah memegang dua plastik besar sampah yang hendak dibuangnya ke tempat sampah besar di dekat kebun.

"Te-terima kasih."

Hinata tersenyum gugup sambil berusaha untuk tidak menatap wajah pemuda yang kemarin diobati olehnya itu. Sesuatu yang ia telah ia ucapkan entah mengapa terasa sangat mengganjal dan membuatnya jengah sendiri hingga tidak berani bahkan hanya untuk melirik sosok di sebelahnya.

Sementara itu, Naruto yang sudah sedikit lebih peka, menyadari ada yang aneh dengan tingkah gadis di depannya ini. biasanya ia akan disuguhi senyum manis yang terkesan malu-malu—yang entah sejak kapan selalu ditunggunya jika mereka tak sengaja berpapasan. Ya. Ada yang aneh dengan dirinya juga.

Alih-alih bertanya sok tahu, Naruto mengambil satu kantong sampah dari salah satu tangan Hinata. "Ayo kubantu."

Aneh. Lagi-lagi ada yang aneh.

Harusnya ada senyum malu-malu dan ucapan yang terbata. Tapi saat dilirik dengan ekor mata, Hinata yang berjalan di sisinya hanya diam saja. Mau tak mau Naruto pun ikut diam. Toh selama ini memang selalu Hianta duluan yang membangun percakapan.

Mereka akhirnya tiba di tempat pembuangan sampah. Dengan satu tangan, Naruto meletakkan sampah mereka di balik jala dan menutupnya seperti sedia kala. Sekali lagi ia mencuri pandang ke arah Hinata yang sedang memakai hand sanitizer.

"Mau?" Hinata mengacungkan botol plasti berisi cairan pembersih itu. Gelagapan, Naruto pun akhirnya mengangguk saja.

Hinata menutup botol itu rapat setelah meneteskan beberapa cairan di atas telapak tangan Naruto yang membuka lantas menyelipkannya hati-hati ke saku kemeja.

Namun tiba-tiba angin berhembus kencang sekali. Sepertinya dari arah bukit karena di sekitar mereka jadi dipenuhi dengan kelopak bunga sakura. Beberapa kelopak itu tersangkut di helaian rambut Hinata dan Naruto.

Dengan susah payah Hinata mencoba merapikan rambutnya lagi dan menggelengkan kepalanya agar kelopak yang menempel terjatuh.

"Sakura…" ia mendengar suara Naruto, seketika gerakan tangan Hinata berhenti dan ia menoleh dengan waspada. Takut-takut pengawalnya itu muncul. Tapi ternyata yang dimaksud pemuda itu adalah pohon sakura di puncak bukit. Wajahnya mendongak, menatap pohon yang terlihat lebih jelas dibanding jika Hinata melihatnya dari jendela kamar.

"Ada legenda tentang pohon itu. Kau tahu?" tanya Naruto sambil menoleh. Wajah datarnya yang biasa sedikit merona namun Hinata terlalu sibuk menghindarinya.

"Y-ya, aku tahu." Jawab Hinata terbata. Lama setelahnya, hanya ada hening yang menyapa, membuat gadis itu bingung lantas mendongak juga.

Dan mata itu sedang menatapnya. Mata bak bola kristal es yang membuat sensasi panas dingin yang keterlaluan.

"A-apa?"

Naruto tidak menjawab, ia malah mengulurkan tangan ke arah kepala Hinata sementara gadis itu memejamkan mata saking malunya.

Dengan dua jari, Naruto mengambil kelopak sakura yang terselip di helai rambut Hinata dan menunjukkannya di depan mata gadis itu yang sudah membuka. Dan akhirnya Naruto bisa melihat semburat merah yang biasanya. Oke, harus ia akui kalau dirinya suka memperhatikan detail gadis ini saat bicara dengannya, makanya ia bisa tahu ada yang aneh.

Naruto menyunggingkan sebuah senyuman melihat gadis di depannya salah tingkah. Oh, ke manakah dirinya yang dulu? Kenapa sekarang mengerjai gadis ini terasa sangat menyenangkan?

"Naruto kun juga ada kelopak di rambutnya…" Hinata memilih mengalihkan perhatian pemuda itu dengan menunjuk rambut blonde-nya yang juga dihinggapi kelopak bunga. Keras, Naruto menggelengkan kepala.

"Tunggu, menunduk sebentar…"

Manis. Aroma manis yang sama kembali tercium hidung Hinata, membuatnya bernostalgia. Aroma ini aroma yang sama yang pernah dihirupnya saat Naruto membawanya ke UKS. Tapi Hinata mencoba menepis pikirannya yang mulai melantur dan cepat-cepat membersihkan kelopak bunga itu. "Sudah…" kata Hinata pelan dan menarik turun tangannya.

Angin berhembus sekali lagi. kali ini lebih keras dari yang sebelumnya dan membuat rambut panjang Hinata berkibar bak bendera—atau tirai yang menutupi sebagian wajahnya.

Juga wajah Naruto.

Dan bibir mereka yang bersentuhan.

.

.

.

.

Sakura memutari kantin dengan gelisah. Dua nampan sedia di tangannya tapi orang yang dicarinya tak muncul juga. Ino? Oh bukan. Temannya itu sedang 'menyelidiki' sesuatu, katanya, jadi tidak sempat makan siang.

Dengan lesu akhirnya Sakura mengambil duduk di salah satu kursi yang dekat dengan jendela. Jujur saja, pemandangan dari dalam kantin itu terbatas. Hanya tembok-tembok pembatas kebun belakang sekolah yang letaknya bersebrangan dengan tempat pembuangan sampah.

Dan itu.

Aduh. Mata Sakura belum min kan?

Itu… apa?

Sakura memicingkan matanya lagi dan fokus pada sosok yang mendeorong sosok yang jauh lebih tinggi lantas berlari meninggalkan tempat itu.

"I-Inoooo…..!"

.

.

.

.

Tunggu sebentar…

Hinata sedikit bingung. Ralat. Dia sangat bingung. Oke, mari dipikir ulang.

Pagi ini dia bangun lebih pagi—sebenarnya tidak tidur juga sih. Lantas langsung ikut apel pagi dan kerja bakti membersihkan asrama. Kemudaian sarapan dan membersihkan sisa pekerjaannya yaitu mengepel dan membuang sampah.

Sampai di situ, semuanya masih normal. Bahkan absen-nya dua pengawalnya juga masih bisa dibilang normal. Atau perasaannya yang masih mengganjal juga belum beralih kategori menjadi ekstrem.

Lalu setelah orang yang harus dihindarinya muncul, keabsurd-an mulai terjadi. Percakapan aneh yang biasa, sikap pemuda itu yang lain, kelopak sakura dan…

Itu.

Ah. Hinata sampai berpegangan pada tiang agar ia tidak berbalik badan dan meminta maaf pada Naruto. Tapi itu salahnya sendiri membuat Hinata kaget…

Kemudian ini.

Kalau yang ini, Hinata sama sekali tidak paham.

Bagaimana bisa ia terjebak dalam pem-bully-an?

Ah. Ralat. Dia-lah yang di-bully.

.

.

.

.

"Awww!" Hinata menjerit saat salah satu dari tiga gadis di hadapannya menjambak kuat-kuat rambut panjangnya. Ia bahkan bisa merasa ada rambutnya yang rontok. Karena menggeliat makin membuat jambakan itu menguat, Hinata akhirnya pasrah saja, bersandar di pagar kawat yang mengelilingi lapangan tenis.

"Dengar baik-baik ya!" Hinata mengaduh, saat tangan yang lain menarik kerah bajunya. "Naruto itu punyaku! Jangan berani dekati dia lagi!" katanya tajam sambil membenturkan tubuh Hinata ke pagar kawat di belakanya dengan keras hingga membuat plang kayu berbingkai besi yang menggantung di puncak pagar kawat sedikit terguncang.

"Dan jangan kau pikir karena kau manis, Naruto akan menyukaimu! Gadis sepertimu tak beda dengan playgirl murahan yang menggunakan wajah manis untuk menggoda lelaki. Kuperingatkan kau ya, menjauhlah dari Naruto!"

Setelah mengancamnya seperti itu, gadis itu menjambak rambut Hinata hingga Hinata setengah membungkuk, rasanya seperti kulit kepalanya seolah tertarik. Air mata Hinata sudah terkumpul di sudut, rasanya perih… dan dia tidak tahan.

Satu dorongan kuat yang lain menghempas Hinata ke belakang. Saking kerasnya, plang yang menggantung itu terlepas dari tempatnya dan jatuh meluncur tepat ke atas Hinata…

Tidak ada yang Hinata pikirkan lagi. Sakit dan kemarahannya membuatnya tidak bisa berpikir apalagi mengontrol diri. Setengah kesakitan, Hinata mengangkat satu tangannya. Siap menyambut plang itu semntara suara-suara terkejut di sekitarnya terabaikan.

"Hinata!"

'Naru—?'

BRAAAKKK—

Satu tepisan saja. Satu tangan. Bahkan tidak membutuhkan usaha lebih dan sedetik kemudian plang itu berubah menjadi serpihan. Rangka besinya terlempar jauh ke depan.

Tiga pasang mata gadis menatapnya terperangah. Tapi itu hanya bertahan sebentar sebelum tatapan itu berubah menjadi tatapan yang Hinata benci. Benci sekali…

Tatapan ketakutan.

"Mo-monster…" cicit gadis yang tadi membullinya.

Hati Hinata mencelos. Apalagi teringat dengan pemuda yang berdiri tak jauh dari rangka besi yang terlempar olehnya. Dengan perlahan, Hinata berdiri. Air mata sudah membanjir hingga ke dagu entah sejak kapan.

Melihatnya berdiri, sontak ketiga gadis itu langsung mengambil jarak. Dan begitu Hinata mengangkat wajahnya, ketiganya berlari cepat seolah Hinata akan melakukan hal yang buruk.

Lagi-lagi…

Hinata menoleh ke arah Naruto yang masih berdiri di tempatnya. Matanya terlalu berkabut untuk tahu ekspresi macam apa yang terlukis di wajah Naruto. Tapi itu tak penting. Ia sudah tahu. Pada akhirnya ia selalu jadi pihak yang dibenci. Pihak yang ditakuti.

Mengusap air matanya, Hinata berlari menjauh secepat ia bisa. Jantungnya berdebar hingga terasa sakit dan telinganya berdenging, mengabaikan panggilan di belakang punggungnya.

"Hinata! Hinata!"

"Hinata, tunggu!"

.

.

.

.

"Lihat itu! Heii monster! Apa lagi yang kau rusak hari ini?"

"Apa? Kau mau memukulku? Huuu… dasar monster!"

"Jangan dekat-dekat dengannya. Dia itu monster! Masa dia merusak dinding sekolah hingga jebol?"

"Monster!"

"Monster!"

"Pergi kau monster!"

Hinata menangis keras sambil berlari. Oksigen sudah sulit didapatkannya saat langkah kakinya semakin cepat menapaki tanah terjal bukit di belakang sekolah. Kilasan masa lalu itu semakin memperparahnya. Sekali lagi, siklus ini terulang.

Monster…

"Huaaa…." Hinata menjerit keras dan menjatuhkan diri begitu saja karena kakinya tak sanggup lagi berlari. Sesenggukannya semakin parah dan wajahnya sudah lengket dengan air mata.

"Hinata?"

Satu suara tertangkap telinganya. Sangat familiar.

"Pergi!" jerit Hinata keras. "Pergi! Jauhi aku!"

Naruto menatap sedih gadis itu dan berjalan mendekat. Tanpa ragu ditariknya Hinata hingga berdiri dan mendekapnya erat.

"Lepasss!" suara Hinata yang teredam di dadanya membuat Naruto miris, tapi tetap melingkari tubuh yang gemetar itu dengan kedua lengan kokohnya. Sakit di punggungnya akibat pukulan kepalan tangan Hinata bisa ia tahan. Apa saja, asal gadis di pelukannya tenang.

"Menangislah, keluarkan semuanya."

Seperti sihir, ucapan Naruto seperti membuka keran hati Hinata yang selalu berusaha ia tutup rapat-rapat. Dan dia akhirnya menumpahkan segala kesedihannya di dalam pelukan Naruto entah berapa lama hingga ia kehabisan napas dan Naruto terpaksa menghentikannya sebelum Hinata pingsan.

Canggung merebak. Naruto tidak tahu bagaimana menangani gadis yang menangis—histeris—seperti Hinata. Jadi ia hanya duduk di sebelah Hinata hingga napas gadis itu berubah teratur.

"Hinata?" tak tahan dengan kebisuan gadis itu, Naruto mendongakkan wajah Hinata tanpa perlawan dan ia langsung disuguhi wajah berantakan habis menangis yang khas.

Air mata berjatuhan lagi seperti tak bisa berhenti, tidak terputus. "Jangan menangis…" Naruto berujar lirih sambil mengusah aliran air mata itu lembut sementara Hinata masih mengunci mulutnya.

"Apa ada yang sakit?"

"Pergi."

"Eh?"

"Pergi."

Naruto mengerutkan alisnya. Apa itu barusan? "Pergi?" ulangnya bingung.

"Pergi. Jauhi aku." Bisik Hinata sambil menepis tangan Naruto dari wajahnya. "Kamu juga pasti tidak ingin berurusan dengan monster sepertiku."

Sudah. Hinata berhasil mengucapkannya. Mengatakan hal yang membuatnya hancur. Kenapa saat ia jatuh hati pada seseorang, ia harus tersadar kalau dia adalah monster.

"Monster?"

"Kau tidak lihat yang tadi?"

"Maksudmu?"

Hinata memalingkan wajah. Air mata sudah mulai berhenti turun. "Aku yang seperti ini… aku tidak mau. Pergilah. Aku tidak mau melukaimu."

"Melukaiku?"

Hinata mendengus frustasi sambil mencoba bangkit, namun Naruto menarik tangannya hingga ia terduduk kembali. "Jelaskan maksudmu atau aku tidak akan membiarkanmu pergi."

"Sakit kan?" bisik Hinata pelan.

"Apanya?"

"Punggungmu."

Naruto diam sebentar. "Sedikit."

"Tidak mungkin." Hinata mendengus. "Aku hampir mengeluarkan seperdelapan kekuatanku. Tidak mungkin sedikit."

Seperdelapan? Dan sudah sesakit ini? Naruto jelas terkejut. Gadis ini…

"Mengerikan bukan?" bisik gadis itu lagi. "Bodohlah mereka yang mengataimu monster. Aku lah monster. Aku bisa merobohkan dinding dengan satu tinju. Aku bisa mematahkan besi dengan tangan kosong. Aku bisa… melukai."

Nada terakhir ucapannya membuat Naruto tersentak. Kesan yang sama tertangkap olehnya. Rasanya seperti mendengar dirinya yang dulu.

Ya. Yang dulu. Karena ia akhirnya tersadar saat ia mencium Hinata tadi. Sadar bahwa Hinata sudah banyak merubahnya.

"Tidak. Kamu lebih dari itu." Naruto tidak yakin dengan apa yang ia lakukan—menarik Hinata mendekat—tapi ia ingin gadis itu mendengarnya sekarang. Saat mata mereka bertatapan tadi, Naruto tidak sanggup melihat ketakutan di dalamnya. Hidup dengan berhati-hati untuk tidak lepas kontrol, Naruto tahu bagaimana rasanya.

"Kau lah yang mengajariku kalau semua orang bisa berubah. Kamu lebih baik dari itu. Kau bisa membuatku tersenyum. Apa itu yang biasa dilakukan monster?"

Hinata menggigit bibir dan membiarkan tangan Naruto menggenggam tangannya.

"Apa yang menjadikanmu monster adalah sifat dan sikapmu. Kau yang membuatku menyadari itu jadi tolong jangan membenci dirimu seperti ini. Jangan menolakku. Jangan menolak orang lain. Dan jangan malu menunjukkan dirimu. Itu kata-katamu bukan?"

Hinata menggeleng.

"Aku mon—"

"Kau bukan monster." Naruto mendongakkan wajah Hinata agar menatap matanya. "Bukan."

Hinata meneteskan air mata lagi. "Aku sudah berusaha! Aku menahan diriku tapi mereka, mereka selalu…. Aku tidak banyak mengeluarkan tenaga. Sakura dan Ino sudah menjagaku agar tidak berlebihan. Aku… takut. Kekuatan ini, aku tidak tahu bagaimana mengontrolnya." Hinata kalit dan menumpahkan pikirannya itu cepat.

"Kalau begitu biarkan aku membantumu." Ujar Naruto. "Kali ini, tolong jangan menghindar. Aku juga ingin membalas kebaikanmu. Apa kau tahu seperti apa orang memandangmu? Malaikat. Kau seperti malaikat. Kau malaikatku."

"Tidak… aku—"

"Ssshhh… Hinata." Naruto menempelkan jarinya di bibir Hinata. "Kalau kau terlalu takut, maka biarkan aku yang menjagamu."

"Aku melukaimu."

"Ya, tapi tidak sengaja. Itu berbeda." Kata Naruto penuh penekanan.

Hinata menunduk dalam. Ia hanya ingin satu keinginannya terkabul. Ia sudah lelah dengan tatapan-tatapan ketakutan dan tajam. Ia ingin ini semua berhenti. "Aku ingin berubah." Lirihnya.

"Kalau begitu, aku akan membantumu. Selamanya. Di sisimu." Bisik Naruto lembut sambil memeluk Hinata lagi. Senyuman terlukis di wajahnya saat dirasanya tangan kecil Hinata balas memeluknya.

Lama mereka berpelukan hingga akhirnya Naruto melepaskan tubuh Hinata dan memaksanya menatap ke belakang. "Lihat."

Dengan bingung, Hinata menurut dan terbelalak melihat pohon sakura berdiri di sana. Jadi ia sudah berlari sampai puncak bukit?

"I..ini."

Naruto mengelus pucuk kepala Hinata. "Katanya, kalau pasangan berikrar di hadapan pohon ini, cintanya akan abadi. Nah, kau mau mencobanya?"

Hinata terpaku sebentar sementara rona merah mulai menjalar hingga ke telinga.

"Bagaimana? Mau coba?" goda Naruto yang menariknya berdiri. Ia nyaris tertawa saat Hinata menghadapnya dengan wajah sudah memerah sepenuhnya.

"Naruto-kun, kau ingat? Aku pernah bilang aku punya alergi kan?" kata Hinata pelan.

"Ah iya benar. Lalu?"

"Aku alergi dengan lawan jenis."

"Oh—EH?"

Hinata tersenyum. "Aku tidak mengerti kenapa. Kupikir mungkin karena selam ini aku tidak pernah dekat dengan pemuda manapun. Tapi…"

"Tapi apa?"

"Tapi hanya Naruto, yang tidak membuatku alergi." Ucap Hinata dengan menundukkan wajah. Melihat sifat dasar Hinata yang sudah kembali—manis seperti biasa—Naruto membungkukan badannya hingga bibirnya sejajar telinga Hinata.

"Aishiteru yo, Hime."

Telinga Hinata merasa geli. Senyum bahagia merekah di wajah. "A-aku juga, Naruto-kun…"

Naruto tersenyum puas dan memeluk pinggang Hinata. "Nah, apa yang akan kita lakukan pada tiga gadis tadi yang sudah membulli mu?" tanyanya jail.

"Naruto-kun! Tidak boleh!"

"Loh? Kenapa? Aku tidak suka mereka melukaimu begitu."

"Iya, tapi…"

.

.

.

.

Perdebatan itu masih berlanjut. Malah semakin heboh, memungkinkan tiga pasang telinga itu menangkap jelas ucapan mereka sementara tubuh ketiganya tersembunyi di balik semak.

"Sakura, diam!"

"Aku kesal! Aku ingin memukulnya!"

"Kau mau Nona marah?"

"Ta-tapi… nanti bagaimana kita melapor pada Tuan Hiashi?!"

Ah. Ino melupakan yang satu itu. Sejak awal melihat pecaha kaca itu ia tahu Nonanya lagi-lagi lepas kontrol. Padahal mereka ditugaskan untuk memastikan nonanya tidak bersinggungan dengan orang lain. Bukan takut nonanya terluka. Tapi takut orang lain terluka. Nonanya baik—tentu saja, tapi toh semut saja menggigit jika diganggu. Lah, Nonanya?

Makanya Hiashi menugasi mereka berdua. Cukup sudah berurusan dengan pihak pengacara korban yang meminta ganti rugi atas properti atau biaya pengobatan akibat berjibaku dengan putrinya. Ia paham kalau itu bukan salah putrinya. Tapi siapa sih yang mau peduli?

Sementara dua gadis di sebelahnya sibuk berdebat. Sosok pemuda dengan mata setajam elang itu nyeletuk.

"Jadi, dia yang melempar bola volli itu ke wajahku?" oh, Sasuke. Akhirnya kau tahu juga.

"Teknisnya, nonaku hanya menepis bola itu ya. Dan lagi, kenapa kau mengekor kami ke sini?!" tanya Sakura galak namun Sasuke acuh saja.

"Kalian semua gadis yang mengerikan. Gen dari siapa sih yang diwariskan ke kalian?" tanya pemuda itu kasar.

Ino yang kesal langsung mengacungkan ponsel. Di layarnya tertera lambang keluarga Hyuuga. Tapi bukan yang biasa melainkan lambang bisnis keluarga itu.

"Hyuugazine?" Sasuke mengeja perlahan deretan huruf di bawah gambar pedang dan pistol yang terpaku di atas perisai.

Itu kan…

"Kami dari keluarga penguasa pasar senjata. Keluarga nonaku menguasai 80% pasar senjata dunia. Dan kami memang kuat. Ada dalam gen kami."

Sasuke sweatdrop dibuatnya. Bukannya tidak paham, justru karena ia mengerti benar. Hyuugazine hampir menyamai Yakuza. Bahkan mungkin sekarang di atasnya dalam hal kekuatan. Sungguhkah ini terjadi? Jadi Hinata anak ketua Hyuugazine?

"Kalau mereka menikah, bagaimana anaknya ya?" Sakura nyeletuk. "Sekuat apa ya jadinya? Menurutmu bagaimana Ino?" ia menoleh ke arah partnernya. Yang ditanya sibuk berpikir namun yang menjawab malah cowok di sebelahnya.

"Mungkin sekuat anak kita nanti."

"EH?!"

.

.

.

.

THE END

.

.

.

.

A/N : Cukup. Saya gak bisa komentar. Ini absurd kok jadinya *nangisdipojokan. Maaf~~

BTW, ide Naruto yang kuat di sini trus ditakutin gt samoe dianyasendiri jad anti-sosial itu saya dapet dari komiknya Shiraishi Yuki yang judul eng-nya Let's Us Share Our secret. Hinata yang alergi juga dari situ. Maaf baru sempet cantumin disclaimernya.

Jaa na~