You're Not A Monster

Naruto © Masashi Kishimoto

Story by C.M.A

Special for NaruHina Fluffy Day #5

Picture isn't mine


—KONOHA ELITE BOARDING SCHOOL—

Begitulah bunyi tulisan di atas plang perak yang terpancang gagah di depan gedung besar bertingkat bercat merah bata kehitaman. Meskipun dibilang 'elite' sesungguhnya ini hanya sekolah asrama biasa saja. Bedanya, sekolah ini dikhususkan menjadi dua jurusan. Jurusan pendidikan dan jurusan Olahraga. Kebanyakan muridnya adalah para siswa berprestasi yang telah mengalami penyaringan ketat. Butuh lebih dari sekedar pintar dan fisik yang kuat untuk masuk ke sekolah ini. Dan juga butuh sekedar bakat untuk bisa lulus dengan nilai bagus.

Hinata meregangkan tubuhnya yang kaku karena harus duduk berjam-jam dalam bus yang menjemput mereka dari terminal bandara. Letak sekolah ini memang ada di kaki bukit sehingga diberikan pelayanan khusus yaitu bus sekolah untuk mengantar-jemput. Di sebelahnya, gadis sepantaran Hinata yang berambut pink lembut, sedang menguap lebar-lebar.

"Hoi Ino-pig! Bangun! Kita sudah sampai!" Sakura mengguncangkan bahu teman yang duduk di belakang kursinya dengan penutup mata terpasang sempurna. Perlahan, gerakan menggeliat lemah tercipta dan tangan putih itu menarik penutup mata turun hingga ke dagu, menunjukkan sepasang mata biru yang sedikit kemerahan.

"Ayo Hinata-Hime, saya bawakan tas Anda." Sakura yang sudah rapi dengan tas besar tersampir di bahu, meminta tas punggung kecil yang didekap Hinata.

"Ano… tidak usah Sakura-chan. Aku bisa membawanya." Tolak Hinata halus disertai senyuman manis yang melelehkan hati.

"Ta-tapi Hinata-Hime…"

"Biarkan saja kalau Nona sudah bilang tidak, Sakura." Timpal Ino yang sekarang sudah ikut berdiri dan bersiap turun dari bus. Rambut pirang panjangnya terurai berantakan.

Sakura melempar tatapan jengkelnya pada Ino. "Hei, kita di sini bukannya mau sekolah ya. Kita sekolah di sini karena harus menjaga Hinata-Hime! Apa kau sudah lupa pesan Tuan Hiashi?!"

Ino memutar matanya malas. Ia masih mengantuk dan tidak berniat bertengkar dengan sahabat sekaligus partnernya dalam menjaga putri tuan mereka. Memang benar mereka sekolah di sini karena tuan mereka tidak ingin putri tersayangnya itu sampai dicelakai oleh siswa-siswi KEBS. Isu bullying tentu saja tak luput dari telinga tajam seorang Hyuuga Hiashi. Tapi ia juga mengerti kalau nonanya juga ingin bersenang-senang sedikit, tidak mau terlalu terkekang setelah akhirnya berhasil keluar dari mansion keluarga Hyuuga.

Hinata yang melihat pertengkaran kedua 'pengawalnya' hanya bisa tersenyum. "Sudah-sudah, ayo semua turun. Kita harus berbaris di aula kan?"

Senyum manis itu lagi-lagi membilas habis kejengkelan Haruno Sakura dan membuat Yamanaka Ino bergegas turun untuk memberi jalan bagi nonanya.

"Hati-hati, Hime," Ino mengulurkan tangan dan membantu Hinata turun dari bus. "Sebaiknya sebelum kamar kita ditentukan, kita jangan sampai terpisah."

Hinata mengangguk mengerti dan mulai berjalan dengan diapit kedua gadis pemegang sabuk hitam karate dan taekwondo di kanan-kirinya. Matanya tak lepas mengamati kemegahan gedung yang akan menjadi rumah mereka selama tiga tahun kedepan. Tanpa bisa dikontrol, debaran jantungnya meningkat cepat.

Selama nyaris 16 tahun hidupnya, Hinata tidak pernah tahu bagaimana dunia luar itu. Ia selalu tinggal di mansion besar milik keluarganya yang terpandang. Pendidikan dan segala kebutuhan lainnya dipenuhi di dalam mansion. Dan baru kali ini sang ayah mengizinkan Hinata sekolah di luar dengan syarat Sakura dan Ino harus ikut menemaninya. Maka dari itu Hinata memilih KEBS yang memiliki jurusan yang sesuai bagi mereka bertiga. Hinata sangat suka belajar sementara kedua pengawalnya memang sudah lama di-training keras untuk menjadi pengawal yang handal.

"Katanya ada legenda yang mengatakan kalau sepasang kekasih menyatakan cinta di depan pohon sakura di puncak bukit, maka cinta mereka akan menyatu selamanya." Celetuk Ino tiba-tiba dengan wajah datarnya.

"Tau dari mana kau?" tanya Sakura.

"Hei, bukannya memang sudah tugas kita untuk mencari sebanyak mungkin informasi agar bisa menjaga Hime sebaik mungkin?"

"Tapi infomu itu tidak membantu sama sekali."

"Mungkin. Tapi masih lebih baik dibandingkan kamu yang tidak cari informasi sama sekali."

"Kata siapa?!"

Hinata mengabaikan pertengkaran keduanya yang sudah menjadi rutinitas itu. Ia lebih memilih melihat keindahan lingkungan sekitarnya. Bunga sakura yang bermekaran, kelopaknya jatuh tertiup angin dan bertebaran di atas tanah. Langit biru yang bersih tanpa awan dan udara perbukitan yang sejuk sungguh membuatnya senang.

Angin bukit terasa menggelitik tengkuknya dan membelai rambut panjangnya. Hinata hanya tersenyum saat angin itu bertiup semakin kencang, ia menganggapnya sebagai ucapan selamat datang dari sang angin.

Namun ketika Hinata ingin berbalik untuk mengecek kondisi pengawalnya yang sepertinya masih ribut juga, matanya menangkap sosok pemuda yang berdiri tak jauh darinya.

Pemuda itu memakai jersey yang sama seperti yang dipakai Sakura dan Ino, menandakan kalau dirinya adalah siswa jurusan olahraga. Rambut pirangnya rebah dan menempel di dahi hingga pipinya yang tergores garis tipis horizontal, menyembunyikan sepasang mata beriris safir jernih yang terlihat berkilau di bawah siraman cahaya matahari.

Karena pergaulannya yang dibatasi ketat oleh sang ayah, Hinata hanya sedikit sekali berhubungan dengan laki-laki. Malah sepertinya hanya Hyuuga Neji saja lah pemuda sepantaran yang cukup sering berinteraksi dengannya. Itu juga karena Neji adalah kakak sepupunya. Jadi ketika Hinata melihat Naruto, jantungnya langsung berdebar dengan anehnya.

"Namanya Namikaze Naruto." Ucap Ino tepat di sebelah telinga Hinata hingga membuatnya terlonjak dan merona karena ketahuan memandangi seorang pemuda.

"I-Ino-san!" Hinata memegangi telinganya yang sempat geli karena terkena hembusan napas Ino yang hangat.

"Oh, Namikaze Naruto yang itu?" lagi, Hinata harus bergidik geli ketika gantian Sakura berkata di dekat telinganya.

Dengan wajah yang merona, Hinata menatap pemuda itu lekat. Ia hanya berdiri diam saja di sana dengan wajah menengadah, entah sedang melihat apa. Yang jelas, dari tempatnya berdiri, Hinata merasa Naruto keren sekali.

"Siapa dia?" tanpa sadar Hinata bertanya.

"Dia adalah juara turnamen karate SMP tingkat nasional tahun kemarin. Julukannya adalah bocah Kyuubi, siluman rubah berekor sembilan yang menurut legenda memiliki chakra luar biasa. Dia membantai habis lawan-lawannya yang bahkan terhitung lebih senior. Intinya, dia berbahaya. Nona jangan sampai dekat-dekat dengannya! Mengerti?" tanya Ino yang lebih terdengar seperti perintah.

"Iya Nona. Orang seperti itu pasti memiliki banyak musuh. Lihat saja wajahnya yang menyeramkan itu." Tambah Sakura.

Menyeramkan? Hinata mengerutkan alis. Baginya Naruto sama sekali tidak menyeramkan. Malah terlihat luar biasa…tampan?

Hinata memang tidak tahu banyak soal laki-laki. Dia juga tidak tahu laki-laki bagaimana yang bisa disebut 'tampan' tapi yang jelas iris ametisnya tak bisa lepas dari sosok itu hingga mereka mulai berdesakan memasuki aula.

.

.

.

.

"Nona, pegang tangan saya! Jangan sampai terpisah!" Sakura mengulurkan tangannya saat Hinata terdesak kebelakang, tidak mampu mengejar keduanya.

"I-iya," susah payah Hinata mencoba meraih tangan Sakura hingga akhirnya…

Dapat!

Tapi kok, tangan Sakura tiba-tiba terasa lebih besar?

Hinata mendongak, melihat ternyata tangannya bukan sedang menggenggam tangan Sakura melainkan tangan besar seorang pemuda berkulit tan dan… bermata biru.

Naruto!

Blush.

"Eh…etooo, su-sumimasen!" cepat-cepat Hinata menarik tangannya. Ia yakin wajahnya sekarang pasti sudah merah membara. Ini pasti ada hubungannya dengan sengatan listrik yang dirasanya saat tangannya dan tangan Naruto bersentuhan tadi. Sambil membungkuk berkali-kali, Hinata merangsek maju ke tempat Sakura dan Ino.

"Apa yang Nona lakukan?! Kenapa malah meraih tangan pemuda itu?" Sakura melirik ngeri ke belakang punggungnya. Ia melihat si bocah kyuubi masih menatap ke arah mereka. "Kan kami sudah bilang, jangan dekati dia!"

Hinata hanya bisa menunduk dalam-dalam dan membiarkan Sakura menariknya menuju Ino yang berdiri sedikit di depan. Tapi ia mendengar sesuatu dari belakangnya. Meski pelan, tapi terdengar cukup jelas.

"Tidak apa-apa."

Hinata memberanikan diri untuk menoleh dan mendapati mata beriris safir biru itu menatapnya.

Apa tadi itu Naruto yang bicara?

.

.

.

.

Ino dan Sakura terus menoleh setiap lima menit ke arah Hinata yang berada beberapa deret di belakang mereka dan langsung mendecih tidak suka. Terkutuklah Sabaku no Temari—ketua OSIS yang menyampurbaurkan mereka untuk membuat makan malam di acara 'malam akrab' ini dengan maksud untuk membuat mereka saling mengenal—yang menyebabkan mereka terpisah dari Hinata. Sialnya, dari ratusan murid baru yang lain, Sakura tetap berpasangan dengan Ino.

Mungkin bukan masalah jika yang mereka lakukan hanya memasak menu yang tertera di resep, mungkin tidak apa meski dari posisinya itu Sakura dan Ino sedikit kesulitan mengawasi Hime mereka. Tapi beda lagi masalahnya kalau ternyata partner Hinata adalah Naruto.

Ya. Namikaze Naruto.

Sial lah mereka!

Hinata sendiri tidak terlalu memedulikan pengawalnya yang sedang kebat-kebit mengkhawatirkannya. Ia lebih mengkhawatirkan debaran jantungnya yang begitu kencang hingga ia sendiri bisa mendengarnya hanya karena ia berdiri bersisian dengan pemuda bermata biru safir itu.

"A-ano… Naruto-kun," panggil Hinata takut-takut. Sejak tadi Naruto hanya diam saja dan fokus pada kentang-kentang yang sedang dikupasnya. Sesekali pemuda itu menggelengkan kepalanya saat poni depannya menghalangi mata. Melihat itu, Hinata berinisiatif untuk menyibakkan poni Naruto. "Rambutnya mengganggu ya?"

Tangan Hinata hanya tinggal seinci saja dari poni Naruto saat tiba-tiba ditepis keras oleh tangan pemuda itu.

"Jangan sentuh aku."

Tepisan keras disertai delikan tajam dan perkataan tegas yang menohok itu membuat Hinata limbung. Tanpa sengaja ia menyenggol panci di atas kompor dan jatuh dengan diguyur oleh air dari panci itu.

"Kyaaa! Ada yang tersiram air panas!"

"Hyuuga-san tersiram air panassss!"

"Seseorang tolong!"

Demi mendengar nama 'Hyuuga' disebut, Sakura dan Ino langsung melesat ke tempat nonanya. Dan pemandangan Hinata yang terduduk dilantai dengan tubuh basah kuyup serta Naruto yang hanya berdiri menatap Hinata dalam diam membuat Sakura langsung naik pitam.

"Hei bodoh! Apa yang kau lakukan pada Nonaku?! SHANAROOOO!"

Sakura sudah bersiap menyarangkan bogem mentahnya saat Ino menangkap tangannya. "Tenanglah. Nona tidak apa-apa. Ia tidak tersirama air panasnya."

"Eh?"

Oh… pantas saja tidak panas, pikir Hinata yang sekarang berdiri dengan dibantu Ino. Padahal ia kira ia tersiram air panas tapi ternyata ia tersiram air dari panci lain yang ikut jatuh. Saking terkejutnya, saraf sensoriknya berhenti bekerja sesaat.

"Sebaiknya Hinata-Hime ganti baju dulu supaya tidak masuk angin." Saran Ino.

"Aku akan mengantar Anda." Ujar Sakura cepat. Raut khawatir jelas tergambar di wajahnya.

Kejadian tersebut menyita banyak perhatian. Bahkan Temari sedang tergesa menuju tempat mereka namun Ino bersikeras agar Hinata langsung pergi mengganti pakaiannya. Akhirnya Hinata menurut dan pergi bersama Sakura. Tepat saat ia berjalan di sebelah Naruto, bibir tipis pemuda itu terangkat sedikit dan sebuah suara rendah menyapa telinga Hinata.

"Maaf."

.

.

.

.

Bukan KEBS namanya jika minggu pertama bagi murid baru tidak membuat mereka down hingga ingin pulang lagi ke rumah. Setiap pagi mereka disibukkan dengan kegiatan pembiasaan serupa olahraga dan bersih-bersih asrama sebelum berangkat sekolah. Tak sedikit yang mengeluh kalau tempat itu tak ubahnya neraka. Tapi tak sedikit pula yang gembira karena diganjar dengan pemandangan matahari terbit dari balik punggung bukit. Di kota, ini adalah pemandangan langka.

Dan ketika matahari itu kian naik, cahayanya yang berlimpah akan menyinari seluruh bukit. Perlahan-lahan merambat naik hingga tiba di peraduannya. Nah, ini juga merupakan hal menarik untuk dilihat. Karena cahaya matahari yang keemasan dan bergerak perlahan itu menyoroti pohon sakura yang tengah bersemi di puncak bukit dari belakang, seolah-olah pohon itu muncul dari ujung cahaya. Indah dan memesona. Apalagi ditambah dengan legenda itu, makin saja membuat pohon itu terlihat menakjubkan.

Hinata adalah salah satunya. Memandangi pohon sakura itu setiap pagi entah mengapa membuat jantung Hinata berdebar dan wajahnya merona. Aneh memang. Bahkan Hinata sendiri tidak mengerti mengapa dirinya seperti itu.

Mungkin—mungkin Hinata hanya iri karena mendengar beberapa teman sekelasnya yang baru di'tembak' oleh pemuda yang baru dikenalnya. Atau juga pacar yang kebetulan masuk ke sekolah yang sama. Mungkin ia hanya risih tiap kali jam istirahat dan teman-teman perempuannya berkumpul, mereka sibuk membicarakan pohon sakura itu dan pemuda mana yang sekiranya akan mereka bawa ke tempat itu.

Sebenarnya kalau pertanyaan seperti 'siapa yang mau kau bawa ke sana?' di hadapkan pada Hinata, ia pasti akan menjawab tidak ada. Tapi kalau ditanya 'siapa yang mau mengajakmu ke sana?' Hinata bisa menyebutkan sederetan nama.

Ya. Hinata yang lemah lembut, cantik dan pintar langsung menjadi primadona di hari pertama. Bukan hanya di jurusan pendidikan, tapi juga olahraga. Tak jarang ada pemuda jurusan olahraga yang bela-belain datang ke gedung jurusan pendidikan hanya untuk menyapanya.

Nah, kalau ternyata Hinata memiliki banyak pilihan, dan secara diam-diam juga ia berharap akan memiliki kisah cinta romantis di masa SMA-nya ini, lantas mengapa ia menolak semuanya?

Mudah saja.

Hinata alergi dengan lawan jenis.

Ini baru disadarinya saat hari pertama masuk sekolah. Ia dan kedua pengawalnya jelas-jelas berbeda kelas, membuat Hinata harus siap berjuang sendirian. Tapi dibanding dibilang berjuang untuk belajar, lebih tepat kalau disebut berjuang melepaskan diri dari para fans-nya yang entah sejak kapan sudah berjumlah sebanyak itu.

Mereka selalu mengerubungi Hinata, menanyakan banyak hal tentangnya. Meski awalnya Hinata menyambutnya dengan senang hati, lama-kelamaan perutnya terasa mual seiring bertambahnya jumlah pemuda yang mengerumuninya dan berakhir dengan Hinata yang muntah-muntah di WC.

Hinata pikir, ini hanya karena rasa gugupnya yang berlebihan. Tapi kejadian yang sama terus terulang hingga sekarang dan mualnya selalu dipicu oleh kehadiran lawan jenis.

Hancur sudah impian Hinata tentang 'deklarasi cinta di depan pohon sakura'. Boro-boro deklarasi cinta, ia pasti sudah memuntahi duluan wajah pemuda yang mendekatinya.

Tapi tentu saja Hinata tidak menceritakan masalahnya ini pada siapa pun. Rasanya memalukan sekali. Hanya saja menyusahkan sekali harus terus bolak-balik ke WC seperti sekarang ini.

"Ugh…" Hinata mengelap bibirnya dengan punggung tangan dan menutup pintu WC itu di belakang punggungnya. Ini ketiga kalinya dalam hari ini ia mondar-mandir ke WC hanya untuk muntah dan sekarang perutnya benar-benar kosong.

"Bagaimana mungkin aku bisa alergi aneh seperti ini?" gumamnya. "Pasti aku ditertawakan jika ada yang tahu…"

Dengan dengusan lelah Hinata melangkahkan kakinya. Satu tangannya memijit pelan pelipisnya. Rasanya lebih nyaman kamarnya dibanding kelasnya saat ini meski kamar itu tak seluas kamar pribadinya di mansion. Tapi belum ada tiga langkah yang Hinata ambil, gelap tiba-tiba menyelimutinya dan tubuhnya ambruk ke lantai.

.

.

.

.

Hinata merasa ada sesuatu yang merekat di dahinya yang berdenyut. Dengan perlahan ia bangkit dan menyibak selimut putih yang melingkupi tubuhnya. Sesaat pandangannya masih berbayang hingga akhirnya ia bisa melihat dengan jelas ruang UKS KEBS yang bersih terawat dan wangi.

Sakura? Ino?

Iris ametis Hinata menatap setiap sudut UKS hingga tatapannya jatuh pada sesosok pemuda yang merebahkan diri di ranjang tepat di sebelah ranjangnya dengan satu lengan menutupi areal wajah.

Tunggu…

Naruto?

Perlahan Hinata mendekat dan membungkuk di atas tubuh yang hanya terbalut kaus lengan pendek dan celana training itu. Rambutnya yang biasa rebah hingga ke pipi sekarang terurai lemas di atas bantal putih seperti benang emas yang berkilau di bawah siraman cahaya matahari sore yang masuk melalui kisi-kisi jendela.

Hinata tidak mungkin salah mengenali bibir sewarna cherry dan goresan horizontal di pipi itu. Apalagi di kepala ranjangnya tersampir jersey khas anak jurusan olahraga dengan bordiran nama pemuda itu di bagian dada.

Sedetik, dua detik… Hinata masih pada posisinya yang sedikit condong di atas tubuh Naruto. Entah mengapa ia seperti mencium aroma manis menguar dari tubuh pemuda itu. Atau kepalanya terlalu keras terbentur?

"Na-Naruto-kun?" Hinata melambaikan tangannya di atas wajah Naruto yang tertutup sebagian oleh lengan pemuda itu. Tapi karena suaranya serupa bisikan, tidak nampak gerakan apapun dari tubuh yang masih terbaring itu.

Hinata menghembuskan napasnya dan menegakkan tubuh. Tepat saat itulah tangan besar itu turun dan menampakkan sepasang mata beriris safir yang terlihat sedikit sayu.

"Kau sudah sadar rupanya," Naruto mendudukkan diri di ranjang sambil mengusap wajahnya sekilas.

Bukannya merespon, Hinata malah mematung bak manekin saat matanya menatap utuh sosok pemuda di hadapannya yang luar biasa… tampan? Eh, atau keren? Hinata tidak tahu. Tapi ia lebih menyukai Naruto yang sekarang dengan helai-helai rambut pirangnya yang berdiri melawan gravitasi disertai wajah mengantuk yang menggemaskan—benar-benar menanggalkan imej kasar yang dibicarakan orang. Penampilannya ini juga sekaligus menunjukkan sepasang mata Naruto yang Hinata yakin pasti membuat siapa saja melting.

Ah.

Untungnya Hinata cepat-cepat tersadar dari alam khayalnya saat suara bass Naruto kembali menyapa telinganya. "Sebaiknya sekarang kau kembali ke asrama saja dan beristirahat." Dengan gerak cepat Naruto menyambar jersey-nya dan langsung memakainya.

"E-etooo… a-apa tadi Na-Naruto-kun yang sudah membawa saya ke sini?" tidak ada jawaban tapi Hinata menganggapnya sebagai 'ya'. "Etooo… te-terima kasih."

Naruto berdiri—yang membuat Hinata terpaksa mendongak untuk bisa menatapnya—dan menatap Hinata lurus-lurus, menyebabkan pipi gadis itu menghangat dengan cepat.

Bibir itu membuka sedikit, "Maaf."

Hinata mengerutkan alis. "E-eh? Untuk?"

"Yang terakhir kali." Jawab Naruto singkat, nyaris membuat Hinata salah tanggap. Ah, pasti yang dimaksudnya adalah kejadian di malam akrab waktu itu karena setelahnya mereka tidak pernah bertemu lagi.

Dengan menekan rasa gugupnya, Hinata memasang sebuah senyuman. "Ti-tidak apa-apa, lagipula kamu sudah minta maaf waktu itu kan?"

Sekali lagi mengerjap dan Naruto menggosok belakang lehernya dengan salah tingkah. "Itu… aku tidak bermaksud," ujarnya pelan. "Aku takut bersentuhan dengan orang karena aku tidak bisa mengontrol kekuatanku sendiri. Makanya aku refleks menghindar saat itu."

Sekarang arah pandangan pemuda itu malah jatuh pada ujung sepatunya, "Orang juga takut melihat mataku, jadi aku tidak suka ada yang melihatnya." Akunya lagi. "Kamu boleh menganggapku aneh kok."

"Tidak aneh kok." Naruto mengangkat wajahnya dan melihat senyum manis tersungging di wajah Hinata.

"Lagipula kata siapa menyeramkan? Aku malah sangat suka warna biru mata Naruto-kun yang berkilauan setiap terkena sinar matahari…" Tangan Hinata sedikit menyibak rambut depan Naruto yang menghalangi matanya. Hanya sedikit, karena nyatanya Naruto memiliki rambut jabrik alami. Pastilah selama ini pemuda itu memakai wax agar rambutnya rebah. "Nah, bagaimana?"

"Apanya?"

"Apa rasanya berbeda? Apa sekarang Naruto-kun sudah bisa melihat dengan berbeda?"

Naruto masih tidak paham benar dengan maksud ucapan gadis itu tapi entah mengapa ia mengangguk saja.

"Terima kasih."

.

.

.

.

A/N : Ini tadinya mau one shoot. Tapi tiba-tiba bingung gimana nerusinnya *sigh. Ada saran? '_')a coba tinggalkan di kotak repiu

Oh iya, ini masih TBC, btw~~

Jaa na~