^The Future Choice^

Lee Donghae - Ki Kibum

KIHAE - YAOI

.

"Apa yang akan kau lakukan disaat semua orang mengetahui ini?"

-Oo-


-Oo-

Saling berhadapan. Pandangan mata mereka beradu sejak beberapa menit lalu. Menyiratkan sebuah kegelisahan dari salah satunya, serta pandangan lainnya yang menuntut. Dia yang memandang dengan cukup tajam itu hanya mampu meremas ke sepuluh jemari miliknya sendiri. "Aku akan bicara pada mereka. Kita-"

"-tak mungkin begini terus, kan?" satu orang lain menunduk dalam kemudian, setelah memotong percakapan begitu saja. Ada sesak mengalun di nafasnya yang nampak berat. "Kita.." lanjutnya dengan bibir bergetar. "Kita memang salah. Ini salah, Kibumie.."

Kibum memandang pasangannya serius. "Kau mulai ragu?"

Sosok di hadapannya hanya mampu menunduk dalam, dengan buliran bening yang Kibum lihat begitu saja, menetes ke atas meja yang mereka huni saat ini. Ia berhenti berkata, membiarkan rintik hujan yang berhamburan membasahi jendela itu kian menghasilkan bunyi tersendiri.

Kibum enggan berkata kemudian. Ia mendorong satu cangkir di antara dua cangkir disana, berisikan kopi yang telah dingin karena terabaikan begitu lama. "Minum dan tenangkan kepalamu, sebelum kau mengambil keputusan, hyung.."

Dia yang jelas lebih tua dengan sebutan 'hyung' itu mendongak, nampak sedikit tersebut. "Kibum.."

Kibum hanya mampu menghela nafasnya. "Aku tak akan memaksakan ini semua jika kau tidak mau. Bukan.. bukan karena aku tak memiliki usaha untuk mempertahankanmu. Bukan karena aku tak ingin memperjuangkan hubungan kita," sela Kibum, sesekali menelan ludah untuk menghilangkan sedikit perasaan kecewa yang mengisi kepalanya, menguasai jiwanya.

"Hanya saja.. aku tak ingin membebanimu. Semua keputusan ada padamu, hyung.."

Kibum hendak beranjak, meninggalkan sang hyung yang masih termenung. Pintu keluar berada cukup jauh dari mereka, hingga sang hyung masih bisa menggapai Kibum sebelum Kibum meninggalkan dirinya. Ia memeluk Kibum, menahan langkah Kibum. Mendekap erat Kibum dan merapatkan tubuhnya di punggung Kibum. "Jangan begitu!" cetusnya dengan tangis tertahan.

Kibum hendak melepas lingkaran tangan ditubuhnya, hanya saja, entah mengapa ia tak bisa melakukannya.

"Jangan memanggilku seperti itu! Aku tidak suka.."

Kembali Kibum menghela nafasnya. Ia benar-benar melepas dekapan tangan itu. Bukan apa-apa. Hanya ingin membebaskan dirinya, agar ia dapat berbalik dan menatap wajah yang lalu ia tatap dengan sisa-sisa rindu yang masih nampak melekat di wajahnya.

Kibum tersenyum. Ia apit wajah itu dengan kedua telapak tangannya. "Maafkan aku," tuturnya lembut. Lebih lembut dari sebelumnya. Tatapan wajahnyapun demikian, berubah sendu.

"Aku ingin tetap seperti ini, Kibumie. Tolong aku.."

Kibum memeluk tubuh itu tepat di ambang pintu. Ia tak mampu menjawab apapun, iapun nampak kebingungan. "Kubilang jangan bahas lagi sekarang, kan sayang? Kita pikirkan esok hari, hn? Hae?" Kibum kehilangan suara yang tengah di dekapnya. Ia hela nafasnya lagi, mendapati sosok itu memejamkan mata dalam pelukannya. "Kau tidur?"

Belum, dia belum tidur, namun diamnya berkata 'aku ingin tidur saja!' pada Kibum. Kibum tersenyum kecil dan menarik tubuh itu menuju ruangan tidur miliknya.

Malam memang telah begitu larut. Waktu berjalan begitu cepat, sejak pertemuan mereka malam ini, dan tak berujung pada berita yang baik. Semua tetap sama seperti hari-hari sebelumnya.

...

*Flashback*

Sehari sebelum mereka bertemu malam itu, Donghae sudah habis menangis di malam sebelumnya. Pasalnya Donghae mendapati salah satu saudaranya, hyung keduanya tengah mengacaukan seisi rumah dengan beringas.

Ada banyak saudara yang berada satu atap bersamanya. Dua hyung serta satu dongsaengnya. Berkisar empat orang dan semua adalah laki-laki. Hampir tak ada sentuhan perempuan di kediaman tersebut, sejak dulu memang seperti itu. Sudah tak ada lagi sosok ibu, sudah sejak lama semenjak adik terkecil mereka lahir.

"Kau tahu apa yang akujanjikan kepada ibu, sebelum beliau meninggal? Kangin-ah.. kumohon jangan bersikap seperti ini, kumohon jangan membuat aku mengingkari janjiku!"

Samar Donghae mendengar perdebatan di antara dua hyungnya di ruang tengah. Mungkin mereka telah mengira dirinya dan juga Kyuhyun, adik terkecil mereka yang memang tinggal dalam satu kamar itu sudah tertidur.

"Jangan sampai kita mengulang kesalahan yang telah ayah lakukan dulu, jangan! Aku sudah berjanji pada ibu, akan menjaga kalian semua dan membuat kalian tumbuh menjadi orang yang hebat, tanpa cacat sedikitpun. Kalian, harus menurutiku.."

Donghae mengeratkan genggamannya pada selimut biru miliknya. Sedikit-sedikit ia melirik Kyuhyun di ranjang atas dengan cemas, takut Kyuhyun benar-benar terbangun. Baru beberapa menit lalu memang Kyuhyun memutuskan untuk tertidur.

"Tapi aku meencintaimu, hyung!"

Deg..

Deg..

Donghae tertegun mendengarnya. Bagaimana bisa Kangin mencintai Leeteuk. Jelas-jelas mereka adalah saudara kandung, dan.. sesama pria? Ah! Donghae tak berani menuntut untuk hal yang terakhir. Ia semakin meringkuk di atas ranjangnya, bergetar.

"Buang rasa itu, Kangin! Aku menyayangimu sebagai saudaraku! Aku tak menyetujui hal seperti itu, dengar?! Aku tak mengijinkan kalian melakukan hal yang sama seperti saat ayah menghianati ibu. Bercinta dengan teman pria sekantornya! Kau pikir itu bagus? Menyenangkan?!"

Donghae semakin meringkuk di atas kasurnya. Suara-suara di ruang tengah semakin gaduh. Berawal dari bantingan pintu, disusul dengan teriakan Kangin, yang sepertinya juga membangunkan Kyuhyun. Berikutnya adalah suara barang pecah, dan sangat gaduh.

Kyuhyun yang pertama kali menambah kegaduhan. Terburu-buru ia turun dari ranjangnya dengan terkaget-kaget. Mulutnya jelas mengomel, bergumam "..pasti hyung mabuk lagi dan berkata yang aneh-aneh, ish!" rutuknya, dapat Donghae dengar.

Sebelum bocah itu keluar dari kamar mereka, ia menyalakan lampu kamar. "Hae hyung tak ingin bangun dan membantuku? Bisa-bisa aku habis jika hanya sendirian menghadapinya. Leeteuk hyung pasti tak akan keluar lagi dari kamarnya!"

Buru-buru Donghae terbangun sambil membersihkan wajahnya yang kusut, basah karena penuh oleh air mata. Ia tak perlu beralasan pada Kyuhyun, toh semua sudah biasa terjadi. Dengan sedikit malas ia turun dari ranjangnya dan mengekori Kyuhyun, bergumam dalam hatinya semoga semua akan baik-baik saja.

...

Pagi harinya..

Leeteuk menyiapkan sarapannya seperti biasa untuk ketiga adiknya. Ia mendapati Kyuhyun yang masih mengunyah rotinya dengan raut wajah yang cukup datar. Ia juga melihat Donghae yang menunduk dalam, tak menyentuh rotinya.

"Makan, Hae.." tegas Leeteuk. Ia mengangkat dagu Donghae agar wajah itu nampak. Didapatinya wajah Donghae yang sedikit memerah dengan matanya yang nampak kurang baik, sedikit membengkak. Segera Leeteuk menyentuh kening sang adik. "Kau sakit?"

"Bagaimana tidak? Ia menangis semalaman!" terang Kyuhyun, dengan nada ringan. Matanya melirik tumpukan beling yang berada di sudut ruang makan tersebut. Semalam Donghae yang membersihkan pecahan-pecahan barang itu sambil menangis.

"Aku baik-baik saja," tukas Donghae dan mulai memakan sarapanya, meneguk sedikit susunya, menghindari tatapan lekat hyungnya.

Leeteuk menyerah. "Katakan Donghae sakit pada wali kelasnya hari ini, Kyu. Hyung pikir dia-"

"Aku akan sekolah!" potong Donghae. Buru-buru ia menyambar tasnya yang berada di kursi kosong sebelahnya. "Aku tak ingin tinggal di rumah hari ini. Melihat Kangin hyung muntah-muntah! Aku benci itu!" ucapnya dengan sedikit kasar, namun itu benar adanya. Ia segera pergi ke sekolah, meninggalkan Kyuhyun, padahal mereka berada di satu kelas yang sama.

...

"Kau takut?"

Donghae menoleh, mendapati Kyuhyun yang tiba-tiba sudah mengiringi langkahnya di belakang. Pertanyaan Kyuhyun sedikit membuatnya menciut, membuat ia hanya mampu melihat aspal yang diinjaknya sambil terus melangkah.

"Kau tak bisa menyembunyikannya, hyung!" sergah Kyuhyun.

Donghae merasa pegal dan merubah posisi kepalanya, hingga wajahnya menengadah menghadap langit yang biru. Ia menghentikan langkahnya dan lalu menggenggam lengan Kyuhyun erat. "Aku sungguh takut," jujurnya. "Aku takut Kyu! Kenapa ini begitu menyiksaku? Apa salahku, Tuhan.."

Kyuhyun mengangkat satu halisnya. "Kau menanyakan apa salahmu? Jelas-jelas-"

"Kumohon!" sela Donghae lalu menghela nafas lelah. "Jangan anggap cintaku adalah kesalahan, Kyuhyun. Kami tulus.." ucapnya dengan nada yang kian merendah, seolah takut Kyuhyun akan mencemoohnya. Dirinya memang memiliki hati yang terlampau lembut, tak bisa tersentuh oleh kata yang sedikit kasar sekalipun.

Kyuhyun hanya diam menatap Donghae. Tanggapan yang selalu ia berikan seperti biasanya. Salah satu pundak terangkat, dan helaan nafas lelahnya untuk Donghae. Sesungguhnya, diantara kesemua saudara Donghae, hanya Kyuhyun yang mengetahui apa masalah hyung termanisnya itu. Salahkan saja Kibum yang ternyata satu sekolah dengan mereka.

Donghae menatap Kyuhyun dengan ragu. "Kau tak akan bilang pada hyung, kan Kyu?" tanyanya dengan nada hawatir.

"Apa aku pernah mencampuri urusan kalian sekalipun?"

Kyuhyun telah benar. Donghae tak pernah mendapati Kyuhyun mengadu pada siapapun tentang apapun. Ia terlampau acuh dengan semua yang ada di sekitarnya. Ia sama sekali tak menyentuh kasih sayang ibu mereka, sehingga tak terlalu peka dengan apa yang namanya cinta dan kasih. Hanya hubungan darah saja yang membuatnya bertahan untuk berada dalam keluarganya.

"Aku mengandalkanmu, Kyu.."

"Jangan begitu!" ketus Kyuhyun. "Aku tak ingin memiliki beban apapun! Tapi bolehkah aku berkata, bahwa suatu hari hyung mungkin saja akan mengetahuinya, meski bukan dari mulutku," tuturnya.

Donghae meremas jemarinya, dan menggigit bibirnya. Ia berbalik kembali sambil menundukkan wajahnya dan mulai berjalan meninggalkan Kyuhyun di belakangnya. Ada rasa takut yang selalu menghantui dirinya. Terlebih..

Ada satu senyuman, sapaan di tiap pagi harinya yang selalu membuat dirinya tak mampu menolak pesona itu. Ada Kibum di ujung lorong sana, memberikan senyum dan sambutan selamat datang seperti biasanya. Sejenak Donghae berfikir, lalu tersenyum dan menghampiri Kibum. Ia tak peduli pula pada Kyuhyun yang akan melihat mereka.

Karena sesuatu yang janggal itu, mereka hanya mampu saling menyapa dan lalu berjalan beriringan menuju kelas mereka. Hanya sebatas itu, karena jujur, Donghae merasa takut pada cibiran teman sekolahnya. Ada curiga mengintai ketika Kibum harus selalu mengantar Donghae tepat menuju kelasnya.

Ada curiga ketika Kibum harus selalu menunggu Donghae di depan gerbang saat pulang sekolah. Desas desus hubungan mereka memang selalu menjadi topik terhangat di kalangan sekolah, namun Kibum selalu meyakinkan Donghae bahwa semua akan baik-baik saja. Seperti saat ini..

Sreet..

Setelah mengantar Donghae hingga sang hyung benar-benar masuk kelasnya di pagi hari, tepat setelah jam istirahat Kibum kembali datang menemui Donghae di kelasnya. Donghae sedikit gugup mendengar cibiran teman-temannya, berkata bahwa 'kekasih janggal' Donghae telah datang.

"Ada apa Kibumie?"

Kibum melihat buku yang sudah diletakannya di atas meja. "Kau tak lihat aku membawa buku ini? Ini bukumu, hyung. Kau meninggalkannya di rumahku kemarin.."

Donghae melihat buku yang sebenarnya terasa asing jika dikatakan itu adalah buku miliknya. Bukunya tidak tersampul rapih seperti miliknya. Dan namanya: Kim Kibum. Jelaslah Kibum sedang menutupi sesuatu, atau ingin melakukan sesuatu berbau kegilaan seperti biasanya.

"Oo- Oh.. terima kasih," ungkap Donghae terbata. Ia melirik Kibum, berharap Kibum cepat pergi, namun anak itu tak mengindahkan tatapannya.

"Sebelum pergi aku ingin bertanya sesuatu padamu, hyung.." ujar Kibum, sambil mengambil posisi duduk di kursi sebelah Donghae, mengundang tatapan orang seisi kelas. Kibum tersadar dan menatap mereka satu persatu. Derit kursi yang ditariknya memang mengundang perhatian. Namun ia tak gentar dan tetap menatap mereka balik dengan cukup tajam.

"Kibum!" peringat Donghae kemudian. Ia segera membuka buku palsu miliknya itu, menarik Kibum pada hal lain. "Apa? Mana yang ingin kau tanyakan, hn?"

Kibum tersenyum tipis. Tatapannya memang menakutkan ia rasa, sehingga seisi kelas seperti ketakutan dan memilih menyibukan diri mereka masing-masing. Melihat ke arah lain selain dirinya dan Donghae. Kibum telah menang, ia lalu berbalik menatap Donghae.

Donghae terkejut ketika Kibum membuka buku dan lalu menaikan buku agar menutupi wajah mereka berdua. Jarak wajah Kibum semakin mendekat, membuat detak jantung Donghae berpacu lebih kencang dari biasanya.

"Kibumie, apa yang kau-"

Donghae tercekat. Kibum nekat mencuri satu ciuman di bibirnya, dengan mengandalkan buku saja agar tak ada yang melihat, padahal Donghae bersumpah ada banyak siswa saat ini di kelasnya. Sedikit menguntungkan karena mereka duduk di pojok kelas.

"Kau gila?!" rutuk Donghae dalam bisikannya. "Bagaimana jika mereka melihat, bodoh!"

Kibum hanya mengangkat satu ujung bibirnya. Satu tangannya mulai melingkar di antara bahu Donghae, dan dengan kedua tangannya itu ia masih mengangkat buku di depan wajah mereka. "Mereka tidak melihatnya, sayang.."

Donghae mulai ketakutan. Pasalnya ia tidak ingin siapapun mengetahui hubungan mereka, tapi Kibum melakukan hal yang terlalu berbahaya menurutnya.

"Hentikan, Kibum!" hardik Donghae cukup tajam. Ia mencoba memberikan tatapan berupa ancaman terhadap Kibum, namun kesalahan telah dibuatnya. Karena dengan itu posisi mereka semakin dan semakin dekat, hingga nafas keduanya beradu.

Kibum tak mampu menunda lagi. Tatapan penuh cintanya terarah lurus menuju ke arah dua mata Donghae. Ia segera memenjarakan pasangannya itu. Menekan bibir itu dengan bibirnya, menekannya dan memenjarakannya di antara lengannya.

Donghae membuka lebar matanya. Kibum menciumnya cukup dalam kali ini. Ia tak mampu bergerak karena tak ingin membuat kegaduhan, namun kedua tangannya menepuk-nepuk dada Kibum.

'Ini benar-benar gila!' pikir Donghae. Kibum bisa menciumnya sepanas itu, padahal mereka dalam area yang tidak tepat untuk melakukan hal tersebut. Ciuman menggairahkan di antara debaran jantung yang luar biasa hebat. Donghae ketakutan, namun di sisi lain ia menikmatinya. Kelas semakin gaduh namun bukan meributkan dirinya, mungkin. Sejenak Donghae menghela nafas lega dan mulai memejamkan matanya.

Semenjak Donghae membuka mulutnya, menyambut permainan Kibum, maka semakin gencarlah pria itu menekankan bibir mereka, menghisap satu sama lain untuk menukar basah dari masing-masing mulut mereka. Donghae mulai terlena di balik sorotan sinar matahari yang memantul melalui kaca jendela kelasnya.

Di sisi lain Kyuhyun menatap datar. Semua yang dilakukan pasangan itu, dia melihat semuanya. Ia melihat di luar dari balik celah kecil di pintu kelas, dengan tangan menyilang di dadanya. Dan ketika ada siswa lain yang akan memasuki kelasnya, ia katakan "jangan masuk! Sedang ada keributan di dalam!" cegahnya, dan itu cukup berjalan. Setidaknya ia tidak ingin Donghae dalam masalah..

...

Kibum sedang menunggu Donghae di gerbang sekolahnya seperti biasa. Ia sudah tak harus memikirkan cibiran atau sekedar sindiran "menunggu kekasihmu, eoh?" karena justru sindiran itu nampak membuatnya menyimpan tawa gelinya di dalam hati. Siapa yang tahu jika cibiran itu, ia menikmatinya. Ia berucap bangga, karena benar apa yang Donghae yakini pula..

"Cinta kami adalah tulus," setulus hati di dalam dadanya yang selalu bergejolak ketika membayangkan hubungan gilanya.

Sekian menit berlalu, Kibum merasa curiga atas ketidakhadiran Donghae. Padahal Kyuhyun sudah berlalu beberapa menit yang lalu, memberikan tatapan datar padanya seperti biasa. Terlalu datar jika Kibum rasa, untuk ukuran adik ipar? Haahaa.. Kibum menggila sendiri oleh bayangan gilanya.

Boleh saja Kibum berbangga diri atas hubungan janggal yang dijalaninya bersama Donghae sejak beberapa bulan yang lalu. Namun, apakah Kibum mampu melihat resah yang selama ini terbayang di wajah Donghae? Selalu dihantui oleh rasa takutnya sendiri. Akan prilaku yang benar-benar menyimpang, bahkan menyimpang dari aturan negara, aturan agama sekalipun.

Donghae meremas dadanya penuh akan wajah kesakitan. Ia menangis dalam diam tepat di bawah deretan loker, dimana salah satu loker yang merupakan loker atas nama dirinya itu masih dalam keadaan terbuka. Ia terduduk sejak beberapa menit yang lalu. Tepatnya disaat ia membuka lokernya untuk pertama kali di hari tersebut. Ada selembar pesan disana.

"Hey! Kau tak takut dihukum Tuhan, eoh? Kau pikir kami tidak tahu kalian berciuman di kelas tadi?"

"Kami melihatnya! Kau tahu? Kami semua melihatnya!"

"Hentikan sebelum Tuhan benar-benar menghukum kalian!"

"Sudah kubilang untuk tak mendengar apapun yang mereka katakan bukan?"

Ugh. Donghae cukup terkejut dengan kehadiran Kibum yang sangat tiba-tiba. Bahkan ia tak bisa mendengar derap langkah Kibum di lorong sepi itu. Yang pasti Kibum tengah meremas selembar pesan dari lokernya, dan tatapannya benar-benar menakutkan, penuh akan kekecewaan yang dalam.

Bukan apa-apa, hanya saja..

"Aku tak ingin melihat ini!" ucap Kibum dengan nada lebih rendah sambil mengusap air mata di wajah Donghae. "Tangismu ini selalu membuatku hawatir, Hae.." ujarnya. Sesungguhnya, ia tak akan mampu memarahi si manis di depannya itu. Kibum marah bukan padanya..

Bukan berhenti, tangis itu semakin mengalir deras tak mampu Kibum hentikan. Isakanpun mulai terlantun cukup jelas. "Aku lelah.."

Kibum menautkan kedua alisnya. "Ya?"

Donghae sibuk mengusap basah di wajahnya. "Aku lelah, Kibumie. Sungguh.." lirihnya dengan suara bergetar. Ia sedang mencoba melepas apa yang menjadi bebannya selama ini. "Aku selalu merasa bersalah atas ini semua.."

Kibum bergerak pelan, berdiri dan membelakangi Donghaenya. Ia sungguh tak ingin mendengar kalimat terakhir Donghae. Seperti menyakitinya, ia sakit namun tak ingin memperlihatkan wajah sakitnya pada Donghae. Ia melihat langit kemudian yang entah sejak kapan berubah menjadi mendung.

"Aku harus bagaimana? Mungkin, aku yang bersalah karena berani-beraninya menyukaimu dan mengatakan 'aku mencintaimu' waktu itu! Hanya aku satu-satunya orang yang bersalah disini. Seharusnya aku tidak menyukaimu. Aku lancang sekali, ya?!" tandas Donghae sambil mendongak untuk menatap punggung Kibum.

Donghae tak melihat ada senyum kesakitan di wajah Kibum. Kibum memejakan erat kedua matanya, enggan memberi tanggapan barang sedikitpun. Lalu suara beratnya mulai terdengar. "Aku tidak mengerti.."

"Kau mengerti! Kau mengerti itu, Kibumie!" potong Kibum. Ia berdiri dan mulai meraih lengan Kibum, mendekapnya dari sisi. "Tuhan akan membenci kita," lirihnya. "Mereka benar.."

Kibum berniat pergi dan sedikit menghempaskan Donghae yang menahan lengannya.

"Jangan pergi! Kibumie.. kita selesaikan ini semua!"

Kibum berbalik, menatap Donghae dengan tatapan marahnya untuk pertama kali. "Apa yang harus kita selesaikan, hyung?" desisnya mulai tak terkendali, membuat Donghae meragu di tempatnya.

"Kita.."

"..aku tak ingin hubungan kita selesai hanya karena kau takut akan cibiran mereka! Aku tak ingin hubungan kita berakhir karena itu!" teriak Kibum, untuk pertama kalinya tepat di wajah Donghae. Ia bahkan tak sadar telah mencengkram kedua lengan Donghae begitu erat. "Apa hatimu, hanya sebatas ini saja?"

Donghae merasakan tatapannya mengabur karena tangisnya untuk kesekian kali di dua hari terakhir ini. Ia mencoba bertanya pada hati terdalamnya. Ada sakit yang menandakan, bahwa perasaannya tidak semudah seperti yang Kibum katakan. "Aku tidak.."

"Kau telah mengatakannya!" potong Kibum. Tatapannya begitu sakit melihat Donghae, ia tak memiliki tenaga lain untuk menahannya. "Jikapun kita harus berpisah kelak, aku akan mengijinkan.."

Donghae menatap Kibum tak percaya.

"Jika cintamu padaku benar-benar tak nampak lagi, aku akan mengijinkanmu pergi dariku, Hae.." ujar Kibum. Ia lebih mendekat agar dapat meraih kening Donghae yang lalu dikecupnya dengan lembut. "Sekarang, aku minta kau untuk memikirkannya kembali. Karena hubungan kita.."

Tes.

Tes.

Air hujan mulai berjatuhan. Langit dengan senang hati melepas mereka, sebagaimana Donghae yang merelakan Kibum pergi dari hadapannya, meninggalkannya begitu saja setelah sebelumnya ia berkata ".. kita belum berakhir!"

Donghae masih terpaku. Menyaksikan punggung Kibum yang terus menjauh hingga tak lagi terlihat, seperti mengiris hatinya. Ada kebingungan, keresahan yang Kibum tinggalkan untuknya. Terlalu kejam Kibumnya itu! Kenapa Donghae harus menanggungnya seorang diri? Tak mengertikah Kibum? Atau tak ingatkah Kibum akan perkataannya jauh hari sebelum mereka memulai hubungan tersebut?

"Aku hanya takut. Aku tahu hyung tak akan mengijinkannya. Sesungguhnya, satu-satunya hal yang tak bisa kubantah selain Tuhan adalah, hyungku, Kibumie.."

Hujan turun dengan deras, menemani Donghae, juga tangis kerasnya yang keluar tak tertahankan..

...

Entah berapa jam hujan menemani sebagian bumi di hari tersebut. Donghae menapakkan kakinya di antara rumput basah. Sepatunya telah basah. Begitupun dengan tas, seragam dan seluruh tubuhnya. Ia baru menapaki halaman depan rumahnya di sore menjelang malam tersebut. Bahkan matahari telah bersembunyi sejak lama.

Prang.

Satu helaan nafas dan Donghae melangkah lebih pelan kali ini. Seperti terlalu malas untuk lebih mendekati kediamannya yang tak pernah terasa aman dan damai semenjak satu kegilaan menginggapi salah satu hyungnya. Kegilaan yang mungkin, Donghae merasa tertular olehnya. Oh..

Brug!

Suara ribut di dalam rumahnya mulai terdengar lagi seperti biasa. Ada banyak botol minuman keras di depan pintu rumahnya. Donghae tersenyum sakit. Jendela rumahnya belum mampu menutupi kejadian di dalam sana. Sesuatu yang mungkin tak ingin Donghae lihat.

Ada perdebatan hebat di antara kedua hyungnya. Donghae melihat semuanya dengan jelas. Dadanya bergemuruh hebat.

"Tak adakah wanita cantik di luar sana, hah? Berhenti berfikir bahwa aku pantas untuk kau cintai! Terlebih aku ini hyungmu!"

Donghae mulai merasa kedua lututnya bergetar hebat. Perkataan Leeteuk akhir-akhir ini selalu membuatnya takut. Jika harus perkataan itu untuknya, bagaimana? Tidak adakah perempuan cantik di sekolah minimal yang menarik perhatiannya? Mengapa Kibum?

Mengapa Kibum?

Mengapa Kibum?

Mengapa harus seorang pria seperti Kim Kibum?!

Satu langkah Donghae berikan untuk jalan yang telah ia lalui. Ia bergerak mundur untuk menjauh dari tempat tersebut. Dan mengapa harus Kibum? Donghae bergerak cepat menuju pagar rumahnya kembali. Ia tahu jawabannya.

Karena Kibum selalu ada untuknya. Kemana dirinya jika kedua hyungnya sedang terlibat pertikaian dan sulit dihentikan? Donghae tidak akan mengadu pada Kyuhyun, satu-satunya saudara yang menurutnya sedikit waras. Kyuhyun yang akan bersikap datar-datar saja, tak mengindahkan keluhannya sedikit saja.

Karena Donghae membutuhkan Kibum yang peduli padanya.

Karena Donghae butuh Kibum untuk menemaninya. Karena Donghae tak harus menghabiskan banyak waktu untuk menemui Kibum yang berada tepat satu rumah di samping rumahnya. Donghae tersenyum disaat ia membuka pagar di sebelah pagar rumahnya.

'Karena Kibum adalah tetangganya yang tampan dan baik hati, yang membantunya menyelesaikan tugas sekolahnya untuk pertama kali.'

'Karena Kibum adalah orang pertama yang memberinya permen kapas yang besar di hari ulang tahunnya disaat tak ada satupun orang yang mengingatnya.'

Benar. Dengan terengah-engah ia mengetuk pintu rumah Kibum, tak peduli sepatunya mengotori lantai depan rumah Kibum. Lagi-lagi, karena Kibum tak pernah memarahinya. "Kibumie ini aku!" isaknya.

Dan ketika pintu itu terbuka, menampakan wajah Kibum di ambang pintu, disaat itulah Donghae menghela nafasnya dengan sangat lega. Ia mencoba tersenyum di antara tangisnya dan memilih mendekap erat Kibum daripada harus banyak berkata-kata. Kibumpun bukan tipe yang akan menanyakan hal yang tak penting disaat genting. Ia lebih memilih mendekap balik kekasihnya. Donghae semakin tersadar..

Ada banyak alasan, mengapa ia harus mencintai Kibum dan membenarkan bahwa hatinya begitu tulus, meski tetap saja pertengkaran di sebelah rumah Kibum sedikit menggetarkan hatinya..

*End Flashback*

"Bukankah kau tak ingin mengecewakan Leeteuk hyung, Hae?" ucap Kibum, berbisik di antara usapan yang ia berikan pada punggung pasangannya. "Aku mengerti perasaanmu. Aku tahu kau begitu menghormati mereka, dan aku tahu bagaimana mereka mengasihimu. Demi Tuhan, akupun tak ingin membuat mereka kecewa.."

Donghae memejamkan erat kedua matanya. Ia beranjak untuk mendekap Kibum lebih erat. Menyelinap, masuk semakin dalam ke dalam selimut yang membungkus tubuh keduanya. Udara memang sangatlah dingin, di samping Donghae memang benar-benar membutuhkan harum Kibum untuk menenangkan dirinya.

"Maaf, tapi aku tidak tahu jika Kangin hyung-"

"-dia sudah gila!" potong Donghae. Suaranya sedikit tidak jelas karena tertimbun di antara tubuh Kibum. Segera Donghae bergerak agak sedikit menjauhkan wajahnya, hingga tatapannya lurus ke arah dada Kibum. "Ia sudah gila, sama seperti kita," candanya dengan nada pahit.

Kibum mengoyak helaian rambut Donghae. "Jika aku menjadi Kangin hyung dan kau berada di posisi Leeteuk hyung, apa yang akan kau lakukan?" tanya Kibum sambil mematikan satu-satunya penerangan di ruangan tersebut saat ini.

Sayang sekali bulan tak bersinar karena cuaca buruk di hari itu. Terdengar riuh angin menggoyangkan sedikit tirai. Juga ada helaan nafas Donghae yang terdengar. "Aku tidak tahu!" ketusnya. "Apa aku seperti Leeteuk hyung sekarang?" bisiknya.

"Hampir.."

Donghae hampir berjengit marah dari tempatnya jika saja Kibum tak menariknya dalam satu pelukan. "Untung saja kau mencintaiku.." ucap Kibum tak kalah berbisik. "Apa kau begitu kedinginan? Boleh aku memelukmu sampai pagi nanti? Boleh ya? Jika tidak bolehpun, kau bisa apa, huh?"

Memang selalu ada kehangatan yang menjalar kala ia berada di dekat Kibum. Sangat jauh dengan keseharian Kibum seperti yang orang-orang katakan- bahwa Kibum sangatlah dingin dan acuh- sepertinya hal ini tak berlaku pada Donghae. Nyatanya kehangatan Kibum mampu menariknya pada rasa kantuk yang terasa nyaman. Ia tak lagi memikirkan apapun. Padahal Kyuhyun tengah menghawatirkan dirinya, sungguh!

"Hyung, kapan kalian berhenti bertengkar dan memikirkan kami? Bahkan Donghae hyung belum pulang saja kalian diamkan! Bagaimana jika suatu saat kami mati, huh? Jangan salahkan kami!"

...

Hujan tak berhenti berdatangan hingga pagi menjelang. Donghae tak habis fikir, mengapa? Apa langit tak lelah terus menangis dari kemarin? Ada bayangan dirinya di kaca jendela yang berembun itu. Ia seperti bercermin, menatap lekat bayangannya sendiri. "Kau juga, kenapa gampang sekali menangis?" tunjuknya pada bayangannya sendiri.

"Hanya kau satu-satunya pria terlemah di dunia ini!" tudingnya pada dirinya sendiri.

Suara gemuruh mesin di luar sana membangunkan Donghae dari lamunannya. Suara itu berasal dari halaman rumahnya yang masih dalam jangkauan rumah Kibum. Segera Donghae membuang embun di kaca jendela itu.

Di luar sana, ia melihat Leeteuk yang mengejar Kangin sambil berlindung di bawah payungnya. Donghae mengamati. Ia tahu jelas, Leeteuk sedang mengejar Kangin yang melesat pergi dengan mobil miliknya. Ugh.. Donghae seperti telah terbiasa dengan keadaan seperti itu.

"Huh?"

Sedikit terkejut dengan sentuhan di tubuhnya, Donghae segera berbalik dan mendapati Kibum.

"Siapa kau pikir selain aku?"

Donghae menggeleng dan tersenyum. Ia segera memeluk Kibum dan menghisap kuat aroma tubuh Kibum. Satu prilaku yang Kibum hafal benar, mengapa Donghae melakukannya? Ia dekap erat Donghae. Donghaenya sedang resah. Ia melihat Leeteuk yang berdiri di depan rumah Donghae. "Ada apa lagi pagi ini?" tanyanya.

"Aku tidak tahu. Aku tidak harus pulang dan bertanya padanya, kan?"

Kibum tersenyum. "Jangan pulang saja.."

Donghae tersenyum kecil. Ia menarik diri dari pelukan itu dan mempertemukan keningnya di bibir Kibum, yang ia yakini adalah, bibir Kibum akan dengan senang hati menyambutnya, mengecupnya dengan lembut. "Itu sama artinya dengan bunuh diri, kau bodoh?" bisik Donghae. Hembusan nafasnya menerpa leher Kibum.

Kibum tetap mengecupi kening Donghae, sesekali berpindah ke pelipis Donghae. Jemarinya mencari jemari Donghae kemudian digenggamnya jemari itu. "Kelak kita harus mengatakannya juga, kan?"

Kedua mata Donghae yang semula tertutup itu terbuka kembali. Resah itu kembali menyerangnya. Jantungnya berdegup kencang dan ia mulai ketakutan, mencari pertolongan dengan mendongak, menatap wajah Kibum.

"Tak usah takut, Hae. Karena aku tak akan meninggalkanmu.."

Bibir Donghae masih bungkam dan nampak bergetar. Ia tak sempat berkata ketika satu tangan Kibum beralih ke belakang lehernya. Menekan bagian itu, sehingga sangat mudah bagi Kibum, untuk mempertemukan bibir mereka. Wajah Donghae yang tengah mendongak ke arahnya memang mempermudah pergerakannya.

Donghae semakin terpojokan. Namun rasa takutnya kalah untuk kali ini saja. Kibum tak pernah menciumnya seintim sekarang. Tak pernah ada bunyi menggairahkan seperti sekarang, saat bibir Kibum membasahi bibirnya dan juga sebagian sisinya.

Nafas Kibum berhembus keras di wajahnya. Donghae semakin meremas kaos Kibum. Ia tak pernah ingin menolak setiap sentuhan Kibum. Terlebih, prilaku Kibum saat ini membuat semua rasa takutnya sirna entah mengapa. Ada rasa lain yang mengalihkan takut itu. Seperti melayang-layang saat..

"Kih.. bum.."

Donghae menggeram ..Kibum menghisap kuat di salah satu sudut bibirnya. Kibum juga menarik pinggangnya sehingga tak ada jarak lagi di antara kedua tubuh itu. Nafas Donghae memburu. Donghae berfikir berulang-ula ng, 'setan-setan ini? Darimana datangnya?'

Donghae telah lumpuh. Setan yang ada dalam benaknya itu, sepertinya telah menguasai dirinya dan juga Kibum yang telah melorotkan kemeja sekolahnya yang sedikit kotor. 'Oh tidak!'

'Ini salah!'

'Ini salah!'

Tapi mengapa Donghae menghianati keyakinannya sendiri? Ia hanya memandang langit-langit di atas sana sambil menggigiti bibirnya pelan, diantara hujaman kecupan Kibum di bahunya. Terasa hangat dan basah, disertai bunyi kecupan yang tak kunjung berhenti. Donghae meremas kuat surai Kibum, bukti bahwa ia menerimanya. Menerima sentuhan itu, dan ia menyukainya.

...

"Memang kemana lagi dia jika tidak di rumah ini?"

Leeteuk memperhatikan Kyuhyun yang tengah memakai sepatunya. Kedua dongsaengnya memang harus bersekolah pagi ini, tapi Donghae menghilang hingga saat itu. Menginap di rumah Kibumpun, biasanya Donghae akan pulang segera sebelum jam sekolah tiba. Sejenak ia melirik kediaman Kibum yang berada tepat di sisi rumahnya. Ia hafal betul Kibum satu-satunya orang yang dekat dengan Donghae.

"Aku tak sempat jika harus menggedor rumah itu, hyung.."

Leeteukpun hafal benar kebiasaan Kyuhyun yang nampak sedikit tida peduli itu. Ia berikan Kyuhyun sebuah payung. "Biar hyung yang melihat kesana. Kau berangkatlah terlebih dahulu.."

Ada sensai aneh tersendiri bagi Kyuhyun saat ia melihat sepatu Donghae yang kotor berada di depan lantai rumah Kibum. Ia mengusap dadanya heran, meski kakinya melangkah tanpa ragu. Sesungguhnya ia tak mengetahui, bahwa ia sedang merasakan sebuah firasat yang memanggil dirinya. Ia tak mengenal sebuah firasat itu. Ia tak peduli..

...

Sejak awal mendapati rumah Kibum tidak terkunci, serta sepatu kotor Donghae di teras depan, Leeteuk sudah merasa heran. Rumah itupun nampak begitu sepi, meski memang Kibum tinggal seorang diri karena kedua orang tuanya berada jauh di luar Korea sana.

Rumah Kibum Leeteuk sudah hafal benar letak-letaknya. Ia adalah pengajar Kibum. Mengajari Kibum berbahasa Korea dengan baik dan benar mengingat Kibum sebenarnya sangat lama tinggal di negeri orang.

"Kibum-ah?" panggilnya.

Kaki Leeteuk berubah lancang ketika mendapati kemeja seragam Donghae yang telah lusuh tergeletak di sisi jendela rumah itu. Ia memungutnya dan lalu mengedaran pandangannya dengan sebuah firasat buruk yang tersirat.

"A- aa- Kibumie!"

Leeteuk menajamkan kedua telinganya setelah mendengar cicitan Donghae dari suatu tempat. Entah mengapa suara Donghae itu membuat amarahnya perlahan dan perlahan mencuat. Ia mulai mencari darimana suara itu berasal. Bahkan suara decit ranjang sungguh membuat Leeteuk merinding di tiap langkahnya.

"Angh,, Kibumie.. Ki- kihbum!"

Semakin jelas, bahkan Donghae terdengar menjerit. Wajah Leeteuk memanas seketika. Ada suatu ruangan, dimana di dalamnya terdengar nafas-nafas berat, membuat wajah Leeteuk semain memerah menahan marahnya. Pintu ruangan itu sedikit terbuka, sehingga tanpa ragu Leeteuk membukanya.

Tidak! Leeteuk berusaha menepis apa yang dilihatnya. Tapi mana bisa? Meskipun Leeteuk mengeluarkan kedua bola matanya saat ini hanya karena tak ingin melihat, meski ia memotong kedua telinganya karena tak ingin mendengar, semua sudah terlambat baginya.

"APA YANG KALIAN LAKUKAN?!"

Pecah sudah amarah itu. Leeteuk berteriak memaki keduanya tanpa jeda di ambang pintu sambil memalingkan wajahnya karena tak ingin melihat semuanya lagi. "Hentikan itu!"

Donghae bergerak gelisah. Pasalnya, Kibum sepertinya- sudah sangat-sangat-sangat dan sangat gila! Bola mata Donghae memanas kemudian sambil memohon pada Kibum untuk.. "hentikan, Kibumie.." ..menghentikan Kibum meski nyatanya, ia hanya bisa menutup mulutnya sambil melihat ke arah lain asalkan bukan Leeteuk di ambang pintu.

Kibum masih bergerak cukup cepat. Ia benar-benar gila! Ia lebih mendekap erat Donghae dan merunduk untuk berbisik:

"Perlihatkan bahwa ini tidak menjijikan! Perlihatkan bahwa kita benar-benar ingin melakukannya, Hae. Aku tak peduli apa yang akan terjadi nanti, jikapun aku harus mati karena hyungmu memutuskan leherku!"

"Ngh.. Ngh.."

"Donghae, hen.. tikan.. hyung mohon.."

Sudah terlambat. Semua sudah terjadi. Apalagi yang bisa dilakukan untuk memutus cinta itu? Adakah sedikit kasih untuk hubungan salah ini? Ada, kan? Maka biarkan saja..

.

Inikah jawabannya? Inikah yang kalian inginkan?

END/TBC

Oo


Saya tidak tahu kenapa bisa buat yang beginian. Duuhh~ FF YAOI pertama saya? Ahhaahhaahhaa~ karena lama rehat di YAOI jadi kayaknya sentuhan romancenya kurang. Maaf ya pemirsah~ ini juga END ajah lah ya, ^^ ga gantung kan?

Sekiaaaaan..