Here we go…o''
.
.
.
Carnation
Disclaimer : Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
Main Pairing : Akashi Seijuurou x Kuroko Tetsuya
Genre : Romance & Supernatural
Warning : BL, malexmale, Shounen ai, Slash, AU, OOC, Typo nyelip, dll.
.
.
.
Chapter Three
.
.
.
.
"Kau sudah tenang?"
Tetsuya mengangguk pelan serambi melepaskan pelukannya dari Aomine. Dia menghapus air matanya dengan punggung tangannya.
Lelaki navy blue yang duduk di tepian ranjang, mengusap lengan pemuda itu lembut. "Apa yang kau mimpikan sampai membuatmu menangis Tetsu?" tanya Aomine menatapnya selidik.
Pemuda Kuroko menutup mulutnya rapat. Mata sewarna langitnya yang masih berembun tipis, memperhatikan sekujur badan Aomine di hadapannya. Dia menghembuskan nafas lega, mengetahui kalau sahabatnya tidak terluka seperti yang dilihatnya dalam mimpi. Kejadian tadi sungguh terasa nyata baginya.
"Tetsu?" panggil Aomine saat mendapati Tetsuya murung.
"...Kau terluka," serak Tetsuya lirih setelah lama terdiam. Sorot matanya meredup sedih. "Kau terluka karena berusaha melindungiku. Lalu— orang itu mencoba menyakitiku..." lanjutnya.
Aomine mengernyitkan keningnya bingung. Belum mengerti apa yang dikatakan Tetsuya. "Apa maksudmu? Dan, siapa 'orang itu'?"
Sebelah tangan putih Tetsuya mencengkram lengan baju kaus hitam Aomine. "Pemuda berambut merah— tapi iris matanya berwarna merah-emas. Berbeda dari biasanya. Dia menakutkan, Aomine-kun…" manik aquamarine-nya bergetir. "Dia ingin membunuhmu dan aku…"
Remaja tan di depannya terperanggah kaget. Mata deep shappire-nya membeliak tidak percaya. Mimpi Tetsuya itu bagaikan potongan kejadian yang menimpa mereka di masa lalu, ketika dia mencoba melindunginya dari sentuhan 'Akashi'.
'Akashi' yang berbeda dalam masa lalu mereka. 'Akashi' yang menginginkan energi kehidupan sang pemuda blunette—yang terasa menggiurkan bagi para mahkluk immortal manapun.
Aomine membelai rambut halus Tetsuya sekali lagi. "Itu hanya mimpi, Tetsu. Kau lihat sendiri aku tidak apa-apa 'kan?" ucapnya menarik senyuman kecil sarat menenangkan.
"Tapi— itu seperti nyata, rasanya pernah terjadi sebelumnya," elak Tetsuya cepat.
'Memang benar,' batin Aomine tidak menyangkal. "Tapi selama ini hal itu tidak pernah terjadi 'kan?" dalihnya.
Tetsuya membisu. Ya. Mereka tidak pernah mengalami peristiwa serupa di mimpinya selama ini. Tidak ada sihir, perang, darah, orang mati, atau sejenisnya. Tapi kenapa hatinya mengelak? Seakan membetulkan bahwa kejadian itu benar adanya?
"Sepertinya kau terlalu banyak melamun Tetsu. Makanya pikiranmu jadi tidak fokus," lanjut Aomine. "Lebih baik kau tidur lagi, ini masih tengah malam," sarannya.
Remaja yang duduk di balik selimut itu, menilik jam weker yang terpajang di atas nakas samping ranjangnya. Pukul 11.35, hampir tengah malam. Tetsuya menggeleng pelan, berusaha tidak ambil pusing dengan bunga tidur yang mengganggu perasaannya. 'Mungkin benar itu hanya mimpi,' inner-nya. Dia mulai membaringkan dirinya kembali di atas kasur untuk tidur.
"Baiklah, oyasuminasai Aomine-kun," ujar Tetsuya tersenyum pada kawannya.
"Hn, Oyasumi," balas Aomine tersenyum teduh sambil mengacak rambut sahabatnya gemas.
.
.
.
.
.
Setelah berhasil menenangkan pemuda berambut biru langit itu, Aomine menemani Tetsuya hingga tidur lelap kembali. Begitu dipastikan dia tenang dan mimpi buruk tidak akan menghampirinya lagi, lelaki navy blue itu melangkah keluar dari kamar sahabatnya.
Aomine memang sengaja menginap di kediaman Kuroko. Selain untuk membantu Tetsuya mengerjakan tugas kuliahnya, dia juga mendapat giliran untuk menjaganya. Sementara Kise harus pulang ke apartemen tempat tinggalnya, dan Kagami pergi untuk memenuhi janjinya dengan teman kuliahnya.
Remaja bertubuh kekar itu mendaratkan dirinya saat sampai di sofa ruang keluarga. Sambil menarik nafas panjang, dia merilekskan punggungnya di sandaran empuk kursi. Matanya mengerjap lelah. Tidak habis pikir kalau Tetsuya akan memimpikan kehidupan mereka di masa lalu. Apalagi sampai bertemu 'Akashi' yang itu. Apakah ini berarti segel ingatan yang diberikan Seijuurou padanya telah melemah?
Mendesah keras, Aomine beralih mengambil hp flip biru tuanya dari saku celananya. Jemarinya menekan tombol untuk mencari nomor kontak pemuda Akashi. 'Aku tidak peduli, sekalipun harus menerima hukuman kesadisan Seijuurou karena mengganggunya tengah malam begini, aku harus bisa membujuknya kembali,' tekadnya dalam hati.
Aomine menunggu nada hubung sesudah menekan tombol panggil. Ketika tersambung, pemuda itu segera menegakkan badannya. "Hallo—Seijuurou! ini aku Aomine."
"... Kau tahu ini jam berapa, Daiki? Kau telah mengganggu waktu istirahatku."
Jawaban ketus dari si penerima membuat Aomine sempat bergidik. "Ck, maaf deh kalau begitu…" balasnya berdecih kecil.
"Ada apa kau menelponku?" tanya Seijuurou tenang, sekarang ini dia ada di sebuah kamar hotel bersama Murasakibara. Duduk di kursi balkon memandangi bukit gelap daerah kuil yang barusan di datanginya dari kejauhan. Sementara lelaki jangkung berambut violet itu, bersandar di pagar besi setinggi pinggang seraya mengunyah pocky coklat-nya malas.
"Ini soal Tetsu, kau pasti sudah dengar keadaannya dari Midorima tadi siang 'kan?" jawab Aomine to the point. "Barusan saja, dia bermimpi tentang masa lalu kita. Dan lagi dia melihat 'Akashi'," terusnya.
Tatapan mata Seijuurou berubah tajam. "Apa yang dia mimpikan?"
"Insiden saat perang kita dengan 'mereka' berlangsung. Waktu itu, aku mencoba melindungi Tetsu dari 'Akashi' agar dia bisa melarikan diri, tapi gagal karena 'orang itu' menyerangku telak dan kau datang menyelamatkan Tetsu saat 'dia' berniat melukainya," terang Aomine.
Kilat kosong mewarnai mata scarlet Seijuurou. "Aa— yang waktu itu rupanya…" katanya teringat.
Kekasih Kise itu bergumam mengiyakan. "Kau tahu, Sei? Tetsu menangis saat terbangun dari tidurnya tadi. Dia terlihat tersiksa."
Remajadi seberang sana terdiam. Binar kejut sempat melintas di iris deep scarlet-nya sekilas.
"Sepertinya rasa bersalah masih membayangi hatinya sampai sekarang…"
"..."
"…Jadi kapan kau kembali? Kau tentu tidak mau membuat Tetsu menderita karena terus teringat pecahan masa lalu yang bahkan dia sendiri tidak mengerti 'kan? Kau harus membuka segel ingatannya!" tuntut Aomine tegas.
Sang Emperor memejamkan matanya mendesah berat. Baru saja dia mengetahui kebangkitan 'mereka' yang merupakan musuhnya. Sekarang, ditambah Tetsuya yang dihantui oleh memory masa silam karena segel pengikatnya melemah. Apalagi sampai bertemu 'orang itu'. Dia tahu cepat atau lambat masalah ini akan terangkat ke permukaan. Tapi, waktunya yang bertepatan, memaksanya harus mengambil sebuah keputusan.
'Sepertinya aku memang harus kembali…' inner Seijuurou. "...Baiklah, Daiki. Aku akan segera kembali."
Aomine mengulas senyum puas.
"Dan— kumpulkan semuanya begitu aku sampai di sana, ada yang ingin kubicarakan," lanjut Seijuurou membuka matanya dengan sorot dingin. Alisnya mengkerut samar.
Pemuda tan menyerngit dahi heran mendengarnya. Mengumpulkan semuanya, berarti ada hal serius terjadi pada lelaki di seberang sana. Namun, Aomine tidak menanyakannya lebih lanjut karena pasti akan memakan waktu. Apalagi, Seijuurou tipe orang yang tidak suka diganggu ketenangannya jika istirahat. "Aku mengerti," ucapnya menyanggupi.
Aomine menutup hp-nya setelah Seijuurou memutuskan sambungannya terlebih dahulu, kemudian kembali menyandarkan badannya di sofa. Entah kenapa perintah pemuda crimson tadi membuatnya kepikiran. Seakan firasat buruk datang menghantuinya.
'Semoga saja semua baik-baik saja,' harapnya dalam hati.
.
Seijuurou menutup handphone-nya setelah mengakhiri hubungannya. Dia menghela nafas pendek serambi menyamankan punggungnya di kursi rotan. Menutup mata sejenak, memikirkan rencananya yang harus disusun ulang karena ada hal yang terjadi di luar prediksinya.
Pemilik manik delima ini sudah menduga, mungkin masih ada anak buah musuh yang tersisa setelah peperangan 6 tahun lalu. Karena itu, Seijuurou dan Murasakibara berkelana untuk memperkuat segel agar sang pemimpin musuh tidak dapat bangkit kembali. Yang mana ketika perang berakhir, Seijuurou berhasil mengalahkan 'Orang itu'. Orang itu adalah bagian dari 'Akashi'. Dia merupakan saudara sedarah Seijuurou.
–Kakak kembarnya, Akashi Shinichi.
"Aka-chin."
Murasakibara berdiri di depannya sambil mengulurkan sekotak pocky miliknya yang isinya tinggal separuh. Seijuurou membuka mata meliriknya singkat. Tapi tangan kanannya bergerak mengambil sebatang stick coklat itu. Mengulumnya dan mengunyahnya berlahan.
"Kau yakin kita akan pulang?" pemuda ungu berkaus sewarna rambutnya tersebut menatap kawannya lekat.
"Hm," gumam Seijuurou begitu menghabiskan cemilannya sebelum mengambil sebatang yang lain. "Kita akan kembali ke Tokyo besok. Segel ingatan Tetsuya sepertinya sudah mencapai batasnya. Jadi, aku harus membukanya sebelum dia tersiksa karena ketidakpastian yang dialaminya," lanjutnya.
"Seperti yang dikatakan Riko-chin. Bunga tidur bisa membawa memory masa lalu. Jika ingatan hati menghilang, tubuh kita akan membantu mengingatkan," ucap Murasakibara teringat ucapan temannya dahulu.
"Benar," pemuda merah berkaus crimson lengan panjang itu membetulkan. "Dan itulah mengapa, Tetsuya selalu dihantui mimpi masa lalu yang tidak ia mengerti."
"Soal Ogiwara Shigehiro tadi, kau akan beritahukan pada semuanya?" Murasakibara mendudukkan diri di kursi sebelahnya.
"Ya, juga tentang kebangkitan 'mereka'. Kita harus mempersiapkan segalanya untuk menghadapinya cepat atau lambat. Aku yakin 'mereka' akan kembali mengincar Tetsuya," kata Seijuurou. "Tapi sebelum itu, aku harus membuat Tetsuya mengingat kembali masa lalunya."
Murasakibara mengangguk paham.
"Kau pasti senang 'kan, Atsushi?" Seijuurou tersenyum kecil saat menangkap kilat bahagia di sepasang iris Ametrish malas kawannya. "Sebentar lagi kau bisa segera bertemu Tatsuya kesayanganmu itu," tangannya terangkat menepuk puncak kepala Murasakibara.
"Ya, Aka-chin" Murasakibara pun tersenyum tipis mengakuinya.
.
.
.
.
.
Matahari telah menampakkan dirinya. Membawa pagi yang cerah dengan udara khas musim semi. Kelopak-kelopak Sakura yang tumbuh di pinggiran kota Tokyo berterbangan bebas diiring kicauan burung-burung kecil yang hinggap di dahannya. Membuat suasana menjadi lebih hangat dan ramai.
Tetsuya membuka jendela kamarnya begitu bangun dari tidur beberapa menit lalu. Membiarkan angin segar berbau embun masuk memenuhi ruangan pribadinya. Bibirnya menarik senyuman tipis. Mata aquamarine-nya berbinar senang menyambut hari yang cerah ini. Untuk sejenak, remaja mungil itu ingin melupakan mimpi yang membuatnya gelisah kemarin malam. Dia berniat untuk memulai aktivitasnya tanpa harus kepikiran tentangnya.
Bunyi ketukan halus terdengar dari balik pintu kamarnya. Tetsuya menoleh, dan melihat Kise membuka bilah kayu tersebut sambil melongokkan kepala bersurai pirangnya ke dalam.
"Ohayou, Kurokocchi!" sapa Kise menyengir lebar.
"Ohayou, Kise-kun," balas si remaja bluenette ramah.
"Kagamicchi 'dah masak sarapan. Dia menyuruhku memanggilmu untuk bersiap-siap dan makan bersama," terang Kise.
Tetsuya mengangguk. "Baiklah."
"Oke, kalau gitu kami tunggu di ruang makan. Soalnya Ahominecchi 'dah kelaparan," sungut si model yang kemudian beranjak keluar dan menutup pintu.
Tetsuya terkekeh kecil mendengar gerutuan sahabatnya. Dia masuk ke kamar mandi dalam kamarnya setelah sempat mengambil baju ganti. Begitu selesai melakukan ritual pagi dan merapikan diri, Tetsuya segera keluar kamar dengan membawa ransel kuliahnya. Menuju ruang makan dimana Aomine, Kise, dan Kagami telah menunggu.
Tetsuya mendapati pemuda berambut merah jabrik bergradasi hitam sedang menata makanan yang berupa ikan kering, natto, dan oyakodon di meja kala dia sampai. Kagami memang pandai memasak, makanya dia sering mengambil alih tugasnya di dapur ketika berkunjung kemari. Aomine duduk malas serambi menumpukan dagunya di atas lipatan tangannya. Matanya mengerjap lambat, masih mengantuk. Sementara, Kise membantu Kagami memindahkan nasi dari magicom ke beberapa mangkuk kecil.
"Ohayou," sapa si remaja Kuroko yang berkemeja kotak-kotak dengan garis biru dan celana coklat muda.
Kagami menengok ke arahnya. "Yoo, Ohayou Kuroko."
"Ohayoouu~" kata pemuda tan lunglai.
Tetsuya heran. "Ada apa, Aomine-kun? Kau kelihatannya tidak bersemangat sekali."
"Hngg, masih ngantuk Tetsu, tapi lapaar~" Aomine mendesah sebelum menggeliat bangun.
"Kau memang selalu mengantuk, Ahomine," sela Kagami.
"Terserah aku, Bakagami," dengus lelaki navy blue yang memakai kaus biru gelap bermotif bola basket dan celana hitam.
"Sudahlah, ayo kita makan-ssu, aku ada kelas pagi," sanggah Kise yang memakai kaus kuning cerah, vest hitam, dan celana coklat gelap. Dia baru menyelesaikan kegiatannya.
Lelaki merah berkaus orange dan celana hijau tua khas tentara itu, kembali ke dapur meletakkan panci kotor di counter cuci piring juga melepas celemeknya. Kise mulai duduk di samping kekasihnya yang telah membenarkan posisi duduknya. Disusul Tetsuya yang mengambil tempat di hadapan Aomine. Saat Kagami kembali dan duduk di sebelah Tetsuya, mereka mulai menyantap jatah sarapannya masing-masing.
"Besok, kita jadi ke tempat Himurocchi 'kan?" tanya Kise membuka obrolan.
"Yup, seperti rencana kita kemarin," kata Aomine sehabis menelan ikan keringnya.
"Apa Midorima-kun dan Takao-kun juga ikut?" Tetsuya memandang Kagami.
"Kayaknya sih ikut, secara tidak langsung, ini seperti reuni," jawab remaja beralis unik itu.
"Kau sudah menghubunginya-ssu?" ujar Kise.
Kagami menggeleng.
"Yah, besok kita juga akan ketemu kalau mereka datang," timbrung Aomine.
"Lalu, apa Murasakibara-kun belum pulang?" tanya Tetsuya saat teringat pemuda jangkung berambut ungu pacarnya Himuro.
Kagami melempar pandangan pada Aomine. Yang dipandang, hanya diam seakan mengisyaratkan sesuatu.
"Aa, aku sempat menanyakannya ke Tatsuya. Katanya, belum ada kabar soal kepulangannya," Kagami menyahut.
"Hmm, mereka berdua telah terpisah jauh karena pekerjaan Murasakibara-kun. Pasti Himuro-kun kesepian," gumam Tetsuya.
"Murasakicchi punya sesuatu yang harus dilakukan-ssu, Himurocchi mengerti hal itu," ujar Kise tersenyum manis. "Lagipula mereka berdua itu saling setia. Jadi tidak perlu khawatir."
"Yah, mereka lebih baik daripada kalian berdua yang selalu mengumbar di depan umum," cibir Kagami.
"Heh, akui saja kalau kau iri Bakagami," ejek Aomine menyeringai.
Muka Kagami memerah tipis. "Ekh, memang aku masih jomblo tapi maaf saja, meski aku punya pun, aku nggak bakal melakukannya sevulgar kalian."
"Yah, semoga kau cepat laku Kagami-kun," Tetsuya menatapnya iba.
"Hah? Apa maksudmu Kuroko?! Seperti kau sudah punya pacar saja," '—walau kenyataannya benar,' decak Kagami menoleh cepat.
"Aku memang punya, vanilla milkshake," jawab Tetsuya mantap dengan wajah sedatar tembok.
Membuat ketiganya langsung sweat drop tercengang. Serentak mereka berdoa dalam hati. 'Semoga Akashi/Seijuurou tidak pernah mendengarkan kalimat itu keluar dari mulut Tetsuya tersayangnya. Bakal tersulut api cemburu dia nanti...'. Aomine, Kise, dan Kagami tiba-tiba bergidik merasakan aura kelam muncul entah dari mana.
"Akh, jam kuliahku mau mulai-ssu," kejut Kise begitu melihat jam dinding di ruang makan yang mereka tempati.
"Hhh, ayo cepat selesaikan sebelum terlambat," Aomine langsung menyantap makanannya yang sempat terhenti. Disusul ketiga sahabatnya yang mengangguk setuju.
Begitu selesai makan, Kise membawa peralatan makan yang kotor ke counter cuci piring. Dia mencucinya dibantu Tetsuya yang mengelap sesudahnya. Kagami yang tinggal di meja makan bersama Aomine, melirik si pemuda tan tajam.
"Jadi, Kapan Akashi akan pulang?" ucap Taiga bernada pelan. Memastikan agar Aomine saja yang mendengar.
"Aku tidak tahu pastinya, tapi dia bilang segera," kata Aomine selesai meminum kopinya.
Kagami mengangguk mengerti. "Semoga saja semua sudah berakhir, jadi Akashi dan Kuroko tidak perlu menderita lagi."
"Ya," Aomine menaruh mug kosongnya. "Dan kita juga tak harus berperang kembali..."
.
.
.
.
.
Pemuda bersurai jingga dengan model rambut jabrik, melangkah santai menyusuri jalan setapak yang terbuat dari batuan alam. Di sepanjang kanan-kirinya terdapat pohon-pohon pinus dan oak yang berdaun lebat. Udara pagi bercampurkan embun tercium segar dalam pertengahan hutan yang dijejakinya ini. Ogiwara Shigehiro hendak menuju puri yang bertempat di pedalaman hutan pinggiran suatu kota.
Ogiwara sampai di depan mansion megah yang telah termakan waktu. Namun masih layak pakai dan tidak ada kerusakan berarti. Bangunan bergaya victorian itu bercat dinding krem pudar, dirambati tanaman hijau sulur di beberapa bagian. Jendela yang banyak jumlahnya tertutup rapat. Taman luas berhias bunga dan semak di depannya lumayan tak terurus. Seakan dibiarkan tumbuh semaunya. Pagar besi yang mengelilinginya, sedikit berkarat. Sepintas, nampak seperti rumah kosong tak berpenghuni. Tapi, tidak karena ada dua orang yang berdiri di dekat pintu gerbang, memberikan tanda kehidupan.
"Ooh, okaerinasai~ Ogiwara-kun," seorang gadis berambut bubble gum, menyambut kepulangan Shigehiro bersama kawannya. Wajah cantiknya menyinggungkan senyum manis.
"Masih selamat toh," lelaki berambut hitam jabrik dengan alis mengkerut, menatap Shigehiro datar. Nadanya terkesan sinis dan acuh.
"Yo, tadaima Momoi-san, Kasamatsu-san," jawab si remaja jangkung melambaikan tangan sambil menyengir lebar. "Ayolah Kasamatsu-san, jangan do'akan aku cepat mati gitu dong," melas Ogiwara berjalan menghampiri mereka.
"Hihi, Kasamatsu-san hidoi-desu," kikik perempuan bernama Momoi Satsuki. Membuat Kasamatsu mendengus kecil. "Ayo masuk Ogiwara-kun, Mebuchi-san dan Sakurai-kun sudah memasak sarapan," ajaknya seraya membalikkan badan.
Gadis ber-dress merah hati selutut dengan hiasan manik bunga di bagian pinggangnya itu menghadap gerbang yang tertutup rapat. Momoi mengangkat satu tangannya ke depan, mengumpulkan energi sihir miliknya ke telapak tangan. Pedar cahaya pink muncul mengelilingi tubuh rampingnya. Menghantarkan aura kalem yang menghanyutkan.
Beberapa saat kemudian, nampaklah selubung sihir yang semula transparan melindungi puri megah tersebut. Momoi membuka sebagian tanpa melepaskan kekuatannya. Membuat jalan masuk untuknya dan Ogiwara serta Kasamatsu.
Ketiganya berjalan melewati gerbang besar. Melintasi halaman berpaving batu selagi selubung pelindung sihir tersebut menutup rapat seperti sedia kala tanpa lubang sedikitpun.
"Bagaimana keadaan di kuil terakhir?" tanya Kasamatsu melirik Ogiwara di sampingnya.
"Seperti yang diperintahkan, aku melepas segelnya dan menghancurkan tempatnya sampai rata dengan tanah," kata lelaki orange santai.
"Haah, enaknya bisa keluar, aku juga mau," keluh Momoi mengerucutkan bibir merahnya. "Aku bosan harus terus terkurung di tempat ini tanpa melakukan sesuatu yang mengasyikan."
"Belum saatnya Momoi, tunggu sampai 'Akashi' bangkit kembali," Kasamatsu memperingatkan. "Pecahan jiwa yang terkumpul, harus kita kembalikan ke tubuh asalnya."
Momoi mendesau. "Aku tahu~"
"Aa, ngomong-ngomong entah kebetulan, takdir, atau apalah namanya—aku ketemu dia," kata Ogiwara teringat.
"Siapa maksudmu?" Momoi memalingkan wajah padanya diikuti kasamatsu.
"Seijuurou," bibir Ogiwara menyeringai tipis. Iris Paparaca berkilat misteri. "—Aku bertemu dengannya saat selesai melepas segel, dia datang bersama si jangkung berkepala ungu. Sempat terjadi pertarungan kecil sih, tapi cukup sebagai salam pembuka dari kita."
Kedua kawannya melebarkan kelopak matanya masing-masing. Terkejut, namun hanya sebentar karena berganti raut wajah senang. Belah bibir mereka menyeringai lebar. Tatapan keduanya menyala seakan menemukan sesuatu yang menarik.
"Well, berarti kita tidak perlu menyembunyikan diri lagi," Kasamatsu bersuara berat.
"Aah~ Aku tidak sabar bertemu mereka lagi, gimana kabar Tetsu-kun ya?" suara centil Momoi mengandung makna mistis.
"Yang pasti mereka akan bersiap menghadapi kita nantinya," timbrung suara yang berasal dari arah depan.
Ogiwara, Momoi, dan Kasamatsu melengokkan kepala bersamaan. Menemukan pria jangkung berambut hitam malam dengan kacamata membingkai manik Opal-nya. Dia menyandarkan sebelah bahunya di kayu pintu yang terbuka separuh. Bersidekap dada menunggu kedatangan mereka bertiga.
"Ow, Imayoshi-san," Ogiwara menyengir dan mengangkat tangan sapa.
"Okaeri Ogiwara-kun, gimana Kyoto?" sosok yang dikenal sebagai Imayoshi Shoichi, balas menyipitkan kelopak mata serambi tersenyum ramah.
"Masih sama seperti dulu, walau ada beberapa yang berubah."
"Begitu..." Imayoshi mengangguk sekali sebelum menegakkan badan membuka pintu lebih lebar. "Kalian segeralah masuk ke dalam, Nijimura dan yang lain sudah menunggu."
"Nani-nani? Apa ada hal penting?" Momoi berlarian kecil memasuki dalam mansion.
Lelaki berkacamata dengan balutan kaus hitam V-neck dan celana putih panjang mengedikkan bahu. "Saa..."
Keempat orang tersebut melangkah melintasi koridor bernuansa eropa klasik. Dinding ber-wallpaper Vintage berhias canvas lukisan-lukisan terkenal, menjadi pemandangan yang tersaji di sepanjang lorong. Mereka bergerak dalam keheningan, menuju ruang yang terdapat di ujung sana.
Ketika sampai di depan pintu berkayu jati besar, Imayoshi membukanya dan masuk diikuti yang lain. Mereka disambut oleh empat orang yang duduk di sofa dalam tengah ruangan.
"Kalian lama sekali," kata pemuda berambut hitam klimis yang bersandar malas di kursi single. Reo Mebuchi.
"Soalnya aku baru saja tiba," Ogiwara mendaratkan pantatnya di sofa panjang yang diduduki pria bersurai abu-abu dengan manik Moonstone. Mayuzumi Chihiro.
"Bukannya kita akan sarapan dulu, Mebuchi-san?" Momoi berjalan ke belakang Mebuchi. Dia berdiri membungkukkan badan dan menumpu siku di atas sandaran kursinya.
"Awalnya iya, tapi salahkan Nijimura yang seenaknya menyuruh kita berkumpul," mata galak Mebuchi bergulir ke arah pria yang duduk di sofa single lain.
Tapi, yang dipandang—pria berhelai raven yang dipanggil Nijimura Shouzou—malah diam mengacuhkan.
"Jadi ada apa?" tanya Kasamatsu yang telah berada di sisi kiri pemuda berambut coklat madu. Sakurai Ryo. Sementara Imayoshi duduk di samping kanannya.
Mereka semua menyatukan perhatian pada Nijimura yang dengan santainya menyilangkan kakinya.
"Ada sesuatu yang mau kubicarakan," tutur Nijimura bersuara berat. Sorotan matanya menajam penuh atensi.
Ketujuh orang tersebut penasaran, menunggu penerangan dari sang wakil pemimpin.
"Akashi Shinichi'—mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitannya kembali."
.
.
.
.
.
+++++oTo Be Continuedo+++++
.
.
Haah... akhirnya aku bisa nglanjutin fic ini juga...=o=~3
Bagi yang nggak paham jalan ceritanya, mohon maaf karena ini masih tahap awal dan belum terungkap sepenuhnya...
Berminat kirim REVIEW ato kritikan untuk fic ini mina-san?