Another story...o''

.

.

.

Carnation

Disclaimer : Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

Pairing : Akashi Seijuuro x Kuroko Tetsuya

Genre : Romance & Supernatural

Warning : BL, malexmale, Shounen ai, Slash, AU, OOC, Typo nyelip, dll.

.

.

.

Chapter One

.

.

.

Musim semi datang lebih cepat. Itulah yang pemuda bersurai crimson ini pikirkan ketika melihat pohon Sakura yang memekarkan bunganya. Remaja ini berdiri di bawah dahan-dahannya yang menjulang rendah. Memperhatikan kelopak-kelopak pink yang terbang lepas dari tangkainya tertiup angin sepoi. Melayang bebas di udara malam yang bertabur bintang tanpa bulan. Lewat mata bermanik deep scarlet-nya, dia menikmati pemandangan asri dari sebuah ciptaan Tuhan yang tumbuh di hadapannya. Dengan sebelah tangan berkulit putihnya, dia menangkap sebuah mahkota kecil bunga tersebut.

Cantik, elegan, indah, itulah yang terpatri di benak lelaki bernama Akashi Seijuuro yang mengamatinya dengan wajah datar. Menyerukan opininya dalam hati tanpa berniat mengucapkannya. Bagi dirinya, tidak usah diungkapkan pun, semua orang pasti memiliki pendapat sama bila melihat pohon yang hanya mekar di musim semi ini. Karena hanya orang idiot saja yang tidak menyadari betapa menawannya warna Sakura di depannya. Setidaknya, begitulah penilaian Seijuuro.

"Sakura, ya?"

Suara yang mengalun barusan tidak membuat Seijuuro bergeming. Dia tidak perlu menoleh untuk menemukan siapa yang datang mendekat padanya dari belakang.

"Kau suka sekali melihatnya, Aka-chin," gumam malas lelaki berambut ungu klimis memanjang yang berjalan menuju sebelahnya.

Seijuuro melepas kelopak Sakura dari jemarinya, sebelum memejamkan kedua mata beriris merah tuanya. "...Tidak juga," jawabnya bersuara berat, namun pelan dan dalam.

Remaja yang mempunyai tinggi di atas rata-rata tersebut, berhenti di samping pemuda crimson. Melirik Seijuuro melalui mata beriris ametrish-nya yang terkesan bosan. Tapi nampak kilatan mistis di sana. "Sudah larut malam, aku sudah selesai memesan kamar di hotel dekat sini."

"...Hm."

Tidak ada lagi yang berbicara setelah jawaban singkat yang diberikan Seijuuro. Mereka berdua sama-sama terdiam, meresapi angin sejuk yang berhembus dan memandang helaian mahkota bunga yang berterbangan di angkasa. Membuat berkibarnya coat merah marun yang dipakai oleh pemuda Akashi, serta jaket kulit panjang berwarna coklat gelap yang membalut asal di badan lelaki sebelahnya.

"Atsushi..."

"Un?" pemuda jangkung bernama lengkap Murasakibara Atsushi ini menoleh meresponnya.

Seijuuro membuka matanya berlahan. Memandang kosong pohon Sakura di hadapannya. "...Menurutmu apa yang dilakukan Tetsuya sekarang?" tanyanya bernada rendah.

Murasakibara mengerjapkan mata terkejut kecil. Tidak menyangka Seijuuro akan memberi pertanyaan yang mungkin sudah diketahui jawabannya terlebih dahulu. Dia membisu sejenak. Tidak tahu apa harus menjawabnya atau tidak. Tapi daripada kena hukuman pemuda berambut merah api yang dijuluki sang 'Emperor' ini, sebaiknya dia mengutarakannya.

"Nn...mungkin Kuro-chin juga sedang melihat Sakura sekarang."

Seijuuro tersenyum tipis. Tidak terlalu terlihat karena tersamar oleh wajah datarnya. Tapi binar matanya, menyorotkan kilat sendu seakan merindukan sesuatu. Jawaban itu sesuai apa yang dipikirkannya. "...Benar juga—"

"—Aku ingin bertemu dengannya..."

Lelaki ungu itu mengatupkan bibirnya rapat. Memandang redup kawannya –Tuannya— dalam diam.

Tanpa aba-aba, Seijuuro membalikkan tubuhnya. Memunggungi Murasakibara dan pohon Sakura di belakangnya. Lalu menggerakkan kakinya untuk melangkah menjauh. "Ayo kembali."

Tidak perlu menjawab, Murasakibara mulai berjalan menyusulnya. Dia melihat sebatang pohon bunga pink itu untuk terakhir kalinya, sebelum mengikuti Seijuuro pergi menembus kegelapan malam. Menuju hotel yang menjadi tempat mereka menginap kali ini.

.

.

.

.

.

Matahari terbit menaikki angkasa di ufuk timur. Menyinari langit gelap yang semula malam, menjadi biru cerah kekuningan pagi hari. Awan-awan putih berarak mengisi bidangnya dengan burung-burung yang semangat berterbangan kesana-kemari. Berkicau untuk menyambut esok di musim semi yang hangat ini.

Seorang pemuda berambut bluenette, berdiri memperhatikan perubahan alam tersebut. Menikmati angin yang bertiup pelan membawa bau alam dan embun di tengah padang ilalang setinggi betisnya. Helaian mahkota bunga merah muda dari pohon-pohon Sakura yang mekar di tepian padang hijau itu, melayang mengikuti arah angin. Terbang menerpa tubuh mungil remaja berkemeja biru muda yang dilapisi blazer coklat susu serta celana hitam legam.

Lelaki berwajah putih datar namun terkesan manis yang dikenal bernama Kuroko Tetsuya itu, memandang langit melalui mata bermanik blue aquamarine-nya. Tatapannya menerawang, mengingat suatu hal yang membayangi bunga tidurnya tadi malam. Mimpi dimana dia berada di padang ilalang bertabur guguran Sakura seperti ini, tapi tidak sendiri, melainkan bersama seseorang. Sesosok pemuda bertubuh sedikit tinggi darinya. Bersurai merah api menyala, dan nampak sebaya dengannya. Tetsuya tidak bisa melihat jelas bagaimana rupa paras lelaki itu karena terhalang sinar matahari. Namun dia ingat sebuah suara tegas dan dalam yang memanggilnya—

'—Tetsuya.'

"Kurokocchi!"

Tetsuya mengerjap kaget. Suara ceria itu membuyarkan lamunannya seketika. Dia menoleh dan mendapati pemuda jangkung berambut pirang cerah berlari cepat menujunya. Remaja itu menyengir senang sambil melambaikan sebelah tangannya. Mata topaz-nya berbinar antusias.

"Kise-kun," sapanya yang berbalik badan menghadap remaja itu.

"Hyyaaa—Kurokocchi! Aku kangen sekali padamu!" teriak Kise Ryouta yang membuka lebar kedua tangannya, bersiap memeluk remaja berambut biru muda di depannya.

Tapi, tepat sedetik sebelum Kise menyentuhnya, Tetsuya melangkah ke samping menghindarinya. Membiarkan si remaja pirang menabrak udara kosong hingga terjatuh tersandung, alhasil malah mencium tanah bertumbuh ilalang di bawahnya.

"Ohayougozaimasu, Kise-kun," salam Tetsuya memandang datar pemuda yang masih tengkurap tidak elit di atas tanah hijau tersebut.

"Kurokocchi Hidoi-ssu!" Kise menangis buaya meratapi nasibnya.

Tetsuya tersenyum samar melihat tingkah kekanakkan sahabatnya. "Kau datang menjemputku kali ini?"

Lelaki tampan berkaus putih dengan rompikrem panjang dan celana abu-abu itu mendudukkan diri, seraya membersihkan debu yang menempel sedikit di bajunya. "Un, maaf agak telat, soalnya tadi aku kesusahan bangunin si kebo Aominecchi," jawab Kise sedikit memayunkan bibirnya kesal.

"Tidak masalah kok. Kuliahku 'kan dimulai jam 9," kata Tetsuya.

"Tapi, aku 'kan ingin langsung ketemu Kurokocchi," sahut Kise yang berprofesi sebagai model remaja yang sedang naik daun di kotanya.

Lelaki bermata langit itu menghela nafas, terkadang Tetsuya tidak bisa menolak teman kecilnya yang selalu mengaku merindukan kehadirannya itu. "Ya—ya."

"Oh ya, kau sudah sarapan-ssu?" ujar Kise yang bangkit dari duduknya. "Kalau mau kita bisa mampir ke cafe sebentar di jalan nanti," ajaknya.

Remaja bermarga Kuroko mengangguk. "Sudah, lebih baik kita langsung berangkat saja."

"Okay-ssu," Kise menyengir setuju.

Mereka berdua berjalan keluar melintasi padang hijau menuju rumah mungil pemuda bermarga Kuroko yang tak jauh dari situ. Beberapa menit setelahnya, mereka berdua sampai di sebuah rumah bercat putih yang terletak menyendiri dari pemukiman penduduk. Tetsuya memang sengaja membangun tempat tinggalnya di atas bukit yang berada di luar desa pinggiran Kota Tokyo. Karena dia menyukai ketenangan dan merasa cocok di sana. Rumah bergaya semi modern itu, nampak terawat dengan taman bunga Lily berbagai warna yang tumbuh rapi. Dikelilingi pagar besi rendah yang dirambati tanaman sulur. Di halaman depannya terparkir sebuah mobil sport kuning milik Kise.

Tetsuya bergerak masuk ke dalam rumahnya mengambil ransel bersama buku-buku yang dibutuhkan. Lalu keluar dan mengunci pintu depan rumahnya. Dia melangkah ke arah Kise yang menunggu di sebelah mobilnya. Pemuda itu langsung membukakan pintu penumpang bagian depan agar ditempati Tetsuya. Sementara dirinya berputar untuk menuju pintu kemudi yang kemudian duduk di sana.

Perjalanan menuju Universitas Internasional Teiko memakan waktu 20 menit. Itupun bila tidak macet di tengah jalan raya kota yang padat kendaraan. Kise memilih daerah lenggang saat menyusuri jalan tersebut. Lalu menambah kecepatan mobilnya. Tetsuya mendengarkan lagu dari handphone miliknya melalui earphone yang tersemat di kedua telinganya. Matanya memandang keluar jendela mobil. Melihat bangunan-bangunan pencakar langit ibukota Jepang.

Tidak terasa, mereka telah sampai di lahan parkir samping kampus berada. Kise menempatkan mobilnya di samping mobil Lexus berwarna biru tua. Kendaaraan familiar di mata Tetsuya.

"Itu, mobil Aomine-kun?" tanyanya pada remaja pirang setelah melepas earphone-nya.

Kise mengangguk sambil mematikan mesin mobilnya. "Dia berangkat bareng Kagamicchi."

Begitu keluar dengan membawa barang bawaannya masing-masing, Tetsuya dan Kise berjalan ke area kampus. Terlihat beberapa mahasiswa yang juga kuliah di tempat ini melangkah bersama mereka. Saat melewati lapangan basket yang cukup ramai, kedua pemuda ini berhenti untuk melihat dua remaja yang bertubuh mencolok diantara kumpulan orang di sana.

Dua sosok yang dimaksud adalah lelaki yang saling berhadapan. Yang satu memiliki rambut navy blue, berkulit tan dan bertubuh kekar. Dia men-drible bola orange di tangannya. Sementara yang lain mempunyai rambut gradasi merah hitam jabrik, beralis cabang dan berbadan tak kalah kekar. Bersiap seraya mencondongkan tubuhnya ke depan dengan merentangkan lengannya. Menahan gerakan lawan yang ingin menerobos masuk wilayah ring yang dijaganya.

"Heh, kau mau mem-block permainanku, jangan harap bisa Bakagami," kata remaja navy bernama Aomine Daiki remeh. Dia menyeringai menghapus keringat yang mengalir di pelipisnya. Sebelah tangannya tetap setia memainkan bola basket.

"Jangan sombong dulu, Ahomine!" seru lelaki di hadapannya yang dikenal Kagami Taiga. Giginya menggertak kesal dengan alis yang bertautan tajam.

Aomine mendengus. Bersamaan dengan sekali drible, tubuhnya bergerak ke kanan, namun bola basketnya melayang ke kiri. Kagami terbelalak. Mata merahnya tanpa sadar teralih ke arah bola yang terbang bebas. Ketika tangan Kagami bersiap menangkap bola, tangan kiri Aomine sigap menyerobotnya. Mencuri start yang langsung berlari melewati pemuda merah itu dengan bola di bawah kuasanya lagi.

Kagami tercengang kaget. Tersadar dari keterkejutannya, dia segera berbalik dan mengejar Aomine. Remaja tan berkaus zipper hitam tanpa lengan dan celana biru tua sobek-sobek ala punk itu, makin gencar memperlihatkan tehniknya dengan menerobos beberapa musuhnya yang menghadang. Begitu sampai di bawah ring, dia melompat tinggi. Mencetak angka dengan memberikan dunk super kuat yang mampu menggetarkan ring besar tersebut. Para penonton melongo karena aksi si pemain yang dijuluki 'Monster Ace Teiko'. Permainannya hebat tapi terkesan kasar serta barbar. Layaknya cara street basketball.

"Woo—Hebat Aomine!" tepukan dan sorakan semarak mengisi lapangan basket itu. Menyambut kemenangan yang diraih Aomine.

Aomine menegakkan badannya. "Terlalu cepat 10 tahun kau mengalahkanku Bakagami," ujarnya menyeringai serambi berkacak pinggang.

Kerutan jengkel muncul di pelipis Kagami yang tidak terima. "Lain kali aku pasti mengalahkanmu dan bakal buat kau menangis!" tekadnya mengepalkan tangan.

"Hahaha—aku tunggu saat itu, berjuanglah!" Aomine hanya balas tertawa remeh. Membuat Kagami yang memakai kaus merah, dengan celana hitam longgar yang membalut kakinya itu makin geram.

Merasa cukup berolahraga, para pemain menuju bench dan duduk menegak minuman yang dibawanya masing-masing. Melepas lelah sambil mengusap peluh yang membanjiri badan mereka.

"Ohayou, Aomine-kun, Kagami-kun."

Remaja jangkung berambut merah hitam durian itu menoleh melihat penyapanya dari tempat duduk. Diikuti lelaki berambut biru tua di sebelah-nya. Menemukan dua orang yang berbeda fisik berjalan menuju mereka.

"Ooh, Kuroko," balas Kagami melambaikan tangan senang.

"Ohayou, Tetsu. Kapan kalian sampai?" tanya Aomine tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya.

"Sejak kalian bertanding tadi-ssu," jawab Kise begitu dirinya sampai di hadapan mereka dengan Tetsuya.

"Oh, kupikir kau telat datang menjemputnya," kata Aomine menggaruk tengkuk lehernya tanpa minat.

Kise merengut sebel menerima olokannya teman seapartemennya. "Itu salahmu yang susah dibangunin Ahomine!"

Kagami selesai meminum pocari sweat-nya dan memasukkannya di ransel hitamnya. "Ayo masuk, bentar lagi jam kuliahku mulai," ajaknya seraya berdiri membawa tasnya.

Tetsuya menilik jam tangan kecil yang dipakai di tangan kirinya. "Ayo."

Mereka berempat melangkah meninggalkan lapangan yang telah bubar tersebut. Mengikuti para mahasiswa lain ke area kampus. Ketika sampai di persimpangan, Tetsuya memilih arah ke kiri menuju gedung tempat jurusan pendidikan berada. Disusul Aomine dan Kise yang mengambil jurusan ekonomi. Mereka berpisah dengan Kagami yang harus ke kanan, pergi ke gedung yang agak jauh dari sana, karena dia mengambil jurusan bahasa inggris.

"Oi, Bakagami. Nanti kumpul di cafetaria biasanya, okay?!" teriak Aomine saat Kagami sudah jauh. Kagami balas melambaikan tangan sambil berlari mengejar jam masuk kuliahnya.

Kini tinggal mereka bertiga yang mulai melangkah menuju kampus. Aomine dan Kise mengobrol dengan Tetsuya di belakangnya. Sebenarnya hanya Aomine dan Kise yang berisik karena saling menggombal atau lempar ejekan. Tetsuya hanya tersenyum kecil menanggapi tingkah mereka yang merupakan sepasang kekasih sejak lama. Pemuda bersurai biru muda ini tidak jijik pada orientasi seksual sahabatnya. Dia malah senang, karena keduanya telah berhasil mengikrarkan perasaannya. Tapi dirinya tidak ingat, kapan dua remaja biru-kuning itu pacaran. Padahal mereka selalu bersama sedari kecil dengan Kagami tentunya.

Tetsuya selalu merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Seolah meninggalkan bekas lubang menganga yang tidak dapat ditutup dalam hatinya. Namun, Apa—?

"Tetsu?"

Panggilan Aomine menyadarkan Tetsuya yang termangu diam. Dia mengerjap menatap kedua remaja di depannya yang berhenti sambil memandangnya heran.

"Kurokocchi melamun-ssu?" tanya Kise agak cemas. Tidak bisa membaca mimik Tetsuya yang bermuka datar.

"Ada apa?" timpal Aomine.

Tetsuya menggeleng. "...Tidak ada apa-apa, kok."

"Benar-ssu? Kau tidak punya masalah 'kan?" selidik Kise.

Bibir Tetsuya menarik senyum tipis. Berusaha meyakinkan Kise yang terlihat khawatir padanya. "...Benar Kise-kun."

"Ya sudahlah, tapi kalau ada apa-apa blang saja pada kami," ucap Aomine menghela nafas maklum.

Tetsuya mengangguk singkat. Dia mencoba menghilangkan impresi itu di benaknya. Lalu, mereka kembali melanjutkan langkahnya yang tertunda. Aomine dan Kise melirik Tetsuya di belakangnya diam-diam. Mereka agak cemas pada kondisi sahabat yang sangat disayanginya itu. Mungkin Tetsuya tidak ingat, tapi Aomine, Kise, dan Kagami, telah berjanji akan melindunginya apapun yang terjadi.

—Sampai 'orang itu' kembali suatu hari nanti.

.

.

.

.

.

"Kau sudah selesai bersiap, Aka-chin?"

Murasakibara melihat pemuda crimson telah berpakaian rapi saat dia membuka pintu kamar hotel tempat mereka bermalam. Seijuuro mengikatkan dasi hitamnya di kerah kemeja merah yang dikenakannya. Lengannya digulung sebatas siku. Dibalut vest coklat gelap dan dipadukan dengan celana bahan hitam.

"Hm, ada apa?" gumam Seijuuro yang fokus menatap refleksi pantulan dirinya di depan cermin setengah badan.

"Mido-chin mengirimkan e-mail padaku. Katanya kapan kita kembali ke Tokyo?" terang si lelaki ungu sambil menunujukkan hp sewarna rambutnya di tangannya.

Seijuuro selesai menata dasinya. Dia memalingkan wajahnya memandang datar kawan –pengawalnya. "Kenapa memangnya?"

"Dia bilang, 'Ini sudah lebih dari 6 tahun kau pergi, kapan kau kembali? Kau tidak ingin membuat Kuroko terus-terusan menunggumu 'kan? Bukan berarti aku peduli-nanodayo.'," Murasakibara yang berkaus ungu dengan coat hitam selutut dan celana jeans warna senada itu, membacakan kalimat yang tertulis di pesan tadi –lengkap sama logat tsundere-nya—.

Mendengarnya, mata deep scarlet milik Seijuuro menggelap. Aura mistis menguar dari tubuhnya. Membuat atmosfer udara di kamar mewah berukuran 6x7 meter tersebut jadi berat dan suram. Murasakibara menatap sang 'Emperor' dalam diam. Sebagai orang terdekat, dia telah terbiasa merasakan energi berbahaya itu.

Seijuuro dan Murasakibara memang bukan orang biasa. Mereka memiliki kemampuan dan tubuh yang lebih kuat dari manusia biasa. Mereka adalah salah satu mahkluk yang terlahir dari kegelapan, disebut bangsa immortal.Bersama kaumnya, mereka berbaur serta hidup diantara manusia.

"...Ingatan Tetsuya masih tersegel. Dia tidak akan bisa mengingat apapun tentangku," ucap remaja berambut merah darah itu tenang. "Mana mungkin dia akan menungguku, Shintarou. Sepertinya aku harus memberikanmu 'hadiah' atas pesanmu saat kembali nanti," bibirnya melengkung membentuk senyuman dingin. Sinar matanya menyorot rendah pada sesuatu.

Murasakibara sempat bergidik mendengar kata 'hadiah' yang dikatakan Seijuuro. Dalam hati dia berharap, semoga kawannya Midorima Shintarou selamat ketika bertemu mereka nanti. "Nng...Jadi apa kita akan kembali, Aka-chin?" tanyanya.

"Belum, masih ada hal yang harus kita lakukan," ungkap Seijuuro yang lebih tepatnya suatu hal yang harus dia lakukan. Sedang Murasakibara hanya akan membantunya. "Harus dipastikan lebih jelas, bahwa 'mereka' telah hancur dan tidak akan bangkit lagi mengganggu kedamaian kita sekarang ini sampai seterusnya."

Lelaki jangkung yang satu ruangan dengannya itu mengangguk mengerti. "Kalau begitu, aku akan balas e-mail Mido-chin dan turun untuk check out di resepsionis," ujarnya bersiap pergi.

"Hm, aku akan segera turun," balas Seijuuro.

Dengan itu, Murasakibara berbalik keluar dari ruangan. Menuju ke lantai satu melakukan tugasnya. Seijuuro mendekat ke salah satu ranjang kembar yang dipakai tidur olehnya semalam. Mengambil sebilah pedang yang tergeletak di atasnya bersama sarung dan alat pembersihnya. Jemari pucatnya mengelus gagang pedang berlaras silver yang berukir tulisan Norsk. Berbunyi Brann Lotus. Mata lancip tajamnya sangat mematikan, dapat memotong rapi segalanya dalam sekali tebas.

Seijuuro menyeringai bengis. Mata merahnya berkilat mengintimidasi. "Maaf Tetsuya, belum waktunya aku kembali—"

"—Tunggulah sebentar lagi."

.

.

.

.

.

Tetsuya menemukan dirinya berada di tengah tanah lapang, dipenuhi reruntuhan bangunan yang hancur luluh lantah. Besi-besi karat, batu-batu besar yang retak, asap tebal, debu yang berterbangan nampak jelas di sana. Ditambah api hitam yang terlihat membakar habis semua benda hingga hangus. Menurutnya ini seperti medan perang.

"—Dimana ini?" tanyanya memandang ragu pada sekitarnya.

Pemuda bermata biru langit itu melihat beberapa orang yang berbaris memunggunginya di depannya. mereka memiliki tinggi dan fisik yang berbeda. Pakaian yang dikenakan mereka pun seperti bukan berasal dari dunianya. Masing-masing memakai coat berbeda style dan warna. Tapi, sobekkan kain, bekas luka, darah, serta kotoran yang menempel, menghiasi baju mereka.

Jika diperhatikan seksama, Tetsuya merasa familiar dengan mengamati punggung beberapa sosok tersebut. Namun— siapa mereka?

Salah seorang yang paling pendek di antara mereka, berdiri selangkah di depan. Tiba-tiba menolehkan kepala menghadapnya. Tetsuya tidak bisa melihat rupa wajah sosok itu karena tertutup bayangan. Tapi helaian rambut merah api dan sepasang iris deep scarlet, tertangkap jelas di mata aquamarine miliknya.

Iris mata sosok itu menatapnya intens. Dalam, tajam, penuh perhatian, seakan menyiratkan sesuatu. Bibirnya terbuka mengucapkan kata—

"—pergilah dari sini—"

Tetsuya melebarkan kelopak mata pucatnya terkejut. Tidak mengerti apa maksudnya. Ketika dirinya hendak bertanya, mendadak angin berhembus kencang ke arahnya. Membuatnya memejamkan mata erat dengan lengan yang melindungi mukanya.

"—KUROKOO!"

Seketika, Tetsuya terperanggah. Matanya terbuka lebar. Nafasnya tersenggal. Dia mengangkat wajahnya dari lipatan tangannya di atas meja, melihat Kagami yang memegang bahunya kuat. Bersama Aomine dan Kise yang menatapnya khawatir.

"E—eh?" Tetsuya mengerjap bingung.

"Kau baik-baik saja Kurokocchi?!" tanya Kise yang duduk di sampingnya gusar.

"Kau kenapa? Apa yang terjadi?" timbrung Aomine yang duduk di depannya dengan Kagami.

"—Aah," gumam Tetsuya linglung.

"Kau tertidur saat kita selesai memesan makanan. Ada apa?" sergah Kagami setelah melepas pegangannya.

Tetsuya tidak menjawab. Dia melihat sekelilingnya lebih dulu. Aroma khas makanan dan minuman menyebar di ruangan bergaya minimalis itu. Diisi oleh beberapa orang serta meja-kursi yang tertata rapi. Cafetaria. Rupanya dia sudah di cafe bersama teman-teman kecilnya. Jam kuliah sudah selesai, makanya mereka berniat makan siang di sini.

"Kurokocchi," panggil Kise tidak sabar meminta penjelasannya.

Tetsuya menarik nafas panjang. "Maaf, sepertinya aku mimpi buruk," katanya seraya memijat pelan pelipisnya.

"Mimpi apa?" Kagami mengernyitkan dahi penasaran.

Pemuda mungil itu menggeleng pelan. "Tidak tahu..." jawabnya ambigu.

Aomine, Kise, dan Kagami menatap Tetsuya lekat. Menyelidiki adakah yang disembunyikan remaja itu dari mereka.

Alhasil, Tetsuya mendesah mengalah. "Aku baik-baik saja. Aku hanya bermimpi aneh tadi," jelasnya.

"Apa itu?" Aomine mencondongkan tubuhnya dengan siku tangan menumpu di atas meja. Kise dan Kagami ikut memfokuskan perhatiannya.

"Akhir-akhir ini, aku bermimpi berada di tempat-tempat asing. Bersama beberapa orang yang tidak kukenal, tapi serasa familiar," terang Tetsuya. "Dan yang paling sering muncul, seorang lelaki berambut merah api dengan mata merah darah. Tingginya sedikit di atasku. Tapi aku tidak tahu bagaimana wajahnya," lanjutnya.

Tetsuya melihat bagaimana perubahan mimik ketiga kawannya ketika mendengar hal itu. Aomine membelalakkan mata deep shappire-nya tercengang. Kise membulatkan iris topaz-nya tidak percaya. Sedang mata ruby Kagami melotot, tegang kaget.

"Ng? Kenapa?" herannya.

Aomine berkedip dua kali tersadar dari kagetnya. "La—lalu apa yang terjadi?" balasnya cepat.

Tetsuya mencoba mengingat kembali. "Orang itu tersenyum, sering memanggilku 'Tetsuya'. Seolah sangat mengenal diriku," sambungnya.

Tangan Kise menutup mulutnya. Mata masih bergetir tidak percaya. "Jangan-jangan—" lirihnya.

"Hn?" Tetsuya menatap ganjil ke pemuda pirang.

"K—kau yakin orang itu yang ada di mimpimu?" tanya Kagami ragu. Sama belum percayanya.

Tetsuya menautkan alis. Muka datarnya berubah bingung. "Ya."

Aomine menarik nafas keras. Kedua telapak tangannya mengusap kasar wajah tannya. "Oh god..."

"Mengapa? Kalian tahu sesuatu?" tanya Tetsuya yang tidak paham dengan sikap ketiganya.

"Ti—tidak Kurokocchi, kami tidak tahu!" balas Kise sambil melambaikan kedua tangannya di depan dada gelagapan.

"I—itu hanya bunga tidur, bisa jadi sebuah pertanda sih, Ha-ha," timpal Kagami tertawa hambar.

Aomine menggaruk pipinya. "Aa—benar, bisa jadi begitu."

Tetsuya memincingkan mata, menatap tajam mereka bertiga secara bergantian. Menyelidiki ekspresi gelisah-gugup yang ditunjukkan Aomine, Kise, dan Kagami. Rasanya sahabatnya ini tahu sesuatu, tapi ditutupi darinya.

"Aah—makanannya datang!" dalih Kagami begitu melihat dua pelayan membawa nampan berisi pesanan mereka.

Mereka berempat mengambil bagian masing-masing. Lalu mulai makan dan mengobrol ke suatu topik yang tidak lagi berhubungan dengan mimpi Tetsuya. Meski pemuda mungil itu tahu, bahwa pembicaraan itu adalah sekedar pengalihan perhatian saja.

Sebenarnya— apa yang disembunyikan darinya?

"Aku ke toilet sebentar ya," kata Kise beranjak berdiri.

"Cepatlah kembali, atau aku akan memakan jatahmu," balas Aomine yang selesai menelan beef steak-nya.

"Kau rakus sekali-ssu. Kurokocchi, tolong jaga makananku," pinta Kise. Tetsuya hanya balas mengangguk singkat.

"Sudah, cepat sana," kata Kagami yang secara tidak langsung mengusir si model.

Kise segera melangkah menuju toilet yang terletak di pintu pojok dekat counter pembelian cafe. Dia masuk ke dalam ruang bersih berkeramik tersebut. Dua orang lain pergi keluar melewatinya saat berdiri di depan wastafel. Kise langsung mengeluarkan hp-nya dari saku celana. Memencet tombol untuk mencari nama kontak seseorang yang dibutuhkannya.

—Midorima Shintarou.

Kise menekan tombol panggil. Mendekatkan hp-nya ke telinga kiri untuk mendengar nada tunggu menjadi jawaban.

'Tut—tut—klek'

"Hallo—Midorima-desu."

"Aah—Midorimacchi!" seru Kise antusias.

"Kise, ada apa? Kuharap kabar bagus karena kau telah menggangguku menyelesaikan misi-nanodayo," ucap lelaki di seberang sana dengan malas.

"Begini—Kurokocchi mendapat mimpi yang sepertinya tentang masa lalu. Dia mulai mengingat Akashicchi," jawab Kise cepat.

"Haa? Akashi?"

"Ya. Tapi tidak sepenuhnya."

"Tidak mungkin, ingatan Kuroko masih tersegel bukan? Dia tidak bisa mengingat Akashi sebelum bertemu orangnya langsung," elak pemuda berambut hijau yang memakai jubah hitam dan celana bahan coklat gelap. Remaja berkacamata ini berdiri di atap suatu gedung berlantai 20. Angin kencang yang menerpanya, tidak membuat pendengarannya kabur.

"Tapi benar-ssu. Kurokocchi menceritakannya sendiri padaku. Aominecchi dan Kagamicchi juga mendengarnya," ucap Kise meyakinkan.

"Gggrrrhh—HAAKKKHHH!"

Mata Kise membola mendengar suara asing yang mengerang kesakitan di sana. "Midorimacchi, kau kenapa?" tanyanya.

"Aah, hanya melakukan 'pembersihan'," mata jamrud Midorima melirik seseorang yang bersamanya saat ini. Lelaki berambut hitam dengan poni belah tengah, sedang menghabisi seekor monster burung berkepala naga dengan tombak miliknya yang bermata dua. Remaja itu membelah perut mahkluk itu dengan sekali tebas. Membunuhnya hingga mati di tempat. Meninggalkan tubuh tak bernyawa dan darah yang berhamburan di lantai atap.

"Oh, lalu bagaimana sekarang?"

Midorima berpikir sebentar. "Jika yang kau katakan benar, berarti segel itu mulai melemah. Dan Kuroko akan kembali mengingat segalanya termasuk kita."

Kise mengusap punggung tangan yang menggenggam hp-nya gelisah. "Kalau begitu—"

"—Aku akan menghubungi Akashi. Jika memang 'mereka' sudah musnah, dia dan Murasakibara bisa kembali kemari bertemu Kuroko lagi," potong Midorima sambil membetulkan bingkai kacamatanya.

"Um, baiklah aku menunggu kabarmu," kata Kise sebelum memutus panggilannya. Merasa cukup melakukan tugasnya yang disuruh Aomine barusan, dia bangkit berjalan keluar toilet untuk kembali ke mejanya.

Di tempat lain, tepatnya dimana Midorima berada sekarang, lelaki bersurai hijau itu menghela nafas serambi memasukkan hp miliknya ke saku celananya. Partner-nya yang telah selesai dengan pekerjaannya, mendekatinya untuk bertanya.

"Ada apa Kise menelpon?" tanya Takao Kazunari.

Midorima berbalik menatapnya. "Si berisik itu membicarakan Kuroko. Katanya Kuroko mulai mengingat masa lalu melalui mimpi," jawabnya.

Mata obsidian Takao membelalak terkejut. "Eh—dia ingat semuanya?! Akashi dan kita?!"

"Sepertinya belum, hanya Akashi," jelas Midorima pada pemuda yang lebih pendek darinya.

Takao yang memakai jaket kulit krem dan celana jeans abu-abu itu, mendesah resah. "Akashi belum kembali. Bisa gawat kalau Kuroko mengingat semuanya tapi 'mereka' belum dipastikan hancur," ucapnya.

"Hm, aku akan mengabari Akashi soal ini nanti," Midorima melangkah ke pagar atap setinggi dada dan melompat memijaki ujungnya. "Ayo pulang, aku capek-nanodayo," ajaknya santai yang langsung terjun ke bawah dari atas gedung setinggi lebih dari 100 meter tanpa rasa takut.

Takao menyusulnya kemudian. Setelah membakar habis mayat monster yang dibunuhnya, dia bergerak mengikuti Midorima pergi. Terjun menuju dasar gedung tersebut.

.

.

.

.

.

To Be Continued ===

.

.

.

Ini pertama kalinya aku bikin Kurobas, fic ini mungkin banyak kesalahan, tapi mohon dimaafkan...

Silahkan kirim Review, Kritik, dan Saran untuk kelanjutan fic ini, aku akan senang hati menerimanya ^^

Arigato, Jaa ne...