Saat kutatap matamu.

Aku melihat cinta yang kau tahan.

Namun saat kudekap dirimu, Sayang,

Tahukah akupun merasakan hal yang sama.

.

Karena tak ada yang abadi.

Dan kita berdua tahu kalau hati bisa berubah.

.

Dan sulit menjaga lilin tetap menyala,

Di dinginnya hujan November.

.

*November Rain songs by Gun n Roses

.

Stalking Romeo

(first part for the Romeo trilogy)

By: pororo90

Disclaimers: all chara are belong to Masashi Kishimoto

and I don't take any provit for this,

just only to have fun.

Warning: AU/M/Typo/gajeness/OOC

Sasu-Hina rules.

.

DLDR!

.

You've been warned!

.

.

Enjoy this present, minna..

.

.

Hinata Hyuuga bukan seorang ballerina. Ia juga bukan seorang pemain biola ataupun piano. Ia bahkan bukan yang tercantik dalam angkatannya. Ia hanya sekedar gadis lugu, yang selalu merona jika malu, dan selalu mengucapkan maaf untuk hal sepele yang kadang tidak penting.

Dia tipe gadis yang suka mengalah dan menghindari keramaian. Tipe pengamat, yang diam-diam menilai orang lain. Semua hal tentang dirinya membuatku tak pernah bisa menerka. Dia, seperti cermin, ekspresi yang kita harapkanlah yang ditampilkannya. Poker face, begitu yang kupercayai.

Mengenalnya ketika berumur dua belas tahun, dan Hinata yang kala itu berumur sepuluh tahun. Kami akrab dengan ditemani keheningan yang absurd. Kami melewati masa kehilangan yang sama. Perasaan terasing yang sama. Dan menyebabkan kami saling menggantungkan diri. Kami tidak akan menyadari, bahwa kami terhubung tanpa ada ikatan. Saling mengikat tanpa kata-kata..

*Romeo Series*

.

.

Bel pelajaran pertama berbunyi nyaring. Awal musim gugur ini agak menjemukan bagiku. Selain karena ku telah menjadi murid senior dan hanya berkutat mengenai ujian yang akan kami hadapi, aku juga memiliki ujian yang lain.

Ujian yang lebih penting. Seperti sekarang.

Aku duduk di dekat jendela. Menikmati segala keindahan awal musim gugur. Tapi hatiku kosong. Daun-daun momiji yang jatuh pun, tak mampu menghiburku dari kebosanan ini. Aku bosan, duduk di sini dan hanya melihat Hinata di bawah sana, tanpa aku.

Hinata berada di sana, di lapangan olah raga, dengan peluh yang membasahi tubuhya. Rambutnya yang dikuncir tinggi-tinggi. Dan kacamata berframe hitam yang menambah kesan wajah malaikatnya. Dia adalah pemandangan terindahku.

Setiap tawanya mampu membiusku, bahkan dari pelajaran bahasa Inggris yang biasanya kusimak dengan baik. Dia berada di sana sedang tertawa bahagia. Dengan seseorang berambut kuning cerah yang terlihat sedang duduk di sebelahnya. Dan aku merasa dadaku mendadak aneh. Aku megap-megap meski aku bisa menarik udara. Mendadak sesak napas.

.

Sraaakkk—

.

Anko Mitarashi, guru bahasa Inggrisku menatapku dengan seksama.

"I'm sorry. I feel not good, Miss." Aku berdiri. Mengabaikan tatapan ingin tahu dari teman-teman sekelas.

"Oh," matanya terbuka sempurna, "Are you oke?" dia benar-benar khawatir.

Aku menarik napas, menampilkan ekspresi, aku cukup sakit dan membutuhkan istirahat. "Just little tired, can I go to health room?"

Dia, buru-buru menyahut, "Oh, yeah, you should to take rest immediately. Are you sure can going there alone?"

"It's allright." Ucapku. Lalu berjalan menuju pintu keluar.

.

Yang kuperlukan sebenarnya bukan tidur di ruang kesehatan. Tapi menatap wajahnya dari jarak dekat dan merebut perhatiannya dari bocah lelaki itu. Apakah aku aneh?

..

.

Agak licik memang. Menggunakan cara ini untuk mendapat perhatiannya. Secara teknis, kami jarang bertemu di sekolah. Dia kelas satu, dan aku kelas tiga. Kelas kami berbeda lantai. Aku sering mengamatinya dari jendela yang yang sengaja kubuka. Berharap ia menoleh ke arahku. Atau diam-diam mendongak ke atas. Dan ketika mata kami bertemu, aku akan melengkungkan senyum sekilas.

Sekilas yang selamanya.

Tapi nyatanya ia selalu menundukkan kepala. Ia jarang berinteraksi denganku. Semua gara-gara fansgirl sialan! Yang kubutuhkan hanya berbagi bekal dengan Hinata, bukan dengan jejeran bentou yang diumpankan kepadaku setiap istirahat tiba. Aku ingin ngobrol dengan Hinata, bukan dengan mereka yang mengerumuniku seperti semut kelaparan. Tanpa kusadari, di sekolah, ia bukanlah sahabatku yang ku kenal.

Dan kakiku bergerak sendiri.

Aku benar-benar merasakan amarah yang tidak kuketahui. Harus marah karena apa? Dia, sahabatku hanya berbagi minuman. Dan juga saling melempar senyum. Tapi aku tak dapat menahan diriku untuk mengambilnya kembali. Aku takkan bisa kehilangan dia. Tidak untuk pria berambut kuning, merah, coklat, biru atau hijau sekalian.

Puk,

Tanganku menjangkau bahunya.

Hinata menoleh ke belakang. Matanya yang pucat menatapku lebar-lebar. Aku selalu menyukai keterkejutannya. Ia akan memasang ekspresi kaget yang imut.

"A-ano, ada apa senpai?"

.

Nah, ini yang tidak kusukai darinya. Dia memanggilku senpai jika di sekolah. Dan –kun jika di rumah. Kenapa? Aku menghela napas. Karena ini bukan tempat yang nyaman untuk berbagi.

Ya..

Selalu begitu.

Hinata punya tempat sendiri di hatiku. Bernama infinity. Tidak terhingga. Ia adalah sahabat, adik, kadang seperti ibu. Dan yang lebih penting..

Ia cinta pertamaku.

.

Aku memegangi kepalaku, "Aku agak pusing, bisakah kau menolongku?"

Ia buru-buru berdiri, "Da-daijobu desu, ka?" suaranya lirih namun lembut. Menyimpan perhatian yang memang kuinginkan.

Aku tersenyum lemah. Berpura-pura agar ia lebih memperhatikanku daripada bocah berambut kuning yang memiliki warna mata biru cerah. Type Hinata, yang terlihat hangat dan juga menyenangkan. Bukan kegelapan pekat, sepertiku.

Dia kemudian membantuku ke ruang kesehatan. Aku mengabaikan kasak-kusuk yang terdengar ketika kami mulai meninggalkan lapangan olah raga.

Aku tidak peduli.

Aku hanya ingin Hinataku kembali. Dan aku tak perlu yang lain. Meski kau tahu, cara ini tak mungkin kugunakan lagi.

*Romeo Series*

.

.

Hari-hari yang berlalu semakin membuatku menyesali, kanapa kami harus berbeda umur. Aku takkan lagi bisa melihat dia jika aku harus ke universitas. Atau, apakah aku harus menundanya saja? Banyak pikiran berkecamuk dalam pikiranku. Terlalu banyak opsi. Aku, tak ingin kehilangan dia. Meski mungkin untuk beberapa tahun yang singkat.

Kakiku melangkah memasuki lobi, beberapa pegawai Uchiha Sky Tower menyapaku ramah. Bukan sapaan itu yang kucari di sini. Tapi seseorang milikku yang berada di atas sana.

..

Apartemen mewah itu hanya berisi kekosongan jika ia tak ada. Aku tahu, suatu tempat yang kusebut rumah adalah ketika ia berada di sana. Atau dimanapun jika ia ada di sana..

.

Biiibbb..

Suara mesin pengaman pintu berbunyi nyaring setelah aku memasukkan kartu identitasku. Aku merasa bersemangat ketika mengingat aku tak lagi sendirian di tempat yang kusebut rumah. Tidak saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Sasuke yang kala itu telah berumur tujuh belas tahun justru dengan sigap menjadi wali Hinata. Kadang, selalu ada yang di dapatkan di balik kehilangan.

"Tandaima."

"Okaeri.." Hinata menyahut dari dalam.

Tanpa nada kegugupan, dia adalah seseorang yang berbeda jika berada di sekolah dan di rumah. Dia selalu tahu bagaimana cara menyenangkan hatiku.

Meski suaranya yang lembut terdengar lemah, aku tahu kalau aku selalu tahu ia berada di sini. Di sisiku. Karena kami takkan mampu jika terpisah.

Ia seperti biasa, mengenakan apron warna ungu cerah favoritnya, dan tersenyum ramah ke arahku. Aku membayangnkan betapa indahnya jika pemandangan seperti ini bisa bertahan selamanya. Selamanya yang mungkin takkan pernah ada akhirnya. Aku membatin.

Ia menghembuskan napas pelan.

"Bagaimana dengan ujian akhirnya?" Hinata bertanya riang sambil menyodorkan kue muffin yang masih hangat. Dan juga secangkir ekspresso. Akhir-akhir ini ia bersemangat membuat cemilan-cemilan rumahan.

Aku mengamati kue-kue yang terbalut krim warna-warni. Agak enggan untuk menyentuh.

"Pilih yang polos saja, Kei. Yang polos isinya krim rasa tomat.." Hinata mengambil tatakan untuk mengambilkan kue yang dimaksud. Dan dengan telaten menghidangkannya ke depan mejaku.

Deg!

Entah mengapa aku harus merasa berdebar. Hanya melihat Hinata melayaniku seperti seorang istri. Istri eh—?

Mungkin aku terlalu capek hingga memikirkan hal yang melenceng seperti ini?

Aku mencomot salah satu kue yang dibuat Hinata, lalu menggingitnya pelan. Untuk beberapa detik, ia hanya kaku. Terlalu lezat, bagaimana sebuah kue yang tampak sederhana bisa membuatku terheran-heran. Kuenya lembut, dan isinya berlelehan di lidahku. Memanjakanku. Hangat, lembut, pas. Seperti Hinata! Ugh..! apa-apaan ini. Beberapa hari ini aku justru memikirkan gadis itu. Terutama saat aku menyadari bahwa masa SMA-ku akan berakhir. Aku akan berpisah dari Hinata.

Agak menyedihkan.

Selama bulan ini saja kau jarang pulang bareng dengan sahabatku sendiri. Lagipula Hinata benci diperhatikan. Dan kami harus menjanga sedikit rahasia kecil, kalau kami tinggal bersama. Demi kebaikan semua orang.

Ya semua orang.

Terlebih jika itu bisa membuat Hinata dalam bahaya.

.

"..Kun, Sasuke-kun." Panggil Hinata lagi.

"Hn."

"Ba-bagaimana kuenya?"

"Lumayan."

"Ugghh," Hinata lesu, "Padahal kata teman-teman aku yang terbaik. Tapi kamu masih menggunakan kosa kata itu?"

"Jika kunilai hasilnya adalah sembilan. Bukan sepuluh."

Senyum Hinata mengembang, "Betulkah?"

"Ya."

Hinata tersenyum, senyum yang manis hingga membuat jantungku berdesir.

Ada apa? Ini aneh!.

.

"Kupikir, aku ingin belajar memasak saja." Ucap Hinata sambil mengaduk cappuccino-nya hingga berbuih. "Aku ingin seperti okaa-san.."

Aku terkesiap, apa maksudnya ini?

"Kamu, pasti akan mewarisi perusahaan Uchiha dengan cepat. Aku kasihan jika kamu harus capek-capek membagi waktumu untuk kerja, sekolah dan harus mengurusi aku."

"Hi—"

"Jangan menyela!" potong Hinata.

Gadis itu menarik nafas.

"Kupikir aku lebih baik pulang ke rumah kekek di Osaka. Dan kamu akan lebih memperhatikan masa depanmu sendiri.."

"Apa yang kau ucapkan?!" kata-kataku justru berubah dingin. Aku benci! Benci jika Hinata seolah-olah melindungiku begini.

"Kei.."

"Aku tidak mau kau pergi!"

Hinata tersenyum, "Tapi aku juga kan menjadi psikiater yang hebat. Agar bisa berjalan beriringan dengan Sasuke-kun. Agar aku bisa menjagamu."

Sraakkk..

Aku benci membayangkan aku berpisah darinya! Jadi yang paling baik sekarang adalah aku pergi dan tidak mendengarkan ocehannya. Mungkin ia dalam periode datang bulan sehingga sensitif begitu.

"Kei.." Panggilnya.

Tapi aku masih berjalan. Lalu berhenti ketika mendengar tarikan nafasnya yang berat. Aku diam. Dia diam. Kami jadi terjebak perasaan canggung begini.

"Aku tidak ingin Sasuke-kun menjadi lemah. Kamu harus jadi yang terbaik. Apakah permintaanku itu salah?"

Aku melihat ia meneteskan air mata. Sebenarnya ada apa?

Aku berbalik, melangkah lebar untuk menjangkaunya. Memeluknya dalam dekapanku.

"Shhhh.." aku menenangkannya.

"Aku tahu kalau nilai Sasuke sedang jatuh. Kamu bukan lagi yang pertama. Shikamaru yang menempati peringkat itu. Jadi kupikir.." Hinata menarik nafas dalam-dalam seolah menahan sesuatu untuk dikatakan, "Kamu harus berjuang lagi. Dan aku akan selalu mendukungmu.."

"Hinata ini tidak seperti yang kau kau bayangkan."

"Harvard." Potong Hinata, "Seharusnya kamu sekolah di sana kan?!"

Aku menelan ludah, bagaimana ia bisa tahu?

Hinata mengeluarkan kertas dari saku apronnya. "Aku menemukannya ketika membersihkan kamarmu."

Ceroboh!

"Ujian masuknya dua bulan lagi. Tapi kalau kamu masih di Jepang karena aku. Maka aku akan sangat marah!"

"Hinata.."

"Ssshhhtt" hinata menaruh telunjuknya di depan bibirku, "Kamu harus diam, dan mendengarkan."

"Kamu akan kembali dengan membawa gelarmu. Dan aku akan menunggumu di sini.."

Aku tersenyum, entah mengapa fokusku menjadi ngelantur seperti ini. Bibir Hinata yang tipis dan sensual membuatku mati kutu. Aku ingin menciumnya lagi. Seperti biasanya. Ketika ia tidur..

"Aku akan baik-baik saja. Percayalah."

Aku tahu. Tapi akulah yang tidak baik-baik saja jika tanpamu.

"Jadi Sasuke-kun, tolong jangan lagi menolak tawaran itu. Aku akan sedih jika kau menolaknya untukku."

"Hn."

Kami terdiam beberapa waktu.

"Hei, Hinata.."

"Hmm.." dia tersenyum.

"Bolehkah aku meminta sesuatu?" Yang berharga bagimu.

"Apa?"

"Pejamkan matamu."

Hinata menatapku dengan rasa ingin tahu, tapi kemudian ia menyerah. Kepada tatapanku yang menyiratkan permohonan. Matanya yang berwarna ungu keperakan menutup. Dan aku tahu aku tidak akan membiarkan seseorang lain mendapatkan sesuatu yang harusnya jadi milikku.

*to be continued*

.

.

A/N:

Enggak pede nulis school fict. #sigh

Ancur deh!

Speechless?

.

Chap ini mungkin jadi dua chapter.

Hanya untuk memuaskan rasa penasaranku saja *yang berakhir mengerikan.

Baiklah~

Tolong dukung saya -_-

RnR ya minna.

Salam hangat Poochan.

.

.

*spoilers

Air mata turun perlahan. Tanpa diduga tanpa bisa di cegah. Segala pelukan ini, apakah akan menghilang jika terbit fajar? Ataukah akan bertahan selamanya di hati kita. Seperti udara yang menjelma di dunia. Begitu di butuhkan, tanpa bentuk, tanpa ikatan. Hanya bertahan di manapun, tapi kita tahu ada. Seperti rasa cintaku Sasuke, tidak terbatas. Untuk segala hal yang kuhela, aku tahu. Kita akan saling memiliki.