Your Trouble is My Trouble

Pairing : SasuIno slight ItaIno

Rated : T

Summary :

Bagaimana jadinya jika pada saat Sasuke ingin membalas perasaan Ino,

disaat itulah rintangan lain menghadang. Dikarenakan yang satu hilang ingatan

dan yang satunya lagi berusaha lari dari kematian. Bagaimanakah keduanya

dapat bersatu sementara masing-masing punya masalah sendiri?

Don't Like Don't Read

No Chara Bashing

Say no to PLAGIATOR and SILENT READER

Please enjoy reading.

At Satoshi Hospital

Dan di sinilah dia, masih di tempat yang sama. Masih berbicara dengan orang yang sama dan topik yang sama.

"Terapinya kapan dimulai, un?" tanya pemuda berambut pirang itu tanpa menatap lawan bicaranya. "Lebih cepat lebih baik. Mulai hari ini, dia dirawat di sini saja. Kita tak ingin hal lebih buruk terjadi, kan?" balas Itachi sembari menulis sesuatu pada catatannya, sesekali membenarkan letak kacamatanya.

"Berarti tidak bisa sampai kuliahnya selesai," bisik Deidara lirih sekali dan nyaris tak dapat didengar Itachi. Meskipun tidak merespon, dengan melirik Deidara melalui atas kacamatanya menunjukkan kepedulian yang tersembunyi.

"Baiklah, akan kuberitahu dulu dia. Permisi, un." Deidara pun beranjak meninggalkan Itachi, mempersempit jarak antara dia dan adiknya itu.

Di sana, Ino duduk dengan mencengkeram kedua lututnya. Bibirnya membentuk sebuah senyuman yang manis. Deidara jadi tak tega mengatakannya. Deidara tak tega membuat senyum itu memudar. Itu sama saja dengan mengatakan, "Hei, adikku yang manis. Dengan atau tanpa diterapi, kau akan mati."

"Hah…" Helaan nafas pendek dikeluarkan Deidara. Dia duduk dengan perlahan di sebelah Ino dan bernafas lambat. Terlihat mendramatisir -memang-tapi itulah yang terjadi. Menjadi orang yang pertama tahu tidak selamanya mengasyikkan. 'Ah… kenapa harus dia?' batinnya berkata. Ia menatap ke segala arah. Berusaha menghindari tatapan Ino, ke mana saja asalkan jangan pada mata itu. Pikiran pemuda berambut pirang itu masih sibuk memikirkan bagaimana cara yang bagus untuk memberitahu Ino.

"Dei-nii, jadi bagaimana?" tanya gadis itu riang.

Handphone di kantong celananya tiba-tiba berbunyi. Kali ini dia selamat. Diberkatilah siapa pun yang menghubunginya saat ini. Dengan cepat diambil Deidara dan dibacanya nama yang tertera di situ.

Teman sepekerjaannya. Karin.

"Moshi-moshi, un." Ia sedikit menjauh dari Ino. Privasi. Pasti Ino mengerti.

"Dei, kenapa belum datang? Giliranku sudah mau habis, nih. Kau ada di mana sekarang?" ujar Karin setengah berteriak dari seberang sana.

"Kami lagi di rumah sakit, un." Deidara bergumam. Meskipun sepatu yang dipakainya termasuk lusuh, namun entah kenapa itu lebih menarik perhatiannya sekarang.

"Oh, maaf. Siapa yang sakit rupanya?" terdengar jelas rasa bersalah dari nada bicara Karin.

"Adikku." Jawab Deidara singkat.

"Ya, sudahlah. Akan kuberitahu dia kalau kau tak bisa datang. Tenanglah, aku yang akan menggantikanmu. Mungkin, dengan sedikit bantuan dari Kakuzu juga. Akan kusuruh dia datang lebih cepat."

"Terima kasih, un."

"Tak masalah."

Tut.

Sambungan itu terputus. Masalah tadi sudah selesai. Sekarang, masalah ini yang belum. Deidara sadar, dia tak bisa selamanya menghindar.

"Dei-nii, jadi bagaimana?" Ino kembali melontarinya dengan pertanyaan yang sama.

Dia menatap mata Ino dalam-dalam. Kali ini dia harus sanggup. Jika dia tak sanggup, bagaimana pula dengan Ino?

"Emm… kata dokter…" Ucapan Deidara kali ini memang tak sengaja digantungkannya.

"Apa kata dokter, Dei-nii?" ucap Ino sebal. Ino benci menunggu, dan kakaknya pasti tahu itu.

"Kau menderita penyakit ataksia, un." Ujarnya pelan. Ino sedikit terkejut mendengarnya. Bahu Ino sempat menegang. Ia rangkum sebelah pipi adiknya itu. Tatapan sendu belum hilang dari wajah Deidara. Seketika, rasa hangat menjalar di sekitar mata Deidara. Begitu cepatnya likuid bening itu bersemayam di pelupuk mata pemuda berambut pirang itu. Sengaja didongakkan Deidara kepalanya, bermaksud agar dia tak kedapatan menangis, tapi airmata terlanjur bergulir di pipinya. Dibawanya Ino dalam pelukannya, bahu Ino masih menegang.

Dagu Deidara bertumpu pada puncak kepala Ino. Dengan lembut, diusap Deidara berulang kali surai pirang Ino yang hampir sama dengan punyanya. Pasti berat bagi adiknya itu mendapati dia menderita penyakit yang tidak akan pernah bisa sembuh. 'Kenapa harus dia, ayah?' batin Deidara berteriak. Dapat dirasakan Deidara kalau Ino bergetar hebat. Dan dapat dirasakan Deidara pula kalau Ino mulai menangis.

Diberikannya Ino ruang untuk bernafas. "Hei, berhentilah menangis." Ucap Deidara lembut. Dengan lembut dihapusnya airmata yang menuruni pipi Ino dengan punggung tangannya. "Kau tak lihat nii-san di sini, un?" Deidara menghadapkan wajah Ino ke arahnya. "Kita lalui bersama, un. Jangan takut, ya?"

Direngkuhnya kembali Ino. Hanya ini yang dapat diberikan Deidara, perhatian. Perhatian agar Ino sadar kalau dia tak sendirian.

Tak beberapa lama, datang Sakura dan Naruto. Melihat Ino, Sakura langsung menghampiri sahabatnya itu. Dilihatnya Ino duduk termenung.

"Kenapa kau bisa masuk rumah sakit?" Disentuh Sakura bahu Ino. Sahabatnya itu sedikit gemetar.

"Sakura!" panggil Naruto pelan. Seakan mengerti maksud pemuda itu, Sakura menghampiri Naruto. Sebelum pergi, sempat ditatapnya Ino sekilas. Ekspresi sedih masih menghinggapi wajah sahabatnya itu.

"Penyakit ataksia, un. Aku tak pernah menyangka dia akan menderita penyakit itu." Jelas Deidara. Sakura yang mendengar itu langsung tercekat. Refleks ditutupnya mulutnya dengan kedua tangan. Dia tahu benar penyakit itu.

Sakura melangkahkan kakinya kembali menuju Ino. Dia tahu pasti kenyataan pahit ini membuat Ino terpuruk. Dan Sakura juga tahu kalau dukungan dari orang-orang terdekatlah yang diperlukan Ino sekarang. "Bersemangatlah, Ino." Sakura menyentuh bahu Ino, perlahan.

"Mana semangatnya?" Sakura mengangkat sebelah tangan Ino ke udara kemudian memutar-mutar tangan sahabatnya itu. Seberkas senyum ditunjukkan Ino, meskipun terkesan kecut.

"Yamanaka-san," kata suara itu. Deidara mengenali suara itu. Suara Itachi atau lebih tepatnya mantan sahabatnya. Pemuda berambut pirang itu melangkahkan kakinya menuju asal suara. Deidara lalu mendudukkan dirinya.

"Kau tahu kalau biaya yang dikeluarkan untuk terapinya tidak sedikit." Itachi memulai pembicaraan.

"Aku tahu, un," gumam Deidara.

"Aku menawarkan untuk menanggung seluruh biaya terapinya." Ucap Itachi dengan nada serius. Itachi menautkan kedua tangan menopang dagunya. Deidara balik menatap Uchiha bungsu itu. Tatapan Deidara sama sekali tak dapat diartikan. Berpikir Deidara hanya akan tetap seperti itu, Itachi kembali melanjutkan ucapannya.

"Kita lupakan sejenak masalah kita. Yang kita bicarakan sekarang menyangkut adikmu. Dan aku tahu pasti kalau pekerjaanmu sekarang tak akan cukup untuk membayarnya."

Mendengar itu, Deidara mendelik tajam pada Itachi. Rahangnya mengeras. Tapi, dia tak ingin membuat keributan di sini. Ini wilayah kekuasaan Itachi. Dan, dengan keadaan seperti ini dia tahu dia tak akan menang.

"Bukan maksudku merendahkanmu. Jadi, bagaimana dengan tawaranku?"

Deidara seketika melunak. Dia benar-benar tak tahu maksud di balik tawaran Itachi. Diliriknya sejenak Ino. Sakura dan Naruto kini tengah menghibur gadis itu.

"Kau pasti ada maksud lain, un." Ucap Deidara dengan penuh selidik tanpa mengalihkan perhatiannya dari Ino.

Dokter muda itu tertawa pendek. Diletakkannya kembali kacamatanya di atas meja.

"Sudah kubilang untuk mengesampingkan masalah itu. Aku sama sekali tak ada maksud lain. Lagipula, yang kulakukan ini bukan untukmu… tapi untuk dia." Itachi menatap Ino. Tak disangkanya Ino menatapnya balik. Ino mengangguk lalu memutuskan tatapan mereka.

"Baiklah, un. Tapi, akan kukembalikan suatu hari nanti." Ucap Deidara tegas. Itachi terkekeh sembari mengangkat kedua bahunya. Ekspresi Itachi yang seperti itu begitu memuakkan Deidara.

=?&#!=

Cuaca saat ini sedang cerah. Awan bahkan tak tampak bergelantungan di langit. Dedaunan bermekaran seperti busa di bak mandi.

Shion dan Sasuke tidak bergeming dari tempat mereka semula, masih duduk di sebuah bangku panjang di taman. Sikap Shion yang seperti prangko dan Sasuke adalah suratnya membuat beberapa suster yang berlalu lalang di sekitar mereka memandang dengan tatapan iri.

"Sasu, selama di London, kau tidak selingkuh, kan?" Shion sengaja menjatuhkan kepalanya di atas bahu Sasuke. Sesekali diangkatnya kepalanya untuk melihat reaksi Sasuke. Tapi, Sasuke sama sekali tak meresponnya. Baik dari ucapan maupun ekspresi pemuda raven itu, tak ada yang menarik. 'Hah… semoga pekerjaanku ini dapat membawa ibu berobat,' lirih Shion dalam hati.

Seketika, ingatan Shion kembali ke masa lalu. Masa-masa di mana ia masih bisa merasakan kasih sayang kedua orangtuanya. Masa-masa di mana mereka hidup serba berkecukupan. Masa-masa di mana mereka makan dalam satu meja dan bercengkerama bersama. Benar-benar keluarga yang harmonis. Tapi, lihatlah sekarang. Kehidupannya berbanding terbalik. Sekarang, ibunya sakit-sakitan dan ayahnya yang satu-satunya tulang punggung keluarga mereka harus merenggut nyawa di tangan para peminjam dana. Meninggalkan ia dan ibunya yang terlilit hutang karena perusahaan ayahnya bangkrut.

"Apa yang kau tahu tentangku?" Suara baritone Sasuke yang tiba-tiba itu membuyarkan lamunan Shion. "Bisa ulangi?" Pinta gadis itu dengan lembut.

"Apa yang kau tahu tentangku?" tanya Sasuke dengan nada datar. Tak ada yang berubah dari pertanyaannya.

'Seharusnya aku yang minta info tentangmu,' gerutu Shion dalam hati.

"Apa kau tak merindukanku? Sejak tadi, kau tak pernah menanyakan keadaanku," Sungut Shion pura-pura kesal. Sasuke menatapnya sejenak kemudian kembali mengalihkan atensinya ke depan. Namun, tak lama kepura-puraan itu hilang. Pengalih perhatian berhasil.

"Aku ingin menemui, aniki." Sasuke langsung beranjak meninggalkan Shion. Baru beberapa langkah, Shion langsung menahannya.

"Sebaiknya jangan ganggu dia. Kau tak ingat kalau dia sedang bekerja? Bagaimana kalau kita ke Mall? Aku bosan di tempat ini. Nanti sambil jalan akan kuberitahu yang kau tanyakan tadi."

"Aku tak bawa kendaraan. Beritahu sekarang saja." Masih tak ada yang berubah dari nada bicara pemuda raven ini. Tetap datar. Membuatnya terkesan tak peduli namun tetap menanyakan hal yang sama. Apa namanya itu?

Sasuke kembali mendudukkan dirinya di bangku taman. Menunggu Shion bercerita.

"Sebentar, ya?" ucap gadis itu dengan tenang. Perannya sebagai pacar bohongan Sasuke sepertinya sudah dikuasainya.

Jemari Shion mulai menari-nari di atas keypad ponselnya. Dengan tenang, Shion terus mengetik pesannya tanpa perlu takut Sasuke akan melihatnya. Karena gadis berambut pirang pucat itu yakin Sasuke bukan tipe orang seperti itu. Menuliskan, 'Ada yang ingin kutanyakan.'

Kemudian mencari nama Itachi dan menekan tombol 'SEND'.

Tak beberapa lama, ponselnya kembali bergetar. Pertanda pesannya sudah dibalas.

'Apa lagi?'

Dengan cekatan, jemari lentiknya membalas pesan itu.

'Kali ini saja. Sasuke itu orangnya bagaimana?'

'Itukan tugasmu. Cari tahu sendiri dan jangan ganggu aku.'' Shion menatap tajam layar ponselnya yang berisi balasan Itachi.

'Pokoknya jangan salahkan aku kalau yang kuberitahu salah,' ancam Shion dalam hati.

=?&#!=

Di sinilah Ino sekarang. Di sebuah ruangan yang di dominasi warna putih dan hijau yang sudah dapat ditebak Ino kalau dia akan cepat bosan di sini. Kini, Ino sedang duduk di kursi roda yang didorong oleh seorang suster cantik. Di sebelah kanannya ada Deidara dan beberapa langkah di belakang mereka juga ada Naruto dan Sakura.

"Istirahat saja dulu, ya? Besok kita baru mulai terapi," Ucap suster itu sembari tersenyum dan membantu Ino naik ke tempat tidur. Perihal terapi itu sudah diberitahu Deidara pada Ino. Dan keputusan membuat Ino berhenti kuliah juga sudah diberitahu Deidara. Cuma fakta bahwa penyakit ini tak akan bisa sembuh total yang belum diberitahu Deidara.

"Apakah dia sudah makan?" ucap Suster itu sembari menatap Deidara dan membuat pemuda itu sempat terkejut. Deidara lalu menggeleng pelan.

"Baiklah, kalau begitu saya ambilkan dulu." Suster itu pun meninggalkan ruangan.

Tak ingin membiarkan Ino berlama-lama terdiam seperti itu, Sakura menghampiri sahabatnya dan mengambil bangku lalu duduk.

"Ino, yang sering kau tonton itu di channel mana, ya?" Sakura bertanya lalu mengambil remote yang ada di atas meja. Dilihatnya Ino tak meresponnya. Meskipun Ino tidak bereaksi, ia tak akan menyerah menghibur sahabatnya itu. "Yang acara fashion itu. Seharusnyakan sudah tayang sekarang," Ucap Sakura lagi sembari mengganti-ganti channel tv. Ini semata-mata bukan karena keinginannya. Ia hanya ingin Ino setidaknya lebih bersemangat. Bukan seperti sekarang ini, duduk termenung menatap selimut yang menutupi setengah badannya. Tak ada yang menarik dari selimut itu dan Sakura tahu kalau pikiran Ino tak berada sepenuhnya di situ. Jangan lupakan juga wajah murungnya.

Tiba-tiba, Ino mengambil remote di tangan Sakura. Menggantinya ke acara yang dimaksud, meletakkan remote itu di dekat tangan Sakura lalu kembali lagi termenung.

Tak beberapa lama, suara ketukan pintu terdengar.

Pintu terbuka dan menampakkan seorang suster yang tadi menjanjikan membawa makanan. Di tangannya ada sebuah nampan berisi semangkuk makanan dan segelas air mineral.

"Biar aku saja, un." Deidara mengambil alih nampan itu. Suster itu sempat mengerutkan dahinya, heran dengan panggilan pemuda itu terhadapnya.

"Ini obatnya. Dimakan tiga kali sehari setelah makan, ya." Suster itu meletakkan sebuah tempat obat berukuran kecil di atas meja. Setelah itu, suster itu pun pamit.

Sakura mengambil obat yang baru saja diberikan. Manik emeraldnya bergerak ke kiri dan ke kanan membaca tulisan di bagian luar tempat obat itu.

"Masih dosis rendah," gumamnya pelan lalu meletakkannya kembali.

Deidara melangkahkan kakinya lalu duduk di sisi lain tempat tidur Ino. Ino melirik sejenak isi dari mangkuk yang sedang diaduk-aduk Deidara. Terlihat jelas uap panas masih mengepul pertanda makanan itu baru saja dimasak.

"Nah…" ucap Deidara sembari mengarahkan sesendok makanan yang ternyata adalah bubur. Ino menatap sendu makanan itu dan tak memberikan tanda-tanda akan membuka mulutnya.

"Biar aku saja, kak." Mangkuk itu pun berpindah tangan ke tangan Sakura.

"Ini kan enak, Ino. Lihatlah, ada abonnya. Makan, ya?" bujuk Sakura. Bukan seperti saat Deidara yang membujuknya untuk makan, kali ini Ino jelas-jelas menolaknya. Gadis berambut pirang itu menggeleng lemah. Sakura dan Naruto berpandangan sejenak.

"Aku mau buah." Ino tiba-tiba bersuara.

"Buah yang sangat banyak," sambungnya lagi. Semua orang di ruangan itu mengalihkan atensinya pada Ino.

"Kau mau buah, un? Biar nii-san belikan. Tapi, sebelum nii-san pulang makananmu harus habis, ya?" ucap Deidara sembari memakai jaketnya.

"Hm..." Ino mengangguk. Senyum terukir di wajah cantik Ino dan kali ini bukan senyum kecut lagi. Ino sudah dapat menerima apa yang terjadi saat ini, sepertinya. Begitu cepat, tapi membuat senang orang-orang yang perhatian padanya. Ino mengambil mangkuk di tangan Sakura lalu mulai menyendokkan bubur itu ke mulutnya.

Melihat adiknya yang sudah mau makan, Deidara mengacak-acak rambut Ino sebelum meninggalkan mereka bertiga.

"Maaf sudah menyusahkan kalian." Ino berucap seraya mengulum senyum dan menatap Sakura dan Naruto bergantian.

"Mana mungkin kau menyusahkan kami." Sakura mengibaskan sebelah tangannya.

"Ada-ada saja kau ini, Ino-chan." Naruto setuju, ikut membenarkan ucapan Sakura yang sekarang sudah menjadi kekasihnya itu.

-?&#!=

"Jadi, aku ambil jurusan kedokteran di London?" tanya Sasuke dengan nada datar tanpa sedikit pun mengalihkan pandangannya dari tanah yang kini dipijaknya.

"Tepat sekali." Shion menganggukkan kepalanya dan tersenyum manis. Tapi itu tak berguna karena Sasuke sama sekali tak melihatnya.

"Sama dengan aniki-mu. Kau selalu ingin sama dengannya." Sambung gadis itu lagi. Hanya alasan itu yang dirasa Shion masuk akal. Sesama saudara kandung yang menyukai hal yang sama tak jarang, kan?

"Seingatku, aku tidak terlalu tertarik dengan dunia kedokteran," Sangkal Sasuke. Tatapan pemuda raven itu beralih menatap Shion. Menatap mata Shion dalam-dalam, berharap menemukan kebenaran di baliknya.

"Tak tertarik bukan selamanya berarti tidak suka, kan?"

1-0

Baru kali ini seorang Uchiha kalah telak. Meskipun kalah oleh keadaan.

'Seharusnya kau lihat bagaimana aku memainkan peranku, Itachi.' Ucap Shion dalam hati. Sebelah sudut bibirnya sedikit terangkat.

"Ceritakan bagaimana aku bertemu denganmu." Perkataan Sasuke membuat Shion tersadar dari aksi memuji-muji diri. Sudut bibir Shion yang tadi terangkat kini turun. Gadis itu benar-benar tak punya akal untuk menjawab pertanyaan yang satu ini. Tapi, dia tak boleh berhenti di tengah jalan hanya karena satu pertanyaan ini. Dia sudah terlanjur. Dan dia tak ingin yang dilakukannya sejak tadi jadi sia-sia.

"Ehm… waktu itu, kau dan aku tak sengaja bertabrakan di… ehm… di koridor sekolah. Ya, saat itu aku buru-buru." Shion berusaha tersenyum lebar dan mengangguk untuk semakin meyakinkan Sasuke. Gadis itu hanya bisa berharap Sasuke tak bertanya yang lain-lain lagi.

"Begitu, ya?" Sasuke menjatuhkan kepalanya di atas sandaran bangku taman yang kini mereka duduki. Sebelah tangan Sasuke digunakannya menutupi matanya agar menghalangi cahaya matahari yang menyilaukan tidak langsung mengenai matanya.

"Kuharap ingatanku cepat kembali," gumam Sasuke namun masih dapat ditangkap indera pendengaran Shion. Selain itu segalanya hening kecuali cicitan burung.

'Maaf, aku tak bisa ikut berharap untukmu.' Lirih Shion dalam hati. Menatap Sasuke lebih lama membuatnya berpikir apa sebenarnya yang diinginkan Itachi dengan membohongi adiknya. Kalau ada waktu, Shion akan menanyakannya pada Itachi.

=?&#!=

"Nah, ini dia!" Suara Deidara tiba-tiba terdengar dan menampakkan sosoknya yang menenteng sekantong buah-buahan.

"Aku membelikanmu empat macam buah kesukaanmu, un. Bagaimana? Kau suka?" Deidara lalu memasukkan buah-buahan yang dibawanya ke sebuah keranjang.

"Hm…" Ino mengangguk dengan semangat. Tangan Ino yang hendak menggapai keranjang buah itu terhenti karena kakaknya itu langsung merampas keranjang itu darinya membuat Ino mengerucutkan bibirnya, kesal.

"Eits, lihat dulu, un! Sudah habis apa belum makanannya?" Deidara semakin menjauhkan keranjang itu dari jangkauan Ino. Menyembunyikannya di belakang punggungnya.

"Sudah, kak." Sakura menunjukkan mangkuk yang sudah kosong pada Deidara.

"Sudah, kan?" Ino langsung merampas keranjang tadi dari Deidara dan langsung mencomot satu buah anggur lalu melemparnya ke udara.

Hap

Mulut Ino yang semula terkatup kini menutup tanpa adanya buah yang masuk. Ino menatap sebal Deidara yang ternyata anggur tadi berpindah ke mulut kakaknya.

"Yang beli harus pertama kali merasakan, un." Ucap Deidara melucu lalu mengacak-acak rambut Ino membuat surai pirang Ino sedikit berantakan. Sedangkan Ino hanya tersenyum sampai matanya menyipit.

"Hah…" Apapun yang diminta Ino sebisa mungkin diusahakan Deidara. Asalkan adiknya itu senang.

"Kau mau, Sakura, Naruto?" tawar Ino pada keduanya.

"Tentu saja kami ma-" Naruto hendak mengambilnya namun kembali duduk karena melihat tatapan Sakura yang seperti akan memakannya jika dia maju selangkah saja.

"Tidak perlu, Ino. Kami sudah makan banyak tadi. Terutama si baka ini." Sakura menunjuk Naruto dengan dagunya. Yang dimaksud justru cengengesan.

"Ino, kalau begitu kami pulang dulu, ya?" Sakura tiba-tiba beranjak dari bangkunya.

"Sudah mau pulang?" Tanya Deidara.

"Iya, kak."

"Kalau begitu terima kasih sudah mau menemani imoutou-ku yang cerewet ini." Ujar Deidara sembari mengacak-acak rambut Ino membuatnya sedikit berantakan. Deidara lalu mengantar Sakura dan Naruto sampai pintu.

"Tak masalah, kak." Sakura menggelengkan kepalanya.

"Nanti kami datang lagi ya, Ino?" ucap Sakura setengah berteriak. Melihat Naruto tak ada di sampingnya, Sakura langsung menolehkan kepalanya ke belakang. Dilihatnya Naruto masih sempat-sempatnya mengambil buah dari Ino dan belum lagi Ino yang dengan senang hati memberikannya.

"Naruto!" panggil Sakura lebih kepada bisikan.

"Iya, Sakura-chan!" balas Naruto dan langsung berlari ke arah Sakura tak lupa dengan cengengesannya. Dan Naruto pun langsung disambut dengan jitakan Sakura.

"Aduh…" ucap Naruto sembari pura-pura memasang ekspresi kesakitan.

Ino hanya tersenyum melihat kelakuan sepasang kekasih yang baru jadian itu. Ino diberitahu Sakura sewaktu Deidara pergi.

"Nanti kami datang lagi, ya?"

"Iya!" Teriak Ino dari tempat tidurnya.

=?&#!=

"Sakura-chan, kenapa cepat sekali pulangnya?" Naruto berlisan. Mereka kini berjalan di sepanjang lorong rumah sakit.

"Biar kita beri waktu untuk Gaara," Jawab gadis itu enteng.

"Beri waktu untuk Gaara?" Naruto mengerutkan dahinya. Pertanda dia tak mengerti maksud dari perkataan kekasihnya ini.

"Aku tadi memberitahu perihal penyakit Ino padanya dan menyuruhnya untuk menjenguk Ino. Kalau kita masih di sana, bisa-bisa yang dilakukan Gaara hanya diam saja. Kau mengerti maksudku, kan?"

"Ha'i." Naruto mengangguk.

"Eh, tunggu dulu, Sakura-chan!" Naruto menghentikan langkahnya membuat Sakura berhenti juga.

"Jangan bilang kau masih tidak mengerti!" ancam Sakura.

"Bukan, bukan itu maksudku. Kalau kita pulang sekarang berarti langsung ketahuan kalau kita tidak ku-"

Belum selesai Naruto berbicara, Sakura langsung memotongnya. "Ya, itu urusanmu. Kau yang bilang akan menanganinya sendiri." Sakura membuang mukanya ke arah lain lalu melipat kedua tangannya di depan dada.

"Iya, aku tahu. Tapi aku kan bilang kalau pulang sekarang," ucap pemuda bermanik sapphire itu sambil menekankan tiga kata terakhirnya.

"Berarti…" Naruto menggantungkan ucapannya. Jari-jari Naruto langsung mengisi ruang-ruang kosong di ruas-ruas jari tangan Sakura. Menarik Sakura dan membawa gadis itu berlari di sepanjang lorong rumah sakit.

"Naruto, pelan-pelan!" protes Sakura. Tanpa mempedulikan protes sang kekasih, Naruto justru mempercepat larinya.

Karena tidak melihat ke depan, Naruto hampir menabrak seorang suster yang sedang membawa nampan berisi makanan pasien.

"Hei, jangan lari-lari! Ini rumah sakit." Teriak seorang suster yang badannya mirip ikan buntal.

"Iya!" Balas Naruto tak kalah kuat.

=?&#!=

Saat ini, matahari sudah kembali ke peraduannya. Hari berganti malam dan menandakan tugas mentari sudah selesai dan digantikan sang rembulan.

Sakura dan Naruto tak berbohong, mereka menepati janjinya untuk kembali menjenguk Ino. Kini, Ino sedang membaca majalah fashion yang dibawa Sakura dari rumahnya dan Deidara sedang berkutik dengan laptopnya. Menghilangkan sedikit kebosanan Ino dengan membawakan majalah, begitulah inisiatif Sakura.

Manik emeraldnya bergulir menatap jam dinding yang berada tepat di belakang sudah menunjukkan pukul 20.15. Sakura menatap pintu berwarna putih itu lalu kembali pada benda berbentuk lingkaran. Bukan karena ingin segera pulang, malahan kalau bisa Sakura ingin menemani Ino sebisa mungkin. Yang mengganggu benak Sakura saat ini adalah Gaara. Ya, sampai saat ini mahasiswa jurusan sastra yang sedang dekat dengan Ino itu belum juga datang. Padahal Gaara sudah diberitahu. Sakura lalu mengambil ponselnya dan mulai menghubungi Gaara.

"…" Suara dari seberang sana belum juga terdengar. Ditatap Sakura sejenak layar ponselnya. Masih tersambung.

"Gaara, kenapa belum sampai ke rumah sakit?" tanya Sakura to the point.

"…"

"Gaara, kau masih di situ?"

"Hm."

"Kenapa belum sampai?"

"…" Terdiam. Gaara masih saja terdiam, begitu juga dengan Sakura. Tak habis pikir dengan Gaara, Sakura lalu menyerahkan ponselnya pada Naruto setelah memberitahu pemuda tan itu perihal ia menghubungi Gaara. Mungkin Gaara agak enggan berbicara dengan wanita. Dengan Naruto mungkin Gaara akan sedikit lebih terbuka, begitulah opininya.

"Halo, Gaara? Kau masih di situ?" ucap Naruto.

"Hm."

"Kau akan menjenguk Ino-chan, kan?"

"Ehm… aku tidak tahu." Terdengar jelas keraguan di nada bicara pemuda berambut merah bata itu.

"Bagaimana bisa tidak tahu?" sahut Naruto hampir berteriak. Menyadari Sakura sedang menatapnya, membuat Naruto kembali memelankan suaranya.

"Ada apa denganmu?" bisik Naruto.

"Nee-san tidak mengizinkanku menjenguknya. Aku disuruh menjauhinya." Jawab Gaara datar.

"Jadi, kau menurut saja? Ah, aku tak habis pikir denganmu. Apa karena Ino-chan penyakitan jadi kakakmu menyuruhmu menjauhinya? Kuharap kau memikirkan ulang tentang itu. Ino-chan sekarang butuh dukungan, kau pasti tahu." Naruto lalu mengakhiri percakapan via telepon itu secara sepihak. Naruto benar-benar tak habis pikir dengan Gaara. Sempat ingin dicampakkannya ponsel itu dengan kasar ke sisi lain dari sofa tapi, tidak jadi mengingat ini ponsel Sakura.

Menyadari Naruto yang sejak tadi menggerutu, Sakura lalu melangkahkan kakinya ke tempat Naruto lalu duduk di sebelah pemuda itu.

"Bagaimana, Naruto?"

"Dia tak jadi datang. Tak akan pernah." Balas Naruto kesal.

"Apa maksudmu?" Sakura mengernyitkan dahinya.

"Dia begitu patuh pada Temari yang menyuruhnya untuk tidak berhubungan lagi dengan Ino-chan. Argh…" Naruto mengacak-acak rambutnya dengan kasar lalu mendengus pertanda sebal.

Sakura mengarahkan indera visualnya pada Ino. Bagaimana mungkin ini tidak membuat Ino patah semangat?

To Be Continued

Bagaimana dengan chapter ini? Karena 'R' yang pertama sudah, maka saya minta 'R' yang kedua yaitu Review.

Review yang jujur, menunjukkan dimana kesalahan saya, apa-apa yang bisa saya perbaiki dan tidak, hal-hal semacam itu yang saya harapkan dari pembaca. Selama komentarnya itu memang punya dasar, saya tidak keberatan setajam apapun isinya.

Saya juga akan fokus sama fic ber-chapter saya yang satu lagi. Jadi, untuk next chap akan update setelah satu fic saya itu kelar. Harap maklum, minna

Dan terima kasih pada reader yang sejauh ini masih membaca. Saya harap kalian tidak bosan-bosan mengikuti ceritanya.