Disclaimer: Masashi Kishimoto

Warning: Typo, OOC, and etc

Pairing: NaruHina

Gogatsu no Kaze

present

Sunshine!


"Aku akan mengantarmu sampai lobby. Tapi rasanya aku tak akan tenang jika tidak mengantarmu sampai rumah." Kiba khawatir, sangat. Ia tentu saja cemas jika Hinata berpergian sendirian tanpa ditemani siapapun. Tapi dihadapannya sudah ada tamu yang ia tunggu.

Sebenarnya ada satu yang membuatnya sedikit bingung. Bagaimana Hinata bisa mengenal tamunya? Apakah Hinata dan Naruto pernah bertemu sebelumnya. Kiba lumayan kaget ktika Hinata menyapa Naruto tadi.

Tatapan Hinata masih ke arah Naruto yang saat ini ekspresinya tak bisa dijelaskan. Ia terkejut, itu pasti. Tapi ada ekspresi lain yang nampak disana. Kiba sulit menjelaskannya.

"Kalian berdua sudah saling mengenal?" Tanya Kiba penasaran. Namun Hinata hanya diam tak menjawab. Kiba hanya melihat senyuman di bibir Hinata. Tapi, itu untuk Naruto?

"Hyuuga-san? Itu 'kan namamu?" Shion tiba-tiba memecahkan keheningan yang tercipta antara tiga orang di hadapannya.

Hinata mengangguk sejenak. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Shion. "Maaf karena tidak sopan. Aku belum mengenalkan diriku padamu. Hajimemashite, watashi wa Hyuuga Hinata desu. Yoroshiku onegaishimasu." Hinata setengah membungkukkan tubuhnya.

"Kau dan Naruto..." kalimat Shion sedikit tersendat. Seakan-akan ia tak mau mendengar balasan dari Hinata.

"Kami teman satu SMP," jawab Hinata. Buyar sudah kegalauan yang Shion rasakan. Senyuman mengembang di paras cantiknya.

"Aku tak menyangka kalau kalian adalah teman lama. Kau pasti sangat senang. Iya 'kan, Naruto?" Shion sedikit mengguncang bahu Naruto. Pria blonde itu seketika sadar dari lamunannya.

Dengan kikuk Naruto menjawab, "E-eh i-iya. Sudah lama sekali," lalu dengan gayanya yang polos ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali.

"Kiba-kun, tamu yang ingin kau temui sudah datang. Aku-"

"Tidak!" Sanggah Kiba dengan cepat. "Pertemuan ini bisa ditunda dulu. Benar 'kan, Naruto?" Kiba sedikit menekan perkataannya yang terakhir seakan-akan meminta persetujuan.

Naruto tak tahu harus menjawab apa. Ini sangat mengejutkannya. Semua serba tiba-tiba. Masa lalunya dan Hinata, semua seakan sekonyong-konyong jatuh dari langit dalam waktu yang bersamaan.

Melihat Naruto yang tanpa reaksi, Shion kemudian mengambil alih, "Hai', kalian pasti jarang bertemu. Kami sangat mengerti." Shion kembali menatap Naruto yang masih tanpa reaksi. "Naruto, kau kenapa?"

"Eh?" Naruto bagaikan orang bingung. Tampangnya terlihat sangat konyol saat ini.

"Bagaimana jika kita makan siang bersama sekarang?" tawar Kiba. Sebenarnya Hinata agak malas karena sebagian besar yang ingin ia sampaikan sudah dibicarakan dengan Kiba. Tapi berhubung ada Naruto disini, ya sudahlah.

Bingung dengan sikap Naruto akhirnya Shion memutuskan dengan sepihak, "Baiklah, ayo." Dengan riangnya ia menarik tangan Naruto dan berjalan ke arah lift untuk memimpin mereka bertiga.

Entah mengapa, Shion merasakan tangan Naruto seketika menegang saat bersentuhan dengan tangannya. Bagaikan tangan itu tak mau disentuh dan menyuruhnya untuk berjaga jarak. Tapi Shion mengabaikannya. Toh itu hanya perasaannya saja


-Sunshine!-


Para perawat hilir mudik mengerjakan tugasnya. Nampaknya rumah sakit yang dimiliki keluarga Hyuuga sedang kedatangan banyak pasien. Bukan karena adanya bencana alam atau kecelakaan masal, tapi karena faktor cuaca yang menyebabkan banyak orang-orang terkenal penyakit ringan seperti demam atau alergi.

"Sepertinya aku akan pulang terlambat lagi," gumam Neji pada dirinya seraya melihat jam tangannya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh. Seharusnya ia sudah pulang dua jam yang lalu.

"Yo, Neji-senpai!" Seseorang menepuk bahu Neji tiba-tiba.

"Ah, Toneri," ia menoleh dan mendapati rekan kerjanya yang juga belum pulang.

"Tidak biasanya kau pulang semalam ini," ucap Toneri sambil memeriksa sesuatu yang ada di papan jalan yang dibawanya.

"Masih ada dua pasien yang menungguku. Mungkin sekitar setengah jam lagi baru bisa pulang," Neji mengambil peralatannya untuk bertugas. "Aku pergi dulu, Toneri." Ia beranjak dari bangkunya dan bergegas menuju ruang prakteknya.

"Tunggu dulu, Senpai!" Tahan Toneri sebelum Neji meninggalkannya.

"Hn?"

"Nanti pulang bersamaku saja, Senpai. Kebetulan aku ada urusan ke daerah rumahmu," tawar Toneri.

Neji mengangguk, "Okay, baiklah," ia langsung meninggalkan Toneri. Ia tidak melihat senyuman tipis Toneri yang tercipta dari jawabannya.


-Sunshine!-


"Senangnya hari ini," gumam Kiba.

"Hn?" Walaupun gumaman Kiba ditujukan untuk dirinya sendiri, tapi Hinata tetap mendengarnya.

Mereka berdua sedang berada di dalam mobil, menuju ke rumah Hinata. Setelah tadi siang mereka makan bersama dengan Naruto dan Shion, mereka berjalan-jalan dulu sebelum pulang sambil membicarakan tentang pernikahan Melanjutkan pembicaraan di kantor Kiba tadi.

"Tidak. Aku hanya merasa senang hari ini. Tak ku kira kau akan datang menemuiku. Aku kira kau masih marah karena keputusan ayahmu." Tatapan Kiba tetap lurus ke arah jalan di depannya. Sebenarnya ia bisa saja memakai jasa supir, tapi ia lebih suka hanya berdua saja jika bersama Hinata.

"Masih marah, itu pasti. Tapi aku marah bukan padamu, Kiba-kun. Jadi kau tenang saja." Balas Hinata dengan nada datar.

"Kau akhirnya setuju dengan keputusan ayahmu untuk menikah dalam beberapa hari lagi?"

"Sebenarnya tidak," Hinata mengepalkan tangannya yang tersembunyi di bawah tasnya. "Hanya saja percuma membangkang ayahku, hasilnya akan sama saja. Keputusan terbaik adalah menerimanya. Tapi aku akan mengajukan beberapa syarat. Aku tak mau menerima begitu saja."

Kiba tersenyum. Ia sudah menduga kalau calon istrinya itu memiliki pendirian yang kuat dan juga keras kepala. Tapi inilah yang disukai Kiba, selain parasnya yang cantik, "Lalu, apa permintaanmu kalau boleh aku tahu?"

"Aku ingin pernikahan yang sederhana. Hanya dihadiri oleh keluarga dan teman terdekat. Hanya itu."

Kiba menaikkan sebelah alisnya. Ia bingung, mengapa Hinata menginginkan permintaan sesederhana itu? Toh ayahnya pasti akan mengabulkan. "Hanya itu?"

Hinata nenghela nafasnya, berat dan panjang, "Mungkin menurutmu ini sangat mudah dan akan segera dikabulkan. Tapi bagi ayahku ini permintaan yang mengada-ada dan tidak mungkin."

"Kenapa tidak mungkin?"

"Ayahku bukanlah orang biasa, Kiba-kun. Ayahku memiliki kolega-kolega yang merupakan orang-orang penting di negara ini. Keluarga kami juga merupakan salah satu keluarga bangsawan tertua di negara ini. Ibaratnya, pernikahan dalam keluargaku bagaikan royal wedding. Dirayakan oleh orang banyak. Kau juga harus mempersiapkan diri. Banyak peraturan pra-pernikahan yang harus kau pahami sebelumnya."

Ya, Kiba tahu itu. Hyuuga merupakan keluarga bangsawan yang terkenal di seluruh negeri. Tapi benarkah pernikahan mereka akan serumit ini? Mungkin Kiba harus mengkaji ulang semuanya.

"Ayahku sudah bilang padamu bukan, jika ia menginginkan pernikahan secara tradisional?" Kiba mengangguk. Hinata kembali meneruskan perkataannya, "Aturan, tahapan, perayaan, dan semuanya mengenai pernikahan harus kita lewati satu demi satu."

"Sepertinya sangat rumit."

Hinata mengangguk setuju, "Tentu saja. Aku sudah menyaksikan sendiri pernikahan bibiku. Oleh sebab itu, aku tak mau melakukan pernikahan yang sesuai dengan permintaan ayahku. Kau tahu, dibutuhkan banyak biaya untuk menyelenggarakan pesta pernikahan itu. Karenanya keluarga kami selalu menikahkan anaknya dengan keluarga terpandang yang berstatus ekonomi kelas atas sepertimu."

Kiba tak merasa tersindir sama sekali karena ia sendiri sangat mensyukuri perjodohan yang ibunya lakukan. Ia sangat mengerti bahwa ia akan mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk meminang wanita cantik yang duduk di sebelahnya kini. Namun hasil sepadan yang ia dapatkan.

"Ah, aku teringat sesuatu," Hinata menoleh ke arah Kiba. "Bukankah konsernya juga diselenggarakan minggu depan?"

Kiba mengangguk, "Benar. Tapi tak bertepatan dengan pernikahan kita. Tenang saja." Mobil yang mereka naiki sudah berada di depan gerbang rumah Hinata.

"Mulai hari Senin, kita akan mulai sibuk. Kau tak akan mungkin bisa mengurusi pekerjaanmu. Apakah itu baik-baik saja?" tanya Hinata.

"Tentu saja. Aku memiliki tangan kanan yang dapat diandalkan. Selama proses pernikahan kita, ia akan bertugas mewakiliku." Seringai khas Kiba keluar untuk meyakinkan Hinata.

Hinata menundukkan kepalanya. Ia memikirkan sesuatu. Sangat pelik sepertinya. Terlihat dari kecemasan yang ada pada raut wajah Hinata.

"Ada apa?" tanya Kiba dengan lembut.

"Ada sesuatu yang harus aku katakan padamu sebelum kita menikah. Aku tak mau ada sesuatu yang kusembunyikan setelah kita menikah," ucap Hinata.

"Apa itu?" Dengan takut Kiba menanyakannya. Tapi mau tak mau ia juga harus mengetahuinya.

"Ini ada hubungannya dengan Naruto."

"Eh?!" Mata Kiba sedikit terbelalak. Tapi akhirnya pertanyaan yang ingin ia tanyakan sungguh-sungguh ke Hinata terjawab juga.

"Tadi siang, aku bilang padamu kalau ia hanyalah teman SMP ku. Tapi sebenarnya ia lebih dari itu."

"Cho-chotto matte tte, Hinata. Aku harus menyiapkan hatiku dulu," debaran tak menentu kini menyerang jantung Kiba. Mendadak ia merasakan sesak dan sedikit sakit. Firasatnya mengatakan bahwa Hinata akan menyampaikan sesuatu yang tidak mengenakkan.

Hinata diam sejenak tanpa menoleh ke arah Kiba.

Kiba menutup matanya sejenak dan menghela nafas, "Okay, kau boleh melanjutkannya."

"Naruto...dia...," Mulut Hinata terasa berat mengucapkannya. "Dia orang yang aku cintai. Dia cinta pertamaku yang masih aku cintai hingga saat ini."

Kami-sama, tak menyangka kalau Kiba akan mendengar hal ini. Sekarang ia mengerti, yang membuat Hinata menolak pernikahan bukanlah ayahnya. Tapi cintanya pada Naruto.

"Apa kau masih mau menerimaku?"

Kiba terdiam. Ia masih merasa sangat terkejut. Ia menyukai Hinata. Ia ingin Hinata yang menjadi istrinya kelak. Tapi apakah ia sanggup menerima Hinata yang mencintai orang lain, bukan dirinya?


-Sunshine!-


Setelah tiba di apartemennya, Naruto melemparkan dirinya ke atas sofa putih empuk favoritnya. Matanya terpejam tertutup oleh lengan yang berada diatasnya.

"Cantiknya, calon istri Inuzuka-san. Sangat cocok." Shion berusaha menghidupkan suasana dengan membuka percakapan. Tapi Naruto tetap saja diam. Shion tahu kalau pria itu tidak tidur. "Ne, Naruto. Bagaimana menurutmu?"

Naruto masih terdiam tak bergeming sedikitpun. Hanya suara nafasnya yang berat seakan habis berlari.

"Naruto, sejak kemarin kau jadi pendiam. Sebenarnya aku tak mau bertanya karena pasti akan mengganggumu, tapi situasi hatimu juga menggangguku," racau Shion. "Bisakah kau meninggalkanku sendiri," gumam Naruto hampir tak terdengar.

"Tidak. Aku tak mau. Aku tahu pasti kalau kau akan begini terus hingga esok. Aku ingin tahu penyebabnya. Sekarang," Shion tetap keras dengan pendiriannya.

"Jangan menguji kesabaranku, Shion." Suara Naruto terdengar sangat berat dan dingin.

"Aku hanya ingin kau berbagi denganku, Naruto. Apakah itu salah? Kita sudah berteman sejak lama. Apa salahnya jika kau-"

"Tinggalkan aku sendiri," kali ini Naruto benar-benar memaksa. Aura gelap menguar dari dirinya.

Mau tak mau, Shion harus mengiyakan, "Baiklah. Tapi jika kau masih seperti ini hingga besok, aku tak akan berhenti untuk mengoceh sepanjang hari." Setelah mengatakan hal itu, Shion mengambil tas dan dokumen-dokumen yang berisi pekerjaannya. Naruto tak mengucapkan sepatah-katapun saat Shion meninggalkannya.

"Kuso!" Entah apa yang dirasakan. Ia sendiri juga tak tahu. Amarah, kesedihan, kegalauan, semuanya bercampur aduk. Dan penyebab dari semua itu adalah Hinata. Sebenarnya ia tak bisa menyalahkan wanita itu sepenuhnya. Karena sebagian besar kesalahan memang ada pada dirinya. Ia menyadari itu, sangat menyadarinya.


-Sunshine!-


"Mobil siapa itu?" Tanya Toneri ketika hendak menepikan mobilnya. Ia melihat mobil yang terparkir tepat di depan gerbang rumah Neji.

"Oh, itu pasti mobil Kiba," jawab Neji dengan entengnya.

"Kiba?" tanya Toneri balik.

"Calon suami adikku, Hinata." Neji melepas sabuk pengaman yang ia kenakan. Lalu bergegas turun dari mobil. Tapi sebelum itu, Toneri menahannya.

"Ma-maksudmu Hinata akan menikah?" Toneri masih tak percaya dengan apa yang ia dengar.

Neji mengangguk, "Kalau tak salah minggu depan. Ayahku menginginkan pernikahan diadakan secepatnya."

"Dan dia setuju?" Tanya Toneri penasaran.

"Entahlah. Tadi pagi dia seperti orang tak bernyawa. Tapi sekeras apapun dia menolak, dia tak akan berhasil. Keputusan ayahku sudah mutlak. Itu sudah peraturan dalam keluarga kami."

Toneri terdiam. Tatapannya menuju ke mobil yang tepat berada di depannya. Ia memikirkan sesuatu.

"Terimakasih Toneri, sudah mengantarku sampai ke rumah."

"Ah-oh i-iya," Toneri tersadar dari lamunannya karena perkataan Neji.

Toneri melihat, Neji tak langsung masuk ke rumahnya melainkan menuju mobil yang ada di depannya. Neji terlihat sedang mengetuk kaca jendela mobil. Mungkin untuk memastikan kalau yang berada di mobil adalah Kiba atau bukan.

Tak lama kemudian, pintu mobil terbuka. Dan keluarkan sesosok wanita mungil dengan rambut panjang terurai dari sana. Itu Hinata.

Toneri tak langsung beranjak pulang, ia malah melipat kedua tangannya di atas kemudi mobil dan menyandarkan kepalanya lalu memandangi kecantikan wanita yang saat ini terlihat sedang berbicara dengan Neji tanpa senyuman manis yang biasanya selalu mengembang di wajahnya.

Ah, Hinata. Pria ini jatuh cinta kepadamu. Setengah mati ia menahannya dan sampai hari ini tak ada satu orangpun yang mengetahuinya. Tapi, apa yang Toneri dengan hari ini benar-benar membuatnya terkejut bagaikan dihantam palu raksasa.

Pujaan hatinya akan menikah. Ia tidak rela. Sangat tidak rela. Sampai matipun ia tetap tidak rela. Hinata itu wanitanya. Miliknya. Yang boleh menyentuh kulit putih mulus itu hanya dia seorang. Membayangkan Hinata bercinta dengan orang lain saja Toneri tak sanggup. Dan akhirnya ia pun memikirkan sesuatu untuk mendapatkan Hinata. Apapun caranya.


-Sunshine!-


Pagi itu Naruto mengadakan pertemuan lagi dengan Kiba. Itu sudah biasa, apalagi konsernya akan diadakan beberapa hari lagi. Yang membuat tidak biasa adalah kehadiran wanita yang memakai mini dress selutut berwarna pink dengan corak bunga sewarna dengan sepatunya, putih. Matanya yang sebening amethyst terlihat tak bersinar. Ia terus menunduk memainkan ponselnya. Bagaikan anak kecil yang tak mau diganggu, wanita itu tak mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Wanita itu adalah Hinata.

"Kau bosan, Hinata?" tanya Kiba setelah selesai melakukan pertemuan.

Tanpa mengalihkan tatapannya Hinata menjawab, "Tidak. Aku bermain dari tadi." Jari-jari lentiknya lincah menari di atas ponsel layar sentuh miliknya.

"Aku sudah selesai. Ayo kita ke toko bunga yang kau ceritakan tadi."

Hinata menghentikan permainannya dan memasukkan ponselnya ke dalam tas kecil yang ia bawa. "Baiklah. Lagipula siang nanti aku ada kuliah."

Amethystnya lalu menatap Naruto yang saat ini sedang memandang keluar jendela. Mulutnya sedikit terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu. Sebenarnya dari awal jalannya pertemuan, ia mendengarkan dengan baik. Tujuannya hanyalah mendengar suara Naruto. Tapi apa yang ia dapat? Naruto tidak mengeluarkan sepatah katapun. Hanya suara managernya yang terdengar. Apa Naruto juga mengalami hal yang sama sepertinya?

"Na-Naruto-kun," dengan segenap kekuatannya ia memanggil Naruto. Berharap ada respon dari pria tersebut.

Kiba dan Shion lumayan terkejut karena Hinata tak disangka menyapa Naruto. Tatapan mereka berdua menuju ke Hinata yang saat ini pipinya bersemu cantik. Sedangkan Naruto?

Bagaikan baru kembali dari la-la-land, Naruto terbata-bata menjawab panggilan Hinata, "I-i-i-iya. A-a-ada apa, Hi-Hinata?"

Rasa sakit seketika timbul di dada Shion. Tiba-tiba dan sangat menusuk. Ia melihat ada semburat merah muncul dari pipi tan pria yang ia sukai itu.

Hinata tersenyum, manis sekali. Bahkan Kiba baru pertama kali melihat senyuman Hinata yang seperti ini. Pria bermata coklat itu tersenyum miris. Tak seharusnya ia membawa Hinata pagi ini. Ia sudah menduga pemandangan ini akan terjadi, cepat atau lambat.

"Se-senang bisa bertemu denganmu lagi," dengan malu-malu Hinata mengatakan apa yang ingin ia katakan sejak tadi.

Naruto terdiam. Ia sungguh bingung dengan sikap Hinata. Kemarin saat ia pertama kali bertemu Hinata kembali, Hinata berteriak padanya dan bilang kalau membencinya. Tapi sekarang ia malu-malu seakan tak terjadi apapun. Apakah semua wanita seperti ini? Perasaan mereka memang sulit ditebak.

"Ah-oh, i-iya. Aku juga," masih dengan kebingungannya Naruto beranjak dari bangkunya dan mendekati Hinata yang sudah berdiri lebih dulu.

Reflek Kiba dan Shion membuat dinding pembatas antara mereka berdua. "Na-Naruto, kita masih ada janji lain. Ayo segera pergi," ucap Shion pada Naruto.

Sedangkan Kiba, "Hinata, kau bilang siang ini kau ada kuliah. Jadi, ayo kita ke toko bunga sekarang."

Naruto dan Hinata hanya saling menatap. Lalu bersamaan mereka memberikan jawaban ke ajakan yang dilontarkan kepada mereka.

"Baiklah, ayo," tak ada protes apapun dari mereka berdua.

Mereka akhirnya mengucapkan salam perpisahan. Naruto pergi bersama Shion, sedangkan Hinata bersama Kiba.


-Sunshine!-


Udara sangat sejuk. Angin bertiup tak terlalu kencang. Musim semi yang sangat hangat. Mungkin karena sudah mau memasuki musim panas maka udara tidak terlalu dingin. Sebagian tempat masih ada bunga sakura yang mekar.

"Apa itu toko bunga yang pernah kita datangi sebelumnya?" tanya Kiba saat mereka di perjalanan.

Hinata menggeleng, "Bukan. Toko itu terletak di pinggiran kota. Aku ingin melihat lavender yang dijual disana."

"Souka," Kiba fokus menyetir. Sebenarnya ia masih memikirkan tentang kejadian tadi. Tapi ia harus menyingkirkan itu. Ia tak mau berpikiran yang tidak-tidak. Hinata jujur padanya dan itu sudah sangat bagus. Lalu apalagi yang Kiba harapkan? Tetapi bohong kalau Kiba tak khawatir tentang perasaan Hinata yang menurutnya masih terombang-ambing. Sebaiknya ini kesempatannya untuk mengambil hati Hinata dan menjadikan wanita itu seutuhnya miliknya.

"Toko itu," tunjuk Hinata. "Kau berhenti disini saja. Biar aku sendiri yang menyeberang kesana." Hinata melepaskan sabuk pengamannya setelah Kiba memarkirkan mobilnya di tempat parkir pinggir jalan.

"Mau kutemani?" tawar Kiba.

"Tak perlu. Aku hanya sebentar," Hinata tersenyum sekilas lalu keluar dari mobil.

Kiba menunggu di dalam mobil. Ia sedikit memundurkan dan merendahkan posisi bangkunya. Kepalanya ia sandarkan disana. Pria sesibuk Kiba kini rela menunggu seorang wanita yang hanya ingin membeli bunga. Kalau bukan Hinata, Kiba pasti sudah menolaknya mentah-mentah.

Ia lalu memikirkan tentang pernikahannya yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Ah, malam ini ia harus ke rumah Hinata untuk menemui calon ayah mertuanya lagi. Kiba masih awam dengan pernikahan cara tradisional. Kakaknya menikah tidak serumit ini. Tapi Kiba tetap menikmatinya. Senyumanpun terkembang diwajahnya membayangkan kehidupannya setelah menikah nanti.

Tiba-tiba terdengar suara lengkingan ban mobil tak jauh dari tempat parkirnya. Dengan kaget Kiba langsung saja mengarahkan pandangannya ke arah kerumunan orang yang ada di seberang jalan. Karena penasaran ia keluar dari mobil dan menghampirinya.

Dadanya sesak, tenggorokannya tiba-tiba mengering, tubuhnyapun lemas. Matanya melihat Hinata tergolek bersimbah darah dengan bunga lavender yang masih dalam pelukannya. Sekuat tenaga Kiba menggerakkan kakinya, berlari ke arah calon istrinya itu.

"HINATA!" teriaknya pilu.


-Sunshine!-


-To Be Continued-


Jreng jreng jreng jrengg!

Hallo, minna! Aku update lagi nih, ehehe

Gomen lama menunggu, hingga berbulan-bulan. Mood ku untuk menulis baru saja kembali.

Masih ada dua fanfic lagi yang harus diselesaikan. Semoga bulan ini bisa selesai semuanya

Minta doanya ya, minna!

Terus dukung aku agar bisa menelurkan karya-karya yang lebih baik dan bagus lagi.

Adios!