Disclaimer : Naruto and all the characters mentioned in the story they're all belongs to Masashi Kishimoto. I do not take any financial benefits from this.


Memory

[ Memories warm you up from the inside. But sometimes they also tear you apart ]


Naruto punya kebiasaan mengacak surai pirangnya saat berbicara.

Naruto mempunyai iris mata senada dengan biru lautan.

Naruto mempunyai 3 garis halus bekas luka di masing-masing pipinya.

Naruto maniak ramen, jeruk, dan olahraga. Ia juga tidak suka diganggu saat tidur.

.

"Hey Teme!"

Tubuh Sasuke tersentak kaget ketika pintu kamarnya terbuka lebar secara paksa, dan pria bersurai pirang bernama Naruto itu dengan lancang menerobos masuk dengan senyum sumringah di bibirnya.

"Oh? Ada kalian rupanya, apa kabar?"

Si pirang menyapa dengan ramah, ketika ia menyadari ada orang lain di dalam kamar bernuansa biru tua itu, tetapi belum sempat kedua bocah laki-laki lainnya membalas sapa, Sasuke sudah lebih dahulu memotong pembicaraan mereka.

"Apa kedua tanganmu patah sehingga kau tidak bisa mengetuk terlebih dahulu, Dobe? Aku sedang bersama teman-temanku saat ini." Iris hitamnya menatap tajam ke arah si pirang yang kini hanya bisa tersenyum malu, dan menggaruk belakang kepalanya.

"Maaf," ucap Naruto dengan nada lembut.

Sasuke bisa melihat dengan jelas jika tidak ada rasa penyesalan di wajah pria bersurai pirang itu.

"Jika kau hanya ingin membicarakan hal yang tidak penting lebih baik kau pergi."

Tidak sedikit pun Sasuke menoleh ke arah si pirang, kedua matanya seakan terkunci ke arah buku bersampul hijau tua setebal 5 senti di hadapannya.

"Hey, tentu saja aku datang karena hal ini penting," jelasnya. "Happy White Day, Teme!"

Dengan cengiran khasnya yang nakal, Naruto menyerahkan sebuah kotak putih berukuran sedang dengan pita berwarna biru tua berisikan coklat yang sejak tadi berada di genggaman tangannya. Ia berharap Sasuke akan tersenyum ketika melihatnya. Namun bocah itu hanya menatap datar tanpa ekspresi.

"Aku tidak mengharapkan coklat darimu," sahut Sasuke tidak berminat, bahkan tidak menyentuh kotak di hadapannya.

"Kau tahu?" tanya si pirang, menempatkan sebelah tangannya di atas bahu Sasuke. "Mereka bilang perbanyaklah memakan makanan manis jika kau ingin merasa senang dan bahagia, jadi kurasa coklat ini sangat cocok untukmu."

Jantung Sasuke mulai berpacu, ia bisa merasakan hangatnya suhu telapak tangan Naruto yang berada di pundaknya.

"Apa maksudmu?" Setengah mati ia berusaha untuk berbicara secara normal, datar, dan terkesan tidak peduli.

Naruto menaikkan sebelah alisnya, lalu tersenyum kaku ketika menggaruk belakang kepalanya. "Maksudku ... ya ... mungkin saja kau tidak bahagia, karena itu kau selalu terlihat marah, dan murung layaknya orang tua, padahal kau ini baru berusia 13 tahun."

Untuk sesaat hening menyelimuti kamar bernuansa biru tersebut, kedua bocah teman Sasuke hanya saling menatap, sedangkan Naruto hanya bisa memamerkan cengirannya dan menunggu untuk mendapat respon.

"Keluar dari kamarku," perintah Sasuke jelas.

Senyuman di bibir Naruto seketika menghilang, saat menyadari di mana letak kesalahannya.

"H-hey ... aku hanya bercanda. Jangan kau anggap serius."

"Keluar!" bentak Sasuke, melempar buku miliknya tepat mengenai pelipis si pirang.

Sedikit mendesah menahan rasa nyeri, Naruto melangkah menuju pintu dengan tangan kanan mengusap lembut pelipisnya. "Baiklah-baiklah, aku akan pergi."

"Sasuke ... kau seharusnya tidak melempar Naruto dengan buku itu. kau tidak lihat wajahnya? Dia terlihat sangat kesakitan," sela anak dengan tataan rambut seperti nanas setelah memastikan jika Naruto sudah benar-benar meninggalkan kamar milik Sasuke.

"Shikamaru benar Sasuke, meskipun Naruto menganggumu, tetapi melemparnya dengan buku setebal itu sepertinya terlalu berlebihan," timpal anak laki-laki lainnya yang memiliki surai hitam panjang.

"Aku membencinya! Sejak 4 tahun yang lalu dia pindah, dan tinggal di rumahku karena harus kuliah di kota ini. Aku tidak pernah menyukainya sedikit pun."

Shikamaru dan Neji saling melirik satu sama lain. Mereka tahu jika Sasuke sebenarnya menyukai, atau lebih tepatnya mencintai Naruto, hanya saja harga diri para Uchiha terlalu tinggi untuk mengakui.

"Uh, tetapi bulan depan dia akan menjadi guru, dan pulang ke kotanya bukan? Jadi kau tidak perlu me—"

"Tutup mulutmu Neji," potong Sasuke datar. Iris hitamnya menatap lekat ke arah anak laki-laki bersurai hitam panjang itu. "Jika kau masih membicarakan pria sialan itu, akan kubukakan pintu untukmu, dan kau bisa pergi."

Memahami sangat jelas bagaimana sifat sahabatnya, anak laki-laki bersurai panjang tersebut lebih memilih untuk diam, dan melanjutkan pekerjaan rumahnya.

.

"Teme," panggil Naruto sedikit berteriak dari arah pintu, seraya melangkah mendekati Sasuke yang sedang membaca buku di ruang keluarga. "Ini foto yang di laut sudah kucetak. Simpan ke dalam album," ucapnya yang terdengar seperti perintah, ketika menyerahkan beberapa lembar foto dan album berwarna oranye tua.

"Hn."

Jemari pucat Sasuke dengan lihai memasukkan satu persatu foto ke dalam album. Bibirnya sesekali dihiasi oleh senyuman tipis saat menatap fotonya dan Naruto tertawa lepas di laut, yang mereka kunjungi bulan lalu.

Lembar demi lembar ia perhatikan dengan seksama, hingga sebuah foto usang yang terselip di antara foto-foto lainnya terjatuh ke atas lantai.

Sasuke sedikit menunduk untuk melihat foto yang terjatuh persis di sebelah kakinya, iris hitam di balik kacamatanya menatap foto sesosok anak laki-laki berkulit putih pucat, dan bersurai hitam yang tertata rapi ke arah belakang, sedang melirik ke arah jendela dengan raut wajah datarnya.

Ia tidak tahu siapa anak laki-laki itu, ia juga tidak tahu mengapa Naruto memiliki foto itu, setahunya Naruto adalah anak tunggal. "Ini foto siapa, Dobe?"

Merasa namanya dipanggil, si pirang menoleh, dan menatap foto yang berada di genggaman tangan Sasuke. Sekilas raut wajahnya berubah, tampak sedih. Namun ia berhasil mengenyahkan raut itu di detik selanjutnya.

"Oh, itu benda berharga," sahut si pirang memamerkan cengiran khasnya.

"Berharga?" Sasuke balik bertanya, entah mengapa ia merasa sangat tertarik dengan anak laki-laki yang berada di dalam foto usang itu.

"Dia cinta pertamaku." Cengiran lebar kembali menghiasi bibir Naruto. "Ingat! Kau tidak boleh membocorkan rahasia ini pada siapa pun, kau dengar itu?"

Sasuke tidak merespon. Ia mengenal Naruto cukup lama, tetapi sama sekali tidak menyangka jika cinta pertama Naruto adalah seorang anak laki-laki, sama sepertinya.

"Hey Teme, kenapa kau diam saja? Ayo berjanji padaku dulu," desak si pirang memamerkan jari kelingkingnya.

"Naruto," panggil Sasuke sangat pelan hampir tidak terdengar.

"Mm?" gumam Naruto.

Cukup lama mereka saling terdiam. Menunggu satu sama lain untuk memulai pembicaraan.

"Kau masih mencintai anak laki-laki itu sampai sekarang?" tanya Sasuke pelan. Jantungnya berpacu cepat, kedua tangannya yang dingin terkepal kuat. Ia tahu jika pertanyaannya cukup lancang, tetapi rasa penasaran, mendesaknya.

"Ya," sahut Naruto cepat, "tentu saja aku masih mencintainya."

Sasuke menelan ludah, lalu kembali melontarkan pertanyaan.

"Kau tidak mencoba untuk menghubunginya? Kenapa tidak kirim surat saja?" Ia mencoba berbasa-basi, meskipun hatinya terasa sangat panas.

"Maunya sih begitu." Naruto menatap kosong ke arah jendela. Memandang birunya langit yang senada dengan bola matanya, lalu tersenyum lembut. "Tapi pos udara, tidak bisa sampai ke surga, Teme."

Ada rasa lega di hati Sasuke yang bercampur dengan iri. Anak laki-laki di dalam foto sudah mati, tetapi Naruto terlihat sama sekali belum bisa melupakannya.

.

"Sasuke, kau mau ikut kami bermain sepulang sekolah?" tanya seorang anak perempuan dengan nada manja.

"Tidak," sahut Sasuke yakin, kedua tangannya bergerak dengan cepat memasukkan seluruh buku miliknya ke dalam tas, lalu ia berlari meninggalkan ruang kelas.

"Eh? Kenapa Sasuke terlihat sangat tergesa-gesa?" gumam anak perempuan itu heran, dengan wajah yang muram.

Shikamaru dan Neji yang berada tidak jauh dari anak perempuan itu hanya bisa saling menatap, mereka tahu alasan sebenarnya mengapa Sasuke terlihat sangat tergesa-gesa.

Itu semua karena Naruto akan kembali ke kotanya besok sore.

.

Buku-buku tebal berbeda sampul tersusun dengan rapi di sudut ruangan, dengan hati-hati pria bersurai pirang itu mengikatnya menjadi satu dengan seutas tali berwarna hitam.

Bulir-bulir keringat yang menetes dari dahinya ia seka menggunakan sapu tangan berwarna oranye cerah, dan sesekali ia juga menghela napasnya dengan berat.

"Dobe."

Tubuh kekar si pirang menegang, ketika suara khas seorang anak laki-laki yang familiar di telinganya memanggil dari arah pintu.

Ia menoleh untuk melihat siapa yang berada di belakangnya sebelum membalikkan seluruh tubuhnya menghadap pintu. "Huh? Kau sudah pulang sekolah rupanya?" ia bertanya dengan senyum tipis. "Kau ke sini pasti karena mau membantuku merapikan barang ya?"

"Kau akan pergi?"

Suara Sasuke terdengar cukup pelan. Raut wajahnya tampak datar, dan kaku seperti biasa. Namun Naruto bisa melihat kilat amarah terpantul dari kedua iris hitam itu.

"Tidak hari ini, sebenarnya besok sore," sahut Naruto dengan senyum kakunya. "Apa kau mau membantuku membe—"

Kalimat Naruto terhenti saat tubuhnya terdorong cukup kuat ke arah belakang, dan menghantam dinding saat Sasuke menerobos masuk ke dalam kamarnya.

"Ahh—!" desahnya tertahan menahan rasa nyeri di punggung. "T-teme, apa yang kau lakukan?"

Sasuke mengeluarkan sebuah pisau kecil dari dalam saku celananya, lalu merobek tali yang mengikat kencang buku-buku milik Naruto dengan brutal.

"Hey! Apa yang kau lakukan? Aku sudah susah-susah merapikannya!" bentak Naruto mengernyitkan alis. Ia sudah cukup bersabar dengan sikap Sasuke, dan kesabaranya sudah mulai habis saat ini.

"Jangan," lirih Sasuke sedikit menunduk, pisau di genggaman tangannya ia jatuhkan ke atas lantai.

"Huh?"

"Jangan pergi."

Jemari putih pucatnya mencengkram erat lengan Naruto. Wajahnya tertunduk lesu tidak berani menatap. "Aku mencintaimu Naruto, sejak pertama kali aku melihatmu."

Naruto merasakan jemari dingin Sasuke mencengkram erat lengannya. Ia terlihat cukup terkejut. Namun sesaat kemudian ia tersenyum lembut, seraya mengecup dahi anak lelaki berkulit pucat itu.

"Terima kasih Sasuke, tetapi aku tidak bisa."

Sasuke melepas cengkraman tangannya perlahan lalu tersenyum getir.

Ia tahu, sekuat apa pun mencoba, Naruto tidak bisa menghapus bayang-bayang cinta pertamanya. Semuanya disebabkan foto itu. Foto usang yang selalu mengingatkan Naruto pada cinta pertamanya.

Ia mendorong tubuh Naruto, berbalik, lalu mengacak seluruh tumpukan buku. Tidak butuh waktu lama, iris hitamnya menatap benci ke arah selembar foto yang terselip di halaman paling belakang album, sebelum merobeknya menjadi serpihan kecil dengan kasar.

Iris biru Naruto membulat sempurna. "SASUKE!" bentaknya keras.

Tubuh Sasuke bergetar, merasakan rasa nyeri di jantungnya tiba-tiba yang mulai menjalar ke seluruh tubuh. Ia mencoba untuk berpegangan. Namun belum sempat kedua tangannya menyentuh tepi meja, tubuhnya tumbang ke atas lantai.

"S-Sasuke? Hey ... SASUKE!"

.

Hal yang pertama kali dilihatnya saat membuka mata, hanyalah langit-langit ruangan yang berwarna putih. Ia tidak lagi merasakan sakit di jantungnya, ia juga tidak tahu apa saat ini masih hidup, mati, ataupun bermimpi.

Ia menoleh ke sisi kanan, lalu kedua alisnya mengernyit.

Tidak jauh dari tempatnya berbaring ada sebuah kelas kecil, dan beberapa murid yang seumuran dengannya.

Iris hitamnya memperhatikan sosok anak laki-laki bersurai pirang, yang baru saja berlari melalui pintu, lalu menghampiri sosok anak laki-laki bersurai hitam yang sedang membaca buku.

Ia merasa cukup familiar dengan kedua anak laki-laki itu. Namun tidak tahu tepatnya siapa mereka.

Ia juga baru menyadari jika tubuhnya terasa kaku untuk digerakkan, dan suaranya tidak bisa terdengar. Selayaknya menonton, ia hanya mampu melihat kedua anak laki-laki itu berinteraksi dari jauh.

"Hey!" Anak laki-laki bersurai pirang itu tersenyum lebar, deretan giginya yang rapi ia pamerkan dengan bangga."Aku pinjam bukumu ya!"

"Tidak sekarang," sahut si anak bersurai hitam tanpa melepas tatapan matanya dari buku yang ia genggam. Rambutnya ditata rapi ke belakang dengan sempurna, kulitnya pucat, dan wajahnya sangat tampan.

"Nanti aku kembalikan! Jangan jadi orang pelit," desak si pirang sedikit memaksa. "Aku tidak suka orang yang baca buku saat jam istirahat sepertimu!"

Anak bersurai hitam hanya menghela napasnya tidak peduli.

"Uchiha itu pintar. dia mau sekolah tinggi, lalu menjadi guru. Tidak sepertimu Uzumaki! Kau 'kan bodoh," sela seorang anak perempuan bersurai merah muda dari arah samping.

"Kau... mau jadi guru?" tanya si pirang ragu-ragu. "Apa itu benar?"

"Apa pedulimu?" ketus anak bersurai hitam.

"Nah ya! Aku tahu! Uzumaki kau pasti menyukai Uchiha!"

"Aku benci anak bodoh seperti Naruto. Berisik, dan otaknya kosong," sahut anak bersurai hitam cepat.

Si pirang terlihat emosi. Ia melempar buku ke arah papan tulis, lalu menarik kerah seragam anak bersurai hitam."Kau sendiri selalu tampak marah dan murung layaknya orang tua, seharusnya kau banyak mengkonsumsi makanan manis, dan kau pikir aku menyukaimu? Aku benci anak sok pintar sepertimu, Sasuke!" Ia melepas kerah anak bersurai hitam, lalu melangkah menghentak ke luar kelas tanpa menoleh.

"Sasuke? Kau kenapa? Sasuke! Kenapa wajahmu pucat?! Siapa pun cepat panggilkan guru!"

Anak bersurai hitam tidak menyahut, ia hanya tertunduk lemas di lantai, dengan wajah pucat pasi.

.

Mimpi yang terasa begitu nyata.

Anak laki-laki bernama Uchiha Sasuke itu ternyata punya kelainan jantung. Tahun berikutnya tidak sempat ikut upacara kelulusan, dan masih belum bicara dengan Naruto.

Sekarang aku mengerti.

Aku adalah Uchiha Sasuke, dan aku mencintai Naruto, tetapi harga diriku terlalu tinggi untuk mengakuinya.

Perasaan itu tertinggal, hingga aku dilahirkan kembali dengan nama dan paras yang serupa.

Hanya saja, Naruto tidak menyadarinya.

.

Sasuke berlari menuruni anak tangga, lalu mendobrak pintu kamar Naruto. Ia berharap pria itu masih di sana. Namun ternyata kamar itu kosong. Tidak ada satu pun benda yang tertinggal.

"Sasuke apa yang kau lakukan?" tegur Mikoto dari arah belakang yang terkejut akibat dentuman pintu. "Naruto sudah pergi, beberapa saat yang lalu, temannya menjemput, dan mengantar sampai halte bus."

Kedua tangan Sasuke terkepal, ia tidak bisa membiarkan Naruto pergi begitu saja tanpa mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya.

Ia berlari ke arah pintu, mengambil sepatu favoritnya lalu berlari ke luar rumah.

"Sasuke?! Kau mau ke mana?! Di luar hujan sangat lebat, bawalah payung!" teriak Mikoto khawatir melihat putranya. Namun Sasuke tidak lagi mempedulikannya.

Hujan sore itu begitu lebat, udara yang dingin membuat Sasuke merasa sulit bernapas.

"Naruto, jangan pergi. Aku di sini," gumamnya lirih, mempercepat langkah kaki, tanpa berhenti berharap jika Naruto, masih berada di sana.

Hanya sedikit lagi, beberapa langkah lagi.

"Naruto!"

Si pirang menoleh saat namanya dipanggil. Kedua iris birunya menatap tidak percaya ke arah anak laki-laki yang berlari menghampirinya.

"Apa yang kau lakukan? Kau baik-baik saja? Lihat bajumu semuanya basah, Teme!" bentaknya khawatir saat melihat tubuh Sasuke menggigil akibat dinginnya air hujan.

Sasuke tersenyum tipis, tangan pucatnya merogoh saku celana untuk mengambil sebuah plastik transparan berisikan foto yang telah dipersatukan ulang menggunakan selotip.

"Benda berhargamu, Dobe."

Si pirang menghela napasnya. "Kau melakukan semua ini hanya demi foto? Apa kau tahu kau ini bodoh?" sahutnya, "sudahlah Teme, ini bukan masalah yang serius, aku tidak akan marah padamu."

"Tapi Dobe ... a-aku—"

"Naruto busnya datang!" sela seorang pria berkulit pucat dengan senyuman di bibirnya. Ia duduk tidak jauh dari Naruto, membaca novel dengan sebuah kopi kaleng di genggaman tangan.

"Ya! Hey Sai, apa kau tidak bisa membantuku?" sahutnya, "Sasuke maafkan aku, tetapi aku sedang sibuk saat ini," ucap Naruto, mengangkat koper beserta beberapa tas miliknya ke dalam bagasi bus.

Sasuke hanya terdiam dengan senyum tipis menghiasi bibirnya. Melihat bagaimana cara Naruto memperlakukannya, ia tahu jika pria itu tidak mengingatnya sama sekali.

Apalagi saat ini ada pria bernama Sai, di samping Naruto.

"Tahun depan aku akan datang lagi, Teme. Nanti pak guru bantu membuat PR."

Naruto kembali mengacak surai pirangnya ke sembarang arah. Kebiasaan miliknya yang tidak bisa diubah.

"Dia sudah melupakanku. Tentu saja, waktu Naruto telah terpotong selama 11 tahun," gumam Sasuke pelan.

"Huh? Apa katamu, Teme?"

Sasuke tersenyum tipis lalu menggeleng pelan. "Tidak. Uchiha Sasuke, cinta pertamamu pasti senang."

Naruto tersenyum sumringah, ia melambaikan tangannya tanpa henti saat masuk ke dalam bus.

"Sepertinya kau sangat akrab dengan anak itu," tegur Sai, senyum yang selalu menghiasi bibirnya kini menghilang.

"Apa kau cemburu?" goda Naruto menahan tawa. "Hah ... dasar, Teme. Uchiha Sasuke cinta pertamaku katanya, anak itu tahu dari mana?"

Naruto tertawa. Namun detik berikutnya senyuman di bibirnya menghilang. Ia terdiam sesaat, lalu menoleh ke luar jendela, untuk menatap Sasuke yang masih berdiri di sana tersenyum ke arahnya.

Rambut hitam mencuat ke belakang milik Sasuke kini lurus akibat terpaan air hujan, dan kacamata yang membingkai wajahnya dilepas karena mengganggu pengelihatan.

Saat itu, iris biru milik Naruto membulat sempurna.

"TOLONG HENTIKAN BUSNYA!"

Ia berlari ke arah Sasuke. Meninggalkan semua barang bawaan miliknya di dalam bus yang tidak bisa lagi menunggu lebih lama, dan juga Sai yang memanggil namanya.

"K-kau ... Uchiha Sasuke?"

Tapi belum sempat anak laki-laki bersurai hitam itu membuka mulutnya,

"NARUTO AWAS DI BELAKANGMU!"

.

Waktu terus bergulir.

Sasuke duduk bersandar pada punggung kursi, iris hitamnya terkunci pada selembar foto usang yang mampu membuatnya tersenyum tipis.

"Hey, kau suka pria itu ya?"

Tubuh Sasuke tersentak, cepat-cepat ia memasukkan foto miliknya ke dalam laci meja, sebelum melirik ke arah sumber suara di sisi kirinya.

Kedua matanya menangkap sosok murid laki-laki dengan gaya urakan yang ia yakini bukan murid dari sekolah ini.

"Matamu tidak lepas sedikit pun dari foto itu," ucap anak laki-laki itu mengejek, seraya berjalan mendekat. "Aku murid baru, pindahan dari kota B. Kata kepala sekolah, kau wali kelasku," lanjutnya santai, seraya memamerkan cengiran nakal miliknya.

Sasuke terdiam, entah mengapa ia merasa familiar dengan cengiran nakal itu.

"Ini untukmu."

Anak laki-laki urakan itu melempar sebuah kotak kecil berwarna putih transparan berisikan coklat ke arah Sasuke.

"Meskipun sekarang bukan white day, anggap saja ini hadiah perkenalan dariku," ucapnya malu-malu, "lalu di mana kelasku?" tanya anak itu seraya mengacak rambut pirang miliknya.

"Naruto?" gumam Sasuke pelan tanpa sadar.

Si pirang membelakkan matanya tidak percaya. "Huh? Dari mana kau tahu namaku? Apa kau sudah mengenalku?" ucapnya terkagum-kagum. Namun sesaat kemudian raut wajahnya terlihat meremehkan. "Ah, tentu saja kepala sekolah pasti sudah memberitahumu."

Mereka saling terdiam, tidak ada yang membuka mulut ataupun memulai pembicaraan. Iris hitam milik Sasuke hanya menatap lurus tanpa beralih sedikit pun dari sosok anak laki-laki urakan itu.

"Ini aneh, tetapi ... apa kita pernah bertemu sebelumnya? Wajahmu tidak begitu asing." Anak itu bertanya dengan kedua alis yang mengernyit.

"Mungkin," sahut Sasuke singkat seraya bangkit dari atas kursi. "Namaku Sasuke, bersiaplah aku akan membawamu ke kelas."

"Baiklah!" sahut si pirang sedikit berteriak penuh semangat.

"Diam, Dobe."

"Hey, jangan panggil aku, Dobe, Teme!" protes anak itu dengan gelengan kepala. "Namaku Naruto. Panggil aku Na—ru—to."

"Hn," gumam Sasuke dengan senyuman di bibirnya.

.

Ya, sepertinya aku akan memulai langkah baru lagi.

.

End