Kaki-kaki kecil berlarian tak tentu arah. Bergema dalam sunyinya gang-gang sempit nan gelap di tengah gegap gempita kota metropolitan. Gila, ini sungguh gila. Dengan tubuh mungil mereka dan pengetahuan mereka yang masih seumur jagung, mau kemana mereka? Tanpa tahu arah, tanpa uang digenggaman, ini sama saja dengan bunuh diri. Dia menggeleng pelan, mengenyahkan pikiran-pikiran buruk dari kepalanya. Persetan dengan resiko-resiko tersebut, yang penting mereka bisa pergi jauh.
"A-Akashi—kun... Hhh... A-Aku mau—" bocah di belakangnya bersuara, terdengar putus asa. Dengan cepat ia memotongnya,
"Bertahanlah, Tetsuya. Kita tak punya banyak waktu."
"Ta-Tapi—" kata-kata itu kembali terputus. Namun kali ini bukan karena ucapan anak di depannya. Melainkan bunyi dentum keras yang terdengar di belakang mereka dan teriakan melengking salah satu kawan mereka, memanggil nama kawannya yang lain, yang kini tengah tersungkur di kasarnya aspal berkerikil. Dan seakan Dewi Fortuna mengejek mereka, tepat saat itu pula seorang lelaki dewasa datang dari arah depan mereka dengan senyum licik terpatri di bibir tipisnya, bertepuk tangan pelan dan tertawa sinis. Berucaplah dia,
"Wah, wah... Hebat juga kalian. Sudah sejauh ini ternyata? Aku tidak menyangka." logat bicaranya terdengar aneh dan menyebalkan. Tak lama kemudian, seorang laki-laki lain memblokir jalan di belakang mereka. Crap, mereka terjebak! Mata anak yang terdepan itu bergerak liar, berusaha mencari jalan keluar bagi dirinya dan keenam temannya sambil mempererat genggaman tangannya pada salah satu temannya yang tadi sempat berucap padanya. Dia harus berpikir sekarang juga atau mereka akan kembali ke tempat mengerikan itu.
"Jangan pernah berfikir untuk lari, anak manis. Atau kau akan merasakan benda ini menembus kepala merahmu." lisan si licik menarikan kata-kata ancaman. Kini di tangannya tergenggam sebuah pistol, revolver sepertinya, yang mengarah pada pemimpin rombongan anak-anak tersebut. Semuanya mengkerut ketakutan, menatap nanar pada lelaki sinis itu. Kecuali pemimpin mereka, yang malah menatap tajam pada mata sipit pemegang pistol. Melancarkan ancaman tersirat dari matanya, namun tentu saja tak akan mempan pada lelaki di depannya. Lelaki tersebut malah tertawa meremehkan mendapat tatapan seperti itu, bodoh pikirnya. Mana mempan tatapan itu padanya, memangnya dia balita?
"Bawa pulang mereka, Ryo. Dan pastikan mereka mendapat 'pelajaran' hari ini."
Pemuda di seberangnya mengangguk sambil menggumam kata maaf dan dengan segera, ia mengangkut tiga di antara tujuh. Tiga itu meronta dan berteriak minta tolong pada siapapun yang bisa, meski lebih ditujukan pada pemimpin mereka yang kini berusaha berkelit dari pemuda satunya. Tetapi ketika pemimpin mereka juga tertangkap, mereka hanya bisa menendang udara hampa dan berteriak tak terima. Pupus sudah harapan mereka dan ucapkan salam pada neraka yang tertawa.
Escape
Disclimer : Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
Escape © Hyori Sagi
Summary : "A-Akashi—kun... Hhh... A-Aku mau—"/ "Bertahanlah, Tetsuya. Kita tak punya banyak waktu."/ "Jangan pernah berfikir untuk lari, anak manis. Atau kau akan merasakan benda ini menembus kepala merahmu."/ Pupus sudah harapan mereka, dan ucapkan salam pada neraka yang tertawa./ "Nah, Tetsuya. Moodku sedang buruk hari ini, jadi bersiaplah."
Rated : T atau mungkin M?
Warning : Little!GoM, Police!Seirin, mengandung unsur kekerasan dan pembunuhan untuk ke depannya, maybe OOC? Dan saya tidak mengambil keuntungan komersil apapun dari cerita ini.
Enjoy...
Kagami Taiga, seorang polisi muda berambut merah gelap dan beralis cabang. Dirinya kini tengah berjalan santai menuju tempat makan favoritnya, Magi Burger, untuk membeli beberapa burger guna mengganjal perutnya yang meraung sejak satu jam yang lalu. Bersiul pelan sambil mengumpat seniornya dalam hati karena memberikan banyak kasus padanya untuk bulan ini, tanpa sadar kakinya menubruk sesuatu, atau seseorang? Ditundukkannya kepala dan mencari-cari apa yang telah kakinya tabrak. Namun, nihil. Manik merahnya tak dapat menangkap satu pun eksistensi di dekat kakinya. Kagami mengernyit heran. 'Mana mungkin aku berkhayal', batinnya. Tapi sekeras apapun dia mencari, dirinya tetap tak dapat menemukan apa yang dicarinya.
"A-Ano..." suara pelan mengiterupsi Kagami yang termenung. Kagami menoleh cepat. Ke kiri, kosong. Ke kanan, kosong, ke belakang, tak ada. Apa-apaan ini, masa ada hantu di siang bolong. Kagami meringis pelan memikirkan itu, antara takut dan geli. Mencoba berfikir positif, dia kembali mencoba mencari orang yang menginterupsinya. Menolehkan kembali kepalanya ke depan untuk mendapati beberapa orang di depannya tengah bercengkrama, memunggunginya, sekitar seratus meter dari tempatnya berdiri. Mana mungkin mereka. Lagipula Kagami merasa suara itu berasal dari tempat yang cukup dekat dengannya. Kagami mengerang kesal dan mengacak kasar helai merahnya.
"Sudahlah, mungkin aku berhalusinasi." Kagami bergumam pelan dan memandang malas. Baru saja ia akan melangkahkan kakinya, lagi-lagi suara halus itu menginterupsi,
"Ano, jangan belgerak. Nanti teinjak, Tuan."
Hampir saja Kagami berteriak, karena tak menemukan sosok yang telah mengeluarkan kalimat itu. Kaget, tentu saja. Mendengar suara tapi tak menemukan sumbernya, siapa yang tidak akan jantungan. Meski dia polisi, dia tetaplah manusia biasa yang memiliki rasa takut terhadap makhluk astral. Manik darahnya bergerak liar nan tajam, berusaha mendapatkan sosok yang membuatnya geram setengah mati dan membuatnya terlihat seperti orang linglung tak tahu arah.
"Hei, kau! Tunjukkan dirimu! Jangan bersembunyi! Apa yang kau mau, hah!?" bentaknya berang. Kesabarannya sudah benar-benar habis sekarang. Tangannya terkepal kuat, siap untuk menghantam orang kurang ajar yang sudah mempermainkannya.
"Maaf, Tuan. Saya tidak belsembunyi, saya ada di depan anda sedai tadi. Tolong lihatlah ke bawah." balasan sopan bernada datar masuk ke dalam indera pendengaran Kagami. Terang saja Kagami langsung menunduk dan mendapati seorang anak bersurai baby blue tengah menatapnya datar dengan sebuah plastik hitam di tangannya. Kagami berjengit kaget dan tergesa menutup mulutnya agar tak ada teriakan yang lolos, tak lupa jari telunjuknya menuding kearah anak laki-laki mungil di depannya. Anak itu hanya memiringkan kepalanya sedikit kearah kanan dan menatap Kagami datar, seakan dia sudah terbiasa dengan reaksi tersebut.
"S-S-Se-SEJAK KAPAN KAU?!"
"Sedai tadi, Tuan. Tuan menablak saya."
"Ta-Tapi bagaimana—Arrgghh! Sudahlah, lupakan." Kagami mendengus pelan lalu berjongkok, mensejajarkan dirinya dengan anak berwajah datar tersebut. Bukan, bukan maksudnya wajahnya yang rata tapi ekspresinya yang datar, malah lebih terkesan tanpa ekspresi.
"Maafkan aku. Apa kau terluka?" si bocah biru berjengit pelan ketika tangan besar Kagami menepuk lembut kepalanya. Ia melirik sekilas kearah belakang dan Kagami bersumpah dia melihat binar ketakutan di mata bulat anak itu. Penasaran, dia pun ikut mengalihkan pandangnya ke arah yang dituju anak berkulit pucat di depannya dan menemukan seorang pemuda bermata sipit tengah menghampiri mereka dengan senyum di wajahnya. Tangan Kagami yang masih berada di kepala si anak merasakan getaran pelan dan ketegangan pada si empunya. Samar memang, tapi Kagami masih bisa merasakannya sedikit. Dia mengernyit heran pada si anak, merasa bingung dengan perubahan kecil yang dia rasakan. Si pemilik julukan macan merah tersebut kembali mengalihkan fokusnya pada pemuda yang kini berjarak limapuluh meter darinya, mecoba menganalisis siapa gerangan pemuda ini sampai bisa membuat perubahan mendadak pada anak di depannya. Pemuda itu berhenti beberapa meter di depan mereka masih dengan senyumannya, yang entah mengapa membuat Kagami sedikit merinding dengan senyuman ramah yang terkesan kejam itu.
"Maaf, apa anak ini melakukan sesuatu padamu?" si pemuda berkacamata akhirnya menyuarakan pikirannya. Logat Kansai kental menyelimuti tuturnya. Si anak biru berjengit kembali, lagi-lagi tegang merayap di tubuhnya. Di benak Kagami menyeruak berbagai spekulasi yang menjurus pada adanya kejanggalan di hubungan si anak dan si pemuda. Namun buru-buru ia menepis, tak mau berburuk sangka pada orang yang baru dikenalnya. Siapa tahu pemuda di depannya ini adalah kakak dari si anak.
"Tidak, dia tidak melakukan apapun. Aku tidak sengaja menabraknya tadi. Maaf, apa dia adikmu?" Kagami bangkit dari posisi jongkoknya guna mensejajarkan diri dengan orang yang kini berdialog dengannya. Si lawan bicara terdiam sejenak memandangi anak bersurai biru di antara dirinya dan si penanya sebelum akhirnya menjawab,
"Ya, begitulah. Aku kehilangan dia barusan. Maaf sudah merepotkan anda, Tuan—"
"Kagami. Kagami Taiga. Tak apa, aku tak merasa direpotkan kok. Lain kali berhati-hatilah, sekarang sedang marak penculikkan anak." si surai hitam menampakkan wajah bersimpati mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Kagami,
"Benarkah? Aku jarang melihat berita. Aku sibuk sekali akhir-akhir ini sampai tidak sempat untuk mengecek koran atau televisi. Kalau benar adanya, aku akan lebih berhati-hati menjaga anak ini." Dia tersenyum sambil menepuk surai biru langit anak di bawahnya. Kagami ikut tersenyum melihatnya, dirinya merasa lega melihat pemandangan yang tersuguh. Sungguh baik pemuda ini, pikirnya.
"Baiklah kalau begitu, kami harus segera pulang. Terima kasih Kagami-san. Tetsuya, ucapkan salam dan terima kasih padanya." ujar pemuda itu. Bocah biru itu terdiam sejenak, memandang lurus dan dalam ke arah mata Kagami.
"Teima kasih banyak, Kagami-nii. Maaf sudah melepotkan. Kapan-kapan, tolonglah mampil ke lumah kami. Aku akan sangat senang." Bocah itu bertutur dengan lisan cadelnya.
"Haha... Tentu." Kagami menjawab sekenanya. Agak bingung dengan kata-kata yang dipilih anak tersebut. Namun di lain sisi, Kagami tertawa dalam hati mendengar penuturan polos itu. Anak kecil memang polos. Masa dia disuruh main ke rumahnya sedangkan dia tidak tahu dimana rumahnya, ada-ada saja.
"Ayo, Tetsuya. Sekali lagi terima kasih, Kagami-san. Permisi." Pemuda itu menggandeng tangan anak yang disebutnya Tetsuya tadi. Sedikit membungkuk hormat pada Kagami sebelum akhirnya memutar tubuhnya dan berjalan menjauh dengan Tetsuya digenggamannya. Namun ia tersentak kaget melihat lebam biru di sekujur leher belakang dan betis Tetsuya. Lagi-lagi ia menepis pikiran buruk yang bergentayangan di kepalanya. Mencoba berfikir positif bahwa itu mungkin luka akibat terbentur, bukan akibat kekerasan. 'Kakaknya begitu baik, mana mungkin melakukan kekerasan pada anak semanis itu. Hah, aku benar-benar harus menjernihkan pikiranku dari kasus-kasus hari ini. Kasus-kasus itu membuat otakku berpikir yang tidak-tidak. Sialan si Hyuga-senpai, otakku jadi tercemar' batinnya. Kagami mendengus sebal sebelum akhirnya tersenyum kecil, apalagi ketika melihat Tetsuya menolehkan kembali kepalanya dan melambai kecil padanya yang langsung ia balas dengan lambaian juga. Ia kembali melangkahkan kaki dan akhirnya berbelok ke arah kiri menuju tujuan awalnya tanpa memerhatikan Tetsuya yang masih terus memandanginya—dengan binar memohon yang terpancar dari kedua matanya. Dan sayang beribu sayang, Kagami melewatkan seringai kejam yang selalu tersungging di bibir pemuda sipit yang menggandeng—lebih tepatnya mencengkram—tangan Tetsuya, yang tadi Kagami pikir adalah senyuman.
"Nah, Tetsuya. Moodku sedang buruk hari ini, jadi bersiaplah."
TBC~
Wah~ Apa ini, apa ini, apa ini? *jedukin kepala ke meja*
¡Hola minna~ Perkenalkan, nama saya Hyori Sagi. Ini cerita pertama yang saya publish di fandom ini, muehehe~ Sebenernya saya orang lama disini, tapi selama ini saya cuma jadi silent reader karena males login, tee-hee~~ *digebukin* Dan maafkan diri ini kalau bahasanya alay nan anta, ini kemunculan perdana saya setelah vakum hampir dua tahun~ =7= jadi maaf kalau kurang berkenan di hati~ /bungkukbungkuk/ Oh ya, soal tema cerita ini, saya ambil dari pemberitaan yang akhir-akhir ini sedang hangat di Indonesia kita tercinta ini. Ya penculikkan lah, penyekapan lah, pembunuhan lah, dan yang gitu-gitu lah(?) tentang anak-anak. Jadi agak gemes juga pengen bikin fict, ufu~
Dan tolong jangan gebukin saya dulu, saya masih mau hidup sampai UN nanti. /apacoba/
Kedua dari akhir, saya gak janji update cepet karena ini aja saya bandel nyuri waktu belajar padahal lagi UAS (mohon anak baik jangan meniru). Cuma karena takut lupa sama ini ide cerita, saya nekat aja deh~ (mohon jangan ditiru juga. Saya emang sesat) Soalnya saya pikunan~
Dan yang terakhir~~~ (entah kenapa saya denger ada yang bilang 'syukurlah, akhirnya ini author bawel mau udahan') Mohon kritik dan sarannya ditinggalin di kotak ripiu ya? /kedipkedip/ Agar cerita ini bisa lebih baik ke depannya~ Sankyu minna~~ Bubye~~ *dadah-dadah, ngilang*