A/N : Hi readers! Here Aimore is.

okay, mau curcol sebelumnya. Ni part agak susah dibuat. krn beberapa alasan. Sebenarnya udah ada rancangan alurnya. tp tiba-tiba di sini semuanya melenceng dr alur. Mgkn emang sy lagi eror. Otak n jari gak sinkron. Maklumi aja ya.

Dan oh ya, yg mengharapkan happy ending, gimana yaaaa... soalnya jauhhhh dari situ. Ini agak bad ending. pasti mengecewakan deh. Dr awal sy pernah bilang ini bad end kan ya? #apagak? ya walaupun waktu itu prnah sekali kayaknya blg kemungkinan bs NH hapend. haha.. Saya terlalu jauh melencengkan cerita, dan susah buat dibenerin lagi. huhuhu

tp kyknya sy udah bilang di sini. Ending gak sesuai harapan. kalau nanti ingin ngeluarin uneg-uneg, silakan aja keluarin. Saya akan terima dg senang hati kok

Okay guys. Daripada itu, mending berikan saya kritik dan saran aja ya.. haha Soalnya saya bener2 lagi eror. Dan tulisannya jd tambah gak karuan, amburadul. But, saya tetap berusaha buat nyelesaiin ini dg baik. Dan.. kita akhiri saja sampai di sini


Omong kosong! Pada akhirnya semua hal itu benar. Apa yang dikatakan Hinata benar. Omong kosong tentangku! Omong kosong cintaku. Uh! Rasanya ini seperti mimpi. Kau tahu Hinata? Apa kau tahu kenapa aku berkata begitu? Haha... Menyedihkan sekali untukku. Mana mungkin kau tahu. Bahkan barangkali kau sudah tak mau tahu tentangku. Apa kau sungguh-sungguh dengan pilihanmu? Benarkah kau telah meninggalkanku?

Uh! Rasanya biasa. Tapi di dalam sini sangat tersiksa. Tak tahu sebabnya. Apa kau kucinta? Ish.. Yang benar saja! Aku membencimu kan Hinata? Hei.. Bukankah aku pernah bilang bahwa aku membencimu selamanya?

Aku ingat. Ya, sangat melekat di otak tumpulku ini.

Tidak tahu yang selama ini aku rasakan dan yang kuinginkan. Segalanya tak masuk akal bagiku. Aku menginginkan pernikahan denganmu yang tak kucintai, malahan kubenci. Aku menggaulimu dengan dalih pemuas hasrat pria. Tidakkah itu masuk akal? Dari awal kau dan aku tahu. Tidak ada cinta untukmu. Tapi kenapa hal tak masuk akal itu aku lakukan padamu? Hey Hinata... Apa alasanku menikahimu? Benarkah aku ingin melampiaskan kekecewaanku?

Uh! Sungguh aku gamang. Perasaanku mengambang. Aku kalut dengan rasa absurd ini.

Kau baru melihat kan? Naruto yang kau cintai (mungkin) sebegini menderitanya karena cinta? Tidak. ini karena dirimu. Karena kau Hyuuga Hinata! Ah.. Aku baru mengingatnya. Bagaimana kau melihatnya, sementara kau tak di sisiku. Haha... Hinata, Hinata. Lucukah bila aku merindukanmu? Ish.. Jangan menghujatku dengan tak tahu malu. Ya.. Barangkali urat maluku telah terputus seiring tabiat brengsekku yang kian menguak.

Hari-hari kujalani tanpa arah pasti. Aku tak tahu, aku tak sadar, aku tak mengerti dengan ini. Genap setahun sejak saat itu. Kini salju tengah menghujaniku. Laksana dipukul habis-habisan oleh penyesalan. Sakitnya tak tergambarkan. Kenapa baru sekarang aku merasakan? Sakit ini. Rasa yang kutorehkan pada hatimu yang putih. Jika begini aku mengerti, bahwasanya aku bagai iblis yang telah menguraikan hati putihmu itu menjadi hitam; tak lagi suci.

Aku tak pantas untuk segala hal. Mungkin inilah balasan.

Satu hari biasa. Satu minggu tersergap rasa bersalah. Satu bulan terbuai lamunan kosong tak berasa. Dan satu tahun diselimuti luka tajam menyakitkan kapan saja. Selama itu aku hanya seorang yang lemah. Naruto yang tak memiliki siapa-siapa. Kau tahu Hinata? Mereka semua membenciku. Mereka mencaci-maki, mencela, menyalahkanku atas semuanya, semua yang terjadi padamu. Aku tak menepis tuduhan dan celaan itu. Kenapa? Karena itu benar tentu saja. Aku patut dibenci bahkan dibunuh karena telah menyakitimu. Telah menyia-nyiakan wanita sepertimu. Istri yang mencintaiku sebagai suamimu. Ne, Hinata.. Sekarang aku menyebutmu istriku. Apa kau senang? Atau justru keberatan?

Iya. Aku cukup tahu. Bukan salahmu jika sekarang kau membenciku. Bukan salahmu karena telah meninggalkanku. Kau hanya mencoba menuruti kemauanku. Bukan begitu Hinata?

Sungguh, aku menginginkanmu Hinata. Bisakah.. Kau kembali? dan mengizinkanku mengulang semuanya dari awal lagi? Jangan tanya atas alasan apa aku memintamu kembali. Aku pun tak tahu sama sekali. Sungguh!

Hinata.. Aku hanya ingin, kau di sini. Kembali padaku, kembali ke sisiku... dan kembali mencintaiku.


Wanita yang Kunikahi, Wanita yang (selalu) Kusakiti(?)

Part VI

.

.


Butir –butir putih dingin itu terus terjun menetapi daratan Negeri Sakura. Salju yang kembali hadir setelah musim-musim lain berlalu. Terhitung musim dingin yang kedua setelah kepergiannya. Setelah hidupnya yang seorang diri tanpa siapapun di sisinya.

Naruto menarik pintu mobilnya kasar. Perlahan ia duduk di jok kemudinya. Ia harus tahu! Ia sudah bertekad untuk itu. Cukup satu tahun saja ia berdiam diri tanpa melakukan apa-apa. Hei! Hinata adalah istrinya. Bagaimanapun juga mereka masih memiliki ikatan yang harus dipertahankan.

Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Perkiraannnya untuk mencari keberadaan Hinata di sana barangkali adalah benar. Sialnya baru sekarang ia melakukannya.

'Tch!'

Naruto mengemudi dengan gusar. Perasaannya tak enak. Perutnya terasa mual. Dadanya begitu sesak.

Tiga puluh menit bukan waktu yang terhitung lama. Ia hampir sampai di tempat itu dengan maju beberapa puluh meter saja. Gerbang rumah itu tampak tertutup kokoh. Naruto urung memacu mobilnya lantaran gerbang itu perlahan tapi pasti mulai terbuka, menampakkan mobil putih yang sangat ia kenali siapa pemiliknya. Ia memicing, menerka siapa yang ada dalam mobil yang baru saja keluar dari rumah yang hendak didatanginya.

Seketika itu Naruto terbelalak, jantungnya berpacu lebih cepat. Namun ia lekas mendapatkan kesadaran ketika mobil itu nyaris menuju padanya. Dengan gerakan sigap ia membanting setir ke kanan, menghadang jalan mobil yang hendak melintas itu.

Naruto keluar dari mobilnya. Langkahnya berat menuju mobil yang tengah berhenti tepat di depannya. Ia menyandarkan kedua tangan pada kap mobil. Netra birunya menatap sayu sosok di dalam sana. Sosok yang sangat dirindukannya.

"Hinata..." gumam Naruto.

Sasuke mendecih. "Tch.. Apa yang dia lakukan?"

Sasuke menurunkan kaca jendela mobilnya, dari situ kepalanya melongok ke depan. "Hey brengsek! Apa yang kau lakukan?! Menyingkir dari situ!" bentaknya kesal. Kedatangan pria tak diundang itu sontak saja membuat harinya yang semula cerah menjadi buram tak berwarna.

"Aku ingin Hinata." kata Naruto pelan. Suara yang biasanya berat saat ini terdengar tanpa daya.

"Tch.. Hinata tidak ada." balas Sasuke sinis.

Naruto melirik Sasuke sekilas lantas kembali berbicara, "aku tidak ada urusan denganmu Sasuke. Yang aku inginkan hanya Hinata."

"Kau-"

"Biarkan dia Sasuke!"

Sasuke mendelik pada pria yang bicara seenaknya itu.

"Apa-apaan kau Aniki.. Aku tidak sudi dia bertemu dengan Hinata. Kau lupa? Dia yang sudah membuat Hinata menderita!"

Pria itu mendesah. "Ini urusan Naruto dan Hinata Sasuke, biar mereka yang menyelesaikannya. Kau jangan terlalu ikut campur. Bagaimana Hinata?" ia beralih memandang wanita di sampingnya.

"Aku..."

"Temuilah Naruto Hinata. bagaimanapun juga kau harus menyelesaikan masalahmu dengannya. Jangan terus lari, kau harus menghadapi. Ingat, kau punya aku yang selalu ada untukmu."

Hinata tersenyum pilu. "terimakasih.. Kak Itachi." katanya kemudian keluar menemui pria yang berdiri dengan tubuh tak setegap dulu.

"Aniki. Apa-apaan kau! Kita harus segera pergi.." Sasuke masih saja kesal dengan tingkah kakaknya yang tak ia mengerti maksudnya.

Itachi tertawa kecil. Dengan raut jenaka ia berkata, "biarkan saja Sasuke. Lagipula ada atau tidaknya Hinata kau tetap akan pergi kan? Tenang saja, setelah aku mengantarmu ke bandara aku akan segera kembali dan melindungi Hinata. Seperti waktu-waktu sebelumnya."

Itachi memandang Naruto yang melangkah pelan menyusul Hinata yang sudah berjalan menuju halaman rumahnya. Terlihat rahangnya sedikit mengeras.

Ia ingat semua yang telah terjadi setahun belakangan ini. Berawal dari ia yang waktu itu dimintai tolong oleh Sasuke untuk mengawasi Hinata sewaktu di rumah sakit, membawa wanita itu ketika pingsan, merawatnya, menghiburnya. ah! Semuanya terlalu banyak untuk ia sebutkan satu per satu. Banyak sekali hal yang sudah ia lakukan untuk Hinata ketika wanita itu terbebas dari penjara deritanya.

Itachi tidak pernah tahu apa alasan Naruto membenci Hinata. Setahunya wanita itu sosok yang sempurna. Hinata cantik, baik hati, juga lemah lembut. Entahlah. Sisi-sisi kebaikan ada pada diri Hinata. Tapi, kenapa Naruto bisa membencinya?

Ia tahu hal itu karena Hinata yang menceritakannya. Meskipun sudah lebih dari tiga tahun ia tidak tinggal di Tokyo, namun ia tahu tentang Naruto dan Hinata dari adiknya. Dan ujungnya ketika dikabarkan padanya saat terjadi kecelakaan yang menimpa adiknya, juga tiga orang lainnya. Ia langsung terbang dari Norwegia untuk melihat kondisi adiknya yang bagai makhluk tak bernyawa setelah kehilangan Sakuranya.

Sampai sekarang pun Itachi tak habis pikir. Bagaimana sebenarnya perasaan Naruto pada Hinata? Jika benar dia membencinya, lantas mengapa dia harus repot menemuinya sekarang?

Entah. Apapun itu. Itachi mengharapkan sesuatu terbaiklah yang menimpa Hinata. Karena ia, sudah begitu menyayanginya. Bahkan mencintainya. Walaupun Hinata sudah jelas menolak perasaannya. Karena apa? Naruto tentu saja.

"Huh!"

Bagaimanapun juga ia merasa iri dengan Naruto, pria yang dicintai Hinata. Akan tetapi bodohnya dia yang justru menyia-nyiakan cinta yang begitu tulus terhadapnya.

"Yayaya.. Terserah." jawab Sasuke malas. Ia kemudian memerintahkan sopir untuk melanjutkan perjalanannya yang sempat tertunda.

"Apa yang kulakukan ini benar, Sakura?"

Sasuke mendesah kasar. Mungkin yang Itachi katakan ada benarnya. Sekarang ia hanya perlu percaya pada Hinata. Ya, wanita itu pasti memilih yang terbaik untuknya.

.

.

.

.

.

"Namikaze Hinata.."

Hinata menarik sudut bibirnya perlahan. "Maaf, kau salah orang. Aku bukan Namikaze Hinata. Aku Hyuuga Hinata." paparnya tenang.

Lidahnya mendadak kelu. Untaian kata rindu yang hendak diuarkannya tercekal tanpa bisa dibebaskan.

"Hinata.." Naruto merintih menyebut nama wanita yang sekarang berdiri tegak di hadapannya. Tidak membungkuk seperti pembawaan biasanya.

Kenapa? Kenapa baru sekarang Naruto mengucapkan nama itu? Kenapa baru sekarang dia menganggap kehadirannya? Kenapa baru sekarang dia menemuinya? Menatapnya dengan wajah terluka. Ada apa dengannya? Bukankah seharusnya dia bahagia? Wanita pengganggu telah pergi dari hidupnya. Lantas mengapa dia sekarang ada di hadapannya? Berbicara padanya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

Naruto yang seperti ini justru membuat luka lama Hinata kembali terbuka. Luka yang telah rapih terjahit itu kini beralih robek, menganga. Padahal biar saja ia hidup dengan pilihannya. Ia sudah cukup tenang dengan kehidupannya tanpa dia. Ia sudah berangsur-angsur melupakan cinta yang diperuntukkan pria itu. Kenapa dia harus muncul kala hatinya tengah mencoba merelakan segalanya? Kenapa harus memanggilnya ketika ia sendiri bahkan sudah lupa dengan nama impiannya? Namikaze Hinata. Nama terindah yang pernah diharapkan seorang Hyuuga Hinata. Namun baru sekarang ia mendapati nama impian itu disuarakan oleh pria yang masih merupakan suaminya. Pria brengsek yang telah menghancurkan hatinya.

Bukan kebahagiaan yang ia dapat. Justru kesengsaraan yang kian merambat. Ia tidak mengerti dengan ini. Tidak menyangka, dan tidak percaya. Naruto yang ada di hadapannya nyata. Benar-benar Naruto, pria yang dicintainya. Dari dulu bahkan sampai saat ini. Hinata tak menampik fakta itu. Meskipun keadaan jauh berubah, akan tetapi hatinya sama sekali tidak berubah. Ia tetap mencintai pria itu.

"Ada apa kau menemuiku?" tanya Hinata datar.

Manik Naruto membulat. Alisnya melengkung. Apa ia salah dengar? Barusan, Hinata berkata datar padanya? Pada pria yang dicintainya? Ah! Kau terlalu percaya diri Naruto.

Naruto meringis. "Apa kabar?" tanyanya dengan suara parau. Ia sama sekali tak menyangka jika dengan melihat Hinata kembali setelah setahun lamanya hatinya akan sesakit ini. Perih.

"Baik. Sangat baik malah. Bagaimana denganmu? Sepertinya kau sudah bahagia ya? Oh ya, di mana istrimu?" Hinata melayangkan kata per kata dengan wajah datar, bahkan rautnya begitu kaku.

Naruto mengernyit tak suka. "Hinata.. Aku tidak menikah dengan siapapun selain dirimu." jelasnya dengan mimik menahan tangis. Mendapati Hinata yang seperti ini sungguh memancing tangisnya untuk keluar. Hinata sekarang sangat jauh berbeda dengan Hinata yang ia kenal. Hinata istrinya, wanita yang mencintainya.

"Oh." Hinata bergumam singkat.

Netranya menyipit, menahan gejolak sesak yang kian menghimpit dadanya. Beginikah akhirnya?

"Kurasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan Namikaze-san."

Ia melenguh, Naruto menatap tanah pijakannya. Manik sayunya telah menumpahkan air mata. Ada apa dengan Hinata?

Sakit sekali rasanya. Hinata menganggap dirinya orang asing. Hinata seolah tak mengenalnya.

Kenapa rasanya sangat sakit diperlakukan demikian? Seolah ribuan jarum menghunjam jantungnya berulang-ulang, membuat ngilu yang menyiksa.

Apa seperti ini perasaan Hinata selama bersamanya? Sebegini menyakitkannyakah yang pernah ia lakukan pada Hinata?

Ia sedikit mengangkat kepalanya, kondisinya yang seperti ini sangat tidak patut untuknya. Sesaat ia terhentak oleh kepingan memori kecil yang merangkak.

"Hinata, perutmu? Apa anakku sudah lahir? Dimana dia?" Naruto menanyakan keheranannya sekaligus.

Wanita itu membalikkan tubuhnya, menghadapkan punggung kecilnya pada pria yang menatapnya lekat.

Hinata menelan ludah. Kepalanya ia angkat, menghalau turunan bulir yang mungkin akan kembali melemahkan dirinya. "Dia sudah pergi dengan membawa semua luka masa lalu ibunya." terangnya dengan suara bergetar.

Ia tak mampu menahan kesedihan tatkala mengingat hal ini. Bayinya yang tak bertahan hidup lebih dari satu jam. Miris sekali, kelahiran anak itu seolah pertanda baginya untuk terus melangkah, mengajaknya meninggalkan masa lalunya yang buruk. Anak yang hanya bisa ia gendong beberapa menit saja. Anak yang mungkin tidak pernah diinginkan eksistensinya oleh ayah kandungnya sendiri. Barangkali itulah alasannya. Anak itu pergi karena ayahnya tak menginginkannya.

"Apa maksudmu Hinata?" Naruto memicing, sedikit was-was akan hal buruk yang akan diberitakan padanya.

"Sudah jelas bukan? Dia sudah MATI. Anak dari wanita sialan ini sudah mati. Dan oh.. ya, jangan pernah sebut anakku dengan anakmu. Karena aku tidak pernah mengandung anakmu." Hinata terengah-engah usai mengoarkan segala kenyataan pahit yang cukup lama disimpannya.

Naruto tertegun. Sedetik saja udara di sekitar terasa menipis, serta rongga dadanya makin menyempit.

Benarkah? Apa itu benar yang dikatakan Hinata?

Naruto meringis, ternyata janin yang pernah ia sumpahi mati sebagai ganti janin Sakura... Hal itu benar-benar telah terjadi. Kejamnya! Kejamnya! Kejamnya ia! Kejamnya ia, si brengsek yang sungguh tak punya hati. Sekarang apa yang mesti ia lakukan? Menarik sumpahnya waktu itu? Apa dengannya bayi Hinata akan kembali hidup?

Huh! Konyol!

Naruto menyentuh bahu Hinata yang bergetar. Ia merasakannya. Merasakan segala kesakitan Hinata selama ini. Uh! ya, memang teramat sakit. Bodohnya ia! Brengseknya bajingan ini! Berapa banyakpun penyesalan tak akan mengembalikan keadaan. Ia yang telah menciptakan situasi demikian. Dari awal ialah yang memainkan permainan ini. Dan sekarang ia pulalah yang harus bertahan dengan semua risikonya.

Safir redupnya menatap jemari Hinata yang tersampir di samping tubuhnya. Jemari lentik yang tersemat suatu benda di satu jarinya. Sudut bibirnya berkedut ringan. Sekelumit asa hinggap di hatinya.

"Hinata, kau masih memakainya?" tanyanya dengan senyum pahit. Ngilu batinnya. Rasa bersalah kian menumpuk menyambangi hatinya.

Hinata tertawa kecil, mengangkat tangannya. Maniknya terpejam sesaat menatap benda yang melingkar di jari manisnya.

Dengan gerakan pelan ia memutar direksi pandangnya. Manatap air muka pria yang memandang dirinya seolah sosok yang begitu terluka. Padahal dia sendiri yang tampak terluka.

Ia menarik cincin itu sekuat tenaga. Terlepas dengan meninggalkan bekas merah. Hinata beranjak lantas membungkuk mengambil sesuatu yang diperlukannya.

Kreak

Kelopak itu masih membulat. Menggerayangi ketidakmengertiannya akan apa yang baru saja ia lihat.

"Apa yang kau lakukan?"

Tenggorokan Naruto tercekat. Mulutnya menutup rapat. Bola matanya bergetar tak percaya dengan yang dilihatnya.

Hinata menghancurkan cincin itu! Dia menghancurkannya! Apa itu tandanya... Dia telah mengakhirinya? Ini sama saja dengan perceraian!

Dia telah memutus ikatan ini! Dia menyibakkan tanda berakhirnya hubungan ini! Pernikahan sudah musnah! Dia telah mengakhirinya! Mengakhiri segala hal yang membuatnya menderita.

Hinata sekarang laksana Dewi yang telah mengibaskan sayap ketegarannya, dan terbang tinggi meninggalkan pria yang dirundung kepedihan yang ia tuaikan padanya.

Rasa mual itu semakin menyelinap. Sama sekali tidak enak! Perutnya bergolak entah karena apa. Tidak hanya itu, bahkan dadanya pun demikian. Tak kalah menderaikan luka lara.

Kenapa Hinata melakukannya? Uh! Kenapa dia dengan mudahnya mengakhiri hal yang ingin diperbaikinya? Kenapa waktu membawa banyak sekali perubahan padanya? Hinata benar-benar mengakhirinya di saat ia tengah berusaha memperbaiki kesalahannya. Apa memang sudah tak ada kesempatan untuknya? Apa ia tidak pantas hidup bersamanya? Tidak pantas menjadi suaminya?

Hinata mengelap sisa air mata yang membekas di pipinya lantas berbalik menghadap. "Cukup sampai di sini saja semuanya. Selamat tinggal." lirihnya seraya berjalan pelan meninggalkan pria yang menahan isak tangisnya agar tak keluar.

"Hinata.." Naruto meratapi penderitaannya saat ini. Nama Hinata yang ia suarakan begitu menyakitkan. Bagaikan ia menyulam lukanya sendiri dengan melesakkan nama itu.

Lututnya jatuh menghantam tanah. Tubuhnya bergetar hebat. Tangisnya pecah menyebabkan air mata turun menderas.

"Hwaaarghhhh!"

.

.

.

.

Ia beringsut meraih tiang penyangga. Sembari menahan perihnya ia berjalan gontai menuju pintu rumahnya yang berjarak beberapa meter dari tempatnya.

Tubuhnya menghantam pintu kayu yang barusan digebraknya. Hatinya sakit. Sangat sakit. Dadanya nyeri hebat. Ngilu dahsyat bergejolak. Entahlah. Pada dasarnya sakit ini tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Air mata tak henti-hentinya menuruni garis rahang yang biasanya tegas itu. Ia memang seorang pria. Tak apa kan jika ia menangis? Apa salah? Kendati ia adalah pria tak menjadi alasan untuk pantang menangis. Bagaimanapun juga ia hanyalah manusia biasa. Manusia tak tahu diri yang buta arah.

Ia menyesal. Sangat menyesal. Pantaskah penyesalan ini?

Bahkan ia sendiri ragu apakah ia pantas menyesali semua perbuatannya. Segalanya berjalan tanpa ia duga akan sebegini rumitnya. Begini sakitnya.

Ia memang memulai hubungan ini dengan cara yang salah. Pernikahan ini adalah kesalahan. Pernikahan yang sudah diakhiri Hinata hanya memupuk kesedihan dan penderitaan. Namun ia idak menyangka. Tidak pernah menduga bahwa sakitnya begini menyiksa. Ia tidak mengira bahwa ia akan mengalaminya, penyesalan tiada batas. Sesal ini terus menghantui hidupnya. Mengoyak hatinya lamat-lamat. Hingga perlahan tapi pasti egonya luruh. Semua harga dirinya tak bernilai apapun lagi. Dirinya bagai tiada arti.

Perasaannya rumit. Pikirannya kacau. Hatinya tercecer berantakan. Ia laksana tak memiliki haluan. Bingung, gusar. Serasa hidup tak memihak padanya.

Keadaan ini bermula dari kebenciannya pada Hinata. Tentu saja, ia masih ingat betul hal ini. Naruto tertawa menurunkan luncuran air mata lainnya.

Ternyata hal yang buruk memang selalu berakhir buruk ya? Jika begitu, apa jika ia tak membenci Hinata. Jika ia tak menikahi Hinata karena amarah sesaatnya. Jika ia tak menyakiti Hinata terlalu dalam. Semuanya akan berakhir indah? Begitukah?

Atau ini memang takdirnya?

Menggelikan sekali!

...

Lalu apa yang aku harapkan sekarang?

Hinata sudah tidak menginginkanku. Menyedihkan sekali aku merasakan hal ini. Ketika hidupku tidak ada seorang pun yang menginginkannya.

Dia tidak membutuhkanku. Bahkan Hinata tampak bahagia tanpa kehadiranku.

Apa wanita dalam penjara derita itu akhirnya berbahagia?

Benarkah kau sudah mengerti arti bahagiamu?

Bagaimana denganku Hinata?

"Aaakhh.."

Manusia busuk! Aku sungguh muak dengan diri ini.

Aku mungkin terlalu naif untuk mengakui bahwa aku mencintaimu. Sejak kapan? Dan, bagaimana bisa?

Aku tidak tahu! Meskipun aku tahu tidak akan ada gunanya. Sudah terlambat. Ikatan ini tidak ada artinya. Rumah tangga yang beberapa bulan kujalani bersamamu percuma.

Ya! Aku tahu semua salahku. Keegoisanku, kebengisanku, sisi-sisi burukkulah yang menyebabkan hal ini.

Bilamana tak ada penyesalan, barangkali aku tak menyadari cinta yang kupunya. Kendati secercah rasa namun begitu besarnya melesatkan panah luka.

Apa aku terlalu mudah menyimpulkan segalanya?

.

.

.

.

.

"Hinata, apa saja yang si brengsek itu katakan padamu?"

Hinata mengulum senyum paksa. "Entahlah. Yang pasti aku sudah mengakhirinya."

Itachi mengangguk paham. Mendesah pelan ia lalu berjalan mendekat. "Jadi.. Cincin itu, akhirnya kau menghancurkannya?" tanyanya sembari melirik jari yang semula bertengger benda manis di sana.

Tertawa hambar Hinata lantas meraba permukaan jari-jemarinya. Menatap pilu bekas benda yang tak lagi didapati ada pada jari manisnya.

"Semuanya sudah berakhir. Kak Itachi, bukankah aku harus terus melangkah?"

Itachi tertegun.

"Sekarang aku sudah merelakannya. Kehilangan anak itu, mengakhiri hubungan yang menyakitkan bagiku. Melepaskan... Naruto-kun. Mungkin satu tahun memang belum cukup untuk benar-benar melepaskannya. Aku sudah mencoba sekuat yang aku bisa. Tapi aku tak tahu kenapa di sini sakitnya kembali terasa. Aku tak bisa mengelak bahwa aku masih sangat mencintainya. Apa pilihanku benar? Apa dengan melepaskan ikatan dengannya akan menghilangkan semua luka yang pernah ada?"

Hinata melirik Itachi yang tak kunjung menanggapi perkataannya.

Ia beralih duduk di atas sofa. Menyentuh bahan halusnya. Mendadak sekelumit perasaan rindu menyergapnya. Ia rindu pada sentuhan mantan suaminya. Meskipun sentuhan-sentuhan dulu itu tidak didasari cinta namun rasanya begitu jelas menjejak di seluruh sisi tubuhnya.

"Hinata.. Apa sekarang tandanya kau mau memulainya kembali? Apa kau sudah mau... menerimaku?"

Lamunan Hinata tersentak. Ia menggelengkan kepala, berniat mengenyahkan pikiran aneh yang sempat melekat di otaknya tadi.

"Maaf Kak. Aku tidak tahu."

"Tidak masalah. Beritahu aku jika kau sudah siap dengan perasaanku." Ujar Itachi gamblang. Rautnya santai mengatakan hal itu, tanpa secuilpun tekanan nampak di wajah tampannya.

.

.

.

.

.

.

"Mau apa kau kemari?"

"Mana Hinata?"

Itachi mendengus, "apa belum jelas semua yang sudah dikatakannya?"

"Mana Hinata?!" Ulang Naruto. Ia memberi penekanan pada ulasan ulangnya.

Ia menghela napas bosan lantas mendecak.

"Hinata!"

Naruto menghampiri Hinata yang terpaku di ambang pintu.

Satu menit terpekur dalam lamunan Hinata tersadar beberapa saat kemudian ketika Naruto menguraikan kata, "Hinata.. kita harus bicara."

"Tidak ada yang perlu dibicarakan." sahut Hinata acuh. Ia melengos, menghindari kontak mata dengan mantan suaminya.

"Jelas banyak hal yang perlu dibicarakan. Hinata, kau tidak bisa begitu saja memutuskan pernikahan ini hanya dengan menghancurkan cincin itu."

Hinata melayangkan tatapan tegas. "Lantas apa yang kau mau aku lakukan?"

"Dengar Hinata. Cincin itu hanya simbol. Kau tidak boleh menganggapnya arti hubungan sakral. Kau masih istriku. Jadi, kembalilah bersamaku."

Bibir itu tak kuasa menahan senyum sinisnya tidak menguar. Hinata mengerling pria itu seakan menantang. "Jadi maksudmu... Sekarang kau mengakuiku sebagai istrimu?"

Naruto terdiam. Perkataan Hinata tak ayal membungkam mulutnya untuk menyanggah.

"Huh! Haha.. Konyol! Gila! Lelucon macam apa itu? Kau kira siapa yang membuatku seperti ini? Sepertinya sedang ada yang lupa dengan kebrengsekan yang pernah dilakukannya."

Pria itu masih bungkam. Seraya otaknya memutar kepingan-kepingan memori yang pernah singgah di dalamnya. Ia memang sudah sangat keterlaluan menyakiti wanita ini.

"Kukira kau sudah sadar. Pernikahan itu tidak pernah ada. Pernikahan Hyuuga Hinata dengan Namikaze Naruto tidak pernah ada. Karena apa? Tidak ada cinta. Pernikahan itu hanya permainan manusia yang buta karena cinta." Hinata memejamkan matanya sesaat.

"Lupakan semua yang pernah ada. Lupakan aku. Lagipula... Bukankah kau membenciku? Untuk apa datang kemari seolah mengemis belas kasih. Kau hanya mempermalukan dirimu sendiri kau tahu?"

"Sudah cukup Nyonya?"

Hinata terhenyak.

Naruto menghela napas panjang. "Pertama, aku minta maaf atas semuanya. Perlakuanku padamu, kebencianku, segala kekejaman yang kulakukan padamu. Kedua, aku sangat sadar. Aku menyesal. Andai bisa kuulang, aku ingin menikahimu dengan cara yang benar. Ketiga, aku mencintaimu Hinata. Apa itu tidak cukup untuk membuatmu memaafkanku?"

Wanita itu menunduk. Rasanya perih seketika mendengar kata demi kata Naruto yang menggetarkan hatinya. Meskipun ia berlagak tegar, namun hatinya tetap saja rapuh. Ia sensitif dengan hal yang berhubungan dengan cinta. Terlebih, Naruto bilang bahwa ia.. Mencintainya?

Rasa sakit membelenggunya. Sakit. Selalu sakit ketika ia harus berurusan dengan hal sederhana tapi rumit ini. Kenapa mesti ia yang harus merasakannya? Semua tingkah Naruto sekarang yang berbalik seratus delapan puluh derajat membuat ia gelisah. Membuat pagar pembatas yang dibangunnya runtuh sedetik saja mendengar pernyataan cinta darinya.

"Huh.. Kau memang sudah gila!" tukas Hinata.

"Dan aku gila karenamu Hinata. Berhentilah berpura-pura tegar di hadapanku. Kenapa? Apa sebegitu sulitnya untuk kau bisa menerimaku? Apa alasanmu Hinata? Kau masih mencintaiku. Sangat jelas bahwa kau masih sangat mencintaiku. Iya kan?"

Hinata membuang muka. "Kau terlalu percaya diri Namikaze. Sejak kapan aku mencintai pria sepertimu? Dan juga.. Kau jangan berlagak tahu banyak hal tentangku."

Naruto menjulurkan tangannya, meraih bahu kecil yang sudah lama tak disentuhnya. Ia mendekap pelan tubuh wanita yang pernah menjadi istrinya itu. Walaupun sampai saat ini pun ia masih menganggap wanita ini istrinya.

Hinata terkesiap. Tubuhnya serasa dilem di tempat.

"Hinata... Aku mencintaimu. Kumohon, kembalilah..".

Getaran suara Naruto tertangkap membran timpaninya. Ia menangis, tetes-tetes air mata berkumpul di pelupuk, lalu terjun bebas membawa butir sesak yang membengkak.

Aroma ini sangat dirindukannya. Aroma tangguh yang dulu setiap malam ia harapkan untuk merasakannya.

Kenapa baru sekarang? Kenapa segalanya terjadi setelah ia menyerah-tidak! berhenti?

Rasanya seperti mimpi ia bisa merasakan kehangatan seperti ini. Ia pasti bahagia jika ia merasakannya dulu. Sekarang tak lagi sama. Ini salah! Tidak seharusnya ia menerima perlakuan Naruto yang berbalik mengejarnya. Tidak boleh! Ini tidak boleh. Hinata tidak boleh begitu saja menerima Naruto dalam kehidupannya saat ini. Ia sudah bertekad untuk melepaskan segala hal yang berkaitan dengan Naruto. Ia tidak ingin mengingkari tekadnya sendiri. Tidak boleh!

"Lepaskan..." lirih Hinata. Isak tangisnya keluar bersahutan dengan air mata yang menjejaki pipinya.

Naruto mempererat pelukannya. Ia tidak ingin melepaskan wanita ini. Ia enggan melepaskan wanita yang kini ia inginkan.

Sudah cukup enam bulan dengan kepalsuan. Dengan ikatan semu. Ia ingin semuanya berjalan lebih baik mulai sekarang. Naruto ingin kehidupannya kembali normal. Keluarga yang utuh, dengan Hinata sebagai istrinya.

Ia ingat, dulu ia selalu bersetubuh dengan Hinata tanpa cinta. Melakukan hal intim dengan nafsu birahinya. Hinata pasti mengira bahwa ia melakukan semua itu dengan kesadaran mengambang. padahal Naruto seringkali melakukannya dengan kesadaran penuh. Tentu saja Hinata tidak menyadarinya.

"Lepaskan.."

Suara lirih Hinata kembali terdengar. Naruto mengendurkan dekapannya. Sejenak ia tenggelam dalam pikiran masa lalunya.

Hinata mendorong tubuh Naruto keras.

Pria itu tersentak. Ia menatap Hinata pilu.

Hinata mengelap air mata di sekitar wajahnya. Dadanya bergetar. Punggungnya berguncang.

Sesak!Sesak! Sesak!

Nyeri. Perih.

"Lupakan bahwa kau pernah menjumpai wanita sepertiku dalam hidupmu. Pergilah, dan jangan menemuiku lagi. Aku.. sudah tidak mencintaimu lagi."

Manik Naruto membulat. Bibirnya bergetar.

Akhirnya! Ternyata beginilah akhirnya. Hinata benar-benar telah meninggalkannya.

Pada akhirnya ia dihadapkan dengan semua hal buruk semacam ini sebagai balasan.

Sakit tiada tergambarkan. Sakit begitu sakitnya. Laksana hatinya yang telah hancur berkeping-keping kini terkoyak hingga menjadi remah-remah bahkan partikel paling kecil yang terhempas udara.

Ia berlalu meninggalkan masa lalu. Meraih masa sekarang dengan jalan terbaik yang ia pilih. Hinata menutup pintu kamarnya keras. Tubuhnya bersandar pada balik pintu. Isakannya menguat. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kondisinya begitu memilukan. Kesemua bagian sensitif tubuhnya serta merta menyerukan kesakitannya. Kakinya melengkung, sedetik kemudian tubuhnya merosot, beringsut menubruk lantai yang dingin.

Naruto menahan napas. Kedua tangannya mengepal di sisi badan. Rahangnya kaku, mengeras.

"Tch.. Sial!"

"Lebih baik kau pergi sekarang Naruto."

Safir itu menatap tajam pada oniks yang seakan menggambarkan seberapa dalam ia direndahkan.

Naruto berjalan cepat. Sekilas sebelum melewati Itachi ia sempat menyenggol bahu tegap itu kasar. Merebakkan aura permusuhan.

Toktok

"Hinata? Keluarlah, dia sudah pergi." ujar Itachi lembut.

Ia kembali mengetuk pintu itu. Menunggu beberapa saat namun belum juga Hinata keluar dari ruangan itu.

"Hinata?"

Cklek

"Kau tidak apa-apa?" Kecemasan menggelantung pada mimik Itachi.

Hinata tersenyum lemah. Ia menggeleng. "aku tidak apa-apa." ulasnya sengau.

Tangan kekarnya menumpu pada mahkota indigo wanita itu. Ia mengelusnya pelan. Sembari menenangkan kekalutan Hinata Itachi berkata, "jangan terlalu memaksakan diri. Aku memang menyuruhmu untuk terus melangkah ke depan, tapi bukan berarti kau harus membohongi perasaanmu sendiri. Jangan menyangkal perasaan itu. Kau jelas masih sangat mencintai Naruto,"

Itachi menarik napas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya perlahan-lahan. "Kejarlah dia. Kembalilah padanya Hinata. Lagipula bukankah Naruto mencintaimu sekarang? Apalagi yang kau ragukan?"

Hinata menggeleng.

"Jangan sampai kau menyesal Hinata. Berilah Naruto kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya."

"Aku tidak-"

"Ikuti kata hatimu. Bukan egomu."

Hinata tak lagi menyanggah. Ia menggigit bibir bawahnya. Apa yang dikatakan Itachi adalah benar? Apa ia harus mempercayai pria itu?

Itachi berkata tulus, "Hinata, percayalah pada dirimu sendiri. Lakukan apa yang hatimu inginkan."

"Kak.. Itachi.."

.

.

.

.

.

Hinata mengatur napasnya yang terengah-engah. Berlari cukup jauh dari tempatnya sampai sini sungguh menguras tenaga. Keringat mengucur membasahi tubuhnya.

Ia mendongak, memandang gerbang tinggi di hadapannya. Tangannya meraba permukaan besi yang tidak juga berkarat. Tempat ini.. Sudah lama sekali ia tidak kemari. Untuk apa kemari?

Eh?

Mendadak ia tersentak. Untuk apa ia di sini? Tempat yang menjadi kenangan buruknya selama ini. Kenapa ia bisa sampai di tempat ini? Bagaimana bisa kakinya mengayun langkah sampai kemari? Ia tidak tahu! Hinata tidak tahu menahu kenapa tiba-tiba ia berlari setelah mendengar penuturan Itachi. Ia tidak sempat berpikir apa-apa sehingga begitu saja berlari. Ia bahkan sampai melupakan ada bus atau taxi sebagai sarana transportasi. Bodohnya ia yang begitu ceroboh dengan berlari sejauh ini. Ada apa dengannya?

Hey Hinata bodoh! Apa yang kau lakukan di sini? Rasanya seperti orang bodoh yang tak tahu diri. Aku bukan lagi Hinata istrinya. Aku hanya wanita yang bukan siapa-siapa. Huh!

Hey kaki dungu! Kenapa kau berlari sampai sini? Apa yang membuatmu kemari?

"Hinata, percayalah pada dirimu sendiri. Lakukan apa yang hatimu inginkan."

Apa benar? Apa benar ini yang hatiku inginkan?

Hey hati! Mengapa kau menginginkanku kembali ke tempat ini? Apa alasanmu?

"Jangan terlalu memaksakan diri. Aku memang menyuruhmu untuk terus melangkah ke depan, tapi bukan berarti kau harus membohongi perasaanmu sendiri. Jangan menyangkal perasaan itu. Kau jelas masih sangat mencintai Naruto."

Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta? Cin-ta?

Benarkah hati? Benarkah karena cinta kau membawaku ke sini?

Sulit mempercayainya sungguh! Haha.. Mungkin logikaku kembali bermasalah. Jelas-jelas aku sudah menolaknya. Aku sudah menolak Naruto. Menolak permintaannya, menolak pernyataannya.

Apa tidak punya muka sehingga aku bisa kemari?

Hinata idiot! Apa kau tidak punya rasa malu? Di mana malumu itu?

"Pulang saja. Kau hanya akan tambah menderita jika kembali ke rumah itu."

"Masuklah. Ada kebahagiaan yang menantimu di sana."

"Akkhh..!"

Ia maju satu langkah. Perlahan tapi pasti tangannya bergerak membuka gerbang itu.

Sedetik... Dua detik. Beberapa detik saja terasa sangat lama. Ia menatap lurus apa yang apa di balik pintu gerbang besar ini.

Matanya membulat. Darahnya berdesir menyelak cepat; napasnya terhenti sesaat.

Akh! Sakit lagi.

Bukan di hati, tapi di rongga dada bagian kiri.

Uh!

Semu.

Aneh.

Sulit didefinisikan.

Lelah. Barangkali hatiku sudah benar-benar meninggalkan tubuh ini. Mungkin dia juga teramat lelah dengan penderitaan selama ini. Tidak masuk akal. Memang demikian. Lantas apa alasan yang logis daripadanya? Entahlah.

Deg.. Deg

Siapa wanita pirang itu? Kenapa dia dan Naruto-kun berpelukan seperti itu?

Hinata mengatur napasnya yang memburu. Hidungnya ngilu, serasa arus deras tengah melewatinya.

Apa dia istrinya? dan bayi di kereta itu anak mereka? Siapa sebenarnya? Tapi dia bilang dia hanya menikah denganku. Apa dia berdusta?

Uh! Entahlah. Apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang dia sembunyikan dariku, aku sama sekali tak mengerti.

Tapi... sakit di sini.

Aku tak bisa berpikir apa-apa lagi. Yang saat ini kurasa... Aku terluka untuk ke sekian kalinya. Aku merasa kembali dikhianati. Aku seperti dihempaskan ke jurang paling dasar untuk hitungan yang tak kutahu ke berapa. Baru beberapa saat saja aku ingin merisaukan egoku dan mencoba kembali padanya. Kenapa dia menerjangku dengan luka yang sama? Luka yang membawa kesengsaraan jiwa.

Semu! Kosong! Aku tak merasakan apa-apa. Tapi, aku benar-benar seolah hancur. Raga ini hancur bersama tiap bagian sistemnya.

...

Cukup! Aku tak mau melanjutkannya! Aku muak! Aku lelah! Aku jenuh!

Sudah cukup!

Biarlah cerita ini berakhir sampai di sini saja. Benar-benar berakhir.

Aku tidak mau lagi merasakan hal seperti ini. Aku enggan mengalami kesakitan seperti sebelumnya lagi.

Tidak! Dan tidak akan pernah!

Di mana kau yang baru saja mengemis cintaku? Memintaku kembali padamu?

Brengsek! Bajingan! Seorang Namikaze Naruto memanglah bajingan.

Kasar?

Aku tidak lagi peduli.

Kau yang membuatku begini. Kau yang mengenalkan aku dengan kosa kata tak patut ini.

Apa? Tidakkah yang kukatakan ini benar?

Tidak perlu terkejut dengan polahku yang sekarang.

Aku bukanlah Hyuuga Hinata yang lemah lembut dan mudah peduli.

Aku adalah..

Hyuuga Hinata yang kau ciptakan dari kebengisanmu! Dari segala penderitaan karenamu!

Akulah Hyuuga Hinata yang terlahir dari semua luka ini.

Mulai sekarang. Jangan pernah mengingat apapun lagi tentangku. Demikian halnya dengan aku. Aku akan melupakanmu. Bahkan menyingkirkanmu paksa dari kehidupanku.

Aku tidak peduli apapun lagi! Tidak akan peduli!

Tidak peduli dengan semua sisi baikku. Aku tidak mau memperhitungkan itu lagi. Mulai saat ini.. Aku menjadi seorang yang baru. Aku adalah Hyuuga Hinata yang kuat. Wanita yang tegar. Dan... Iblis yang akan menghancurkanmu perlahan-lahan.

Aku tahu kebencian ini tidak baik. Biarlah. Untuk kali ini saja, aku ingin menjadi orang yang membuatmu mengerti apa itu penderitaan! Apa itu kesakitan!

Terpuruklah kau Namikaze Narutoo!

Terkutuklah kau wahai bajingan penabur luka pada diri ini.. Terkutuklah kau NARUTOOOOOOOOOO!

Hiks... Hiks...

Terpuruklah kau... pria yang kucintai.

Sekian dan terimakasih.

.

.

.

.

.

"Sudahlah Shion, aku tidak apa-apa."

"Tapi kau terlihat sangat kacau Naruto."

"Berhentilah bersikap begitu padaku. Nanti Gaara bisa salah paham tentang kita."

Shion mengembuskan napas pasrah. "Yaya.. Baiklah Tuan."

Naruto tertawa kecil. Matanya menatap sosok mungil di kereta bayi. Dengan senyum tipis ia memegang tangan kecil sang bayi. "Halo jagoan kecil.. Wah.. kau tampan sekali ya.." tak dipungkiri ia merasa bahwa ialah pria paling bodoh di seluruh dunia. Ia tidak pernah menyangka dengan kehadiran buah hati sanggup membuat jiwanya tenang. Kendati bayi yang ada di hadapannya bukanlah darah dagingnya.

Andai bayi Hinata mampu hidup sampai sekarang, pasti ia menjadi pria paling bahagia di seluruh jagad raya.

"Haha.. bermimpilah untuk hal itu"

Shion menatap nanar pada sepupunya itu, "hem.. Pasti kau akan bahagia ya kalau anak itu masih ada." ucapnya pelan.

Naruto melirik Shion yang tampak sedih dengan nasib dirinya.

"Huh... Mungkin ini adalah karma. Mau tidak mau aku harus menerimanya. Walaupun Hinata sudah tidak mau melihatku lagi, tapi aku akan selalu melihatnya meski dari jauh."

Naruto mencubit pipi bayi itu gemas. "Suatu saat, aku yakin Hinata akan kembali padaku."

"Semoga."

"Meskipun aku sendiri tidak yakin dengan itu." mengingat ini Naruto tersenyum masam.

..

.

..

Hidup tak semudah alur sebuah sinetron yang sudah jelas kemana arahnya. Hidupku tak semudah itu untuk kutebak. Aku bahkan sama sekali tidak memperhitungkan hal ini terjadi padaku. Sungguh kesia-siaan hiduplah bagiku.

Hinata.. Dulu aku begitu membencimu. Aku menikahimu karena aku membencimu.

Tapi sekarang tak lagi begitu.

Hinata, aku mencintaimu. Mencintaimu yang selama ini kusakiti.

Bolehkah aku... mengajukan permohonan?

Kenanglah aku. Jangan pernah lupakan! Meskipun sekarang kau membenciku. Tapi jangan pernah sekalipun mencoba untuk membuangku dari hati dan ingatanmu.

Cukup.

Aku pun sudah tidak pantas untuk mengatakan ini.

Hinata... Wanita yang (pernah) kubenci, wanita yang (kini) kucintai.

Apabila antara cinta dan benci berbeda tipis, bolehkah aku mengharapkan cintamu kembali bersemi kepadaku?

...

.

.

.

.

NAMIKAZE NARUTO, aku MEMBENCIMU!

Biarlah kini keadaan berbalik padamu.

Sekarang kaulah yang kubenci. Kaulah yang pantas tersakiti. Kaulah yang harus merasakan semua luka ini.

Pria yang kubenci, pria yang (pernah) kucintai.

Hey Narutooo! Enyahlah dari hidup iniiiiiiiiiiiii!

.

.

.

Tamat.


Oh ya, aku baca artikel katanya di Jepang proses perceraian Cuma ngundang pendeta terus cincin pernikahannya dihancurkan pake palu. Kurang lebih gitu. Tapi di sini Hinata menghancurkannya sendiri pake batu. Dan dianggap sudah bercerai (asumsi pribadi Hinata).

sebelum sy hengkang nih saya kasih penjelasan, soalnya ada bbrp yg bingung. Wajar sih, soalnya sy membuat fic lbh suka dg konflik internal dan agak implisit biasanya.

*Itachi cuma penengah, dia cinta sm Hime, tp perannya skdr itu doang, penengah. Ya walaupun akhirnya NH gak bersatu lg.

at all saya gak buat Hime sm chara lain. sy pairingin Hinata cuma sama Naruto, tp kalo Naruto bs sm yg lain. ya mskipun sy NHL jg. Hehe

*Shion? Lihat sudut pandang Hinata yg di gerbang. Dia lihat Naru sm wanita kan? itulah Shion, yg bikin dia salah paham. Padahal Shion itu sepupu jauh Naruto. Istri Gaara ceritanya. Tp dia gx dimunculin di sini.

*Sasuke pergi jauh biar bs move on.

*Hinata akhirnya memutuskan utk mencoba membalikkan keadaan, dg dia yg membenci Naru, dan Naru yg dia sakiti. (Jd akhirnya gini dong, pria yang kucintai, pria yang kubenci.)

*Naruto jd pihak yg lemah, pkknya berbalik sm Hinata. Itu balasan buatnya. Dia jd ngejar Hime.

*Hinata ttp gak ada hubungan khusus sm Itachi, dia cuma nganggep kakak. Dan Itachi adlh orang yg akan membantu balas dendamnya.

udah segitu aja.

Oh ya, dr awal sampe akhir tuh sy pakai POV orang ketiga sebenarnya, tp byk POV orang pertamanya jg tanpa tanda. (1st person for Naru dan Hina)

Ada lagi yg bingung? silahkan tanyakan pada saya.

atau ada yg ttp pengen happy ending? kalo begitu.. Buatlah ending yg happy dlm pikiran kalian

.

amu B : gak usah bingung, buat mudah aja.

pake aja kemungkinan2 yg tjd, gak perlu mikir terlalu logically. haha

ya.. emang perlu bgt tuh.

uchiha hana : iyaa.. angst kan? haha

hn, berat sbnrnya buat Saku mati.

itu.. kan Sasu blm pulih lg di RS. masa bs sm Hinata. **

tp ada benarnya jg sih #apaan

aaaaa gak tauuuu eroragain

zae hime : wkwkwk.

jgn dong. mending sukanya sm aku aja

jelas gak ada Sasuhina di sini soalnya.

yosh!

: yoshhhh okayyy

arigato anna

kensuchan : yosh... gak. Ternyta emang sy gak bs ubah lgi. Dr awal niatnya gak hap end n ternyata emang gak hap end. ini malah kacau balau gak tau kemana arahnya. (gakjelas)

namikaze trueblue : .. niat bgt nyukurinnya.. haha, tp dia pantas dg ini.

alluka chan : dia kan udah pergi. sama orang yg peduli dgnya..

hwee? jgn mengharapkan hal itu..

sekitar tiga bulanan.

Yassir : haihai Kaaaaaaaakkkk.. kata-katanya indah ya tu, haha

huum, eksistensi seseorang yg biasanya terjangkau oleh mata udah gak terlihat sama sekali. ya pasti merasa ada hal yg berbeda lah..

dia pria sejati yg akan menjadi penengah masalah Naruhina. **

hehe, iya. Kalo toh gak di sini, kan bs di fic yg lain

Guest : jgn sampe ngrasaian hal itu lah.. yg baik-baik aja.

Yosh.. sok atuh.

iya.. gara-gara Sakura mati Sasuke-kun skrg jd milikku

eh.. gak gak. Gak ada Sasuhina ya..

okay!

Reny : bener. Tp yg ini niat tanpa perhitungan.

Guest : okay fix!

yah tiga bulanan lah.. yg blm sampe setahun pokoknya. ya iyalah

haha, kali ini time skip total setahun dg skip yg beberapa bulan itu.

Mikuru : okay hai

hem ya.. ada di part ini, tp Cuma selingan aja. Gak beneran ada kok.

Yosh!

amex : hola... amexki chan yg paling unyuuuuu :3 kk

gak kemana-mana kok, tetap ada di fic ini

haha.. yah, alurnya emang udah dibuat gitu kok. Yapz, jelas dong. Part ini bagiannya utk itu. Ya. walaupun jadinya tmbh gak karuan. saya lagi eror soalnya..

ika-chan : yah.. coba kamu santet dia biar menderita semenderita-deritanya.

urusan itu kuasa Tuhan kan? ..

anak? sayangnya...

.. baca aja part ini.

meong chan : whoa.. unyu bgt namanya :3

oh ya? kan angst..

Yosh...

Soputan : Thanks

ailla.. : TBC.. Ini udah new updated

Ayzhar : bingung ya? haha... yg buat aja bingung

udah takdirnya Sakura..

aduh.. kok pd mengharapkan anak Hinata ya.. Kamu baca aja deh? wakakaka.. jgn bantai saya loh setelah ini.

padahal awalnya endingnya gx spt ini. Tp gak tau kenapa saya eror gini. haha

okay, gue suka gaya lo..

Durara : udah.. skrg sy gak rela kalo di sini Hime kembali sama Naru. #

Guest : Neji mati.. Haha,

eh.. hehe.. baca aja deh ni..

chan : yah tunggu waktunya aja. Pasti ada saatnya sendiri

yosh! thanks girl

Zecka Fujioka : Mooooooooooommm #hug

gak tau.. hehe.. sesukanya aja kalo mencet, ya kadang shift-nya gak ketekan, atau emang suka dg tanda itu? gak tau. haha

hikshiks... Mu terharu mom.. Iya, mom tenang aja. Mu gak akan mengalami hal itu. Mom tahu kan, Mu orangnya pantang menyerah yooooooooooooooo!

Arigato berkali-kali. XD

Sherinaru : whooooa.. hehe

iya, itu masuk alur kok.

wahh.. kalo itu mah gak ada.. Sasu gak ada rasa khusus sm Hime. n lagian ada chara lain yg masuk.

yuyu : wuihhh... jangan pelototin saya gitu dong

gimana ya? hehe.. tp malah gak nih

dylanNHL : ya.. nih update.

walaupun ngaret. uh, sy sibuk, byk ulangan n tugas. miskin kuota. WB akut stadium 4. wahaaaa parah deh. n juga kmrin2 adik saya sempat masuk RS. Kacau deh pokonya. #haha jadi curhat nih ceritanya?

Rakyat Pasundan : okay fix!

/

/

Yosh guys... Terimakasih atas segala apresiasi kalian... Walaupun endingnya menjengkelkan gini, gak apa ya? Anggap aja ini emang yg terbaik buat Hinata. Krn rasanya gak pantas Naruto kembali sama Hinata. Mungkin suatu saat nanti Hime mau memaafkannya dan hubungan mereka akan lebih baik dr sebelumnya. So, silakan imajinasikan kehidupan NH yg happy spt itu ya

salam ceria kembali

*Aimore