Naruto belongs to Masashi K.

Wanita yang Kunikahi, Wanita yang (selalu) Kusakiti (?)

Part I


Hujan kapanpun tetap sama. Tidak kemarin, hari ini, bahkan esok.

Hujan meneteskan partikel air sampai ke bumi. Hujan membawa segala massa yang terakumulasi luruh bersama tiap tetesnya. Bukan hujan sebenarnya. Entahlah. Hujan yang ia rasakan kini tidak ada bandingannya. Hujan darah? Mungkin akan lebih baik jika begitu daripada hujan luka ini, hujan yang menginfeksi seluruh ketahanan tubuhnya.

''Aku.. aku telah menodainya.''

Dengan kalimat ambigu itu saja ia cukup mengerti! Tidak perlu waktu lama untuk bisa mengerti. Hanya saja, Hinata tidak habis pikir apa yang ada di pikiran suaminya. Bagaimana bisa ia.. ah! Ia tidak tahu harus mengungkapkannya dengan kata apa. Ia terlalu tak mengerti. Otaknya bahkan terlalu lelah untuk mengerti.

Ini permasalahan yang serius. Hinata seorang wanita. Seharusnya Naruto mengerti itu kan? Tapi kenapa pria itu bisa menyakitinya sedemikian dalam? Kenapa ia melakukan hal ini? Kenapa ia sekejam ini?

"Aku wanita, aku istrinya, aku yang mencintainya."

Berulang kali dalam hatinya menyeru begitu. Kenapa ia tidak mengerti? Hinata terlalu mencintai pria itu, suaminya, Namikaze Naruto yang membencinya.

Sesaat saja wanita itu mengejang. ''benar. Naruto sangat membenciku.'' Saking sakitnya sampai ia lupa dengan kata lain selain bangsa sakit?

Lengkungan senyum muncul begitu saja di bibirnya. Wanita bodoh itu tersenyum. Tersenyum akan penderitaannya. Tersenyum karena kesakitannya. Memangnya apalagi yang mau ia lakukan kalau menangis pun sudah tak bisa? Tersenyum. Setidaknya hal itu masih bisa dilakukannya. Sebelum nantinya ia sama sekali tidak bisa yang namanya menangis, bahkan tersenyum.

.

.

.

Sebuah ninja hitam terparkir di depan apartemen yang tak terlalu mewah juga tak terlalu sederhana. Sang pengendara berjalan santai setelah melepas helmnya menuju tempat yang beberapa tahun ini selalu menjadi tujuannya. Ia sengaja mengendarai motor hari ini karena ia berencana mengajak tunangannya kencan.

.

.

.

Gadis-Mantan gadis- itu tak beranjak dari posisinya. Air matanya mengalir bersamaan dengan turunan air shower yang menghujani tubuh ringkihnya. Wanita itu meringkuk. Bukan karena kedinginan. Bahkan dinginnya air yang menggeluti badannya tak lagi terasa. Padahal sudah lebih dari dua jam ia dalam keadaan begitu. Lebih dari dua jam, setelah ia menyadari apa yang telah terjadi.

Tidak bisa dimaafkan! Wanita itu memukul perut ratanya. Ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri. Ia tidak pantas! Ia kotor. Rasanya berapapun debit air yang disiramkan padanya pun tidak akan bisa membuatnya bersih. Tidak ada yang bisa menariknya dari kehinaaan ini. Ia bodoh!

Brengsek! Mungkin pria itu yang sebenarnya brengsek karena telah menyiksanya begini. Kenapa? Ia tak pernah tahu apa kesalahan terbesar yang pernah ia lakukan pada pria itu. Tapi kenapa ia tega melakukan hal ini padanya? Padahal setahunya - seingatnya mereka berteman. Mereka bersahabat. Apa sebenarnya yang pria itu pikirkan? Ia sudah beristri. Ia juga tahu tidak lama lagi wanita ini akan menjadi istri orang lain. Sungguh kalimat tanya apa lagi yang pantas terlontar untuknya? Apa pria itu sudah tidak waras? Tapi kenapa harus dirinya? Kenapa harus ia yang sedang mengalami masa indah sebelum pernikahannya? Ia yang menjaga mahkota berharganya untuk suaminya kelak. Kenapa harus ia? Kenapa pria yang jelas-jelas tahu tentang dirinya? Pria yang benar mengerti perasaannya? KENAPA?!

Ketika dalam teguh dirinya memiliki asa yang sedang tingginya mengangkasa, dan ia laksana petir tanpa tedeng aling menyambarnya. Menghempaskan impiannya sampai dasar. Menguburnya hingga tak ada lagi sisa.

...

Sudah hampir sejam pemuda emo itu menunggu pemilik kamar untuk membukakan pintu. Tidak biasanya gadisnya itu seperti ini. Terlebih hari ini mereka ada janji. Sejenak ia termangu di balik pintu yang terkunci.

Sedetik kemudian matanya terbelalak mengkode gerak langkahnya yang menyepat sehingga dengan sekali tendangan luar biasa keras ia mampu membobol pintu itu. Hanya satu yang ada di otaknya, ''SAKURA!''

.

.

.

.

Hening. Di ruangan yang cukup luas itu tampak tiada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Ruangan itu berantakan. Dokumen bersebaran di mana-mana. Bahkan laptop seharga barang kebutuhan rumah tangga selama dua bulan miliknya sudah menjadi bahan amukannya. Permukaannya yang semula halus berkilau sedetik saja keadaannya jauh parah. Sudah banyak pula ketukan terdengar dari luar ruangan yang sudah seperti kapal pecah ini. Namun tak satupun yang berani memasuki ruangan. Hanya dengan teriakan sarat akan emosi saja orang-orang yang semula berniat menemuinya urung.

"Sial!"

Dan entah untuk ke berapa kalinya ruas jemarinya ia hantamkan pada permukaan meja yang terlapisi kaca tebal. Membuat permukaan kulit tangannya membiru, bahkan sedikit berdarah.

.

.

.

Debu beterbangan di mana-mana, membuat siapa saja yang terkena bisa bersin. Tidak. Tidak untuk wanita satu ini. Gerakannya sedari tadi sama saja. Membersihkan debu. Membersihkan rumah. Semuanya ia lakukan sebagai pelampiasan. Ia tidak membiarkan sekelumit sesakpun menghimpit dadanya. Ia ingin sejenak melupakan rasa sakitnya, rasa kecewanya, rasa- semua rasa- tak nyaman yang terakumulasi dalam dirinya. Ia ingin sebentar saja bebas dari beban sakit yang menggelantungi pundaknya.

Debu-debu itu berebut merasuki manik lavendernya tanpa ampun. Mengakibatkan mata indah itu sekejap saja tampak menyedihkan. Tetapi justru itulah yang Hinata inginkan. Debu yang bisa menjadi dalih baginya untuk menangis karena matanya yang perih. Debu-debu itu yang akan membuat ia bisa kembali membersihkan mata dengan kata lain menangis. Sayangnya upaya yang telah berjam-jam dilakukannya itu tak membuahkan hasil apa-apa. Tak ada air mata yang serius menuruni pipinya. Hanya setetes-dua tetes kemudian mengering begitu saja di bawah mata. Matanya merah. Merah sekali. Mengingat iris sebelumnya yang berwarna lavender. Warna itu tak lagi tampak membuat indah matanya. Hanya merah. Semerah luka baru di dadanya. Padahal luka lainnya sudah mengering menjadi hitam. Dan kini luka hitam itu harus tertumpuk lagi dengan luka baru. Luka yang merah.

''Hinata. Kukira kau tidak di rumah. Dari tadi ibu pencet bel apa kau tak dengar?'' suara keras khas mertuanya terdengar menyapa indra pendengarannya yang sejak tadi ditulikannya. Tanpa menoleh ia hanya mengucapkan dua patah kata, ''maafkan aku.'' lemah sekali suaranya. Hampir dikatakan seperti bisikan.

Namun telinga ibu mertuanya mungkin masih teramat normal sampai bisa mendengar suara lemah itu.

Kushina melihat-lihat rumah anaknya ini. Bersih. Sangat bersih malah. Itu yang ada di benaknya ketika melihat tidak ada noda di lantai maupun barang yang ada di sana. Maniknya bersiur pada menantunya. Senyum yang baru saja terulas di bibirnya pudar begitu saja melihat keadaan Hinata. Bukan berarti dengan posisinya yang dibelakangi oleh wanita yang hampir setahun ini menjadi istri dari anaknya ia tidak bisa menerka apa yang terjadi. Dengan langkah perlahan Kushina mendekati menantu yang sangat ia cintai itu . Tangannya terulur menyentuh pundak kiri Hinata. Tidak ada respon kentara selain kediaman Hinata. Sesaat suasana tegang tanpa ada pembicaraan berarti. Kushina masih betah dengan posisinya. Sedang Hinata tak bergeming dalam lamunan kosongnya.

Serentak Hinata termangu lantaran Kushina memeluknya tiba-tiba. Entah kenapa. Tapi hatinya sedikit menghangat. Sejurus balasannya memeluk ibu mertuanya setetes air mata terjatuh begitu saja tanpa diperintah.

''Hinata, apa kau tak bahagia dengan pernikahanmu, Nak?''

Tak sempat terlintas pertanyaan seperti itu akan diajukan oleh mertuanya. Bagaimana mungkin Kushina bisa berpikiran demikian? Satu hal yang Hinata lupakan adalah bahwa Kushina-

''Aku mencintai Naruto-kun Bu. Tidak ada hal yang lebih membahagiakan selain menikah dengan orang yang kita cintai kan?'' lagi-lagi suaranya hanya seperti bisikan.

''Ibu harap memang begitu.''

-Sama-sama wanita.

Kushina melepaskan pelukannya. ''tapi Hinata, kau punya Ibu yang menyayangimu, kau boleh mengeluh apa saja pada ibu jika kau merasa tak bahagia.'' Kushina menatap wajah Hinata. Hatinya agak tersentil mendapati menantunya dalam keadaan begini. Selama ini ia tak pernah mengamati langsung hubungan anak dan menantunya ini. Yang ia tahu bahwa keduanya saling mencintai. Dan setelah sekarang melihat tubuh rapuh Hinata. Mata tegarnya yang seolah menyimpan banyak sekali kesedihan. Ia tak yakin dengan asumsinya selama ini.

"Hinata..." Nada iba kentara dari perucapan Kushina. Wanita itu sungguh menyanyangkan jika memang ada sesuatu yang terjadi pada Hinata. Ia sudah sangat menyayangi menantunya. Bahkan ia tidak akan memaafkan Naruto jika ia benar melukai istrinya.

Hinata mengulas senyum di bibirnya. Hanya senyum dari bibir, senyum untuk sandiwara, dan senyum oleh kepalsuan.

''Ibu tak perlu cemas. Aku.. ''

''aku ba-hagia.''

Terkadang kesakitan bisa menjadi jimat yang ampuh dalam menjalani segala problema kehidupan.

.

.

.

Pintu utama rumah Namikaze itu terbuka sejurus kemudian muncul sesosok pria berwajah lesu dengan tampilan jauh dari kata rapi. Bahkan sangat tidak enak dipandang. Mata birunya yang biasanya berkilat cerah kini tampak sayu. Rambut kuning yang biasanya terbentuk rapi kini acak-acakan. Jas kerjanya pun tersampir di bahunya begitu saja.

''Ibu! Kenapa bisa di sini?'' serunya kaget bercampur sebal kala mendapati ibunya sedang bersama ist- ah wanita itu entah apa yang mereka lakukan.

Senyum garang terlempar ke arah pria-kacau itu. Kushina mengernyit. ''apa-apaan kau ini! Pulang bukannya mengucapkan salam dan mencium istrimu. Malah datang tiba-tiba dengan penampilan.. '' ibu satu anak ini menelisik penampilan putra semata wayangnya dengan ekspresi jengah.

''kau sungguh kacau. Dan apakah begitu caramu menyambut kedatangan orangtuamu sendiri? Huh.'' Kushina berkata sengit tanpa menghiraukan raut sebal Naruto sama sekali.

''Iya iya. Memangnya ada apa sih ibu sampai kemari?'' tanya Naruto masih dengan nada enggan.

''Apa salah kalau seorang ibu ingin mengunjungi anak dan menantunya?'' sahut wanita 40-an itu sinis. Ia begitu tak suka melihat kelakuan anaknya sekarang ini. Kushina jadi ragu untuk mempercayai Hinata. Benaknya jadi menerka-nerka ulang tentang spekulasi singkatnya tadi.

Drtt

Naruto lekas mengambil ponsel dari kantongnya lalu menerima panggilan masuk.

''halo?''

''Apa! aku segera ke sana.''

Ponsel tipis lebarnya ia kembalikan ke kantong. Tanpa mengindahkan tata krama Naruto langsung saja meninggalkan dua wanita itu.

''Narutoooo! mau kemana?''

Naruto menoleh dengan enggan. ''rumah sakit. Sakura di sana.''

Kushina melirik Hinata yang semenjak kepulangan Naruto tak berkata sedikitpun.

''Kalau begitu ajak Hinata.'' tukasnya membuat Hinata sontak saja mendongakkan kepalanya.

''Apa?''

Raut keberatan nampak di wajah Naruto.

''Kupikir kau tidak terlalu bodoh untuk tidak mengerti ucapanku Naruto.''

.

.

.

Buagh

Satu pukulan menyambut kedatangannya. Naruto tersungkur beberapa langkah menghempas tembok rumah sakit.

Hinata sontak menutup mulutnya, gerakannya refleks menjauh dari dua pria yang sedang terlibat perkelahian.

Sasuke mencengkram erat kerah pria di depannya. Oniksnya berkilat tajam menatap safir yang juga menatapnya sengit. Satu pukulan dilayangkan lagi pada pipi Naruto.

Tidak ada perlawanan yang ia berikan. Naruto hanya diam menanggapi pukulan demi pukulan yang dilancarkan padanya. Bahkan keributan itu pun tak ada yang menghalau sama sekali. Entah apa yang sedang dilakukan para petugas keamanan.

"Apa yang kau lakukan pada Sakura brengsek!"

Wajah yang sudah lebam karena pukulan itu mengembangkan senyum sinis, membuat amarah Sasuke makin memuncak. Satu pukulan lagi dilayangkan hingga Naruto benar-benar beringsut jatuh menghempas lantai. Ia tidak pingsan. Pria itu hanya menatap pada arah kosong. Bukan pukulan Sasuke yang membuat sakit. Tapi wanita itu, wanita yang ia, juga Sasuke cintai. Naruto sadar apa yang dilakukannya menyakiti banyak pihak, terutama Sakura.

Otaknya masih saja mengelak bahwa ada yang jauh lebih terluka daripada yang lainnya.

"Aku akan bertanggung jawab!" tegas Naruto. Safirnya menatap oniks yang sedari tadi berkilat tajam padanya.

Dadanya semakin sesak. Luka merah yang baru saja ada makin menganga. Kejam! Rasanya seluruh organ dalam tubuhnya menghantam hatinya serentak. Kejam! Pria itu kejam! Suaminya sungguh kejam!

Suara tawa menggelegar di depan ruang UGD itu. Tawa ejekan, tawa kebencian, dan tawa kemarahan. Sasuke sungguh tidak mengerti dengan jalan pikiran mantan sahabatnya ini.

"Kau telah menyakitinya dan sekarang kau bilang kau ingin bertanggung jawab? Kau memang brengsek Naruto! Kau bahkan mengatakannya tanpa peduli perasaan istrimu."

Hinata melirik pria- suaminya melalui ekor matanya. Ia tidak berani memandang safir itu. Ia takut safir Naruto bisa menemukan titik kesedihan yang sangat dalam dari matanya. Meskipun itu tidak mungkin terjadi. Terang saja karena Naruto tidak mungkin peduli dengan dirinya. Wanita yang sangat ia benci. Uh!

"Sial! Wanita itu.. Aku sangat membencinya!"

Safir Naruto menatap tajam wanita yang menunduk di depan pintu UGD. Ia semakin kesal menyadari bahwa wanita itu masih ada. Bahkan wanita itu adalah ist- Sampai kapanpun Naruto tidak sudi menganggapnya sebagai istri. Hinata.. Wanita itu yang salah! Semuanya itu terjadi karena salahnya!

"Kalau saja wanita sialan itu tidak masuk dalam kehidupanku. Hidupku pasti tidak akan sekacau ini!"

"Hentikan tatapan brengsekmu itu! Kau benar-benar keterlaluan." Sasuke berang. Amarahnya kembali meluap melihat ekspresi pria yang menjadi sasaran kemarahannya. Jelas sekali kebencian terarah pada satu-satunya wanita di sana. Tanpa pikir panjang Sasuke kembali menyengkeram kerah Naruto. Napasnya tak beraturan saking besarnya amarah yang ia pendam.

"Satu hal kuberitahukan padamu. Kau ingin mendapatkan Sakura?" Sasuke mendecih.

"Langkahi dulu mayatku." ucapnya tegas seraya menghempas keras tubuh pria brengsek itu. Sejurus kemudian ia beranjak memasuki ruangan di mana tunangannya berada. Sekilas ia melirik Hinata. Penderitaan yang teramat sangat kentara dari tubuh rapuh wanita itu. Sesaat Sasuke termangu. Ia tidak menyangka pria brengsek itu bisa menyakiti wanita ini sebegitu kejam. Pun menyakiti Sakuranya. Ia sungguh tidak akan pernah memaafkan si berengsek itu!

Naruto bangkit perlahan. Mendecih singkat ia lekas beranjak meninggalkan tempat itu. Meninggalkan wanita yang menatapnya dengan sendu.

Apabila antara benci dan cinta memang beda tipis. Bolehkah aku berharap bahwa dalam kantong kebenciannya terhadapku, ada sedikit ruang untuk cinta?

.

.

.

.

.

.


A/N : Versi lain dari wanita yang kubenci, wanita yang kunikahi. Tapi kayaknya agak nyambung ya dg fic sebelumnya?

Entahlah. Anggap saja ini versi berbeda dg tema yg sama itu.

Satu hal perlu saya beritahukan, saya sama sekali tidak berniat membashing siapapun di sini. Itu hanyalah kebutuhan cerita saja. Mohon maaf bila ada fans yang tersinggung.

Hope you like it guys... Review, jika berkenan of course silakan!