Author note : Umm, ya Leavi tau ini sangat sangat telat untuk publish chapter selanjutnya. Jadi Leavi minta maaf atas keterlambatannya. Semoga chapter ini tidak mengecewakan.

Tanda […] berarti penglihatan Kagami ketika menyentuh sesuatu.

Psychometry

All character Kuroko no Basuke punya Fujimaki Tadatoshi

Warning

OOC, typo, bahasa kasar, ada OC lewat doang dan lain sebagainya

Saran aja, sebaiknya dibaca chapter sebelumnya jika lupa ceritanya. Panjang chapter ini mencapai 10k words, semoga kalian tidak bosan.


Chapter 6

Setelah kejadian hari itu, Aomine dan Kagami pindah ke apartemen Kuroko untuk membicarakan rencana mereka selanjutnya. Tentu saja mereka tidak mau melibatkan Midorima lebih jauh dengan kejadian ini, akhirnya mereka tinggal di apartemen Kuroko. Setidaknya untuk sementara waktu.

"Aomine, kenapa kita tinggal di tempat Kuroko?" tanya Kagami bingung.

Aomine yang sedang menyantap sarapan paginya melirik Kagami yang berada di ruang tamu. "Kau tidak menyadarinya?" Kagami menggeleng pelan. "Aku dan kau sekarang sudah ditetapkan sebagai buronan. Pindah ke apartemenku sekarang sama saja dengan menyerahkan diri. Pasti beberapa polisi sudah ditugaskan untuk mengasawi apartemen ku."

"Dan untungnya aku tidak masuk ke dalam daftar buronan itu, Kagami-kun." Sahut Kuroko tiba-tiba.

"Wuaahh! Kuroko! Sejak kapan kau ada di sampingku?!" teriak Kagami kaget.

"Sejak Kagami-kun memikiran alasan kenapa kalian pindah ke apartemen ku." Jawabnya datar.

Kagami menatap Kuroko horror. Apa dia hantu?

"Aku bukan hantu Kagami-kun." Sahut Kuroko mengerti.

Kagami kembali terlonjak dari bangkunya. Dia bisa membaca pikiranku?

"Tentu aku bisa membacanya Kagami-kun. Wajahmu itu sangat mudah untuk ditebak."

Aomine tertawa pelan melihat tontonan gratis yang ada di hadapannya, walaupun dirinya juga cukup kaget dengan kemunculan Kuroko yang tiba-tiba. "Nanti kau juga terbiasa dengan kemunculannya itu Kagami." Timpal Aomine.

Kuroko menatap sinis Aomine, seakan mempertanyakan maksud dari kalimatnya itu. "Sebaikanya kita sudahi lelucon ini, Aomine-kun. Rencana apa yang akan kau lakukan selanjutnya?"

Aomine meneguk segelas air mineral sebelum bangkit dari kursinya untuk berkumpul dengan Kagami dan Kuroko di ruang tamu.

"Aku sudah memikirkan sebuah rencana, tapi aku tidak yakin ini berhasil atau tidak." Aomine menatap Kagami sekilas.

Kagami mengangakat alisnya bingung.

"Tidak, mungkin ini terlalu berbahaya untuk mu Kagami. Jadi aku tidak yakin dengan rencana ini." Jelas Aomine.

Kagami menatap kesal Aomine.

"Apa yang sebenarnya ingin kau katakan Aomine-kun?" tanya Kuroko.

"Umm begini. Hari ini aku akan menemui Ryo untuk meminta informasi baru. Setelah mendapatkan informasi yang kubutuhkan, baru kita akan menjalankan rencana kita. Dan disinilah..." Aomine menatap Kagami. "... aku ingin meminta kau menggunakan kemampuanmu dengan maksimal Kagami."

Hening sesaat.

"Baiklah, sepertinya tidak masalah dengan ku." Pikir Kagami enteng.

"Kau yakin? Terakhir kali kau menggunakan kekuatanmu, kau mimisan dan tubuhmu mengejang tidak terkendali. Apa kau yakin kau bisa menggunakan kemampuan mu tanpa melukai tubuh mu sendiri?"

Kagami bisa melihat kilat khawatir dari bolamata Aomine. Dirinya cukup kaget dengan ekspresi polisi muda itu. Sebenarnya jika Aomine tidak menunjukan wajah yang seperti itu, Kagami pasti juga akan membantunya. Tapi mengetahui ada orang yang khawatir dengan keadaannya cukup membuatnya senang.

"Tenang saja. Bukankah aku sudah berjanji akan membantu mencari pelakunya? Jadi itu bukan masalah untuk ku." Sahut Kagami tenang.

Aomine menatap Kagami sesaat sebelum menghembuskan napasnya. "Baiklah, aku percaya padamu. Nah, untuk selebihnya akan ku beritahukan nanti. Aku pergi ke kantor dulu."

xxxxxx

Jika ada yang menyusahkan Sakurai Ryo selain tugas-tugasnya itu, dialah Aomine Daiki. Setelah meminjam mobilnya tanpa izin dan membuatnya rusak parah, kini dengan entengnya Aomine meminta salinan copy berkas kasus pembunuhan anak padanya.

Sakurai tidak menyangka, efek Aomine meminta bantuannya cukup membuatnya frustasi. Menyelinap diam-diam, dan berbohong kepada rekannya yang berjaga, sungguh membuatnya merasa bersalah. Untung saja dirinya tidak ketawan oleh sang kapten.

Sekarang dirinya sibuk mondar-mandir di halaman belakang kantor menunggu kedatangan Aomine yang jauh dari waktu perjanjiannya. Andaikan Sakurai bukan tipe orang yang sabar mungkin saat ini dia sudah meninggalkan halaman itu.

"Yo, Ryo!" sapa Aomine.

Sakurai tanpa basa-basi lagi langsung menghampiri Aomine dan menyerahkan berkas yang sudah dipintanya. "I-ini dia salinan copy yang Aomine-san pinta. Ma-maafkan aku jika tidak sesuai dengan yang kau harapkan."

Aomine hanya diam, dan membolak-balikan berkas-berkas tersebut. Sinar matanya berubah puas sebelum dia menutup berkas tersebut.

"Ryo..." Aomine meletakan tangan kanannya di pundak Sakurai dengan wajah yang serius.

"A-ada apa Aomine-san? Apakah aku membuat kesalahan?"

"Tidak, kau sudah sangat membantuku." Aomine menepuk pundak rekan kerjanya itu. "Terima kasih dan maaf karena sudah meminjam mobilmu. Aku akan memperbaikinya jika kasus ini sudah selesai." Raut wajah Aomine berubah ramah dan itu cukup membuat Sakurai kagum. Dia tidak menyangka seeorang Aomine bisa menjadi orang yang ramah.

"Hei, aku bisa membaca apa yang kau pikirkan rambut jamur." Sahut Aomine sarkastik.

Sakuraipun kembali mengutuk dirinya yang telah memuji Aomine.

"Tapi..." Sakurai menoleh menatap Aomine. "...ada yang membuatku penasaran. Ryou, bisa kau jelaskan kepadaku kenapa kepolisian mencurigai mereka berdua? Akashi dan Hanamiya ini?"

xxxxxx

Hari ini, Kapten, Haizaki, Imayoshi dan beberapa anggota polisi yang lainnya melakukan penyelidikan di apartemen Aomine. Tidak ada salahnya mereka berkunjung, mungkin saja mereka bisa mendapatkan petunjuk lainnya.

"Apakah dari semalam ada orang yang mencurigakan di sekitar sini?" tanya kapten.

"Tidak ada Pak. Hanya para penghuni apartemen lainnya yang berlalu-lalang." Jawab salah satu petugas, yang memang sudah berjaga sejak malam.

"Begitu."

"Dia pasti bersembunyi di suatu tempat, Kapten. Dia tidak terlalu bodoh untuk kembali ke apartemennya sendiri." Sahut Haizaki.

Sang Kapten hanya mengangguk mengerti. Setidaknya dia hanya memastikannya saja.

Pintu dibuka secara paksa, sebelum mereka menggeledah apa saja yang ada diruangan tersebut. Tidak butuh waktu lama untuk menggeledah ruangan tersebut, karena hanya ada beberapa perabotan. Sehingga mereka dengan cepat menemukan apa saja yang menurut mereka penting.

"Pak, kami menemuka tiga buah gambar. Karena saya merasa aneh dengan gambar ini, saya memberikannya kepada Bapak. Ditambah ada noda berwarna kecoklatan di gambar ini."

Ketiga petunjuk itu di letakan di atas meja secara berjajar.

"Hmm gambar kandang anjing, penjara bola warna warni dan almamater dengan symbol dua orang anak kecil. Apa hubungan dari ketiga gambar ini?" Gumam Imayoshi.

"Dimana kalian menemukan barang-barang ini?" tanya Kapten.

"Ketiga kertas gambar itu kami temukan dibalik bantal Pak."

"Baiklah. Lakukan pencarian lagi, kemungkinan kita bisa menemukan petunjuk lainnya." Perintah sang kapten. Sedangkan Haizaki dan Imayoshi beserta kapten, mereka mengamati petunjuk-petunjuk yang ditemukan.

"Kenapa si bodoh itu menyimpan gambar-gambar ini? Dia tidak akan menyimpan gambar-gambar tersebut kalau tidak penting." Gumam Haizaki.

"Dan noda coklat yang ada di gambar, sepertinya bukan dari cat warna ataupun pewarna lainnya. Apa kau juga berpikiran seperti itu Haizaki?" Itu sang kapten yang berbicara.

Haizaki tampak berpikit sebentar dan Imayoshi mempertajam penglihatannya. "Ini darah."

"Ya, ini darah. Tapi darah siapa?"

"Apa mereka terlibat perkelahian?" Tanya Kapten. Haizaki dan Imayoshi memandang Kapten bingung. "Ah maksud ku, bukankah beberapa hari itu Aomine tinggal dengan pemuda bernama Kagami? Walaupun aku tidak yakin apa yang menyebabkan mereka bertengkar."

Mereka kembali tenggelam dalam pemikirannya masing-masing. Mencoba untuk mencari benang merah dari gambar-gambar ini dengan kejadian yang ada. Pasti ada sesuatu dibalik ini semua. Mereka menemukan gambar-gambar ini bukan kebetulan, pasti terhubung dengan sesuatu. Ya, pasti terhubung dengan...

"Ah! Aku mengerti!" sahut Haizaki senang.

"Kau menemukan sesuatu?" tanya Imayoshi.

Haizaki mengangguk "Tapi..." wajah Haizaki berubah muram.

Sang kapten dan Imayoshi menatap bingung Haizaki.

"Aku sepertinya menemukan benang merah dengan ketiga gambar ini, dan masalah noda darah itu aku masih belum tau pasti apa penyebabnya." Jelas Haizaki.

"Lalu apa yang kau temukan?" tanya sang Kapten.

"Aku tidak yakin. Tapi apa kalian percaya dengan kemampuan indera keenam itu?"

xxxxxx

Aomine menelepon Kuroko untuk menjemput dirinya di taman dekat TK sahabatnya itu mengajar, tidak lupa dia menyuruhnya untuk turut membawa Kagami juga.

TIN! TIN!

Aomine menoleh, menyadari yang ditunggunya sudah datang. Dia langsung bergegas menghampiri mobil Kuroko mengetuk kaca jendelanya. Kurokopun mengerti dengan menurunkan setengah kaca jendelanya.

"Jika kau menyuruhku kesini karena sesuatu yang tidak penting, sebaiknya kau segera siapkan dirimu Aomine-kun, karena majalah Mai-chan mu akan ku bakar habis." Ucap Kuroko datar, namun ada nada ancaman di setiap kalimatnya.

"Woo...woo santai Tetsu. Aku sudah mengatur semuanya. Sebaiknya kau membiarkan ku masuk terlebih dulu. Oh iya, dimana Kagami?"

Kuroko tidak menjawab, dia hanya memberikan isyarat dengan tangannya. Aomine melirik dari jendela dan mendapati Kagami berada di bangku belakang. "Baiklah, pertama-tama kita akan memesan makanan terlebih dulu."

10 menit kemudian

Setelah Kuroko mengantri membelikan makanan untuk mereka bertiga. Dirinya kembali ke parkiran dan masuk ke dalam mobilnya.

"Jika kasus ini selesai, aku harap kau tidak lupa dengan janjimu Aomine-kun." Ucap Kuroko sembari menyerahkan makanan kepada Aomine dan Kagami.

Aomine hanya mendengus pelan. Menyuruh Kuroko untuk membelikan makanan sebenarnya bukan keinginannya, melainkan karna terpaksa. Diantara mereka bertiga, yang bisa berjalan bebas tanpa harus dilirik karna seorang buronan hanya Kuroko Tetsuya. Dan untuk membujuk Kuroko menuruti keinginannya, lagi-lagi dia harus menuruti permintaan sahabatnya itu.

"Aku sudah menyimpulkan sesuatu dari beberapa file yang aku baca, jadi..."

"Tunggu!" sahut Kagami memotong pembicaraan Aomine. Polisi muda itu langsung menatap kesal Kagami.

"Ada apa, Kagami-kun?"

"Sebenarnya aku masih bingung. Bukankah waktu itu Kuroko ikut terlibat dalam rencana gilamu itu Aomine? Pasti mereka akan menyadari kalau kau ada yang membantu bukan? Jadi kenapa Kuroko bisa bebas seperti ini?"

"Oh kalau masalah itu..."

"Aku dibebaskan Kagami-kun." Kali ini, Kurokolah yang seenak jidat memotong perkataan Aomine.

"Dibebaskan?" tanya Kagami bingung.

Kuroko mengangguk. "Aku membuat alibi kalau saat itu aku sedang mengantuk dan tidak sadar dengan mobil yang ada di hadapanku. Tentu saja ketika aku membantu Aomine-kun pergi, aku memberitahu mereka kalau saat itu aku sedang di paksa Aomine-kun untuk membantunnya jika tidak ingin mati. Dan untungnya tidak ada saksi. Akupun dibebaskan."

Kagami menatap Kuroko horror. Ternyata Kuroko bisa selicik itu.

"Hei...hei sudah puas dengan mengobrolnya? Biarkan aku menjelaskan rencana selanjutnya." Ucap Aomine.

Melihat Kagami dan Kuroko yang sudah fokus ke arahnya, dia memulai pembicaraannya lagi.

"Baiklah, aku akan menjelaskan kejadiannya dari awal lagi." Aomine mengambil sebuah kertas.

"Korban pertama, Haruka Hisegiro. Ditemukan tewas oleh warga di pinggir tempat sampah dengan keadaan terbungkus plastik besar. Korban Kedua Arisa, ditemukan tewas di dalam tangki air yang ditemukan oleh wanita yang hendak bunuh diri. Korban ketiga Elena Akira, ditemukan di dekat sungai. Dan korban keempat Riko Aida, sampai saat ini belum ada kabar."

Walaupun samar, baik Kagami ataupun Kuroko dapat mendengar nada suara Aomine yang mengecil seperti bergumam, ketika dia menyebutkan nama Riko itu. Mereka tau kalau saat ini Aomine sedang berusaha keras untuk menyelamatkan anak kecil itu. Anak kecil yang telah membantunya.

"Sejauh ini, kalian mengerti kan?" tanya Aomine.

Kagami dan Kuroko mengangguk mengerti.

"Nah, disinilah kita akan memulai rencananya. Kita akan mencoba mengunjungi tempat ditemukannya korban dan Kagami akan melihat sesuatu untuk petunjuknya. Apakah kau bisa seperti itu Kagami?"

"Hmm, aku rasa asalkan benda atau sesuatu yang ku sentuh itu berkaitan mungkin aku bisa menemukan sesuatu." Balas Kagami mantap.

Aomine tersenyum kecil. "Baguslah. Tadi itu adalah rencana yang ingin aku lakukan, tapi..." Aomine mengambil kertas lainnya di dalam file. "...tiba-tiba saja aku mendapatkan informasi yang tidak terduga. Lihatlah!"

Kagami dan Kuroko membaca informasi yang ada di dalam kertas tersebut.

"Akashi Seijuuro dan Hanamiya Makoto? Aku tidak kenal mereka." Dengus Kagami.

"Aku tidak begitu yakin, tapi mereka cukup terkenal di daerah ini." Timpal Kuroko.

Aomine mengangguk. "Aku juga tidak percaya mereka dijadikan terduga dalam kasus ini. Menurut informasi yang ku tahu dari Ryo. Korban yang hilang dan meninggal itu berhubungan kuat dengan yayasan anak itu. Dan kebetulan sekali, mereka berdualah yang bertugas mengunjungi mereka untuk memberikan bantuan. Jadi bisa dipastikan mereka tau kegiatan para korban tersebut."

"Ini semakin rumit saja Aomine-kun." Gumam Kuroko.

"Menurutku tidak, Tetsu."

Kagami dan Kuroko memandang Aomine bingung.

"Menurutku, petunjuk ini benar-benar dapat menuntun kita menemukan pelaku. Kita bisa mempersempit pencarian mulai saat ini. Akkhh, bodohnya aku! Kenapa aku tidak mempedulikan gambar itu." Erang Aomine frustasi.

"Petunjuk?" tanya Kuroko.

"Gambar?" tambah Kagami.

Aomine memandang keduanya jahil. "Kagami perhatikan fotonya dengan teliti, kau pasti akan menemukan sesuatu yang tidak asing disitu. Yah kalau ingatanmu masih bagus si." Aomine menyerahkan foto kedua terduga pembunuhan. "Dan Tetsu, kau ingat dengan apa yang kuceritakan sebelumnya? Tentang bagaimana aku bisa menemukan petunjuk-petunjuk untuk menemukan pelakunya?"

Kuroko mengangguk.

"Kau ingat apa saja yang ku sebutkan waktu itu?"

Kuroko berpikir sebentar. "Hmm sepertinya aku lupa, Aomine-kun."

"Gyaah! Ingat dibagian gambarnya Tetsu. Gambarnya!" erang Aomine. "Aku tidak menyangka ingatanku ternyata lebih bagus."

Kuroko mendengus tidak suka, walaupun masih menujukan wajah datarnya. "Kalau tidak salah, kau menyebutkan bola mainan, kandang anjing lalu..." Kuroko memandang Aomine tidak percaya.

Aomine menyeringai senang. "Logo almamater."

"Logo ini? Dua orang anak yang bergandengan? Aomine! Ini yang aku lihat di sweater itu! Jadi pelakunya..."

"Ya, Pelakunya ada di dalam yayasan tersebut."

xxxxxx

Di waktu yang bersamaan.

"Kenapa kau bertanya seperti itu Haizaki?" tanya Imayoshi.

"Psychometry mungkin memang ada."

Dia mengambil kertas-kertas itu, lalu dihadapakannya ke arah Imayoshi dan kapten.

"Cobalah kalian perhatikan gambar-gambar ini, pasti ada sesuatu yang menarik perhatian kalian." Ucap Haizaki.

Keduanya memperhatikan dengan seksama, berharap menemukan benang merah dari ketiga gambar itu. Indra penglihatan keduanya langsung memproses ke otak untuk mencari kenangan-kenangan apa yang terhubung atau setidaknya berkaitan dengan gambar tersebut. Tidak butuh waktu lama bagi keduanya, untuk menyadari apa yang ada dalam pikiran Haizaki.

"Logo almamater tersebut." Gumam keduanya pelan.

"Ya, sekarang kalian mengerti bukan? Belum lama ini kita melihat lambang logo tersebut di almamater yang kedua orang itu kenakan." Lanjut Haizaki

"Akashi Seijuuro dan Hanamiya Makoto." Timpal Imayoshi.

"Sepertinya ketiga gambar ini bukan hanya gambar biasa. Ketiganya berkaitan erat dengan kasus yang saat ini kita tangani." Sampai saat ini itulah yang bisa sang kapten simpulkan.

Haizaki kembali menatap ketiga gambar tersebut. Tiba-tiba saja sebuah ingatan terlintas di pikirannya.

"Jadi kau mau bilang kalau korban di sekap di tempat bermain anak? Karena kemungkinan lainnya tidak tepat dan yang mendekati hanya kolam bola?" Tanya Haizaki.

"Lebih tepatnya kita harus memeriksa tempat yang memiliki kolam bola. Tidak hanya tempat bermain anak. Untungnya tempat yang menyediakan kolam bola sangat jarang." Jawab Aomine.

"Ada kemungkinan pelaku hanya orang biasa yang kebetulan menemukan anjing yang sudah sekarat lalu di bekukan dan ditambah suntikan formalin." Jelas Imayoshi.

Setelah sadar dari ingatannya, Haizaki memandang takjub ketiga gambar tersebut.

"Hei, sepertinya kalian memang harus percaya dengan indra keenam." Sahut Haizaki tiba-tiba.

"Kau gila?" ejek Imayoshi.

"Tidak, tidak. Aku serius! Coba kalian ingat ketika Aomine memaksa kita untuk menemukan pelaku di tempat yang memiliki kolam bola. Bukankah saat itu dia bersikeras memaksa kita bahwa pelakunya menyembunyikan korban di tempat seperti itu. Bukankah sebelum Aomine mengatakan hal tersebut, salah satu barang bukti yang Susa temukan di TKP telah hilang?" Jelas Haizaki. Keduanya mengangguk mengerti.

"Ah! Sepertinya aku mengerti kemana jalan pikiranmu Haizaki." Balas Kapten. "Kau mau mengatakan, kalau Aomine menyuruh Kagami untuk menyentuh barang bukti tersebut untuk 'melihat' apa yang terjadi bukan? Dan ketiga gambar tersebut adalah hasil dari penglihatan seorang Kagami Taiga. Bukankah seperti itu?" sambung sang kapten.

"Ya, itulah yang aku pikirkan."

"Jika memang itu kenyataannya, sepertinya kita harus percaya bahwa indra keenam itu memang ada." Tambah Imayoshi.

"Dan jika itu benar, kita harus segera membersihkan nama baik pemuda itu." Lanjut Kapten.

Hening sesaat. Masing-masing dari ketiganya sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Apakah kita bisa menyimpulkan kalau pelaku ada di dalam yayasan tersebut Kapten?" tanya Imayoshi tiba-tiba.

"Sebaiknya kalian langsung menuju yayasan tersebut. Setidaknya kita harus menemukan pelaku sebenarnya, agar pemuda indigo itu bisa bebas."

xxxxxx

"Kuroko, seperti biasa kau tunggulah di mobil. Kalau ada apa-apa aku akan menghubungi mu." Ucap Aomine.

"Aku mengerti Aomine-kun. Kagami-kun hati-hatilah." Kagami membalas perkataan Kuroko dengan sebuah anggukan kecil.

Setelah ketiganya menyimpulkan bahwa pelakunya adalah orang yang berada di dalam yayasan tersebut, Aomine dan Kagami mulai menyelidiki yayasan tersebut.

"Kau hanya berjabat tangan selama tiga detik, tidak lebih dari itu. Mengerti?" bisik Aomine pelan.

"Aku tidak apa-apa! Kau terlalu berlebihan Ahomine!" balas Kagami kesal.

"Bagaiman aku tidak berlebihan, kalau tiba-tiba kau mimisan bukankah masalahnya jadi lebih merepotkan?" balas Aomine tidak mau kalah. Walaupun sejujurnya dia khawatir.

"Cih..."

Tidak mau berdebat lebih lama, Kagami berusaha menahan diri untuk tidak membalas perkataan Aomine. Tangan kanannya membenarkan letak kacamata hitamnya, surai merah gelapnya tertutup oleh hodie hitamnya. Wajah Kagami sudah terlalu banyak di tayangkan di berbagai siaran televisi ataupun surat kabar. Bahkan ketika mereka memasuki yayasan tersebut, mereka berdua bisa melihat sebuah poster buronan terpampang dengan wajah Kagami, di dinding samping pintu.

"Kau sangat terkenal Bakagami." Bisik Aomine pelan.

Kagami menendang tumit Aomine kencang, karena perkataannya. "Itu juga karena kau, polisi gadungan."

"Selamat datang, ada yang bisa saya bantu Tuan?" salah seorang karyawati menghampiri Aomine dan Kagami yang tengah bertengkar kecil. Kedatangan karyawati yang tiba-tiba itu membuat Aomine sedikit lupa tujuan mereka ke yayasan ini.

"Ah iya, maaf. Apakah saya bisa bertemu dengan kepala yayasan ini?" Karyawati itu memandang Aomine bingung. "Sebelumnya perkenalkan, saya Ryou dan dia adik saya Kuroko." Lanjutnya seakan mengerti kebingungan dari karyawati itu.

'Ku..Kuroko?! Adik?' Kagami langsung memandang Aomine kaget.

Tidak mau menimbulkan kecurigaan, Aomine langsung merangkul pundak Kagami erat. "Kami ada keperluan dengan ketua yayasan, apakah dia ada?"

Karyawati itu kembali tersenyum setelah mengerti tujuan kedatangan mereka. "Apakah sebelumnya kalian sudah membuat janji dengan beliau? Jika belum, silahkan kalian menunggu di sebelah sana. Saya akan menghubungi kalian lagi jika sudah." Dengan sopan wanita itu menunjukan ruangan tempat menunggu.

"Baiklah, kami memang belum membuat janji dengan beliau. Terima kasih sebelumnya." Aomine langsung menyeret Kagami menuju ruang tunggu itu tanpa menunggu lama.

.

.

.

.

.

.

.

"Aku tidak menyangka kau bisa berkata selembut itu pada wanita. Aku pikir kau hanya bisa membentak dan mengancam." Curhat pemuda bersurai merah itu. "Dan apa-apaan itu, tidak bisakah kau mencari nama samaran yang lebih bagus. Kuroko pasti marah jika tau hal ini. Satu lagi, kenapa harus aku yang jadi adikmu?!" lanjutnya kesal. Dadanya naik turun, menghirup udara di sekitarnya.

Aomine memandang Kagami takjub, senyuman mengejek langsung tercetak di wajahnya.

"Ternyata kau itu sangat cerewet, bakagami. Jadi kau tidak suka jika menjadi adik ku?" tanya Aomine tanpa menghilangkan senyumannya.

"A..bu..bukan begitu maksud ku." Sergah Kagami cepat.

"Lalu, apa aku harus bilang kau itu kekasihku?"

BUGHH

Tinjuan telak langsung mengenai perut Aomine tanpa ampun. "Kau memang gila." Gumamnya.

"Ya terima kasih." Jawab si polisi muda itu enteng.

CKLEKK

Dari balik pintu, muncul karyawati yang memberitaukan keduanya untuk segera menemui sang ketua. Keduanya mengangguk mengerti sebelum keluar ruangan mengikuti karyawati tersebut.

xxxxxx

Mungkin hari ini adalah hari sialnya Aomine atau memang sudah takdir yang diberikan oleh Tuhan? Matanya tidak salah lihat bukan? Kenapa seniornya yang menyebalkan itu ada di ruangan ini juga?!

Di lain pihak Haizaki memandang kaget kedatangan Aomine yang tidak diduganya, ditambah dengan pemuda nyentrik yang kalau Haizaki tidak salah lihat itu adalah Kagami. 'Apa-apaan pakaiannya itu?'

Imayoshipun juga tidak kalah terkejutnya. Dia hampir saja menerjang Kagami untuk mengitrogasi pemuda tersebut, kalau tidak langsung dihentikan oleh Haizaki. 'Jangan, kita biarkan saja mereka berdua. Setidaknya dengan begini kita bisa mendapatkan petunjuk lebih banyak.'

Entah kenapa keadaan di dalam ruangan itu tiba-tiba saja hening. Tidak ada yang memulai pembicaraan, seakan waktu terhenti. Kagami sendiri mencoba mengalihkan pandangannya dari kedua polisi tersebut.

Sang ketua yayasan yang merasakan hawa tidak enak dari para tamunya, mencoba untuk mencairkan suasana. "Ah, selamat datang. Silahkan duduk." Ucapnya ramah.

"Perkenalkan, saya Takada kepala yayasan anak ini." Ucapnya sembari mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh Kagami cepat.

Tidak mau membuang waktu, Kagami langsung memusatkan konsentrasinya untuk 'melihat' sesuatu.

.

"Tidak ada." Gumamnya pelan.

.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Takada bingung, karena genggamannya tidak juga terlepas.

Aomine langsung bergerak cepat ketika tau Kagami mulai kehilangan kendali, dia melepas tangan Kagami paksa dan langsung menyambut tangan Takada. "Salam kenal juga, Anda terlihat sangat berwibawa Pak." Pujinya, yang langsung dibalas Takada dengan senyum sumringah. Setidaknya dia berhasil mencairkan suasana.

Haizaki dan Imayoshi yang melihat hal tersebut, sedikit mengerti dengan apa yang sedang dilakukan oleh pemuda merah tersebut. Sedangkan Aomine sendiri cukup kewalahan dengan apa yang ada di pikirannya. Kedatangan kedua polisi itu tidak masuk ke dalam rencananya.

'Apa yang harus ku lakukan?'

"Jadi ada keperluan apa kalian berdua menemui saya?" tanya Takada ramah.

Hilang.

Semuanya hilang begitu saja. Semua rencana yang sudah dipersiapkan langsung hilang ketika menyaksikan kedua polisi itu ada di ruangan ini dengan senyumanya yang sangat menjengkelkan bagi Aomine.

"Ah itu, saya...maksud saya..." Aomine menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Mereka adalah rekan kami Pak. Mereka juga ikut menangani kasus hilangnya anak." Sambung Imayoshi cepat.

Aomine melotot tidak suka. Haizaki tersenyum remeh.

"Oh jadi kalian dari kepolisian juga? Kebetulan sekali, mereka berdua (Haizaki dan Imayoshi) juga baru saja tiba." dan mau tidak mau, Aomine mengangguk pelan.

"Ya, saya juga dari kepolisian. Kedatangan kami kesini ingin menanyakan perihal hilangnya anak yang akhir-akhir ini terjadi." Aomine menyerahkan beberapa file yang berisi hilangnya anak-anak dengan kedua orang yang diyakini berkaitan dangan kasus tersebut.

Haizaki memandang Aomine tidak suka. Sejak kapan dia memiliki file itu?

"Seperti yang bapak ketahui di file tersebut, anak-anak yang hilang itu memiliki beberapa kesamaan. Diantaranya, mereka mendapatkan bantuan dari yayasan anak ini." Takada mengangguk mengerti.

"Dari apa yang kami selidiki, para korban yang menghilang itu adalah tanggung jawab dari anggota yayasan ini yang bernama Akashi Seijuuro dan Hanamiya Makoto." Sambung Haizaki tidak mau kalah.

Takada berpikir sebentar untuk mencerna informasi yang baru saja didapatnya itu.

"Jadi kalian berpikir kalau mereka adalah tersangka, seperti itu?" tanya Takada cukup kesal, karena anggotanya dituduh membunuh seorang anak.

Imayoshi mencoba menenangkan. "Kami tidak bisa bilang seperti itu, saat ini yang kami lakukan hanyalah mencari bukti dari pelaku. Lagipula, kami masih belum bisa memastikan pelakunya bekerja secara sendirian atau berkomplot."

Aomine yang sadar kalau Kagami sudah mulai tidak nyaman, hanya melirik pemuda itu. Bukannya dia tidak peduli, setidaknya dia harus bisa menemukan petunjuk terlebih dulu sebelum meninggalkan tempat ini. Apalgi firasatnya mengatakan kalau saat ini mereka berdua sedang dimanfaatkan oleh ke dua rekannya itu.

"Mereka sangat baik. Sungguh! Seijuuro walaupun tampangnya dingin, dia sangat perhatian dengan anak-anak. Dan Makoto selalu menemani anak-anak tersebut. Jadi, ketika kabar mereka tewas, keduanya sangat bersedih walaupun tidak mereka tunjukan." Jelas Takada. Sepertinya ketua yayasan ini sangat mengerti dengan sifat anggotanya.

Ataukah dia tidak mengerti sama sekali?

Haizaki mengehala napasnya.

"Saya mengerti dengan perasaan Bapak. Tapi bisakah kami bertemu dengan Akashi dan Hanamiya?"

"..." Takada tampak berpikir sebentar.

"Saya mohon kerjasamanya dengan Anda. Kami, ah...tidak, pasti bapak juga tidak ingin kejadian ini terulang lagi bukan?"

Takada masih berpikir.

Cukup lama, hingga membuat kesabaran Aomine menipis.

"Saat ini seorang anak sedang membutuhkan pertolongan kita. Jika kita terlambat sedikit saja, nyawa anak itu akan hilang! Apa kau akan bertanggung jawab hah?" desis Aomine kesal. Dirinya sungguh tidak sabar melihat tingkah ketua yayasan tersebut.

Jika dirinya tidak cepat bergerak, Riko akan...Ah! Memikirkannya saja langsung membuat Aomine frustasi.

Mendengar perkataan Aomine cukup membuat ketua yayasan itu bergidik ngeri. Diapun langsung menelpon sekertarisnya untuk membawa Akashi dan Hanamiya ke ruangannya.

Cukup lama untuk Akashi dan Hanamiya datang ke ruangan ini. Sehingga mereka berempat, kecuali Kagami yang lebih memilih diam, mengisinya dengan perbincangan ringan untuk mencairkan suasana. Menurut penuturan Takada, saat ini kedua anggotanya itu tengan berada di luar yayasan dan tengah menuju kesini.

"Aomine." Panggil Kagami serius.

"?"

"Aku ingin ke toilet sebentar."

"Ha?" kaget Aomine. Dia pikir Kagami akan mengatakan sesuatu yang serius, nyatanya hanya ingin pergi ke toilet. "Yasudah, sana pergi."

"Maaf, Tuan Takada. Saya izin ke toilet sebentar." Pamitnya yang langsung dibalas anggukan oleh ketua yayasan tersebut.

Saat Kagami ingin membuka pintu, tiba-tiba saja seseorang membuka pintunya dari belakang cukup kencang sehingga Kagami terjatuh dengan tidak elitnya.

"Ah maaf, aku tidak tau kau ada di belakang. Kau baik-baik saja?" Hanamiya langsung mengulurkan tangannya mencoba membantu Kagami. Akashi yang ada di belakang Hanamiya langsung masuk ke dalam ruangan tanpa mempedulikan Kagami. Toh bukan salahnya pemuda itu terjatuh.

Sebenarnya Kagami enggan menerima uluran tangan itu, tapi sepertinya tidak sopan kalau langsung menolaknya mentah-mentah. Diapun menerima uluran tangan Hanamiya. "Terima kasih."

"Tak masalah."

Dan di saat itu juga, sebuah gambaran langsung masuk ke dalam pikirannya.

[Tolong aku, Paman. Kenapa paman mengurungku disini?]

[Kagami melihat sebuah terdapat pendingin yang Kagami tau pendingin untuk mendinginkan potongan hewan.]

[Paman, keluarkan aku dari sini. Hiks]

[Kagami melihat gadis kecil yang menangis.]

'Riko?'

[Paman aku tidak mau ada disini!]

"Oy, kau tidak apa-apa? Kau mimisan." Hanamiya memandang bingung Kagami yang tidak juga melepaskan genggaman tangannya.

Mendengar Hanamiya menyebukan kata mimisan, membuat Aomine langsung terlonjak cepat menghampiri Kagami.

[Kagami melihat apartemen. Di depannya dia bisa melihat ada sebuah air mancur berbentuk lingkaran dengan hiasan bunga di pinggirnya.]

"Kagami! Kau bisa mendengarku? Kagami!" panggil Aomine panik. Sungguh Aomine tidak tahan melihat Kagami yang seperti ini. Genggaman tangan pemuda ini terlalu kencang sehingga sulit di lepas.

'Sadarlah Kagami.'

[Dan yang terakhir Kagami lihat, Riko tengah kedinginan di dalam ruangan. Meminta pertolongan.]

Setelah itu Kagami pingsan tidak sadarkan diri, yang langsung membuat adrenalin Aomine berdetak cepat.

"Apa aku harus memanggil Ambulans?" tanya Takada ikutan panik.

"Tidak, tidak perlu. Dia hanya kelelahan, aku akan segera membawanya pulang." Aomine langsung menggendong Kagami di punggungnya, walaupun saat ini dia sangat khawatir dengan keadaan pemuda itu.

Haizaki dan Imayoshi yang melihat hal tersebut cukup khawatir, tapi melihat kilat mata Aomine yang mengatakan tidak apa-apa membuatnya terduduk lega.

"Kalian lanjutkan saja penyelidikannya, aku akan membawanya pulang." Lanjut Aomine yang lebih terdengar seperti perintah.

Haizaki membiarkan keduanya pergi.

Dia tidak menyesal.

Karna ini sudah keputusannya.

Yang sekarang dia tau, pasti Kagami melihat sesuatu di orang itu. Dan sesuatu itu bukanlah hal yang bagus.

xxxxxx

"Jadi kenapa kau datang kembali kesini, nodayo?" Midorima menatap tajam Aomine meminta penjelasan.

"Terpaksa." Jawabnya enteng. "Aku akan jelaskan semuanya nanti. Yang lebih penting bagaimana keadaan Kagami sekarang?"

Midorima memijat pelipisnya, dia merasa de javu dengan kejadian ini. "Dia kelelahan, sepertinya dia jarang melakukan aktivitas seperti ini. Jadi tubuhnya kaget dan begitulah. Dia pingsan."

Aomine mengehala napas lega. Setidaknya pemuda itu baik-baik saja sekarang.

Sepertinya dia harus melakukan introgasi setelah pemuda itu sadar. Sekarang sudah 30 menit sejak Kagami dinyatakan pingsan, dan belum ada tanda-tanda pemuda itu akan sadar.

"Sepertinya kau belum menemukan petunjuk pasti dari kasus ini, nodayo?" lanjut Midorima, yang sebenarnya cukup penasaran.

Aomine menatap kesal Midorima, mendengus kesal. "Kau meremahkan ku?"

"Tidak, lebih tepatnya aku tidak yakin dengan kemampuan mu."

TWICH

"Kau memang sangat menyebalkan, cih!" Sahut Aomine berlalu menuju kamar Midorima, dimana Kagami tengah tidak sadarkan diri.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Dia belum sadar juga?"

"Kau bisa lihat sendiri, Aomine-kun. Gunakanlah matamu itu."

Aomine memandang Kuroko kesal. Sepertinya temannya ini memang tidak ada yang waras. Kenapa suka sekali membuatnya kesal?

"Kagami-kun terlihat sangan tenang ketika tertidur. Beda sekali ketika dia sadar. Bukankah begitu Aomine-kun?" tanya Kuroko yang sedari tengah memperhatikan Aomine lucu. Pasalnya polisi muda itu tidak juga mengalihkan pandangannya dari si surai merah.

"Hmm, dia sangat tenang." Tanpa Aomine sadari, sebuah senyuman sudah terukir di wajahnya.

Kuroko tersenyum tipis.

Entahlah, tapi setelah dirinya bertemu dengan Kagami, kehidupannya mulai berubah. Setelah kematian Satsuki yang membuatnya putus asa, kini dia seperti menemukan sesuatu yang penting. Sesuatu yang sangat ingin dia lindungi.

"Apa yang akan kau lakukan jika kasus ini selesai, Aomine-kun?"

Pertanyaan Kuroko sukses mengalihkan Aomine dari pandangannya. "Maksudmu?"

"Apa yang akan kau lakukan selanjutnya pada Kagami-kun?"

Ah iya, dia tidak memikirkan itu sama sekali. Apa yang akan Aomine lakukan setelah kasus ini selesai, dia tidak memikirkannya. Apa hubungannya dengan pemuda itu akan berakhir begitu saja?

"...Mine!"

"Aomine-kun!"

Aomine mengerjapkan matanya kaget. Sepertinya dia melamun cukup lama. "Aomine-kun!" refleks dia langsung memandang Kuroko yang berteriak panik.

"A..ada apa Tetsu?"

"Kagami-kun malarikan diri. Saat ini Midorima-kun sedang berusaha menahannya." Sontak mata birunya membulat sempurna, memandang kasur di sampingnya sekilas sebelum menghampiri sang dokter yang tengah berada di depan pintu.

'Shit!'

"Kenapa kau menahanku, sialan! Aku harus menyelamatkan anak itu!" teriak Kagami, berusaha melepaskan cengkraman Midorima.

Sang dokter hanya meringis ketika Kagami mencakar lengannya. "Lepaskan!"

Greb

Aomine langsung menangkup wajah Kagami dengan kedua tangannya, membuat sang pemuda terdiam. Iris crimson bertemu navy.

"Sudah tenang?"

Kagami tersentak sebelum mengangguk pelan. "Ah! Riko, dia..."

"Aku tanya sekali lagi, kau sudah merasa tenang?"

Kagami terdiam, mencoba mengatur emosinya. "Ya." Ucapnya pelan.

"Bagus. Bisa kau tidak memberontak seperti ini?" tanya Aomine lagi, nadanya tenang tidak ingin pemuda di depannya merasa tertekan.

Kagami mengangguk.

Tangannya terlepas dari wajah Kagami. "Bagaimana kalau kita duduk terlebih dulu?" senyuman khas polisi muda itu kembali muncul.

"Tidak bisa! Riko bisa ma..."

Aomine langsung merangkul pemuda itu dan menyeretnya ke kursi. "Tenanglah, Tak akan terjadi apa-apa. Aku yang akan bertanggung jawab."

Bohong.

Sejujurnya, polisi muda itu tengah membohongi dirinya. Hatinya mengatakan untuk langsung pergi mengikuti Kagami dan menghajar pelaku. Namun disisi lain, dia tidak mau gegabah. Dia tidak ingin kejadian yang membuat rekannya terluka terjadi kembali. Dirinya cukup pintar untuk belajar dari pengalaman sebelumnya.

Kagami memandang Aomine ragu. Matanya bergerak gelisah. Sensasi dari penglihatannya masih saja terngiang di ingatannya. Dia tidak boleh membuang waktu lebih lama.

"Apa yang kau 'lihat'?" tanya Aomine to the point.

"Anak itu...anak itu sedang dalam bahaya. Dia benar-benar harus segera diselamatkan, Aomine! Kita harus segera menyelamatkannya!" keadaan Kagami kembali panik. Midorima dan Kuroko yang memperhatikan ikut terbawa suasana dengan keadaan gadis kecil itu.

"Sssttt, Kagami tenanglah. Aku percaya padamu dan aku percaya kita pasti bisa menyelamatkan Riko. Sebelum itu, apalagi yang kau lihat dari orang itu? Atau kau tau dimana Riko disembunyikan?"

Kagami menutup kedua matanya mencoba mengingat kembali.

"Sebuah apartemen, air mancur, ah ya! Sebuah apartemen yang didepannya terdapat air mancur berbentuk lingkaran dengan hiasan bunga di pinggirnya. Ya! Itu yang aku lihat."

Aomine mengangguk mengerti. "Tetsu, kau tau apartemen itu bukan?"

xxxxxx

Haizaki berjalan kesal melewati koridor kantor kepolisian. Hasil dari wawancaranya dengan kedua terduga penculikan itu sama sakali tidak menghasilkan apa-apa. Padahal dirinya yakin, kalau dia merasa dekat dengan si pembunuh.

BRAK

Pintu tidak bersalah itu dibanting, membuat penghuni ruangan itu cukup untuk mengelus dada karena kaget.

"Ha..Haizaki-san kenapa kau terlihat kesal seperti itu?" tanya Ryo.

"Cih si brengsek itu! Aku sangat membenci wajahnya!" gerutunya kesal mengabaikan pertanyaan Ryo.

"Aku sangat ingin memukul wajahnya, sungguh! Kau juga menganggapnya seperti itukan Imayoshi?"

Imayoshi mengangguk. "Tangannya terasa dingin ketika aku bersalaman dengannya. Sepertinya dia sangat kedinginan hingga tangannya memerah seperti itu."

"Nah! Dia aneh bukan? Padahal di luar cuacanya sangat panas. Tapi tangannya bisa dingin seperti itu. Kau tau apa jawaban dia, 'Aku habis dari toko ikan untuk mengambil ikan segar ditumpukan es batu.' Bukankah itu tidak masuk akal?" jelas Haizaki.

"Mungkin saja dia berkata jujur." Sahut Hyuuga menebak.

"Tidak, dia berbohong." Balas Imayoshi. "Jika dia baru saja dari toko ikan, pasti bau amis dari ikan itu akan menempel walaupun samar. Tapi aku tidak mencium sama sekali aroma tersebut, melainkan bau busuk yang tidak terlalu ketara."

"Bau busuk?" tanya kapten.

"Ya, aku juga mencium bau tersebut. Sepertinya bocah indigo itu juga melihat sesuatu dari orang itu." Jawab Haizaki.

"Bocah indigo? Kagami-san?" tanya Sakurai.

Haizaki mengangguk. "Sejujurnya aku tidak terlalu mencurigai Hanamiya, justru aku sangat penasaran dengan Akashi karena auranya itu membuat orang terintimidasi. Tapi setelah melihat Kagami yang pingsan dan sikap bohongnya Hanamiya, aku jadi mencurigainya."

"Ah ya, Imayoshi pasti sudah menceritakan perihal kedatangan Aomine dan Kagami kan kapten?" tanya Haizaki sedikit canggung, mengingat kesalahannya. Membiarkan kedua buronan itu pergi.

Sang kapten mengangguk pelan. "Aku jadi berpikir, kenapa kalian melepaskan mereka begitu saja."

Imayoshi dan Haizaki saling membuang tatapannya. Tidak berani menatap sang kapten.

"Beruntunglah kalian karena ada kasus yang lebih penting. Walaupun sekarang kita tau bukan Kagami lah pelakunya. Tapi selama barang bukti dan pelaku aslinya belum tertangkap, pemuda itu akan tetap dicurigai dan menjadi buronan. Aku akan menghukum kalian berdua setelah kasus ini selesai." Lanjut sang Kapten.

"B-baik." Jawab keduanya.

"Kalau begitu kita tangkap saja si Hanamiya itu sekarang!" seru susa semangat.

"Tidak semudah itu, bodoh. Kita butuh bukti untuk menangkap orangnya." Jelas Hyuuga.

"Kalian ingat kan, kalau Hanamiya itu seorang freelancer?" tanya Imayoshi.

Semua yang diruangan itu mengangguk.

"Aku sempat bertanya dengan salah satu karyawan tentang pekerjaan lain dari Hanamiya. Entahlah ini penting atau tidak, tetapi kita bisa mendapatkan petunjuk lainnya tentang orang itu." Lanjutnya. "Dia bekerja sebagai dokter hewan di daerah A."

"Dokter hewan?" sahut Hyuuga tidak percaya.

"Ya, info itu aku dapatkan dari orang yang mengaku teman dekatnya. Katanya pekerjaan itu rahasia, jadinya hanya dia yang tau." Jelas Imayoshi.

"Ke...Kenapa Hanamiya-san menyembunyikan pekerjaannya? Ah maafkan aku! Tapi bukannya dokter hewan itu pekerjaan yang mulia juga." Ucap Sakurai.

"Ini semakin misterius saja." Gumam Haizaki.

Ditengah keheningan itu sang kapten mencoba memecah suasana.

"Bukankah menurut penuturan korban, pelaku menggunakan mayat anjing untuk menarik perhatian anak-anak?"

Seketika semuanya menoleh cepat ke arah kapten.

"Bukankah sangat mudah untuk menemukan mayat anjing jika kita bekerja sebagai dokter hewan. Bukan hanya mayat anjing saja, melainkan hewan yang lainnya. Bukankah begitu?" Senyuman terlukis di wajah kapten.

Bolamata Haizaki membulat sempurna, dia langsung mengambil jaketnya dan berlalu pergi. "Aku pergi dulu."

"Temani dia, dia pasti langsung menuju daerah A. Tempat rumah sakit hewan itu berada." Sahut kapten.

"Siap!" sahut yang lainnya berlalu pergi.

xxxxxx

Matahari yang mulai terbenam tidak melunturkan semangat ketiga pemuda bersurai warna warni. Aomine, Kagami dan Kuroko kini memandang apartemen 20 tingkat itu dengan takjub.

'Di sinikah Riko dikurung? Aku harap aku tidak terlambat. Bertahanlah Riko.'

"Kau tidak salah tempat, Tetsu?" tanya Aomine tidak percaya.

"Aku sudah mengeceknya beberapa kali, jadi tidak mungkin salah Aomine-kun." Balas Kuroko.

Kagami mengepalkan kedua tangannya erat, mencoba untuk menenangkan diri.

Sedangkan polisi muda itu mengehembuskan napasnya pelan, meyakinkan dirinya sendiri. Entah kenapa dirinya merasa kalau semua ini akan segera berakhir.

"Mmm, ada yang ingin kubicarakan." Ucap Aomine tiba-tiba. "Kita sudah sampai sejauh ini. Aku sungguh sangat berterima kasih dengan kalian. Se..."

"Setan-kun, sebaiknya kau cepat keluar dari tubuh polisi bodoh ini. Karena dia mulai berbicara yang tidak-tidak." Potong Kuroko merusak suasana tenang itu.

JLEB

Sebuah inner pedang panjang, tiba-tiba saja menembus jantung Aomine. "Kurang ajar kau Tetsu! Memang siapa yang kemasukan setan?!" teriak Aomine tidak terima. Kagami tersenyum kecil, bersyukur bisa dipertemukan oleh kedua orang ini.

"Sudahlah, kau merusak suasana saja Tetsu. Sekarang kita lakukan seperti biasanya. Kau tunggu di mobil. Aku dan Kagami akan masuk ke apartemen tersebut."

"Tidak mau!" sahut Kuroko cepat. "Kali ini aku akan membantu kalian juga. Aku bosan menunggu kalian di mobil." Jelasnya.

Aomine menatap Kuroko tidak percaya, sebelum menampilkan senyuman khasnya. "Baiklah. Kau juga ikut mencarinya."

"Karena apartemen ini memiliki 20 lantai, pencarian kita bagi menjadi tiga tim. Tetsu kau mencari orang itu dari lantai satu sampai enam. Aku akan mencari dari lantai tujuh hingga 13. Dan terakhir Kagami, kau sisanya. Paham?" jelas Aomine.

Keduanya mengangguk mengerti.

"Kalau begitu, ayo kita masuk."

"Tunggu sebentar, Aomine-kun, Kagami-kun." Sahut Kuroko. Aomine dan Kagami menatap Kuroko bingung. "Sepertinya handphone ku tertinggal di dalam mobil."

Tanpa menunggu jawaban dari keduanya, Kuroko langsung berlari munuju mobilnya. Dan tinggallah Aomine dan Kagami berdua.

"Kagami." Panggil Aomine memecah keheningan.

"Hmm?" gumamnya.

Tanpa basa-basi Aomine memberikan sebuah telepon genggam baru, karena punya Kagami yang sebelumnya sudah menjadi sitaan polisi. "Gunakan ini! Jika ada apa-apa langsung saja kau hubungi aku. Tidak peduli hal kecil, jika menurutmu itu mencurigakan langsung hubungi aku. Jangan melakukannya sendiri. Kau harus menghubungi ku terlebih dulu, mengerti?"

Kagami menatap iris navy Aomine beberapa detik, sebelum tersenyum. Tidakkah dia sadar kalau dirinya mengeluarkan kalimat 'hubungi aku' sebanyak tiga kali? "Kau bodoh ya, Ahomine." Balasnya.

"A...Aho?"

"Kau mengkhawatirkan ku?" tanya Kagami iseng.

"Ha? Kau terlalu percaya diri Kagami. Kenapa aku harus mengkhawatirkan mu?" ejeknya.

"Tenang saja, aku bisa menjaga diriku sendiri. Kau lakukan saja yang terbaik agar bisa menyelamatkan Riko."

"Sok kuat." Desis Aomine yang dibalas tawa oleh Kagami. Mereka berdua tertawa tanpa menyadari kehadiran pemuda baby blue yang sudah beberapa detik berada di antara mereka.

"Sampai kapan kita berdiri disini, Aomine-kun, Kagami-kun?"

"Woaah! Tetsu/Kuroko sejak kapan kau disini?" sahut keduanya bersamaan.

Kuroko hanya menatap keduanya datar. Bosan untuk meladeni pertanyaan tersebut. "Bisakah kalian lanjutkan nanti saja acara kalian itu?"

.

Layaknya penghuni apartemen ini, mereka bertiga mulai melakukan aksinya untuk mencari Hanamiya. Dimulai dari Kuroko yang berkeliling mengetuk pintu untuk bertanya.

Beda dengan Kuroko, Aomine dan Kagami langsung menaiki lift untuk mencari target mereka. Setelah lift berhenti di lantai tujuh Aomine keluar dari lift tersebut. Bukannya langsung pergi, Aomine hanya berdiri di depan pintu lift, memandang Kagami yang terlihat bingung.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Kagami.

Aomine tidak menjawab. Sebenarnya polisi muda itu tidak rela membiarkan Kagami melakukan pencarian sendiri.

Saat pintu lift tersebut mulai tertutup, Aomine mulai membuka mulutnya. "Hati-hati." Satu kata itulah yang bisa terbaca oleh Kagami. Padahal dirinya yakin kalau setelah kata itu, ada hal lain yang diucapkan oleh polisi muda itu.

'Apa yang dia katakan?'

Di dalam lift hanya tinggal dirinya sendiri. Lantai 13 sudah terlewati tetapi dirinya tidak berniat untuk keluar lift. Menurut Kagami, akan lebih efektif jika dia mulai melakukan pencarian dari lantai 20, karna setelah itu dia tidak harus menaiki tangga tetapi lebih muda untuk menuruni tangga.

.

Lantai 14

.

Lantai 15

.

Lantai 16

TIINGG

Pintu lift terbuka di lantai 16. Seseorang itu masuk begitu saja yang langsung berdiri membelakangi Kagami. Kagami sendiri tidak bisa melihat wajah orang itu karna tertutup oleh hoddie jaketnya. Entah kenapa susana di dalam lift berubah menjadi mencekam. Mungkin karna firasat Kagami yang menyatakan kalau orang ini aneh.

"Hai." Sapa orang itu tanpa membalikan badannya.

Kagami terdiam beberapa detik sebelum menjawabnya."Uh, h..hai juga. Kau berbicara dengan ku?"

Suara kikikan keluar begitu saja dari orang tersebut. "Kau sedang melucu? Di dalam lift ini hanya ada kita berdua. Tidak mungkin kan aku berbicara dengan mahkluk halus."

Kagami ingin membalas, tapi dia urungkan karena tidak mau ambil masalah. Lagi pula bukan salahnya kan bertanya seperti itu. Kenapa juga dia berbicara dengan membelakangi dirinya seperti itu.

"Kau mau ke lantai berapa?" tanya orang itu.

DEG

Tunggu!

Kagami tidak asing dengan suara ini, tapi dimana? Bayangan Aomine seketika terlintas dipikirannya. 'Tidak peduli hal kecil, jika menurutmu itu mencurigakan langsung hubungi aku.' Perlahan tangannya mulai membuka handphonenya mencari nomor Aomine. "A..aku ingin ke lantai 20."

"Hmm kalau begitu kau sama denganku. Apa kau tinggal di lantai 20 juga?" tanya orang itu lagi.

Jantung Kagami mulai berdetak tidak karuan. "Iya, aku tinggal di lantai 20 juga." Jawabnya tidak yakin.

"Oh begitu. Tapi kenapa aku tidak pernah melihat wajahmu ya?" tanya orang itu.

DEG

"Oh, i..itu...itu karena aku baru pindah ke lantai 20. Ya, aku baru saja pindah." Dirinya fokus kepada handphonenya sembari mengetikan sebuah pesan ke Aomine. Send.

'Ingatlah! Ingatlah! Dimana aku pernah mendengar suara ini?' Pikiran itu terus saja terngingar di kepala Kagami.

"Oh tetangga baru. Tapi, seingatku lantai 20 itu sangat spesial." Ucapnya santai.

TINGG

Helaan napas keluar begitu saja dari mulut Kagami. Akhirnya dia bisa pergi dari orang aneh ini. Tapi bukannya keluar lift, orang itu malah bergerak ke belakang Kagami, membisikan sesuatu di telinganya.

"Apa kau tau..."

Kagami menelan ludahnya.

"...kalau lantai 20 itu hanya memiliki satu kamar?"

Refleks Kagami menolehkan kepalanya menatap orang itu. Bola mata crimson itu membulat. Jantungnya berdetak cepat. Keringat dingin langsung mengalir begitu saja dari pelilipisnya. Ingatan-ingatan ketika dirinya menyentuh orang itu mulai berputar di ingatannya.

'Ha..Hanamiya.'

"Dan satu-satunya orang yang tinggal di lantai 20 ini hanya aku seorang." Senyuman iblis itu langsung terlukis begitu saja di wajahnya.

'Sial!'

"Jadi kalau boleh tau, dimana letak kamarmu di lantai 20 ini, tetangga baru?"

Dengan berakhirnya pertanyaan Hanamiya, Kagami mencoba melarikan diri dari psychopath tersebut. Namun terlambat, Hanamiya sudah mencengkram lengannya kuat.

"Mau kemana? Kenapa tidak mampir ke kamar ku dulu."

Kagami tidak akan menurut begitu saja, diapun berontak dengan menendangkan kakinya ke kaki Hanamiya. Hanamiya tidak bergeming, malah semakin menampakan seringainya. Tidak mau kalah, Kagami melayangkan kembali kakinya ke wajah Hanamiya.

BUGH

Cengkraman dokter hewan itu langsung terlepas begitu saja. Kagami tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia pun kembali melayangkan tinjunya wajah dan perut Hanamiya.

BRUKK

Hanamiya terdorong menabrak dinding lift sebelum terjatuh. Kagami langsung keluar dari dalam lift meninggalkan Hanamiya.

GREB

"Akhh!" Kagami mendesis kesakitan ketika merasakan rambutnya di tarik paksa oleh seseorang.

"Kau tidak bisa lari begitu saja."

Dengan kasar, rambut merah gelap itu ditarik sehingga si pemilik rambut itu harus mendongakan palanya ke atas. "Cih! Lepaskan brengsek!"

Tanpa mempedulikan sakitnya, Kagami langsung membalikan badannya dan berusaha membalas dengan kembali melayangkan tinjunya. Usahanya lumayan berhasil karena bisa terlepas dari Hanamiya.

"Cih!" Hanamiya meludah bercampur darah akibat pukulan Kagami. Sepertinya bibirnya robek.

"Dimana Riko?!" tanya Kagami.

Bukannya menjawab Hanamiya mengambil sebatang besi yang tergeletak begitu saja sebelum di arahkan ke kepala Kagami. Untung pemuda itu memiliki refleks yang bagus sehingga bisa terhindar dari besi tersebut. Tidak selesai sampai situ saja, Hanamiya terus menyerang Kagami dengan batang besi tersebut.

BUGH

"Ughh..."

Hanamiya berhasil mengenai pinggang Kagami, membuat pemuda itu oleng dan jatuh terduduk. Kagami berani sumpah, kalau dia melihat kilat mata Hanamiya yang sangat menyeramkan dan seringaian iblisnya sebelum kepalanya terkena batang besi itu.

"Akhhh!' teriakan kesakitan Kagami nyaring terdengar di lantai 20 ini. Disambut dengan iringan tawa bahagia Hanamiya.

Pukulan tersebut tidak langsung membuatnya pingsan, tapi cukup untung membuatnya pusing dengan darah yang langsung mengalir dari pelipisnya yang robek.

"Hahaha, apa kau masih bisa menghadapi ku?"

TUNG

TUNG

TUNG

Batang besi itu dihantuk-hantukan ke tembok seakan memberi peringatan bagi Kagami, kalau Hanamiya akan segera menghabisinya. Sial! Pandangannya memburam. Dia berusaha berdiri, tidak mau kalah dengan pembunuh di hadapannya.

"Kemari kau kalau berani." Entah Kagami yang kuat atau memang bodoh, dia menantang Hanamiya yang semakin tersenyum 'bahagia' itu.

"Boleh juga."

Dengan kesadaran yang masih tersisa Kagami mencoba melawan Hanamiya. Tapi memang pada dasarnya tidak seimbang. Lagi-lagi Kagami jatuh tersungkur akibat terkena batang besi tersebut.

"Aku kira kau cukup kuat, ternyata hanya begini saja." Perlahan Hanamiya berjalan mendekati Kagami sembari menyeret batang besi tersebut.

Kagami yang melihat hal itu, mencoba bangkit dari jatuhnya. "Ughh.. sial!"

"Kalau begitu selamat tidur."

Dan batang besi itu lagi-lagi melayang mengenai kepala Kagami.

BRUKK

Pemuda merah itu jatuh begitu saja. Pandangannya memudar. Dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Tenaganya seperti meluap begitu saja.

'Aomine.'

Dan selanjutnya kegelapanlah yang menyapa pemuda crimson itu.

.

-Dilain tempat-

.

"Permisi, apakah orang yang bernama Hanamiya tinggal disini?" tanya Aomine ramah.

Seorang wanita yang membukakan pintunya, menatap bingung Aomine. "Maaf, kau salah orang sepertinya." Dan setelah itu pintu kamarnya langsung ditutup begitu saja.

Entahlah ini sudah keberapa kalinya polisi muda itu menerima perlakuan seperti itu. Dirinya segera melangkah ke kamar selanjutnya, sebelum sebuah getaran di saku celananya mengambil alih perhatiannya.

From : Tetsu

Aku tidak menemukan Hanamiya di lantai bawah Aomine-kun.

Aomine memijat pelipisnya pelan. Perasaannya berubah tidak enak. Jika Hanamiya tidak ada di lantai bawah, kemungkinannya tinggal dua. Dengan cepat dia langsung menggelengkan kepalanya, menghilang pikiran buruknya.

Bola matanya kembali menatap layar telepon genggam tersebut.

"Kagami?" gumamnya.

From : Bocah Indigo

Lantai 20! Cepatlah!

Dengan cepat Aomine langsung melihat kapan pesan itu diterimanya. "Oh sial! Kagami!" sudah sekitar 20 menit pesan itu di terimanya, dan dia tidak juga menyadarinya.

DEG DEG DEG

Jantungnya langsung berdetak cepat begitu saja. Tanpa pikir panjang lagi, Aomine langsung menaiki lift menuju lantai 20. Tidak lupa juga dirinya mengirimi pesan ke Kuroko untuk segera menghubungi polisi. Perasaannya sungguh tidak enak, yang ada di pikirannya saat ini adalah Kagami.

.

TIIING

Yang menyambut Aomine pertama kali setelah sampai di lantai 20 adalah kegelapan. Sebenarnya tidak cukup gelap, karna masih ada sedikit penerangan sebelum dia melihat ada sebuah pintu yang Aomine yakini sebagai ruangan satu-satunya di lantai 20 ini.

Jika dia tau lantai 20 hanya memiliki satu kamar, pasti dia tidak akan mengirim Kagami untuk memeriksanya. Kejadian ini terulang kembali. Dia terlalu gegabah untuk membuat keputusan. Jika sampai terjadi sesuatu kepada Kagami, dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.

Bermodalkan sebuah pistol, Aomine nekat masuk ke dalam kamar tersebut. Dia tidak bisa menunggu sampai polisi datang. Saat ini Kagami pasti sedang dalam bahaya. Bukan hanya Kagami tapi Riko juga.

Kosong.

Tidak ada orang.

'Aneh.'

Kamar tersebut rapih, tidak seperti yang Aomine bayangkan. Mungkin jika kamar tersebut berantakan cukup membuat perasaannya sedikit tenang, karena bisa menunjukan bahwa ada kehidupan di ruangan tersebut.

Penerangan di ruangan ini juga tidak bagus, hanya lampu-lampu kecil sebagai pembantu penglihatan. Menimbulkan kesan horror begitu saja. Kaca-kaca jendela itu tidak terkunci sehingga angin malam dengan mudahnya masuk ke dalam ruangan ini. Ingatkan Aomine untuk tidak dekat-dekat dengan jendela tersebut kalau tidak ingin jatuh dari lantai 20.

Merasa aman di ruang tamu, Aomine kembali melangkahkan kakinya masuk lebih dalam ke ruangan itu. Dia masuk ke sebuah ruangan yang cukup kecil. Seperti ruangan membaca. Aomine bisa melihat sebuah kursi dan meja dengan tumpukan beberapa buku di sana. Sebuah almamater dengan logo anak yang bergandengan, digantung di dinding kamar. Dan sebuah kandang yang cukup besar berisi bola-bola mainan, sama seperti yang pernah di gambar oleh Kagami.

Tunggu!

Sepertinya dia melihat ada seseorang di dalam kandang tersebut. Dengan cepat Aomine langsung mendekatinya. Iris navy nya membulat.

"Oh Tuhan! Riko! Riko! Kau bisa mendengarku? Riko!" teriak Aomine tidak peduli dengan suaranya yang bisa membuat penghuni kamar ini sadar dengan kehadirannya.

Bolamatanya bergerak liar, mencari kunci untuk membuka kandang yang sangat tidak cocok di tempati oleh manusia ini. Sungguh, jika Aomine berhasil bertemu dengan Hanamiya dia pasti akan langsung menghajarnya.

Tidak butuh waktu lama, Aomine dapat membuka kandang tersebut. Diapun langsung membawa keluar Riko mencoba menyadarkannya. Tubuh gadis kecil itu dingin, kuku-kukunya pun agak membiru. Jaket yang Aomine kenakan langsung di lepasnya untuk melilit tubuh mungil yang kedinginan tersebut.

"Riko, Riko, kau bisa mendengarku?" dengan lembut Aomine menepuk pelan pipi mungil gadis kecil itu. "Riko?"

"Umm.." perlahan bola mata coklat itu memandang Aomine.

"Riko? Kau mengenalku?" tanya Aomine was-was.

"Uh... paman, paman yang waktu itu?"

Helaan napas lega langsung keluar begitu saja setalah melihat gadis ini tidak melupakannya. Aomine sangat bersyukur, karena kali ini dia tidak terlambat.

'Syukurlah.' Dan kata-kata itu terus saja terngiang di pikirannya. Syukurlah, Tuhan telah memberikannya sebuah kesempatan.

Tapi dia tidak bisa lega begitu saja, keadaan gadis ini tidak bisa dikatakan baik. Karena sedari tadi tubuh mungil ini menggigil kedinginan. Dan dia juga belum menemukan keberadaan Kagami.

SREKKK

Sebuah suara kecil cukup bagi Aomine untuk memasang sikap waspadanya. Dia pun menurunkan Riko dari gendongannya dan berjalan menghampiri pintu tersebut. Dibukanya sedikit pintu tersebut untuk mengintip keadaan sekitar.

Merasa aman. Aomine keluar dari ruangan tersebut meninggalkan Riko di dalamnya. Polisi muda itu tidak mungkin membawa Riko keluar, takut-takut dia harus berhadapan dengan Hanamiya dan malah membuat gadis itu terluka.

"Well, jadi kau sudah menemukan gadis itu, Tuan Polisi?"

xxxxxx

Haizaki bergerak tidak nyaman di kursi mobilnya. Kata-kata makian sedari tadi keluar begitu saja, bagaikan nyanyian di malam yang sepi. Sekitar 30 menit yang lalu, dia dapat kabar dari kantor bahwa si Aomine-sialan-Daiki itu sedang menghadapi Hanamiya tanpa mengabarinya terlebih dulu.

"Brengsek! Kenapa si bodoh itu tidak menghubungi kita terlebih dulu! Kenapa dia menyerang orang itu sendirian?! Sialan!"

Sakurai yang berada satu mobil dengan seniornya itu, hanya bisa berdoa dalam hati agar seniornya bisa dimaafkan oleh Tuhan karena kata-kata kasarnya.

"Tenanglah Haizaki, kau bisa mengacaukan konsentrasi Susa." Tegur Imayoshi.

Memang benar, saat ini mereka tengah mengendari mobil dengan kecepatan penuh menuju tempat kejadian perkara, dimana Hanamiya berada. Berterima kasihlah kepada Kuroko, yang saat ini juga satu mobil dengan Haizaki, dengan segera menghubungi kepolisian dan segala bantuan lainnya untuk segera datang.

'Sepertinya aku bisa mengerti kecemasan, Haizaki-kun.' Pikir Kuroko.

"Aku tidak bisa tenang brengsek! Kalau terjadi apa-apa bagaimana?! Orang bodoh itu kan gegabah. Ah! Sialan!"

xxxxxx

"Well, jadi kau sudah menemukan gadis itu, Tuan Polisi?"

Aomine langsung mengarahkan pistolnya ke Hanamiya. Memandang benci orang yang berdiri di ruang tengah itu. "Dimana Kagami?" desisnya.

"Kagami? Aku tidak mengenalnya." Jawabnya enteng, tanpa takut dengan ancaman pistol Aomine. "Tapi jika yang kau maksud pemuda yang memiliki warna rambut merah gelap itu, aku sudah menghabisinya."

BUGH

Aomine langsung memukul wajah Hanamiya tanpa ampun, sebelum mencengkram erat kaos yang dipakai pemuda itu. "Ku katakan sekali lagi, ?" desisnya tajam.

Aomine mencoba tenang, untuk tidak terbawa suasana. Tapi orang yang ada di hadapannya ini, bukanlah orang biasa. Bisa jadi apa yang dikatakannya itu adalah kenyataan. Tidak, tidak, tidak, dia harus mempercayai Kagami. Kagami itu cukup tangguh, dia pasti baik-baik saja.

Raut benci dan marah itu membuat Hanamiya bahagia. Dia sangat menyukainya, melihat ekspresi berbagai macam dari korbannya. Sehingga tanpa sadar sebuah seringai langsung terlukis di wajahnya begitu saja.

Dengan cepat dia menendang perut Aomine, sehingga polisi muda itu terjungkal ke belakang, sebelum akhirnya kembali berdiri. Hanamiya langsung membalas Aomine, mencari celah untuk memisahkan pistol itu dari pemiliknya.

DUAK

Kedua tangan Aomine berhasil melindungi kepalanya dari tendangan Hanamiya, tapi tidak cukup beruntung karena pistol yang di pegangnya terlempar.

"Sekarang kita seimbang." Seru Hanamiya tenang.

Aomine tidak melepaskan pandangannya dari Hanamiya. "Apa yang sebenarnya kau inginkan?"

"Aku? Aku hanya ingin menikmati kesenanganku semata. Dengan melihat mereka ketakutan dan berteriak minta tolong membuatku bahagia. Sederhana bukan? Tapi kalian mengganggu kesenangan ku itu." Jawabnya sok sedih.

Sederhana?

Menurutnya semua ini sederhana?!

"Kau benar-benar bukan manusia. Melihat orang ketakutan dan meminta tolong sampai mereka meninggal, kau kira itu sederhana?! Mereka hanya anak-anak, brengsek!" Bentak Aomine.

Hanamiya tertawa.

"Kau tidak akan mengerti, Tuan polisi."

Ingatan-ingatan tentang hilangnya korban pertama, Haruka, tangisan ibunya, hingga berita kematian ibunya karena depresi langsung terngiang di pikirannya. Dan sebuah janji yang telah diucapkannya untuk segera menangkap pelaku pembunuhan ini.

"Ya, aku tidak mengerti." Aomine mengepalkan kedua tangannya. "Aku tidak akan pernah mengerti dengan orang seperti mu."

"Kalau begitu kau orang yang bodoh." Balas Hanamiya enteng, yang langsung berlari menerjang Aomine, menghajar polisi muda itu.

Tidak mau kalah, Aomine kembali membalas serangan pemuda tersebut.

BUGH

DAK

Sebuah tonjokan telak mengenai perut Hanamiya, langsung membuat pemuda itu jatuh terduduk.

"Ughh.."

Tidak mau mensia-siakan kesempatan, Aomine melancarkan serangan terakhirnya untuk melumpuhkan pemuda tersebut. Namun sebelum serangan itu berhasil, keadaan tiba-tiba saja terbalik.

Yang Aomine rasakan adalah kakinya di tarik begitu saja, sehingga gravitasi memaksanya jatuh terlentang dengan kepala yang pertama kali mendarat. "Aggh..." dan tiba-tiba saja sebuah beban menduduki perutnya.

"Kau tidak akan semudah itu menang melawan ku,Tuan Polisi."

Hanamiya mengambil sebuah pisau lipat dari kantong celananya, sedangkan tangannya yang bebas menahan gerakan meronta yang dilakukan Aomine.

Polisi muda itu membulatkan matanya, melihat Hanamiya yang siap menusukan pisau tersebut ke jantungnya.

"Selamat tinggal, Tuan Polisi."

.

.

.

.

.

.

BUAGHH

Hanamiya terlempar dari tempatnya ketika sebuah kursi menghantam tubuhnya kerasa.

"Kau yang seharusnya pergi, sialan!"

Aomine menatap takjub pemuda di hadapannya. Perasaan senang sekaligus sedih langsung memenuhi hatinya. Dia tidak menyangka melihat pemuda itu masih bisa memaki, bisa membuat perasaannya begitu tenang.

"Ka-Kagami?"

"Yo Ahomine! Mau sampai kapan kau tiduran seperti itu?" sapanya.

Aomine terdiam sebentar, sebelum kembali bangkit dari jatuhnya. "Aku tidak menyangka kau bisa dikalahkan semudah itu oleh orang sepertinya. Aku kira kau mati. Haha" Itulah yang keluar dari mulut Aomine.

"Aku tidak suka mendengarnya dari orang yang hampir saja mati, dasar Aho! Aku hanya pingsan dan tiba-tiba saja terbangun karena suara berisik." Balas Kagami tidak mau kalah.

Polisi muda itu tersenyum dalam diam.

Tanpa keduanya sadari, Hanamiya kembali bangkit dengan memungut pistol Aomine yang terjatuh. "Sudah seleasai dengan acara reuniannya?"

Baik Aomine ataupun Kagami sama-sama langsung memasang sikap waspada. Aomine sendiri langsung berdiri di depan Kagami, mencoba menghalangi pandangan Hanamiya dari dirinya.

"Sebaiknya kau menyerah, karena polisi sebentar lagi akan sampai sini."

"Tidak bisa semudah itu."

DOR DOR

Dua peluru langsung dimuntahkan asal begitu saja, sehingga Aomine dan Kagami harus berpencar untuk menghindari tembakan tersebut.

"Kenapa kalian bersembunyi? Bukankah kalian ingin membunuhku?" tanyanya dengan nada sing a song.

Kagami yang berada paling dekat dengan Hanamiya, mencoba mengalihkan pandangan pembunuh itu dengan melemparkan beberapa buku sebelum berlari ke arahnya.

SRETT

Hampir saja tangan Kagami tergores oleh pisau lipat, jika dia tidak langsung menghindar. Hell! Sebenarnya berapa banyak senjata yang dia pegang.

"Kena kau." Gumam Hanamiya sembari mengacungkan pistolnya.

Kagami tidak bisa kabur lagi.

Tentu Aomine tidak tinggal diam, melihat rekannya dalam keadaan bahaya. Dia langsung muncul dari belakang Hanamiya mendorong pemuda itu agar tembakannya meleset tidak mengenai Kagami.

DOR

Andai Aomine telat, mungkin sebuah lubang sudang bersarang di kepala pemuda merah itu.

Hanamiya membalikannya badannya, mengayunkan pistolnya itu berharap mengenai Aomine. Dengan cepat polisi muda itu menangkap tangan Hanamiya, menekuknya di belakang punggung, memaksanya untuk menyerah dan membuang pistol itu sembarang.

"Menyerahlah. Kau tidak bisa mengalahkan kami."

Hanamiya terdiam.

"Walaupun kau bisa, kau tidak akan bisa lari lagi." Lanjutnya.

Dan sebuah tawa langsung menghiasi sepinya ruangan itu. "Kau pikir, aku akan berakhir begitu saja? Setelah semua yang kulakukan ini."

Kagami menyadari keanehan yang dibuat Hanamiya. Matanya membulat ketika melihat tangan bebas pemuda itu memegang sebuah pisau lipat yang segera mengenai perut Aomine.

"Aomine! Pisaunya!" teriak Kagami terlambat.

JLEB

Darah langsung mengalir begitu saja, menghiasi kaos putih yang di kenakan oleh Aomine. Jika ini adalah sebuah film action, mungkin kejadiannya akan terekam dalam keadaan slow motion.

"Ughh..." Dan bagi Aomine sendiri, tusukan pisau tersebut melumpuhkan pikirannya sementara sebelum rasa sakit menjulur keseluruh tubuhnya.

"Aomine!" teriak Kagami panik, menghampiri rekannya.

Aomine bersandar di dinding mengatur napasnya. Tangan kanannya mencengkram kuat celananya, sedangkan tangannya yang lain bersiap untuk mencabut pisau yang masih tertancap di perutnya. "Arkkhh.." Kagami menggigit bibir bawahnya tanpa sadar, seakan ikut merasakan rasa sakit yang dirasakan oleh Aomine.

Lagi-lagi Hanamiya tertawa senang mendengar jeritan kesakitan seseorang.

"Hosh...hosh...hosh.." Guratan-guratan lelah terlukis jelas di wajah Aomine.

Kagami memandang khawatir. "K-kau tidak apa-apa?"

Aomine mengangguk, bangkit berdiri.

"Wah, kau masih mampu berdiri rupanya. Aku terkesan." Sahut Hanamiya.

"Sedihnya dipuji oleh seorang pembunuh, but thanks." Balas Aomine sarkastik sembari melancarkan tinjunya.

"No problem." Balasnya menahan serangan Aomine.

Kagami tidak diam, dia ikut membantu menyerang. Lagi-lagi mereka bergulat saling pukul untuk menjatuhkan lawannya.

Hanamiya cukup kesulitan melawan mereka berdua. Sepertinya tulang rusuknya ada yang retak akibat terkena bangku Kagami. Dia harus bisa melumpuhkan salah satunya terlebih dulu kalau tidak ingin kalah.

Bola matanya melirik luka Aomine yang masih mengeluarkan darah. Senyuman terlukis di wajahnya.

BUGHH

Tinju itu tepat mengenai perut Aomine.

"Hoeekkk..." Aomine langsung limbung sambil memuntahkan darah. Bohong jika tinju tersebut tidak menimbulkan efek yang besar. Karena tinju tersebut berhasil membuat Aomine merasakan sakit yang luar biasa.

"Bagaimana rasanya itu Tuan po... eh?" Hanamiya terdiam, sepertinya rencananya itu tidak berjalan lancar. Kakinya terpeleset oleh potongan kayu bangku yang hancur, sehingga dirinya akan jatuh ke arah jendela yang tidak tertutup. Kepalanya menoleh, dia bisa melihat bahwa para polisi itu sudah berkumpul di bawah. Dalam satu menit mungkin mereka akan sampai di kamarnya. 'Aku kalah.' Pikirnya.

Kejadian itu terjadi secara slow motion di mata Kagami. Dia seperti sedang menonton masa lalunya, dimana sang ibu yang terjatuh dan tidak mau menggapai tangannya sebelum tertabrak truk.

'Tidak.'

'Apakah dia akan langsung mati begitu saja?'

'Ini tidak adil.'

'Dia tidak boleh mati begitu saja.'

'Dia harus merasakan hukuman di dunia terlebih dulu.'

'Dia tidak boleh mati.'

Tanpa dirinya sadari, tubuhnya berlari dengan sendirinya menggapai tangan Hanamaiya.

Dapat!

"Kau menolongku?"

"Aku tidak sudi menolongmu brengsek! Kau tidak bisa mati begitu saja!" sahut Kagami menahan berat tubuh Hanamiya, tangan kirinya menyanggah berat tubuhnya di dinding agar tidak ikut terjatuh.

"Kau harus merasakan penderitaan terlebih dulu baru boleh mati!"

Kalau bisa Kagami ingin sekali melapaskan tangan pembunuh ini. Dia tidak akan menyesal. Tetapi jika dia lakukan itu, sama saja dia seperti Hanamiya. Dan dia tidak mau disamakan dengan pembunuh itu. Dia harus hidup.

"Ughh..Kagami." Dengan kesadaran yang tipis Aomine bisa melihat kalau tubuh Kagami bergetar. Sepertinya psikometrinya aktif kembali.

Darah mengalir dari hidungnya. Kagami mimisan. Dia bisa melihat semua korban yang dibunuh oleh Hanamiya. Wajah ketakutan mereka langsung telihat jelas. Perasaan-perasaan menyeramkan itu ikut juga Kagami rasakan. Ah sial! Kepalanya berdenyut nyeri.

"Kagami, lepaskan saja!" teriak Aomine. Dia ingin membantu tetapi tidak bisa.

Kagami tidak menjawab, dia harus fokus agar tidak melepaskan tangan Hanamiya. Andaikan kepolisian itu ada disini.

"Kagami-kun!"

Kuroko dan beberapa anggota kepolisian lainnya langsung masuk menggeledah ruangan. Sakurai dan Haizaki menghampiri Aomine. "A-Aomine-san kau tidak apa-apa? Ma-maafkan aku karena terlambat. Maafkan aku."

"Sebaiknya kau tolong Riko terlebih dulu, dia ada di disana." Sakurai mengangguk mengerti meninggalkan Aomine.

"Kenapa kau tidak menghubungiku terlebih dulu?!" Maki Haizaki tidak peduli kalau Aomine sedang terluka.

"Diamlah. Aku sedang tidak ingin berdebat." Balas Aomine. Petugas kesehatan langsung menghampirinya memeriksa luka tusuknya.

Haizaki mendengus kesal, berlari cepat ketika menyadari pemuda indigo itu tengah kesusahan. Kuroko dan Haizakipun membantu Kagami menarik Hanamiya. Untunglah tepat pada waktunya. Hanamiya langsung di bawa keluar oleh Haizaki.

"Kagami-kun kau tidak apa-apa?" tanya Kuroko khawatir.

Kagami tidak menjawab. Dia merasa lelah dan sangat mengantuk.

"Kagami-kun?" panggil Kuroko lagi.

BRUK

Tidak kuat menahan beban tubuhnya, Kagami terjatuh begitu saja. Walaupun samar, dia bisa mendengar suara panik Aomine dan Kuroko sebelum kegelapan menyapanya.

xxxxxx

Dua Minggu Kemudian

"Papa, ayo cepat! Aku sudah tidak sabar lagi." Riko menarik-narik lengan ayahnya tidak sabar.

"Tunggu sebentar, papa sedang mengunci pintu Riko." Kagetora, sang ayah, tersenyum bahagia melihat putrinya kembali ceria. Peculikan yang terjadi pada anaknya cukup menjadi pelajaran berharga baginya. Dia pasti tidak akan melupakan kejadian ini dan juga orang yang telah menyelamatkan anaknya.

"Ayo kita pergi, Riko."

.

.

.

.

.

.

.

.

"Kenapa juga aku harus ikut-ikutan di rawat selama dua minggu, yang terluka itu kan kau." Dengus Kagami kesal.

"Salahmu sendiri kenapa tidak bangun selama tiga hari. Malah asik-asikan tidur. Membuat orang susah saja." Balas Aomine.

"Kau sendiri, pura-pura tidak bisa menggunakan tangan padahal yang terluka itu perutmu. Pintar juga otakmu berhasil membuat suster berdada besar itu menyuapimu makan."

"Oh kau cemburu?" goda Aomine.

"Mati saja lah kau."

BRAAKK

"Paman Aominee!" Riko langsung masuk begitu saja, lupa kalau saat ini dia sedang berada di rumah sakit.

Kagami tertawa girang. "Pffft paman. Hahaha"

Aomine menatap sinis Kagami, ingin marah tapi tidak baik karena ada anak kecil di hadapannya.

"Paman, selamat karena sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit." Ucap Riko lembut. Kagetora ikut menghampiri Aomine dan menyalaminya untuk berterima kasih.

"Syukurlah kau baik-baik saja. Aku sangat berterima kasih kau telah menyelamatkan anak ku."

Aomine menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Malu karena menerima perlakuan seperti itu. "Uh..mmm sama-sama. Tapi aku tidak akan berhasil jika tidak mendapatkan bantuan dari rekanku." Polisi muda itu tersenyum memandang Kagami.

Riko menatap Aomine dan Kagami secara bergantian mencerna kalimat yang baru saja di dengarnya, sebelum menghampiri Kagami. "Oh kau jadi paman yang diceritakan oleh para polisi itu ya."

Kagami dapat mendengar tawa Aomine yang mengejeknya.

"Terima kasih paman karena sudah menyelamatkan ku." Ucap Riko lembut.

Pemuda itu tersenyum. Sudah lama sekali tidak ada yang mengucapkan terima kasih padanya. Riko mungkin tidak menyadarinya. Tapi ucapan terima kasihnya itu sangat berefek besar bagi Kagami. Karena dengan itu dia menyadari kalau masih banyak orang yang peduli padanya.

"Sama-sama." Balas Kagami lembut.

.

Setelah kejadian itu, kepolisian meminta maaf kepada masyarakat dengan membersihkan nama baik Kagami dan memberitahukan pembunuh yang sebenarnya. Tentu saja segala hal tentang psikometri itu tidak dimuat di media massa. Hanamiya sendiri dipenjara seumur hidup, walaupun masih ada masyarakat yang lebih memilih hukuman mati untuk orang seperti itu.

Aomine dan Kagami sekarang bisa berjalan bebas, meraka tidak lagi menjadi seorang buronan. Kartu identitas Aomine sebagai polisipun sudah diberikan kembali oleh Kapten. Kuroko menjalani aktivitasnya kembali sebagai guru TK dan terkadang menghampiri Aomine untuk menagih utang-utangnya. Semuanya berjalan seperti sedia kala.

"Terima kasih." Ucap Kagami tiba-tiba.

"Umm?"

"Terima kasih karena sudah membolehkan ku tinggal di tempat mu. Terima kasih karena sudah membawaku keluar dari zona amanku. Terima kasih karena kau, aku bisa bertemu orang-orang yang baik. Dan terima kasih karena sudah mau menerima orang seperti ku."

Hening sesaat.

Keduanya saling menatap.

"Pfftt Huahahahahaha! Kau sehat Kagami? Kau tidak sakit?" Hahaha" tawa Aomine meledak begitu saja memecah keheningan di sore itu.

"Jangan tertawa! Aku serius, Aho!"

"Mukamu mu itu...Kau harus melihat muka mu itu sendiri, Kagami. Kau pasti akan malu. Hahahahah!"

Kagami membuang muka. 'Berterima kasih padanya memang selalu salah.'

"Kagami, jangan marah. Aku hanya tidak kuat melihat wajahmu yang sok serius itu." Ucap Aomine menahan dirinya untuk tidak tertawa. "Aku juga ingin berterima kasih karena kau sudah mau membantu ku."

"Aomine."

"..."

"Sepertinya kita berdua memang tidak cocok berwajah serius seperti itu." Sahut Kagami.

"Tetsu pasti akan tertawa kalau melihat kita." Jawab Aomine.

Kagami mengangguk.

"Tapi aku tidak tertawa, Aomine-kun."

Keduanya menoleh, suara ini jangan-jangan?

.

.

.

.

.

"Kuroko/Tetsu!"

Dan dengan kemunculan Kuroko yang tiba-tiba di apartemen Aomine, berhasil membuat keduanya berteriak layaknya wanita.

FIN


Huaa! Akhirnya selesai juga *tepar*

Sudah setahun Leavi mentelantarkan fanfic ini. Leavi tidak menyangka kehidupan kuliah itu sangat sibuk. Gimana ya, Leavi juga tidak menyangka akan masuk ke dunia kesehatan. Kok jadi curhat ya.

Intinya Leavi minta maaf... hehe

Masih ada yang berminat untuk membaca?

Balasan Riview di chapter 5

Scarletjacket : Terima kasih sudah meriview :)

Nozomi Rizuki 1414 : Pelakunya sudah ketebakkan di chapter ini. Terima kasih :)

Syalala uyee : Maaf karena baru update, ini sudah ketawan siapa pelakunya. Terima kasih :)

Mimijjwkrissy : Haha, aku senang baca komen kamu. Sejak awal aku memang gak bermaksud untuk menggunakan mereka karena imagenya. Tapi entah kenapa kedua namanya itu yang langsung muncul..hehe sama aja ya? Terima kasih sudah meriview :)

AoKagaKuroLover : Aku juga bingung untuk ngasih hints-hints mereka. Tapi Leavi ngerasa disini udah cukup ada. Tapi gak tau juga deh menurut kamu..hehe terima kasih :)

ShilaFantasy : Okee, terima kasih sudah meriview :)

Guest : Ah maafkan Leavi *bow* Leavi kira kamu orang luar soalnya bahasanya baku, maafkan Leavi (lagi). Leavi seneng baca setiap komen kamu. Maaf karena updatenya lama. Leavi harap Guest-san masih mau membaca chapter terakhir ini. Terima kasih :)

Kuro15fe : Di chapter ini, Leavi kira sudah terjawab semuanya hehe... terima kasih sudah meriview :) setelah Leavi tau masih ada yang membaca fanfic ini, Leavi langsung ngebut semaleman buat nuntasin chapter terakhir ini. terima kasih loh

Sekali lagi Leavi ingin mengucapkan terima kasih kepada Mey-chan 5872682, Hoshikasa, Syalala uyee, rarateetsyuuyaa, KuroAmalia, AoKagaKuroLover, Guest-san, Dominic Clearwater, Kusen-kun, Scarletjacket, mimijjwkrissy, Shila Fantasy, Evilfish1503, Seidocamui, Nozomi Rizuki 1414, Kuro15fe, yang sudah fav dan follow, serta silent rider sekalian.

Masih ada yang berminat untuk meninggalkan riview?