.

.

.

"The beginning is the end, and then end is the beginning. Well then, let us begin again. And to each, their own tale."

~Fuwa Aika (Zetsuen no Tempest)~

.

.

God, I'm (really) in Love! © Lee Audrey

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

Special Thanks:

Eamaki Devy, 96rui, Emmie, (b)AkaSHITetsuya, Park Hyesung – Akuro Yukou, RallFreecss, .5872682, yozeeshawa, dan KALIAN yang sudah fav/follow/review,

AND YOU!

.

.

.

Last Chapter, 15: Beginning End

.

Seperti yang orang bilang, waktu terus bergerak. Tidak peduli bahwa ia meninggalkan berjuta orang dalam tempat gelap bernama kesedihan. Ini bukan salah waktu. Ini salah mereka yang tak dapat berpindah dari masa lalu.

Waktu yang bergerak menciptakan perubahan. Mau tak mau, semua orang harus mengikutinya. Maka, Kagami pun mulai menerima kenyataan dan menjalani hidup tanpa Kuroko.

Awalnya memang sulit—tahu sudah berapa kali Himuro menghibur adiknya? Sudah berapa kali Alex meninju muridnya? Setidaknya semua itu kini terbayar, karena Kagami telah berubah menjadi pria dewasa yang semakin matang dalam perasaan dan pikiran.

Selama empat tahun kuliahnya, Boston Celtics sudah empat kali memenangkan babak Playoff NBA. Ketidakberadaan Kuroko nyatanya memberikan sebuah efek positif, di mana ia bisa fokus kembali pada basket sampai ke titik tertinggi Zone. Walaupun sebenarnya, basket hanyalah penyalur kesedihan.

Maka dari itu, sekarang ia tidak pernah merasa bertarung dengan siapa pun. Ia tidak pernah berniat mengalahkan siapa pun. Yang ia lawan adalah masa lalunya. 'The one who can beat me is me'—dengan kata lain, dirinya yang sekarang harus lebih baik dari kemarin.

Hanya saja, saking fokusnya ia tidak seperti anak kuliahan lain, yang biasanya menghabiskan waktu senggang dengan kumpul-kumpul sahabat atau berkencan—ia malah duduk-duduk di pinggir laut setiap bulan purnama, kadang sambil berselancar, dan kembali ke rumah setelah tengah malam.

Aneh? Tentu saja. Namun itu malah membuatnya mendapat predikat lelaki paling diincar di kampus setelah si Pangeran Naga, Himuro Tatsuya.

Banyak gadis yang berusaha mendekati mereka, namun terlupakan begitu saja karena fokus Kagami yang hanya tertuju pada Kuroko dan Himuro yang masih memendam rasa pada Murasakibara. Jangan hitung berapa ajakan kencan yang mereka terima setiap minggu, dan jangan pernah mencoba. Karena kalian akan pusing sendiri atau kecewa setengah mati. Kenapa? Karena setiap diajak kencan, mereka hanya tersenyum dan menjawab, "Maaf, aku sudah punya orang yang kusuka."

Ditambah fakta bahwa mereka tinggal seatap di rumah tua keluarga Himuro di Massachusetts, menciptakan sebuah rumor menggelikan tentang cinta terlarang mereka. Maksudnya, di antara mereka.

Seorang gadis yang kesal karena terus-terusan ditolak akhirnya membeberkan segala pemikirannya tentang mereka berdua di akun jejaring sosialnya, "Pantas saja mereka tidak pernah berkencan. Ternyata mereka gay!"

Reaksi keduanya? Tidak ada. Mereka sudah terbiasa mendengar cercaan kanan-kiri. Lagipula, bahkan dewa pun tahu tentang kisah cinta mereka yang sebenarnya. Ya, biarlah burung-burung di bumi itu berkicau.

Setamat kuliah, keduanya semakin mantap menekuni jalur basket profesional. Bukan hanya itu, keberadaan mereka sebagai dua legenda baru dunia basket mendatangkan banyak tawaran iklan. Awalnya mereka menerima semuanya, karena merek yang dipromosikan juga masih berhubungan dengan basket, sebut saja pihak Nike yang langsung mendatangi Kagami. Tapi lama-kelamaan, tawaran aneh pun datang, seperti membintangi iklan sabun wajah, sampo, parfum, bahkan pakaian dalam pria. Kagami sudah langsung angkat tangan ketika tawaran-tawaran seperti itu datang. Berbeda dengannya, Himuro tak bisa berkutik banyak untuk menolak, karena tekanan dari berbagai pihak yang berkata, "Sayang wajah sepertimu disia-siakan!" bagai hujan meteor yang meremukkan seluruh tubuhnya.

Jadi, sekarang ketenaran mereka semakin melesat tinggi. Kagami sebagai pebasket yang masih konsisten di mimpinya, dan Himuro Tatsuya, pemain NBA sekaligus aktor Hollywood pendatang baru.

Ya, bahkan Himuro lebih sering berada di lokasi syuting film laga terbarunya dibanding ruang olahraga Boston Celtics.

Ngomong-ngomong pembagian waktu, mereka selalu menyempatkan diri kembali ke California setiap libur musim panas. Sekarang mereka mempunyai seorang keponakan laki-laki lucu bernama Himuro Tobio, yang selalu bersemangat ketika melihat bola basket. Yah, mau bagaimana lagi, ibunya alias Alex sendiri masih menjadi mentor basket hingga sekarang. Touya pun sering mengajak keluarganya ke pertandingan-pertandingan resmi NBA sambil bekerja. Dan setiap bertemu Kagami dan Himuro, balita pirang bermanik abu itu tak pernah ingin lepas dari mereka, dua idolanya.

.

-:-

.

Di suatu pagi ketika sedang berkumpul dengan keluarga kecil Alex dan bermain bersama Tobio, sebuah pesan singkat muncul dalam telepon genggam Kagami. Awalnya ia tidak begitu peduli, paling-paling ajakan pesta teman-temannya di Massachusets. Lagipula, ia sedang asyik melatih Tobio teknik dribbling yang bagus.

Ketika si kecil telah kembali pada ibunya yang baru tiba dari minimarket bersama Himuro, Kagami akhirnya mendapat kesempatan beristirahat, duduk di sofa ruang TV, dan memegang handphonennya.

Ah, ternyata pesan dari ayahnya, Kagami Takeshi.

Jika dibilang terkejut, maka tidak juga. Ayahnya sudah lumayan sering menghubunginya semenjak ia memenangkan Playoff yang kedua. Minimal sebulan sekali, sekedar menanyakan kabar atau mengajak bertemu di suatu tempat, biasanya lapangan basket jalanan yang berujung makan siang di restoran favorit mereka.

Kini apa yang akan ayahnya katakan, ya?

[Taiga, aku tahu di mana Ibumu.]

Kagami melonjak dari posisi duduknya.

Alex yang melihat itu bertanya dari dapur, "Taiga, ada apa?" tapi tak kunjung mendapat balasan. Kagami masih tertegun menatap layar handphonennya.

Setelah lima belas menit berkendara menggunakan Mustang Ford merah atap terbuka miliknya, akhirnya Kagami sampai di Santa Barbara, tempat tinggal ayahnya. Begitu turun, kakinya langsung bergerak melewati pekarangan luas penuh rumput yang dipangkas rapi, melintasi lapangan basket mini, dan menemukan ayahnya sedang membetulkan mesin mobil di dalam garasi.

Pria yang lebih tua dua puluh tahun darinya itu pun melepaskan segala peralatan yang dipegangnya, dan tersenyum. "Aku tidak tahu kau akan datang secepat ini."

"Langsung ke intinya saja. Di mana Ibu?"

"Wo, wo, tenang, Nak. Kau seperti polisi pada Ayahmu sendiri." Tawa pria berambut coklat gelap itu terdengar ramah. Ia berjalan menyebrang ruangan untuk mengambil handuk dan mengelap tangannya yang penuh oli. Pandangan Kagami yang mengikutinya pun menangkap sesuatu yang baru pada lengan berotot ayahnya, sebuah tato macan yang berdiri dengan dua kaki belakang, menengadah seperti ingin meraih bulan dengan kedua tangan yang lain. "Aku tidak tahu di mana Erika secara spesifik," Erika adalah nama Jepang ibunya—Kagami Erika. Entah sekarang masih dipakai atau tidak, tapi ayahnya selalu memanggil ibunya dengan sebutan itu. "Seperti yang kautahu, setelah kau pergi ke Jepang, dia menghilang secara tiba-tiba. Tidak, dia tidak mati. Aku sudah menyelidikinya berkat bantuan beberapa teman di catatan sipil dan kepolisian, dan hasilnya, sepertinya Erika kembali ke kampung halamannya, San Francisco."

Kagami terkesiap. Kenapa tidak pernah terpikirkan olehnya tentang kota pelabuhan itu? Padahal, beberapa minggu sekali ibunya sering mengajaknya ke sana untuk berkunjung ke rumah nenek.

"Alamatnya? Apakah Ibu tinggal di rumah Nenek?"

Ayahnya malah memiringkan kepala dengan heran. "Kau tidak tahu? Rumah itu sudah lama dijual."

Sekarang giliran Kagami yang mengerjap heran.

Harum daging yang dibakar langsung mengalihkan konsentrasi keduanya. Kagami berpaling ke arah dapur, dimana bisa dilihatnya siluet seseorang dari balik jendela yang tertutup.

Ternyata benar, ayahnya sudah menikah lagi—lengkap sudah kecurigaannya pada sebuah cincin emas di jemari ayahnya. Hanya saja Kagami tidak mengerti kenapa ayahnya merahasiakan hal ini sampai sekarang. Dan sejujurnya, Kagami juga enggan bertanya.

"Sepertinya kau sudah dipanggil untuk makan siang," canda Kagami.

Ayahnya hanya tersenyum tersipu. Ia mendekati anaknya, dan berkata, "Coba kau telusuri dari rumah Nenek, atau tempat-tempat yang kauingat. Atau kau ingin aku ikut?"

"Tidak usah. Aku bukan anak kecil lagi seperti yang Ayah ingat. Lagipula ada orang di dalam sana yang lebih membutuhkanmu dibanding aku."

Ayahnya terkekeh. "Baiklah. Kapan-kapan kau ikutlah makan siang dengan kami."

Mereka bertukar pelukan yang kaku untuk sesaat. Ketika Kagami baru saja menyalakan mesin mobilnya dan menoleh untuk melambai pada ayahnya, ada sebuah teriakan dari dalam rumah. "Tunggu! Taiga sudah akan pergi? Padahal aku sudah membuatkan porsi ekstra untuknya."

Sebenarnya, Kagami hendak menjawab keramahan ibu tirinya itu. Namun suaranya tercekat ketika perasaannya terusik.

Bukankah tadi… suara laki-laki?

.

-:-

.

Sebelum berangkat ke San Francisco, pertama-tama dia harus menemui seseorang.

"Mungkin hanya halusinasimu," ujar Himuro Tatsuya, tanpa menatap adiknya, sedang asyik menghiasi semangkuk es krim blueberry dengan coklat cair dan permen M&M. Siang itu Alex membawa si kecil Tobio mengunjungi neneknya di San Diego bersama Touya. Tentu saja kunci rumah diserahkan pada Kagami dan Himuro, termasuk segala macam isi kulkas.

Ngomong-ngomong isi kulkas, mungkin kalian merasa aneh kenapa Himuro bisa bernafsu memakan es krim dengan topping sebegitu 'berbahaya'. Bukan apa-apa, sebenarnya. Hanya sedikit stress dari kehilangan seseorang yang disayangi, sehingga menimbulkan sindrom ingin melakukan semua yang orang itu lakukan. Termasuk, dalam kasus mencintai seorang sweet tooth, adalah makan yang manis-manis.

Kagami sendiri diam-diam meminum vanilla shake.

"Tapi aku benar-benar mendengarnya, Tatsuya," erang Kagami, mencengkram rambutnya. Dia sedikit banyak berharap Himuro akan membuatkannya burger keju dengan tatapan mengiba ini, tapi sepertinya mustahil karena sorot mata kakaknya hanya berisi es krim, coklat, M&M, dan es krim lagi. "Itu suara laki-laki—aku percaya pendengaranku seratus persen, walau suara itu lebih lembut dari lelaki kebanyakan."

"Mungkin bukan istri barunya," balas Himuro acuh tak acuh, memasukkan sesendok besar es krim.

"Kalau begitu kenapa dia tersipu saat…" suara Kagami tercekat. Ia melepaskan cengkraman pada kepalanya, dan seperti menerawang. "Saat…" Jika dipikir-pikir, ia maupun ayahnya sama sekali tak menyinggung tentang istri baru. "Pokoknya dia tadi tersipu!"

"Kau tidak punya bukti kuat, kan?" Himuro mengacung-acungkan sendok es krim ke muka adiknya. "Yah, tapi seandainya dugaanmu betul, lalu kenapa? Homoseksualisme bukan hal baru lagi di dunia ini, Bro. Aku sebenarnya tidak pernah mengatakan ini padamu karena takut akan mengagetkan sisi polosmu, tapi di beberapa negara bagian, mereka sudah melegalkan pernikahan sesama jenis. Bukan tidak mungkin Ayahmu memang menikahi laki-laki. Ya, lalu kenapa? Yang lebih penting, kenapa kau menceritakannya padaku?"

Kenapa, ya? Ah, Kagami hampir saja melupakannya!

Pandangan dari mata merah kelam itu menajam seiring topik yang berubah semakin serius. "Bukankah itu berarti cintamu pada—siapa namanya? Atsumi? Atsushi?—tidaklah tabu? C'mon, Man, kau sangat shock sangat mengetahui gender-nya yang sebenarnya. Padahal kau terlihat tidak masalah saat Harry dan Mike berciuman di depan mukamu. Aku hanya heran tentang alasan kegalauanmu jika kau memang tidak menentang homoseksualisme."

Kini giliran Himuro yang terdiam, seperti ada komet besar yang menghantam kepalannya.

"Aku hanya…" ia tertegun lagi, dengan tatapan kosong menyendokkan es krim ke dalam mulut. "…entahlah, takut? Mungkin juga tidak percaya. Aku memang tidak masalah dengan orang-orang gay, tapi membayangkan diriku sendiri menjadi gay… rasanya tidak bisa dipercaya. Lagipula, Atsumi yang selama ini kukenal adalah gadis manja yang manis, bukan pria yang entah seperti apa rupanya. Aku takut bahwa dia yang asli tidak seperti dia yang kukenal."

"Tapi kau bilang kau mencintai dia apa adanya."

"Masihkah kau berkata seperti itu kepada orang yang tidak kaukenal?"

Kagami berdecak kesal, memalingkan wajah. "Jadi kesedihanmu selama ini tidak ada artinya? Aku bahkan lebih sering melihatmu memakan potato chips dan coklat dibanding acar. Kemana Himuro Tatsuya yang dulu?"

"Entahlah, Taiga." Pandangan dari kristal abu Himuro kembali kosong. Dengan lemas, ia mengambil satu sendokan lain dari es krimnya yang mulai mencair. "Mungkin sudah pergi bersama dia yang waktu itu."

Kagami bangkit dari kursi meja makan, menyambar kunci mobil yang ia taruh di atas televisi, dan membuka pintu setelah berkata, "Hanya pengingat. Dulu, waktu pertama kali bertemu, Kuroko juga laki-laki, kan? Mungkin aku sudah menyukainya sejak saat itu—mungkin saja tanpa sadar aku sudah menjadi gay. Tapi saat dia menjadi perempuan, bukannya benci, aku malah semakin menyukainya. Maksudku adalah, ketika orang itu berubah, bukan berarti perasaanmu ikut berubah. Ada yang bilang bahwa 'bukan kebetulan aku mencintai laki-laki, tapi kebetulan orang yang kucintai adalah laki-laki. Jika dia wanita, aku akan tetap mencintainya.' Mungkin bisa diterapkan dalam kasusmu. Bye."

Suara pintu yang tertutup perlahan, mesin mobil yang menyala, dan gesekan ban pada aspal jalanan, meninggalkan Himuro dalam kekakuan dengan sendok es krim menggantung di mulut.

.

-:-

-:-

.

"Manusia itu licik, picik, dan rendahan, Selene. Kenapa kau sampai berpikiran untuk menjadi seperti mereka?" ujar Akashi, menoleh dengan tajam pada Kuroko setelah tertegun lama menatap langit gelap jagad raya. Di ruangan besar kamar Kuroko, semua lampu dipadamkan, menyisakan sinar perak dari rembulan dan ratusan bintang nun jauh di ujung pandangan. Dan bagai bintang-bintang itu, jarak Akashi dan Kuroko pun terasa begitu jauh.

Kuroko, yang duduk termangu memeluk kaki di dekat anak sungai yang melewati kamarnya, menjawab pelan, "Karena pada awalnya aku manusia, Akashi-kun. Kaulah yang mendoktrinku selama ini, membuatku melupakan sisi manusiaku dan menjadi dewi seutuhnya."

"Karena memang itulah kau," Akashi berujar tajam. Bahkan pandangan dingin itu bisa Kuroko rasakan melalui tengkuk yang menegang. "Kau berasal dari seorang dewi, jadi kau harus menjadi dewi. Tidak ada alasan bagimu untuk menjadi manusia lagi."

"Apakah itu juga alasan mengapa kau menghapus sisi manusia dari ingatanku?" Kuroko akhirnya mengangkat kepala dan menoleh, pandangannya berkilat marah. "Saat aku bertemu Taiga-kun untuk pertama kali, aku merasa seperti alien. Aku tidak tahu apa-apa tentang manusia, selain dari cerita-ceritamu. Dan sekarang aku merasa malu luar biasa karena kebodohanku. Kenapa aku melupakan perasaan-perasaan saat menjadi manusia?" Apakah karena… Akashi?

Dua orang itu sudah menebak jawabannya, namun enggan untuk mengakui.

"Apakah kau sebegitu inginnya menjadi manusia?"

Pertanyaan itu membuat Kuroko terdiam, membelalakkan mata.

Namun diamnya Kuroko entah kenapa membuat Akashi tidak enak. Pria itu memalingkan wajah dan berjalan menembus ruangan untuk membuka pintu. "Pikirkanlah baik-baik," tambahnya, begitu pelan.

Dan dalam ringannya gemericik air sungai, Kuroko membeku.

.

-:-

-:-

.

Jadi, di sinilah Kagami, di San Francisco, menggendarai Ford Mustang merah cap terbuka hasil kerja kerasnya, memperhatikan setiap papan nama jalan sambil sesekali menekuni tampilan Google Map dari handphone canggihnya.

Ah, percuma saja mempunyai peta jika tidak tahu kemana harus menuju.

Ia sudah ke rumah neneknya di Sea Cliff, San Francisco, tapi rumah besar di daerah elit itu kini sudah berpindah tangan beberapa kali, sehingga jejak peninggalan neneknya di sana pun sudah tak terlihat. Pemiliknya atau pemilik-pemilik sebelumnya tak mengetahui ke mana lagi keturunan dari pemilik lama rumah itu.

Maka dari itu, untuk pertama kali dalam hidupnya, Kagami mengerti perasaan menjadi anak hilang.

Perutnya yang lapar memaksa untuk mencari tempat makan. Ia menemukan sebuah restoran Jepang di tengah-tengah China Town terbesar di kawasan Amerika Utara itu, dan memutuskan untuk memesan beberapa porsi ramen seperti yang pernah dicicipinya dengan anggota tim Seirin. Ketika sedang menunggu, derak dari kereta kabel yang membelah jalan raya mengalihkan fokusnya. Tanpa sadar angannya kembali ke masa lalu, di mana diam-diam ibunya menyelipkan banyak kenangan masa kecil tentang kota tua ini. Dulu, ketika berkunjung ke sini, mereka selalu menaiki kereta kabel untuk sampai ke Sea Cliff. Namun sebelum itu mereka harus mampir ke banyak toko tanaman untuk mencari bunga favorit neneknya. Ia ingat pernah bersin tanpa henti ketika seorang pegawai toko bunga menyodorkan seikat mawar padanya. Atau ketika tiba-tiba menangis karena tertusuk duri kaktus. Keributan tentu terjadi, namun ibunya malah tersenyum dan mengelap wajahnya dengan lembut. Setelah itu, seperti biasa, wanita berambut merah tua itu menawarkan secangkir Milo dari McDonald.

Ketika diingat-ingat, rasanya semua itu baru kemarin saja terjadi. Ia seperti masih ingat baju apa yang dikenakannya hari itu, sakitnya duri yang menembus kulitnya, atau hangat belaian Clarissa Hudson di wajahnya.

Kagami pun baru menyadari, setelah sebuah kereta kabel meninggalkan tempatnya sedari tadi menunggu penumpang, di baliknya terdapat sebuah toko bunga. Mungkin karena masa lalu, ia jadi terfokus pada toko itu.

Seorang wanita keluar dari dalam toko sambil tertawa basa-basi dengan pemiliknya. Dirinya terlihat monokrom dengan sweater coklat tua yang seperti menelan warna merah gelap rambut panjangnya. Ketika tersenyum, mata ruby itu bersinar hangat. Kagami merasa perasaan ini tidaklah asing. Ia bahkan mengacuhkan ramen yang asapnya sudah membelai-belai wajahnya.

Instingnya berkata ada sesuatu pada wanita itu, dan instingnya selalu benar.

Dikeluarkannya lembaran uang sepuluh dolar dan diletakkannya di atas meja, lantas ia berdiri, berjalan untuk membuka pintu, dan menyeberang jalan raya setelah sepi agar sampai tepat waktu ketika wanita itu hampir saja pergi dengan mobil pick-up-nya.

Beberapa orang yang mengenali Kagami lantas terdiam memandangi, sementara Kagami sendiri dengan tajam menatap wanita itu, yang semakin terperangah ketika ia berkata, "Maaf, apa kau Clarissa Hudson? Maksudku, Kagami Erika?"

.

-:-

.

"Sejak kau menjadi atlet profesional, aku tidak pernah mengkhawatirkanmu lagi karena aku selalu bisa memantaumu di mana pun dan kapan pun."

Uap mengepul dari coklat hangat yang dituang dari teko porselen bermotif anggrek pada sebuah cangkir besar di hadapan Kagami. Wanita itu duduk pada sofa tua berwarna merah marun, yang Kagami yakin sudah ada bahkan sebelum ia lahir.

"Berarti kau tidak merindukanku?"

"Gambarmu di televisi atau koran tidak pernah memuaskan rasa rindu seorang ibu."

Percikan bahagia yang hangat mengisi beberapa menit kekosongan di antara mereka. Ini adalah tanda-tanda rasa rindu tiada ujung, di mana begitu banyak hal yang ingin disampaikan, namun tak bisa memutuskan dimulai dari mana.

Namun, ada setitik kesedihan pula dalam perasaannya.

Kenapa ibunya tidak pernah menghubungi? Kenapa ibunya pindah dari Los Angeles? Kenapa ibunya tinggal di rumah tua ini? Kenapa ibunya tidak lagi bekerja sebagai wedding organizer, pekerjaan impiannya, malah alih-alih menjadi petani bunga di wilayah Sutro Heights Park? Kenapa ibunya terlihat… begitu merana? Kantung mata dan kerutan halus pada senyum hangat itu tidak bisa menipu.

"Ibu," panggil Kagami, membuat pandangan mata wanita itu beralih dari cangkir teh di tangannya. "Apa kau tidak ingin menjelaskan sesuatu? Bahkan, mungkin banyak hal?"

Erika menyelipkan sebagian rambut merahnya ke belakang telinga. "Aku tahu kau akan menanyakan itu, jadi mari kujelaskan dari awal. Pernikahanku dan Ayahmu begitu tiba-tiba. Kami memang saling mencintai, tapi tetap terasa terlalu cepat. Dia lalu membawaku ke Jepang dan kami menikah di sana, lalu lahirlah kau. Beberapa tahun pertama memang terasa indah, namun lama-kelamaan aku merasa ada yang aneh padanya. Kemudian dia menceraikanku, dan aku kembali ke Amerika bersamamu. Di California, ternyata posisiku di perusahaan sudah terganti bakat-bakat baru. Mau tak mau, aku harus mengalah." Senyum rapuh itu menjadi penutup, membuat perasaan Kagami nyilu.

"Berarti, selama itu, Ibu…."

"Maaf, Taiga, karena membohongimu. Tapi pekerjaan yang kulakukan saat itu tidaklah semudah yang kaubayangkan. Setiap hari, Ibu harus ke tiga tempat kerja dengan bayaran yang sedikit. Maafkan aku karena selalu meninggalkanmu hingga larut malam. Maafkan Ibu karena merasa bersyukur ketika kau harus kembali ke Jepang. Maafkan Ibu, Anakku, karena tak pernah menghubungimu lagi. Ibu takut, malu padamu yang berjuang begitu keras demi hidupmu sendiri, sementara Ibu malah kabur dari kenyataan ke San Francisco untuk menyendiri. Dan di sini pun, ternyata kehidupan tidak membaik semudah yang Ibu kira."

Ternyata, Ibunya sudah mencoba berbagai macam cara untuk menghasilkan uang. Ia pernah mencoba membuat restoran dengan modal dari penjualan rumahnya di Los Angeles, namun sepi dan bangkrut. Ia pun kembali ke San Francisco untuk menjual rumah ibunya demi membeli tanah di Sutro Heights Park, rumahnya sekarang ini, agar bisa sekaligus bercocok tanam. Maka sekarang ia mendapat uang dari memasok tanaman ke toko-toko bunga di seluruh San Francisco.

Memang, bukanlah bisnis skala besar, tapi setidaknya cukup untuk balik modal dan kehidupannya seorang diri.

Ngomong-ngomong sendiri, sepertinya ibunya benar-benar tinggal sendiri, tanpa orang lain seperti yang dilakukan ayahnya.

"Ibu tidak punya… ukhm," Kagami malu dan bingung mengatakannya, jadi ia menggaruk belakang kepala seperti kebiasaan. "…pacar baru, atau semacamnya?"

"Eh?"

"Te-tenang saja, aku tidak akan marah. Sebenarnya Ayah juga sudah punya, jadi aku tidak akan begitu kaget jika Ibu ternyata juga… sudah…."

"Ah, Takeshi sudah menikah? Tidak kusangka dia benar-benar melakukannya." Memang tidak bisa dibohongi bahwa ada raut kecewa pada wajah ibunya. Dan memang, dulu ia sempat mendengar bahwa alasan orangtuanya bercerai karena ada orang ketiga dari pihak ayah.

"A-aku tidak tahu mereka sudah menikah atau tidak, tapi yang jelas mereka tinggal bersama. Cukup soal Ayah. Bagaimana dengan Ibu?" Membicarakan Ayahnya terlalu banyak mengingatkannya pada kejadian tadi, yang ia bicarakan dengan Himuro, dan itu ikut membuatnya gugup.

Erika menggeleng, namun wajahnya bersemu. "Yah, sempat ada beberapa orang. Tapi mereka datang dan pergi begitu saja. Ibu juga lebih suka hidup begini."

Artinya hanya satu: ia masih menyayangi mantan suaminya.

"Bagaimana denganmu, Taiga? Kau pasti sudah punya pacar. Tidak mungkin seorang super star sepertimu tidak dikelilingi wanita."

Gentian, Kagami yang bersemu. "Aku hanya mencintai satu orang, walau status kami masih 'terlarang'."

"Eh? Bagaimana bisa?"

"Eh… itu… kalau kuceritakan, aku tidak yakin Ibu akan percaya atau tidak." Namun pada akhirnya, ia tetap menceritakannya—semua, dari pertemuan pertamanya dengan Kuroko dalam wujud laki-laki, mimpi tentang masa lalu Selene, dan perpisahan mereka setelah pernikahan palsu di pantai.

Ibunya malah terkekeh. Kagami semakin memerah, malu luar biasa.

"Kuroko Tetsuki sepertinya wanita yang baik. Aku bahagia dia mencintai anakku."

"Dia lebih dari baik. Dia sempurna."

Pembicaraan berlanjut hingga meja makan setelah perut Kagami mengaum begitu keras, membuat ibunya lagi-lagi terkekeh karena mengingatkannya tentang bocah kecil yang selalu lapar. Tanpa sadar mentari sudah menghilang, jadi Erika menawarkan anaknya untuk menginap.

Namun yang namanya kebiasaan memang susah menghilang. Di mana pun dan kapan pun, Kagami pasti menyusup ke pantai dan duduk di atas sebuah tebing. Walau kali ini belum sanggup menorehkan tinta di atas kertas untuk kembali menyapa Kuroko—well, dia sendiri bingung bagaimana harus menjelaskan segala keadaan—namun ia menikmati setiap hembusan angin yang sang dewi kirimkan untuk mengganti belaian lembutnya. Ombak pun berderu lembut, samar-samar Kagami bisa membayangkan suara petikan harpa dari jemari indah kekasihnya.

Ketika ia membuka mata setelah beberapa saat menikmati malam, bulan terasa begitu dekat, bahkan sinarnya lebih terang. Kekehan kecilnya pun mengudara, dan Kagami mengangkat tangannya untuk mengacungkan ibu jari, kemudian berkata, "Di manapun, kapanpun, bulan tidaklah lebih besar dari ibu jari."

Yang kurang lebih berarti, "Di manapun, kapanpun, jarak di antara kita tetaplah sama."

Kagami tidak mengerti kenapa ia melakukan hal menggelikan begitu. Bahkan sampai ia tulis di suratnya. Ia hanya merasa, dengan instingnya yang selalu benar, bahwa di suatu tempat di langit, Kuroko juga memandangnya, tersenyum padanya, mengangkat tangan dan mengacungkan ibu jari untuk menutupi rembulan, dan mengatakan hal yang sama.

Nyatanya, sang dewi memang melakukannya.

"Kita akan bertemu lagi, Taiga-kun."

.

-:-

-:-

.

"Dasar bodoh!" Aomine berseru kesal sambil membongkar-bongkar lemari es, sekiranya mencari soda yang bisa ia gunakan untuk melunturkan cat rambut. Ternyata, kehidupan Haizaki selama tinggal di dunia manusia tidak bisa disepelekan. Entah bagaimana dia menjadi semacam bandar judi. Dan sekarang mereka sedang berada di apartemen mewah di tengah-tengah Las Vegas milik Haizaki. "Aku menyesal sudah mengkhawatirkanmu setengah mati! Seharusnya Raja juga tidak perlu mempedulikanmu—apa susahnya sih mencari pembongkat baru? Aku heran kenapa dia masih mempekerjakan makhluk tidak berguna sepertimu."

Di lain sisi, Haizaki yang sedang menutup luka sabetan pedang Aomine dengan perban di ruang tengah, membalas, "Sejujurnya aku juga tidak mau bekerja padanya. Setiap saat nyawaku seperti terancam jika dia sudah mengangkat tinju. Tapi, bagaimana lagi. Theos-sama belum memberiku pekerjaan baru. Syukur-syukur aku bisa jauh dari si preman itu, itung-itung liburan. Oh, ya, Daiki, ternyata kau mengkhawatirkanku, ya?"

Sebuah kaleng soda menghantam kepala hitam Haizaki.

"Jangan ngaco, Malaikat Sialan! Ini juga tugas!"

Haizaki malas membuka mulut lagi. Salah-salah, nyawanya bisa benar-benar hilang. Saat pertemuan mereka di ruang karaoke dua jam lalu saja, Aomine mengamuk seperti orang gila. Untungnya bisa teredam dengan cepat setelah negosiasi alot darinya, sehingga tidak ada korban jiwa.

Namun, sepertinya mood dewi, eh, dewa—sudahlah, Haizaki tidak tahu lagi menyebutnya apa—ukhm, Dewi Kesialan ini masih belum membaik. Atau karena dia berubah menjadi wanita, kepribadiannya menjadi tsundere begini, ya?

Ketika ia memungut kaleng soda di dekat kakinya, ia bisa mendengar langkah ringan kaki Aomine. Tiba-tiba saja gadis itu duduk di atas sandaran sofa yang ia duduki, singkatnya mengapit kepala Haizaki dengan kedua paha.

Belum sempat berkutik, rambut panjangnya yang tergerai sudah dijambak kasar.

"Masa iya diet coke bisa menghilangkan warna cat rambut?" gumam Aomine, menelaah tulisan yang ada di tubuh kaleng panjang di tangannya.

"Ha? Kau tahu dari mana? Jangan sembarangan menggunakan benda tidak masuk akal ke kepalaku, ya! Rambutku ini sangat berharga."

"Berisik!" Aomine menarik rambut Haizaki lagi. "Aku tahu ini dari internet, jadi seharusnya benar!"

"He? Kau pakai internet juga?"

"Sialan kau," geram Aomine, semakin meremas kepala Haizaki. "Kaukira seberapa sering aku berkeliaran di bumi, heh?"

Tuh, kan. Jika Haizaki kebanyakan bicara, kompensasinya adalah rasa sakit.

"Lagipula ada apa dengan rambutku? Apa Shuuzou-sama yang menyuruhmu mengembalikan rambutku juga?"

"Nggak, sih. Cuma rambutmu yang ini tidak enak dilihat saja. Menjijikkan."

Aomine menyentak kepala Haizaki untuk membuatnya menatap lurus ke depan sementara ia bekerja. Mula-mula ia tumpahkan seluruh diet coke ke kepala Haizaki—agar lebih seru kalengnya dikocok dulu—yang tentu membuat si empunya kepala marah. Tapi kedua kaki Aomine langsung membuat kuncian yang mencekik sang malaikat tanpa sayap.

Kini ia bisa berkonsentrasi pada proses peluruhan cat—walaupun instruksinya di internet hanya dibiarkan begitu saja—tapi gadis itu dengan baik hati memberikan pijatan kepala yang membuat Haizaki tertidur.

Setelah dengkuran halus terdengar, Aomine membuka kuncian kakinya dan mengecek kesadaran Haizaki. Dari raut wajah polosnya saja sudah terlihat seberapa pulas ia tertidur.

Setelah itu, sang dewi kegelapan kembali menarik pedangnya.

Tanpa ragu ia menarik segenggam rambut panjang Haizaki dan diangkatnya tinggi-tinggi. Pedangnya ia ayunkan perlahan, menebas rambut Haizaki sedekat mungkin dengan kulit kepalanya. 'Untungnya dia sudah tidur. Kalau tidak dia bisa histeris,' pikir Aomine.

Ia tetap terfokus pada apa yang ia kerjakan hingga berhasil merubah rambut sang rival ke model cepak tentara. Setelahnya ia tersenyum bangga, kelewat bangga, malah, hingga tertawa lebar sebelum akhirnya beranjak ke dapur untuk mengambil air hangat dan handuk.

Mengharapkan Aomine membelai kepala Haizaki dengan lembut untuk kedua kali? Jangan mimpi. Ia sudah belajar dari pengalaman, dan kali ini lebih memilih untuk membiarkan Haizaki mengelap kepalanya sendiri.

Dalam sekali guyuran, ia tumpahkan air hangat—sebenarnya tujuh puluh lima persen air mendirih, sisanya air dingin—ke kepala Haizaki untuk menghilangkan bekas diet coke dan cat rambut. Dan saat sang malaikat baru saja terlonjak kaget, cepat-cepat dilemparkannya handuk kering, kemudian lari.

Awalnya sih ingin lari ke luar jendela dan terbang ke hotel lain, tapi mengingat sayapnya masih belum baik, jadi ia bersembunyi di dalam satu-satunya kamar di apartemen itu, dan mengunci pintunya.

"KISAMAAA!"

Kenapa kemurkaan Haizaki bertambah? Karena itu kamarnya. Di sana semua pakaiannya. Walaupun malaikat, tubuhnya tidak tahan jika harus mengenakan pakaian basah semalaman.

Dan selain itu… siapa yang tidak marah?

Dan di atas segalanya, kenapa Aomine melakukan ini semua? Jawabannya sederhana:

Iseng.

Mari tunggu beberapa saat lagi untuk melihat reaksi lain Haizaki ketika menyadari gaya rambut barunya. Dan ngomong-ngomng, cara melunturkan rambut dengan diet coke itu berhasil, lho.

.

-:-

-:-

.

Gabbie Anderson namanya, gadis dengan tinggi 165 sentimeter, berambut pirang pucat, dengan mata besar berwarna biru, wajah bulat yang selalu bersemu ketika orang lain menatapnya, dan tubuh mungil yang membuat semua orang ingin sekali memeluknya.

Sayangnya, pengecualian bagi orang yang ia sukai.

Singkat saja, gadis ini tergila-gila pada Kagami. Oh, ayolah, semua orang di kampus tahu itu. Reaksinya setiap kali menemukan sosok Kagami di sudut matanya mudah sekali ditebak—dia akan memalingkan wajah, mengatupkan bibir erat-erat, sambil menahan senyuman agar semburat merah di wajahnya tak semakin parah. Dan mata itu, oh, astaga, sebening embun pagi yang siap membasuh hatimu.

Gadis itu memiliki sahabat bernama Zee Ackerman—cewek tomboy, kasar, yang super berbakat dalam olahraga. Jearsy andalannya adalah celana skinny jeans panjang yang robek di beberapa sisi, kaos putih longgar, jaket kulit hitam, dan sepatu kets tanpa kaus kaki. Ia sengaja mengecat rambut hitamnya menjadi merah menyala. Dan setiap kali ke luar rumah, dandanan wajibnya adalah eyeshadow ungu gelap, tanpa lip gloss, tanpa foundation.

Dia cantik—semua kaum Adam mengakui itu. Yah, hanya jika dia tidak mengacungkan jari tengah setiap kali disapa laki-laki.

Pasangan sahabat yang mainstream, kan?

Kenapa saya menjelaskan tentang mereka berdua? Karena mereka masih masuk dalam sisi lain kehidupan Kagami dan Himuro yang mereka abaikan.

Jika Gabbie sudah jelas menyukai Kagami, maka Zee masih malu-malu mengakui perasaannya pada Himuro, Pangeran Naga berkuda putih yang saat hari pertama penerimaan murid baru di Harvard menggendongnya ke ruang kesehatan ketika kakinya terkilir.

Ah, dan asal Anda tahu, Zee-lah yang menyebar gosip percintaan terlarang Kagami dan Himuro.

.

-:-

.

"Kenapa sih kau selalu berdandan seperti itu?" tanya Zee di suatu pagi pada Gabbie. Di hadapannya ada parfait buah dengan potongan wafer coklat. Dan di baliknya, ada Gabbie, yang terlihat cantik seperti biasa dengan rambut panjangnya yang lurus dan tebal. "Maksudku, bukannya bermaksud menyinggung, ya, hanya jujur saja, tapi beberapa orang sudah muak dengan dandanan sok—apa sih? Kawaii?—Yah, kebanyakan yang begitu sih yang perempuan, ya. Mereka muak melihatmu seperti sengaja menarik perhatian para lelaki. Tapi, apa yang kaulakukan? Menepis mereka semua demi pawang singa yang tak pernah melihatmu lebih dari tempat untuk meminjam catatan. Aku mengatakan ini sebagai sahabatmu, Gab, demi kebaikanmu. Hentikan. Taiga tidak akan berpaling padamu."

Celotehan Zee yang sebenarnya begitu polos, malah membuat kepala Gabbie tertunduk dalam-dalam. "Aku tahu," balasnya. Gadis yang hari itu memakai onepiece biru muda menyeruput lambat-lambat milk shake di tangannya sebelum menjawab, "Aku tahu, Zee, aku tahu Taiga sudah punya gadis yang disukai." Ah, ini kabar baru bagi Zee. Selama lima tahun mengenal Kagami, dia benar-benar berpikir pria itu berhomo dengan kakak angkatnya. "Tapi… jika aku berusaha untuk menyerupai gadis itu, mungkin—yah, dengan kemungkinan yang sangat kecil—Taiga akan… sedikit… melihatku. Semoga saja."

Zee mengunyah wafernya sambil mengangkat sebelah alis. "Memangnya seperti apa gadis itu?"

Wajah Gabbie lagi-lagi bersemu, namun ada kabut tipis di sinar matanya. "Taiga bilang gadis itu sangat manis. Matanya besar berwarna biru langit, selalu menatap lurus ke depan dengan pandangan serius. Namun, ketika ia tersenyum, seolah sinar hangat mentari pagi menyentuh kulitmu dengan lembut. Dia seperti forget-me-not, yang kecil, rapuh, namun begitu indah. Menciptakan kesan tak akan dilupakan. Ah, dan rambutnya seperti aliran sungai yang damai—biru, lembut, panjang, dan bening. Aku kira dia bercanda ketika bilang rambutnya berwarna biru, tapi ketika kutanya Tatsuya, dia bilang itu benar. Dan Tatsuya juga bilang, gadis itu memiliki cincin perak yang sama seperti yang digunakan Taiga di jemarinya."

Zee tersedak hebat.

Cincin perak yang digunakan berpasangan hanya berarti tiga hal: tanda pernikahan, tanpa pertunangan, atau hanya kebetulan.

Namun, setelah dipertimbangkan, mungkin kemungkinan pertama yang paling benar.

.

-:-

.

"Beli apa?"

Zee terlonjak kaget. Pundaknya menegang bersamaan dengan bulu halus yang berdiri. Kepalanya cepat-cepat menoleh ke belakang, kemudian memekik heran melihat seorang super star, yang setiap hari dilihatnya pada iklan komersial televisi, tersenyum lembut padanya.

Tidak, ini bukan halusinasi. Orang itu bahkan memegang pundaknya.

"Chk, ternyata si Mata Satu," omelnya sambil berdiri santai di depan rak coklat batang di sebuah minimarket di Los Angeles. "Seperti yang kaulihat—memangnya salah kalau perempuan makan coklat, heh?"

"Tidak juga," Himuro Tatsuya, yang pagi itu mengenakan kaos ungu muda dan kacamata hitam sebagai satu-satunya penyamaran, terkekeh pelan. "Menurutku wanita seperti itu manis, apalagi yang sanggup makan sampai lebih dari empat batang sehari."

Zee langsung memerah. Ia diam-diam melirik keranjang belanjaannya yang hanya berisi dua batang coklat, kerena masih memikirkan berat badannya. Tapi Himuro malah menyukai gadis yang lebih ekstrem darinya?

"Kau sendiri, apa yang dilakukan sang Pangeran di sini, heh? Tidak kusangka kau masih bisa berjalan-jalan di muka umum dengan leluasa. Nggak takut dikejar-kejar cewek? Sebaiknya kau cepat pergi dari sini sebelum paparazi menemukan kita dan menyebar gosip kau berkencan dengan cewek gotik pemuja setan."

Himuro lagi-lagi terkekeh, lebih lama dan keras. "Aku akan segera pergi begitu mendapat apa yang aku cari. Kalau begitu, maukah kau bergeser sebentar?" Lengan panjangnya lantas melewati pundak Zee ketika meraih beberapa batang coklat. Tubuhnya yang begitu dekat menyebar harum mint yang terkesan mahal. Zee menikmati setiap detiknya, setiap hisapan napasnya—walau hanya beberapa detik.

Tanpa sadar gadis itu mematung di tempat, menatap Himuro bulat-bulat, memerah tak berdaya.

"Baiklah, sampai ketemu lagi. Walau aku tidak tahu kapan." Pria itu mengangkat rendah tangannya untuk melambai ringan. Dan Zee pun, dengan mengenaskan, hanya bisa menatap punggung bidang itu berjalan ke kasir.

Oh, ayolah, apa yang kalian harapkan dari pertemuan setelah dua tahun kelulusan? Pelukan hangat? Ciuman di pipi? Mungkin saja jika itu antara sahabat dekat. Tapi Zee dan Himuro? Mereka memang sering ngobrol, hanya jika… yah, hanya jika Zee masih sanggup menebalkan muka sebelum memerah dan kabur. Singkatnya, di beberapa saat saja, itu pun kikuk.

Tapi, apakah hanya ini yang didapatnya setelah dua tahun? Obrolan tentang coklat? Belum tentu kau bertemu pujaan hatimu lagi, Zee.

Jadi, sudah jelas alasan kenapa gadis bermata hijau emerald itu terburu-buru ke kasir, menyerahkan uang tanpa melihat nominal yang dikeluarkannya, dan berlari ke area parkir sebelum Himuro sempat menutup pintu mobil.

"Hoi, Mata Satu!" serunya, terengah-engah di depan kaca pengemudi Mustang hitam Himuro.

Himuro tampak terkejut, namun kemudian menurunkan kaca jendela, "Hai, Zee. Ketemu lagi. Ada apa?"

Zee terdiam seperti orang bodoh. Ia mengalihkan pandangan matanya, berusaha mencari topik pembicaraan, kemudian melontarkan dengan spontan, "Kudengar Taiga sudah menikah."

Kenapa harus membahas Kagami, sih? Apakah karena obrolannya dengan Gabbie pagi ini?

"Iya, benar."

"Eh? Benar?!"

"Yah, walaupun tidak bisa dibilang sungguhan juga karena satu dan sekian alasan."

Dengan kesal, Zee melipat tangannya di depan kaus bergambar personil Linkin Park. "Jadi yang benar yang mana? Dia masih jomblo atau sudah punya istri?"

"Bisa dibilang dua-duanya. Kenapa hal itu begitu penting bagimu, Zee?"

"Bagiku?" gadis itu tertawa mencemooh, "Maaf saja, ya. Tapi raksasa merah itu tak berarti apapun bagiku. Tapi bagi Gabbie, iya. Sangat. Banget. Kau tidak tahu seberapa sering Gabbie membicarakannya? Setiap hari! Setiap kali kami mengobrol dia selalu membahas adik angkatmu itu. Aah, aku sampai bosan! Kalau dia masih jomblo, suruh dia, setidaknya, menerima ajakan Gabbie berkencan. Kumohon, hanya sekali! Kau tidak kasihan pada gadis malang yang rela mengubah dirinya demi seseorang yang tak pernah meliriknya? Setelah itu terserah dia. Setidaknya beri Gabbie kesempatan."

Himuro terdiam, berkedip lamat-lamat. Mungkin seharusnya ia menceritakan tentang Kuroko secara lengkap, namun sebaiknya tidak usah. Membicarakan Kuroko sama seperti menceritakan cerita dongeng pada remaja enam belas tahun—dia tidak akan percaya. Jadi, Himuro hanya menggumam pelan sambil mengelus dagu, dan berkata, "Baiklah. Akan kucoba membujuknya."

Maka, itulah salah satu alasan kenapa seminggu kemudian, pada siang yang kelabu akibat hujan badai, Kagami menginjak gas dalam-dalam ketika menelusuri jalan raya yang berkabut di daerah pegunungan.

.

-:-

.

Sejak awal ia memang menentang ide berkencan itu. Tapi Himuro berkata tidak ada salahnya mencoba, dan ketika ia menceritakan hal itu pada ibunya, beliau pun memiliki pendapat yang sama.

Kagami merasa terkhianati. Ia mencoba berkunjung ke rumah ayahnya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Begitu memasuki area rumah, ia langsung melewati pekarangan, mengetuk pintu depan beberapa kali, dan akhirnya langsung masuk karena tak mendapat sahutan.

Baru saja memasuki ruang tengah, ia menyesal sejadi-jadinya telah masuk tanpa izin.

Tak perlu penjelasan untuk mencerna keadaan. Dengan kondisi ayahnya yang setengah telanjang di atas seorang pria pirang, tentu itu cukup menjadi alasan kenapa dia langsung putar kiri dan mengambil langkah seribu.

Sungguh, tak perlu penjelasan! Bukannya tidak tahu—Kagami sudah tahu sejak lama—hanya saja, entah kenapa, sangat sulit mempercayainya.

Apalagi setelah melihat dengan kedua matanya.

Hilang sudah gambaran-gambaran mesra ayah dan ibunya ketika ia masih kecil.

Dengan pikiran yang penuh dan kacau, ia berkendara kembali ke Los Angeles. Tiba-tiba saja rintikan air jatuh menimpa kaca depan. Kemudian ia membawa koloninya ikut terjun ke bumi, membasahi tanah dan membuat keributan di balik kaca jendela Ford Mustang yang kedap suara.

Kagami memicingkan mata begitu kabut tebal turun. Jalan tol yang berliku dan basah nyatanya tak membuat ia mengurangi kecepatan. Namun tiba-tiba saja teleponnya berdering. Mungkin saja ayahnya yang ingin memberi penjelasan, mungkin juga Gabbie yang menagih kencannya.

Namun, suara yang menusuk telinganya bukan suara lembut dari gadis pemalu. "Hoi, Alis Bercabang! Kau akan mati jika membuat Gabbie menunggu di kafe lebih lama lagi."

Itu Zee—demi Tuhan, orang yang paling tidak ingin Kagami dengar suaranya saat ini. Orang yang, tanpa tahu malu, langsung menantang Kagami one on one ketika pertama bertemu. Orang yang mengacungkan jari tengah di depan wajahnya ketika kalah. Orang yang selalu membuatnya kesal bahkan hanya dengan mendengar suaranya. Dan orang yang membuat Kagami kaget luar biasa mendapat telepon darinya, hingga tak menyadari sorot lampu sebuah truk yang tiba-tiba saja sudah berada di depannya, dan bunyi keras terdengar.

Entahlah apa yang terjadi. Tiba-tiba bumi menghitam.

.

-:-

.

Lucu. Kagami tahu dirinya sedang tak sadarkan diri—oh, ayolah, ia sudah mengalaminya beberapa kali dan menjadi familiar. Perasaan dingin ini, perasaan tak dapat meraih apa-apa ini, secara mengejutkan ia rindukan. Namun yang paling ia rindukan, yang paling menggelikan, adalah harapan di bawah alam sadarnya, yang berharap begitu ia membuka mata, ada sosok berambut biru muda, yang selalu menyebar harum blueberry dan vanilla, sedang tertidur pulas di sampingnya.

Kali ini dia harus sedikit kecewa.

Sosok yang tertidur sambil menggenggam tangannya memiliki rambut panjang berwarna merah bata. Parfum beraroma cinnamon yang telah lama ia kenal, diam-diam merasuki penciuman. Ibunya menggerakkan kepala perlahan ketika Kagami menggenggam balik tangannya. Kelopak itu mengerjap pelan, dan ketika bisa ditangkapnya secarik senyum lemah Kagami, wanita itu langsung menangis.

Ayahnya yang sedari tadi menunggu di lobi langsung menghambur masuk bersama Himuro Tatsuya, Touya, Tobio, dan Alex. Seketika ruang rawat inap itu penuh sesak dengan manusia. Apalagi, diam-diam Gabbie dan Zee bergabung dalam kerumunan.

"Apa yang…" tanya Kagami, terbata, tanpa ia sadari dengan bahasa Jepang.

Sang ibu langsung mengambil alih keadaan dengan menceritakan segala hal—termasuk perkataan dokter yang memperkirakan Kagami akan absen dalam satu musim penuh NBA tahun ini. Gabbie dan Zee tak bisa menghentikan air mata ketika meminta maaf. Mereka bersikeras bahwa ini adalah salah mereka sehingga Kagami bisa seperti ini. Tapi, toh, Kagami tidak ambil pusing. Ia tidak merasa terugikan apapun atas apa yang terjadi, walaupun mobil kesayangannya ringsek di bagian depan hingga harus menginap di bengkel hingga saat ini.

Ia hanya merasa asing dengan kejadian yang sama, namun tanpa orang yang sama.

Angannya kembali pada Kuroko.

"Aku sudah bicara pada pelatihmu," sela Alex tiba-tiba, "Ia bilang kau mendapat libur hingga bisa memakai sepatu lagi."

Barulah setelah itu Kagami menyadari bahwa kaki kirinya, yang dulu sempat mendapat tendangan manis dari Dewa Matahari, retak lagi.

De javu. Bedanya kali ini tidak ada wanita cantik yang siap sedia mengobatinya dengan air yang merasuk hingga ke tulang.

.

-:-

.

Libur hanya berarti satu hal: berkurangnya kegiataan. Jika setiap hari yang dilakukan Kagami adalah menari bersama bola karet oranye di atas lapangan basket, kini ia hanya bisa melihat pertandingannya dari layar televisi rumah sakit. Apalagi Himuro yang dulu ikut menemaninya, kini malah terlihat begitu menikmati saat-saat bermain dengan anggota Boston Celtics.

Ya, musim reguler penyisihan NBA telah dimulai lagi. Kali ini tanpa dirinya.

Di kebanyakan hari ibu dan ayahnya akan bergilir menemani. Di suatu kesempatan, ayahnya bahkan mengajak lelaki pirang yang Kagami lihat tempo hari. Namanya Roland, memiliki postur tinggi dengan mata biru lembut dan rambut pirang pucat. Gayanya bicara begitu halus, bahkan terkesan berusaha menyamai ibu kandung Kagami. Kekakuan tentu terjadi, dan Takeshi tidak menyalahkan anaknya juga. Roland-lah yang berusaha membuka pembicaraan lebih lebar tentang kehidupan anak tirinya itu. Dan tanpa disadari, setelah dua hari, mereka sudah seperti saudara.

Roland juga benar-benar mengingatkan Kagami pada Gabbie. Ketika sedang berpikir begitu, gadis itu tiba-tiba muncul di ambang pintu ruang inapnya, menunduk lesu.

"Hei," sapanya, memaksakan senyum ketika menyisipkan sebagian rambut panjangnya ke balik telinga. Sore itu Kagami sendirian di ruangannya, menonton pertandingan langsung NBA dari televisi layar datar di seberang ruangan. "Apa kabar? A-aku tahu kau tidak begitu baik, tapi… setidaknya… aku berharap kau… lebih baik dari yang kemarin. Maksudku, keadaanmu." Wajah putihnya memerah. Dengan langkah-langkah pendek yang pelan, dia mendekati ranjang Kagami walau masih ada sela satu meter. "Aku… tidak tahu malu, ya. Kau kecelakaan karena harus bertemu denganku. Jadi, ini juga salahku. Aku menyesal. Maafkan aku, Taiga."

"Sudahlah, yang terjadi biarlah terjadi," ada tawa kecil dari sang macan yang sedikit menghangatkan suasana. "Lagipula aku memang sedang mencari celah untuk beristirahat dari pertandingan. Ini kebetulan yang bagus sekali."

Gabbie menarik senyumnya. "Kau selalu begitu, ya. Menganggap mudah semua masalah. Aku… suka dirimu yang seperti itu. Ta-tapi Zee benar. Ada kalanya sikapmu itu agak… kelewatan. Ka-kau tentu ingat, kan, sudah berapa kali aku mengajakmu berkencan? Tapi kau selalu menolaknya seolah tak peduli sedikit pun padaku. Tidakkah kau merasa sikapmu itu… kelewatan?"

Deru kendaraan di kejauhan bersahutan dengan riuh rendah kebisingan stadion dari televisi. Kagami terdiam lama, ujung matanya bergeser pada vas kecil di sudut ruangan yang berisi forget-me-not segar dari sang ibu.

"Aku bukannya tidak peduli padamu. Justru karena kau temanku, aku tidak ingin membuatmu berharap terlalu tinggi. Aku tidak bisa menerima perasaan orang lain lagi. Sudah ada seseorang yang begitu berharga bagiku."

Dalam setiap kata yang Gabbie dengar seperti tertimpa hujan deras tanpa menggunakan payung—sakit, berat, dingin, tapi dia tak dapat melakukan apapun untuk menghentikannya.

"Kau gadis yang baik, Gabbie. Kau juga… manis," lanjut Kagami, memalingkan wajah yang memerah sambil menggosok hidung. "Kau selalu populer, banyak laki-laki ingin menjadi pacarmu. A-aku juga selalu mengagumimu. Tapi, kau terlalu baik. Aku tidak bisa menerimanya. Maka dari itu lupakanlah aku. Kau berhak untuk orang yang lebih baik." Kagami tersenyum, membuat Gabbie ikut memerah dan tanpa sadar berlinang air mata.

.

-:-

.

Jika dilihat secara fisik keseluruhan, Kagami sehat. Tekanan darahnya normal, dia tidak pusing, tidak mengalami masalah dengan pencernaan, dan sebagainya. Hanya saja gips pada kaki kiri menghalangi banyak pergerakan.

Perawatan manusia ternyata berjalan begitu lambat. Dulu, seingatnya, hanya butuh beberapa hari hingga ia bisa berdiri lagi, bahkan berjalan mengitari taman bermain sambil berlari menggendong Kuroko. Dan kini ia bosan setengah mati menanti tulangnya menyatu kembali.

Satu-satunya acara TV yang menarik perhatiannya adalah pertandingan basket. Itu pun sambil menahan rasa iri tak berujung melihat rekan-rekannya dapat menggunakan kaki secara normal, bahkan luar biasa hebat dan tidak masuk akal ketika mereka melompat dan berlari mondar-mandir di lapangan tanpa sekalipun terlihat kesulitan. Gerakan mereka sealami kebutuhan makhluk hidup bernapas.

Kagami tidak pernah memikirkannya, tapi apakah dirinya juga seperti itu?

Namun, sungguh, semakin lama ia menatap TV, semakin ia tenggelap dalam rasa gatal ingin kembali ke lapangan. Tapi dokter sudah mati-matian melarangnya, bahkan memberitahu pihak keamanan rumah sakit untuk melakukan penahanan langsung jika melihat Kagami berada di lapangan basket. Agak berlebihan, tapi mau bagaimana lagi.

Ia pun merasa bersalah pada pelatihnya di Boston Celtics dan Himuro. Di kebanyakan waktu, dirinyalah yang paling diandalkan. Bukan berarti teman-temannya yang lain tidak berbakat—mereka luar biasa. Tapi predikat ace tentu tidak didapat Kagami secara cuma-cuma, kan? Ia hanya tidak tahu berapa kali ia harus meminta maaf pada rekan-rekan dan pelatihnya nanti.

Karena semua rasa bosan dan rasa bersalah itu, sebuah ide gila yang numpang lewat terdengar benar-benar menggiurkan—kembali ke Jepang.

Pagi itu semua berjalan seperti biasa. Para dokter dan perawat yang saling menyapa ketika berganti shift, wangi segar deterjen yang terpel di lantai oleh bagian kebersihan, dan para pasien yang mulai membuka mata. Hanya saja, ketika salah seorang perawat memeriksa kamar Kagami, yang tersisa dari ruangan kosong itu hanya serpihan-serpihan gips dan sepucuk surat di atas meja yang berisi, "Jangan khawatir, aku hanya pergi ke Jepang. K.T."

Bohong jika tidak ada yang khawatir.

.

-:-

-:-

.

Tanpa semua orang sadari, tenggat waktu sepuluh tahun yang diberikan Nijimura sudah mencapai batasnya. Pada awalnya seisi Olympus tidak berani memiliki keyakinan bahwa Kuroko akan memilih Akashi, melihat hubungan mereka yang semakin menjauh di setiap hari. Tapi tiba-tiba saja sebuah pengumuman datang bagai petir yang menyambar, bahwa awal musim gugur nanti, akan ada sebuah acara besar yang akan mengakhiri segala spekulasi.

Akashi tahu Kuroko selalu mengimpikan pernikahan seperti manusia. Maka, acara itu digelar pada sebuah bangunan yang sengaja dibuat menyerupai gereja. Kursi-kursi panjang berderet, karpet merah terbentang membelah ruangan yang berakhir di altar, tepat di bawah kaki Nijimura yang bertindak selaku pendeta. Di sebelahnya berdiri Akashi, mengenakan jas putih, memasukkan tangan pada saku celana, sambil menatap datar ke arah pintu masuk.

Bahkan Nijimura tidak tahu apa yang dewa itu pikirkan.

Ketika pintu terbuka, derik suaranya membuat semua orang menoleh ke belakang. Angin yang tiba-tiba masuk berhembus kencang membawa kelopak-kelopak lili putih serta harum lembut vanila dan blueberry. Akashi selalu merindukan aroma ini, yang selalu mengingatkannya pada sosok Akari yang telah tiada.

Namun sosok yang muncul dari tengah cahaya putih itu bukanlah Akari walau memiliki banyak kesamaan. Kuroko, dengan gaun putih panjang, sepatu kaca, serta rambut biru panjangnya yang terurai dan berhias mahkota bunga primerose putih, perlahan menapaki karpet beludru. Seikat mawar merah yang ia genggam menjadi satu-satunya warna yang mencolok pada dirinya. Pandangannya tenang tak menyiratkan kesedihan ataupun kegembiraan. Ia hanya tersenyum tipis ketika sampai di depan Akashi dan berdiri di sampingnya.

Acara utama dimulai dengan pembukaan dari Nijimura. Setelah pidato yang disengajakan singkat, ia hendak membacakan ikrar pernikahan yang akan diikuti Akashi dan Kuroko, tapi tersela setelah Kuroko berkata, "Bisa kita langsung ke acara pertukaran cincin?"

Karena Akashi terlihat tidak ambil pusing—walau menaikkan sebelah alis pertanda tidak mengerti—maka Nijimura pun melakukan apa yang diminta.

Akashi mengeluarkan sebuah kotak beludru dari dalam sakunya yang berisi sebuah cincin berbahan dasar rubi. Ia lantas meraih tangan Kuroko yang berlapis sarung tangan panjang, dan menyematkan cincin tersebut pada jari manisnya. Setelahnya mereka bertatapan. Kuroko mengembangkan senyumnya, meraih balik tangan Akashi untuk menyerahkan buket mawar yang digenggamnya, dan melepas kembali cincin yang baru saja terpasang.

Malah, ia menyematkannya pada jari manis Akashi.

Semua orang menatap penuh pertanyaan. Riuh rendah bisikan terdengar, sedikit banyak mempengaruhi Akashi untuk ikut menukikkan alisnya dalam-dalam ketika mencerna arti tatapan lurus yang bercahaya dari mata Kuroko.

Tak lama, mata rubinya melebar. Ia mengerti, ada sesuatu yang lain yang Kuroko inginkan. Maka, ia pun berkata, "Baiklah. Kau mendapat izinku, Selene."

Dan Kuroko semakin melebarkan senyumnya, bahkan terkekeh pelan sebelum mengangkat gaun dan berlari kembali menelusuri karpet merah. Ketika telah sampai di ambang pintu, gadis itu berhenti dan berbalik. Senyumnya masih sumringah dan lebar, sepasang manik biru langit itu masih berkerlip bagaikan bintang.

Kemudian segumpal air mengumpul di dekat tangan kanannya dan membentuk semacam belati dan mengeras. Tangan kirinya memegangi rambut airnya di samping telinga. Dan dalam sekejap mata, setelah ayunan cepat dari tangan kanan, rambut biru indah itu terjatuh ke tanah sebagai percikan-percikan air. Kuroko menggoyangkan kepalanya yang terasa lebih ringan. Tanpa sadar, ia merindukan helai demi helaian rambut padat yang menggelitik tengkuknya.

Ia berseru, "Terimakasih, Akashi-kun!" tepat sebelum lantai di bawah kakinya menghilang dan menjatuhkan sosoknya bagai burung tanpa sayap.

.

-:-

-:-

.

Seharusnya Kagami tidak serindu ini melihat pantai. Bahkan deburan ombak yang menghantam karang, kicauan camar di atas kepala, dan pasir halus yang membenamkan kakinya sudah begitu sering ia temui di California.

Tapi ini berbeda. Hanya di sini, di pantai Utara Tokyo, ia bisa merasakan angin laut yang lembab membawa hawa rendah musim gugur. Hanya di sini ia bisa melihat bulan yang bersinar malu-malu di balik awan kelabu tipis. Dan hanya di sini ia bisa benar-benar mengingatnya, kekasihnya, yang tak pernah ia lupakan.

Ombak yang bergulung tinggi seolah memanggilnya mendekat. Dengan segenap kekuatan dan keberanian, ia melangkahkan kakinya menerjang air laut tanpa peduli pada retakan di kaki kiri. Tubuhnya terbaring di atas papan selancar, kedua tangannya mendayung menuju tengah laut. Aktifitas yang dulu sering ia lakukan menjadi begitu ia rindukan.

Tiba-tiba saja hujan turun dengan deras, lautan semakin mengamuk. Ketika sebuah gelombang meninggi, Kagami sudah bersiap untuk berdiri. Tapi papannya yang licin dan keseimbangan yang rapuh akibat cideranya yang belum sembuh, membuatnya tergelincir sehingga tertelan oleh rahang ombak. Ia tergagap menggapai permukaan, dengan susah payah akhirnya berhasil meraih papannya berkat tali yang terhubung ke kakinya.

Kejadian yang sama berulang hingga lima kali. Setelahnya Kagami kehilangan tenaga. Ia berbaring di permukaan laut, menutup mata, merasakan setiap tetesan hujan yang menerpa muka, atau deru air laut di telinga.

Ia merasakan ketenangan yang hakiki di mana tidak ada satu pun yang perlu dikhawatirkan. Di mana untuk sesaat, ia bisa menganggapan bahwa semuanya adalah mimpi yang indah sebelum terbangun dan menemukan sosok Kuroko tertidur di sampingnya lagi. Namun satu sisi dalam dirinya tahu bahwa itu juga merupakan bagian dari mimpi.

Cukup lama ia mengapung di tengah laut sebelum memutuskan untuk berenang kembali ke tepi bersama papannya. Tubuhnya yang basah langsung menggigil begitu terkena udara, jadi dengan tergesa—dan tertatih—ia menuju sudut karang di mana ia meninggalkan tas dan barang-barangnya. Pria itu mengeluarkan secarik handuk dan menyampirkannya di pundak, lantas terdiam menatap cakrawala.

Langit yang sesaat lalu terlihat kelam dengan awan kelabu, kini perlahan-lahan kembali sejenih kristal dan tak malu lagi menampakkan deretan bintang. Bulan, yang menggantung rendah di dekat horizon, terlihat indah dengan bayangan pada air raut yang beriak panjang. Pandangannya tak beralih, diam-diam kembali mengharapkan keajaiban yang menyertakan Kuroko.

"Taiga-kun."

Pundaknya menegang. Fokusnya kabur untuk sesaat. Apakah hanya perasaannya, atau memang ada sayup-sayup yang memanggil namanya? Sepasang manik crimson itu lantas berkeliling mencari sumber suara.

"Taiga-kun."

Warna suara itu semakin jelas—suara yang selama ini begitu ia rindukan, yang selalu menghampiri di setiap malam. Jantungnya berdegup kencang, darahnya mengalir deras. Rasa senang yang tak dapat terdefinisikan lantas membuncah ketika melihat siluet tubuh wanita muncul dari dalam laut, tertatih menuju bibir pantai, dengan rambut biru pendek yang bergoyang bersama langkah gontainya.

"Kuro—Tetsuki!" Seruan itu keluar begitu saja, membangkitkan semangatnya untuk berdiri dan berlari lurus demi mendekap sosok mungil itu. Pendengarannya tidak salah. Pengelihatannya tidak salah. Ini Kuroko Tetsuki yang selalu dicintainya, yang begitu ia rindukan setelah sekian lama.

Dua pasang kaki yang lemas masih tak mampu memisahkan dekapan erat mereka. Kagami yang perlahan kembali merasakan sakit pada kakinya, akhirnya menjatuhkan tubuh perlahan pada tepi pantai penuh kerang. Kuroko terseret, malah memeluk semakin erat.

Istilah 'dunia milik berdua' kini benar-benar terdefinisikan bagi mereka. Bahkan belaian lembut air laut dan dinginnya angin malam tak berarti apa-apa. Kagami baru bereaksi begitu Kuroko menjauhkan wajah, dan dengan senyum sumringah berkata, "Kali ini aku yang menemukanmu."

"Ya, kita bertemu lagi."

Ciuman itu pun datang begitu natural—ciuman yang basah, lama, dan bergairah. Ciuman yang menjadi akhir dari lembaran lama dan pertanda bagi lembaran yang baru.

.

-:-

-:-

The beginning is the end, and then end is the beginning.

Well then, lets us begin again. And to each, their own tale.

-:-

-:-

.

Omake: Sometimes, Love Bloom at Someone Else's Wedding

Enam bulan kemudian, di pertengahan musim semi penuh bunga, sebuah gereja kecil di Sutro Heigh Park, San Francisco, California, telah ramai oleh sekelompok pemain basket NBA dan anggota tim Seirin di sisi kiri, serta orang-orang berambut pelangi di sisi kanan yang duduk berdampingan dengan orang tua Kagami dan keluarga kecil Himuro. Zee, Gabbie, dan Roland ikut diundang, hanya saja mereka mengambil tempat paling belang. Mereka semua tampak sumringah dan sesekali berpaling pada Kagami yang seribu kali lebih bahagia.

Kakinya bergetar, jemarinya bergerak gusar, dan matanya merah akibat tak bisa tidur tiga malam terakhir. Himuro, yang berdiri di sampingnya sebagai pendamping mempelai pria, terkekeh dengan sikap lama adiknya. "Tenanglah, Taiga. Ini bukan seperti kau belum pernah melewatinya."

"A-a-aku tahu. Hanya saja ini kan s-s-sungguhan."

Himuro tertawa. "Asalkan kau tidak terbata ketika mengikrarkan sumpah, sepertinya tidak masalah."

Tiba-tiba saja pintu gereja terbuka lebar, membuat jantung Kagami hampir berhenti. Tobio kecil langsung menghambur masuk sambil menebarkan bunga-bunga forget-me-not di sepanjang karpet merah menuju altar. Barulah Kuroko, yang menunggu di ambang pintu dengan gaun putih panjang, rambut tergelung rendah, dan mahkota bunga di atas kepala, berjalan dengan langkah yang pendek-pendek.

Semua undangan lantas ternganga oleh sosoknya yang bercahaya. Bagi para dewa yang menyaksikan pernikahannya dengan Akashi, bisa menyebutkan beberapa perbedaan yang jelas. Salah satunya adalah raut wajah dan aura lembut di sekitarnya yang memancarkan kebahagiaan tiada tara. Semua orang lantas tersenyum, bahkan Kise, yang kembali ke wujud manusia perempuan, sudah meloncat-loncat saking bahagianya.

Kagami meraih tangan Kuroko ketika mereka telah berhadapan, terkekeh sebentar dengan wajah memerah, dan akhirnya berdiri berdampingan menghadap pendeta gereja tanpa melepaskan genggaman tangan.

Setelah sang pendeta memberikan sambutan, maka ia mempersilahkan mempelai wanita untuk mengucapkan sumpahnya terlebih dahulu.

Kuroko dan Kagami berhadapan, senyum sumringah tak dapat tertahan. Dan setelah tarikan napas panjang, Kuroko memulai dengan, "I vow to help you love life, to always hold you with tenderness, and to have the patience that love demands." Ia mengeratkan genggamannya pada tangan Kagami, sebenarnya gugup luar biasa. Tapi Kuroko memang cepat belajar. Buktinya, enam bulan di Amerika sudah membuatnya fasih berbahasa Inggris. Dia bahkan menulis naskah sumpahnya sendiri, yang ditulis di atas lembaran menu McDonald, yang ia hapal mati-matian seminggu ini. "To speak when words are needed and to share the silence when they're not. And to live within the warmth of your heart and always call it home."

Kagami tergagap, mengalihkan pandangan pada sepatunya, sebelum kembali menatap Kuroko dan berkata, "Well, sumpahmu terlalu… tinggi. Entah apa aku bisa mengimbanginya. Dan kau benar-benar menulisnya di atas menu?"

Kuroko hanya terkekeh. "Ya, kenapa?" Mata biru itu membulat, dan semakin bersinar-sinar ketika Kagami ikut mengeluarkan lembaran menu dari saku jasnya.

"I vow to fiercely love you," ujar Kagami. Pandangannya lurus menatap Kuroko. "in all your forms, now and forever." Ia menarik napas dalam sambil meremas lembaran menu. "I promise to never forget that this is once-in-a-lifetime love. And always know in the deepest part of my soul that no matter what challenges might carry us apart, that we'll always find the way back to each other."

Wanita di hadapannya mengangguk kecil dan melebarkan senyum.

"Do you take each other as spouse forever?" tanya sang pendeta.

Kagami langsung menjawab, "I do."

Butuh sedikit waktu untuk Kuroko menjawab, karena dirinya masih terbanjiri rasa bahagia tak berujung yang semakin mencerahkan senyumnya. "Yes, I do."

"And then, I now pronounce you man and wife and best friends for life."

Tak perlu kalimat selanjutnya dari sang pendeta untuk membuat dua orang ini berciuman. Tiba-tiba saja mereka sudah mendekatkan kepala, dengan kedua tangan Kagami merengkuh erat tubuh mungil Kuroko, dan saling melumat dengan raut bahagia.

Ada sisi lain dari cerita bahagia ini. Ketika Kuroko memasuki ruangan, seluruh perhatian memang terserap ke arahnya. Namun tentu tidak ada yang melewatkan kehadiran seseorang di belakang Kuroko yang berjalan sambil membawa ekor gaunnya, yang pada akhirnya berdiri di samping Kuroko sebagai pendamping mempelai wanita, dan berhadap-hadapan dengan Himuro yang ternganga.

Wanita berambut ungu panjang, berpostur tinggi, dengan gaun satin sebatas lutut berwarna ungu muda dan rambut yang terkepang rendah ke samping oleh sebuah ikat rambut berbandul makanan manis.

Wanita itu tertawa kecil. "Hai, Muro-chin. Ekspresimu lucu sekali."

Inilah yang namanya lupa daratan—ketika kau sedang menghadiri acara pernikahan seseorang dan kau berdiri tepat di depan altar, kau malah mengikuti jejak para mempelai dengan menyergap seseorang dan memeluknya erat-erat, kemudian menciumnya penuh gairah.

Himuro melakukan itu—tanpa ragu, tanpa peduli lagi pada segala imejnya sebagai cowok kalem, ia melepaskan hasrat selama sepuluh tahun yang selalu dipendamnya. Sebuah keinginan kecil yang tumbuh sejak mereka pertama kali bertemu, dan kini, akhirnya ia bisa melumat lembut bibir semanis coklat itu.

Tarikan napas tercekat terdengar serempak melihat dua ciuman yang terjadi bersamaan. Alex langsung berbunga-bunga, sementara suaminya sibuk menutup telinga dan mata Tobio. Zee menyandarkan kepalanya dengan lemas pada kepala Gabbie di pundaknya, sama-sama tenggelam dalam perasaan tidak tahu ingin menangis bahagia atau sedih.

Sementara itu, Akashi dengan datar berkomentar, "Yang Mulia, apakah kau yakin membiarkan Atsushi menjadi manusia?"

Nijimura malah mengedikkan bahu dan terkekeh. "Apakah kau yakin merelakan Tetsuki pada manusia?"

"Tidak ada pilihan lain. Ini demi kebaikan Selene juga," balas Akashi, sedikit kesal.

"Maka aku juga melakukan hal yang sama."

Kedua orang itu terdiam, saling bertatapan, dan akhirnya kembali meluruskan pandangan pada altar sambil tersenyum.

"Seandainya aku juga diizinkan melihat Buku Takdir Cinta," gumam Akashi, "maka semua ini tidak perlu terjadi."

"Maka hidup tidak akan seru lagi," sahut Nijimura yang membuat Akashi kembali menoleh. "Dan mungkin kau akan terkejut setengah mati mengetahui kenyataan." Pria berambut hitam itu tersenyum. Dan tanpa disadari, ia sudah menarik kepala Akashi mendekat dan mencium bibirnya. "Tuh, kaget, kan?"

Bukan kaget lagi. Wajah Akashi bahkan sudah semerah rambutnya dan ekspresi terkejut itu terpatri kaku untuk beberapa saat.

"Ah, dan aku sudah lama ingin mengatakan ini, tapi berhentilah memanggilku Yang Mulia atau Raja. Shuuzou saja cukup. Jika tidak bisa, Nijimura saja."

Akashi mengangguk. "Nijimura-san."

"Shuuzou."

"Nijimura-san."

"Ah, terserah padamu."

"Shuuzou-san."

Sang raja membelalakkan mata. Dan Akashi merasa puas melihat rona merah yang memenuhi wajah pria di hadapannya. "Kenapa kau memerah, Shuuzou-san?"

"Diam kau, Sei."

Ketika tiba saatnya pelemparan buket bunga, para undangan dipersilahkan berdiri sementara kedua mempelai memunggungi mereka. Sempat terlihat percakapan singkat antara Kuroko—yang telah berganti marga—dengan Kagami. Mereka tidak membahas yang aneh-aneh, kok. Kuroko cuma meminta agar lemparan Kagami tidak terlalu kuat supaya tidak terbang ke luar gereja.

Mereka berdua mulai menghitung mundur. Para undangan berdebar-debar. Ketika telah mencapai angka tiga, buket telah melayang dan pandangan terangkat tinggi, di ambang pintu muncullah Aomine dan Haizaki yang beradu mulut.

"Dasar Malaikat Sialan. Kita jadi terlambat hanya karena kau terlalu lama menggunakan jel rambut! Nggak bisa apa nerima kenyataan aja? Rambutmu itu memang dari sananya jabrik jelek gitu. Lihat saja, akan kubuat kepalamu bersih dari rambut ketika kita sampai di rumah nanti."

"Haa? Ingatkan aku siapa tadi yang bingung memilih antara high heels atau kets!"

"Tentu saja jika kau membiarkanku memakai jeans, aku langsung akan memilih kets, dasar ijuk abu-abu!"

"Hanya cewek tidak waras yang memakai celana jeans ke pernikahan, ganggang biru!"

"Apa kata—"

Sayang sekali. Perdebatan seru itu harus tersela oleh seikat lili putih yang menimpa kepala Aomine.

Semua orang di dalam ruangan hanya bisa terdiam untuk sesaat. Sejurus kemudian, tepukan tangan meriah bersahutan dengan tawa membahana.

"Selamat, Daiki, Shougo!"

Haruskah saya tambahkan kalimat 'happily ever after'?

.

.

-:-

I have died everyday waiting for you

Darling don't be afraid I have loved you

For a thousand years

I'll love you for a thousand more.

And all along I believed I would find you

Time has brought your heart to me

I have loved you for a thousand years

I'll love you for a thousand more.

~Christina Perry – Thousand Years~

-:-

.

.

HAPPY END

Sebenarnya saya pingin membahas masing-masing pair, tapi ide dan kosakata udah keburu abis. Gomen ne, minna.

Kagami OOC, maaf. Can't help! Saya nggak bisa ngebayangi Kagami Dewasa selain pria super sempurna yang tentu dewasa dalam pikiran juga. Jadi… maaf kalo sudah nggak se-kawaii Kaga-chan yang dulu. TTuTT

Rambut Haizaki saya kembalikan warnanya karena permintaan seseorang. Aomine tetap menjadi perempuan demi permintaan seseorang. Himuro tetep berjodoh sama Murasakibara karena permintaan seseorang. Yang merasa saya singgung (96rui), BERBANGGALAH. Utang saya lunas, ya! #cumamaularidarikenyataan

Pertemuannya KagaKuro saya buat berdasarkan order Eamaki Devy. Nggak lebay, kan?

Bunga primerose, atau Jepangnya Sakuraso (桜草) dapat berarti keputusasaan di Jepang. Sementara di barat, artinya bisa berarti cinta abadi. Kok berlainan banget, ya? ="=a

Mawar merah sendiri artinya gak beda jauh dari keyakinan kita selama ini, kok—keberanian, kecantikan, cinta, dan romantisme. Dan lili putih berarti pengabdian, persahabatan, simpati, mulia, murni, suci. Yah, sebenarnya sih saya gak ada maksud apa-apa milih tiga bunga ini. #dilemparember

Saya belum pernah ke California, jadi maaf kalo ada yang salah tentang definisi tempat. Dan soal melunturkan cat rambut dengan diet coke… saya gak pernah nyoba juga (karena rambut saya gak pernah dicet). Tapi satu hal yang pasti, di artikel yang saya baca, harus pake diet coke, nggak boleh soda yang lain. Yang mau nyoba, silahkan saja.

Sumpahnya Kagami dan Kuroko saya copas dari film The Vow, bahkan ide untuk nulis naskah sumpahnya di atas menu (lol). Dan gaun pernikahannya Kuroko, cuma ngasi tahu aja, kayak gaunnya Elsa (Frozen) saat jadi Snow Queen. Cocok gak?

Minna, nakanaide [jangan nangis]. Saya tahu endingnya nggak memuaskan (karena setiap chapter pasti gitu). Insyaallah akan ada 'after story'-nya. Nah, untuk itu saya membutuhkan saran, masukan dan kritik para readers nih. Yang merasa bingung atau ada yang kurang di chapter-chapter yang lalu, silahkan kasi tahu saya, mungkin bisa jadi ide buat cerita sampingannya. Ah, yang mau ngasi ide tambahan juga gak masalah. Misalnya pingin tahu kehidupan anak-anaknya KagaKuro dan HiMura, atau pingin lebih banyak Helios and Selene, mungkin?

Sekali lagi, kalo ada bagian di cerita ini yang masih bingung, tanyakan. Kalo merasa ada yang kurang, katakan. Kalo ada ide buat cerita tambahan, sampaikan. Ide buat 'NG-shuu'/plesetan juga boleh, kok.

Saya mungkin tidak dapat mengabulkan semuanya (mungkin ada yang hanya saya balas lewat PM), tapi saya akan berusaha untuk membuat yang terbaik. Ah, saya juga akan mencantumkan pane-name dari readers di setiap cerita yang idenya terpakai. Asyik, kan? Sudah idenya dijadikan cerita, namanya pun juga terkenal. :)

.

(Minggu, 4 September 2014)

Pelukcium,
LeeA