How to Say 'Thank You For Loving Me'
Naruto © Masashi Kishimoto
Story by C.M.A
KONOHA GAKUEN
Pernah dengar? Di atas bumi ada langit. Di atas langit ada langit lagi.
Di atas rasa cinta, ada rasa peduli. Tapi di atas itu semua, ada yang namanya gengsi.
Kelima gadis cantik itu tak henti memutar otak. Bukan, bukan karena sekarang musim ujian. Mereka sudah melalui fase itu dengan selamat. Apa karena mereka remedial makanya harus ikut kelas tambahan? Oh, bukan. Mereka lebih dari pintar untuk bisa mendapat nilai bagus. Lagipula bunkasai sudah semakin dekat, tak ada jam pelajaran yang terlalu 'aktif' karena semuanya terbius euforia bunkasai yang telah ditetapkan akan dilaksanakan seminggu lagi.
Dari sekian banyak hal yang harus dipikirkan dan disiapkan untuk menyambut bunkasai, tetap terselip pemikiran tentang pacar-pacar mereka di otak cewek-cewek itu. Apalagi jika sang pacar yang biasanya berubah mendung dan senyumnya retak-retak, menggerutu panjang lebar, menebar death glare sembarangan, asal tendang entah bola entah kepala orang dan memasang wajah datar bin sangar tingkat dewa saat sedang bertengkar dengan pacarnya, sekarang malah adem ayem aja. Jelas saja ini membuat hati kelimanya kebat-kebit. Tapi ya itu, gengsi.
Temari sedang berlari mengitari lapangan saat jam olah raga berlangsung. Dari lapangan luar ini, Temari bisa melihat jelas Shikamaru yang bersender ke kaca jendela. Mungkin tidur. Sementara guru yang berada di kelas itu sedang sibuk menjelaskan sesuatu. Temari tahu seberapa jenius pacarnya itu, tapi ia selalu mengingatkannya untuk memasang wajah tertarik saat jam pelajaran berlangsung agar tidak membuat semangat gurunya down. Tapi sepertinya Shikamaru tidak mendengarkannya lagi apalagi sudah nyaris dua minggu lebih ini mereka tidak saling berkomunikasi. Tentu saja rasanya menyakitkan bagi Temari. Apalagi kalimat terakhirnya pada Shikamaru waktu itu adalah teriakan kasar saat dirinya emosi. Mungkin saja Shikamaru sudah membencinya dan menganggapnya sama membosankan dan menyusahkan seperti cewek lain?
Sakura sendiri tak kalah galau. Meski awalnya ia sangat bersemangat, semakin ke sini, dia semakin menyesali keputusannya mengikuti hasutan Ino. Saat dirinya harus ke klub fotografi untuk menyortir foto yang akan dipamerkan, tanpa sadar ia malah melangkahkan kakinya ke arah laboratorium. Tapi ia langsung memutar tubuhnya kembali saat dilihatnya Sasuke yang masih setia dengan jas putihnya sedang dikerumuni para kouhai entah karena apa. Yang jelas dada Sakura terasa sesak.
Lain dari Sakura, Tenten sesekali datang mengunjungi ruang OSIS. Ia perhatikan pacarnya itu semakin kurus saja. Awalnya ia ingin berpikir kalau pacarnya itu stress karena masalah di antara mereka. Tapi pemikiran itu luntur begitu saja saat terakhir kali ia datang ke sana Neji memintanya agar tidak mengganggunya yang sedang disibukkan dengan berkas-berkas acara tanpa memandanganya sama sekali. Ya. Neji hanya peduli dengan tugasnya dan mungkin karena itu pula dia sampai lupa makan.
Sementara Hinata—cewek terlembut di antara mereka berlima—hanya bisa tersenyum kecut dari jendela tiap kali melihat pacarnya yang sedang latihan habis dikerumuni para fansnya. Yang begitu saja sudah membuat Hinata cemburu, tapi yang makin membuatnya kesal adalah Naruto yang dengan senang hati menerima bekal-bekal buatan cewek-cewek itu dan tak ada yang bisa dilakukannya. Ia bahkan merasa tak berhak menanyai Naruto tentang lebam-lebam di wajahnya tempo hari. Sekarang kalau Hinata mau marah, ia harus marah pada siapa?
Ino?
Tidak mungkin.
Karena kondisi cewek itu tidak lebih baik dari teman-temannya.
Memang benar ia selalu memasang wajah jutek tak peduli miliknya. Tapi siapa yang tahu isi hati seorang Yamanaka Ino? Apa dia senang karena hipotesisnya bahwa cowoknya tak punya hati itu benar adanya? Tentu saja jawabannya tidak. Tidak ada cewek yang senang jika diperlakukan buruk oleh pacarnya meski ia sendiri yang membuatnya demikian. Bagaimanapun, saat bertengkar, seorang cowok seharusnya menyediakan pasokan gombalan untuk meluluhkan hati ceweknya kan? Tapi sepertinya bukan itu yang dipikirkan Sai. Cowok itu nyelonong begitu saja saat dirinya dan Ino tanpa sengaja berpapasan di lorong. Wajah tersenyum itu makin membuat emosi yang ditahan Ino menjadi tidak stabil dan membuatnya berlari menuju WC terdekat untuk menangis.
Ya. Menangis.
Sai tidak bohong kalau Ino itu cengeng. Cewek itu menangis tertahan hingga sesenggukan. Ia tidak kuat melihat Sai yang mengabaikannya. Ya, ya. Ia tahu kalau dirinyalah penyebab semuanya. Tapi ia terbiasa dengan Sai yang selalu mendekatinya tanpa henti dengan senyumnya itu setiap kali mereka bertengkar. Dan sikap Sai saat ini sungguh membuatnya gamang.
Sepertinya memang harus memakai ramuan itu, ya?
.
.
.
.
RUANG MUSIK
"NARUTOOOOO!"
"Apa? Kenapa? Ada gempa ya?"
Yang namanya diteriaki hanya bisa memasang wajah kaget dan refleks menjatuhkan gitar listrik dipangkuannya. Kepalanya berputar-putar tak tentu untuk mencari orang yang baru saja memanggilnya. Dan akhirnya tatapan matanya bersirobok dengan wajah sedih—yang aneh, karena ia masih juga tersenyum—milik Sai yang berlari menghambur ke arahnya.
"Kau kenapa?" tanya Naruto panik.
"I-Ino…"
"Apa? Kenapa dengan Yamanaka-san?" Neji mendekat dengan stik drum di tangan. Sasuke yang sedang menghapal kunci bass di sudut lain ikut mendekat juga. Hanya Shikamaru saja yang masih tiduran santai di tengah ruang musik—yang aslinya milik pribadi Jiraiya yang doyan karaoke-an—sambil menghapal lirik bagiannya.
"Ino sakit?" tebak Sasuke.
"Jerawatan?" Naruto ikut menebak yang dihadiahi jitakan oleh Sasuke. Tebakannya sangat tidak bermutu. Tapi Naruto tahu kalau satu jerawat bisa membuat cewek manis jadi mencak-mencak. Mungkin saja kan Ino jerawatan dan menjungkirbalikkan mood-nya yang tentu saja berimbas pada Sai?
Sai menggeleng kuat. "Tadi aku berpapasan dengannya di lorong saat menuju ke sini."
"Lalu?" tanya Neji dengan kening berkerut penasaran.
"A-aku… aku tidak menyapanya, bahkan tidak meliriknya!" teriak Sai di depan ketiga wajah temannya.
"Che. Sai," Naruto memutar matanya dan memasang tampang kesal. "Kupikir kenapa." Dan ia kembali pada gitar listriknya.
"Ta-tapi kalian tidak tahu Ino seperti apa! Mungkin sekarang dia sedang menangis! Aku tidak tahan membayangkannya!"
"Sudahlah Sai, fokus saja dengan latihan ini. Bukannya itu sudah kita sepakati sebelumnya?" Sasuke ikut meninggalkannya dan bergabung bersama Naruto dengan bass listriknya.
"Ta-tapi…" Sai masih terlihat murung meski akhirnya meraih gitarnya dan ikut berlatih.
"Tenang saja Sai. Setelah ini, semua akan baik-baik saja." Kata Neji menghiburnya. Sai hanya mengangguk saja dan berusaha tersenyum kembali.
"Ngomong-ngomong, kemana sih si Tayuya?" tanya Naruto. Jemarinya tengah aktif memetik gitarnya, melantunkan melodi yang bisa dibilang lumayan.
"Cewek. Mungkin sedang sibuk entah apa." Ujar Sasuke tanpa mengangkat wajahnya dari atas music sheet.
"Tapi pertunjukkannya tinggal seminggu lagi. Kita masih harus banyak berlatih." Naruto tampak khawatir. Sekilas ia melirik ke arah Shikamaru yang masih dengan posisi awalnya. "Aku tidak mau mempermalukan diri sendiri."
"Mudah bagimu bicara. Aku bahkan tidak berpikir bisa melakukannya." Sekarang gantian Neji yang murung. Dibanding teman-temannya, dia lah yang memiliki kemampuan bermusik paling rendah tapi dipaksa bermain drum. Untungnya latihan khusus yang diberikan oleh Tayuya padanya lumayan membantu. Tapi tetap saja masalah utama ada pada dirinya yang terlalu pemalu. Selama dua tahun bersekolah di Konoha Gakuen dan menjadi ketua OSIS, Neji dikenal sebagai pribadi pendiam dan kaku. Karenanya Neji tidak bisa membayangkan dirinya berada di atas panggung dan menjadi drumer.
"Sebenarnya, aku juga…" Sai menatap jemari putihnya yang kurus dan senar gitarnya. Sai memang menyukai seni, tapi bukan musik. Meski ia sedikit tahu, tapi kalau boleh memilih tentu saja ia akan memilih untuk tidak tampil.
"A-ayolah… jangan begini. Pertunjukkannya tinggal seminggu lagi. Tidak lucu kalau menyerah sekarang setelah kita latihan keras dan menghindari pacar-pacar kita hanya supaya mereka makin terkejut dengan pernampilan kita nanti." Naruto mencoba menyemangati kedua temannya yang sepertinya tidak terpengaruh sama sekali.
Sasuke yang tidak tahan dengan aura jelek yang menguar dari kedua orang itu akhirnya angkat bicara. "Kalian latihan saja yang benar. Kalau masalah berani, aku punya solusinya."
"Eh? Apa?" Tanya Sai cepat.
Sasuke rencananya akan memberitahu mereka nanti setelah mereka selesai latihan tapi akhirnya ia beranjak juga dari tempatnya dan kembali dengan sebotol besar air—atau sesuatu yang tampak seperti air.
"Itu apa?" Naruto mengamati botol itu saat Sasuke kembali duduk di sebelahnya. Mereka semua tampak heran dengan cairan itu, bahkan Shikamaru pun akhirnya bangkit dan beringsut mendekat.
"Aku sudah menciptakan semacam obat yang akan mempengaruhi kinerja hormon penghasil adrenalin kalian. Selain itu, efek sampingnya juga adalah menghilangkan rasa cemas dan gugup. Jika kalian meminumnya, kalian bisa melakukan apa saja. Meski begitu, efek ini hanya bertahan sekitar satu-dua jam saja tergantung banyaknya dosis yang kalian ambil. Kusarankan—"
"Tu-tunggu sebentar Teme!" Naruto memotong penjelasan Sasuke dengan wajah yang terlihat panik. Ia tidak paham dengan ucapan cowok raven itu. "Maksudnya apa sih? Adrenalin apa? Aku tidak mengerti!"
Sasuke menepuk jidat. Padahal ia sudah menyederhanakan penjelasannya. Dengan tatapan jengkel ia mengulang kembali penjelasannya dengan perlahan tapi tetap saja Naruto tidak mengerti.
"Hei bodoh! Masa kau tidak mengerti?!"
"Ya-yah, aku memang tidak mengerti." Sahut Naruto polos.
"Sasuke, harusnya kau buatkan formula penambah kinerja otak untuk Naruto." Celetuk Sai yang langsung dihadiahi death glare oleh yang namanya disebut terakhir.
Shikamaru yang sejak tadi diam saja akhirnya bicara, masih dengan nada malasnya yang biasa. "Naruto," panggilnya, Naruto menoleh, "intinya, ini ramuan 'muka tembok'. Kalau kau meminumnya, kau jadi bermuka tebal. Tidak tahu malu. Tidak takut. Tidak gugup atau apapun. Mengerti?"
"Oh…" mulut cowok pirang itu membulat dan wajahnya cerah kembali. "Kalau begitu aku mengerti!"
Tiga cowok yang lain menepuk jidat.
"Halooo semuanya!" tiba-tiba cewek berambut merah panjang muncul dengan senyum tak berdosanya.
"KAU HABIS DARI MANA SAJA?!" sembur cowok-cowok itu.
"Hehe. Sudahlah tak penting. Sebaiknya kita mulai saja latihannya. Eh iya, katanya Jiraiya-sensei tidak datang hari ini. Tapi beliau berpesan agar kalian latihan dengan sungguh-sungguh." Cewek itu melangkah ke tengah ruangan dan tersenyum lebar. "Kalau begitu, ayo kita mulai!"
Dan selama hampir dua jam berikutnya ruangan itu dipenuhi suara-suara ribut lima orang cowok dengan alat musik masing-masing. Kelimanya berhasil mengikuti instruksi dari Tayuya dengan baik dan menciptakan harmoni melodi yang nyaman di telinga. Meski tidak sebagus pemain aslinya, tapi ini sudah jauh lebih baik dari pada latihan pertama mereka.
Mungkin semuanya berpikir untuk apa kelima cowok itu sibuk nge-band sedangkan kelima pacar mereka sedang bertanya-tanya tentang sikap aneh kelimanya yang tiba-tiba saja terlihat tidak peduli. Hei. Jangan salahkan mereka. Salahkan saja Jiraiya yang memaksakan ide anehnya ini. Pilihan yang ditawarkan Jiraiya ada dua : menari plus menyanyi ala boyband—girls love them, by the way. Jiraiya juga tidak mengerti kenapa—atau menyanyi plus main alat musik dan menjadi anak band selama kurang lebih 6 menit. Tentu saja mereka memilih yang kedua meski sebenarnya mereka tidak ingin memilih sama sekali. Tapi Jiraiya bersikeras agar mereka menampilkan sesuatu yang dapat meyampaikan maksud mereka setelah latihan 'menyatakan perasaan' sebelumnya dianggap gagal total. Lagipula mereka tampil bersama-sama, apa yang perlu dikhawatirkan? Begitu pikir Jiraiya yang benar-benar mengabaikan kemampuan bermusik dan ketahanan mental kelimanya. Bicara atau pidato di depan umum sih mereka sudah biasa. Tapi menyanyi dan mamainkan alat musik untuk merayu pacar mereka? No.
Seakan belum cukup, Jiriya juga menyarankan agar mereka menyiapkan hadiah kecil bagi pacar-pacar mereka. Entah apa yang penting berkesan. Dan itu semakin menambah daftar hal-hal yang harus mereka pikirkan.
Akhirnya sesi latihan itu ditutup dengan tepukan tangan semangat Tayuya—yang ngomong-ngomong, juga tahu alasan mengapa kelima cowok paling populer di Konoha Gakuen itu mati-matian berlatih. Salahkan Kakashi sensei yang ternyata bermulut seperti perempuan. Tapi mereka juga harus berterima kasih untuk itu karena mereka memiliki orang yang dapat membimbing mereka. Dan kali ini Neji menggunakan kuasanya sebagai ketua OSIS untuk memastikan Tayuya tidak cerita pada siapa-siapa. Yang sebenarnya tidak perlu, cewek itu malah yang paling semangat.
"Aku yakin pacar kalian akan menangis saking bahagianya." Kata Tayuya.
"Atau menangis saking malunya melihat pacarnya yang sok bisa main musik." Celetuk Neji penuh sarkastisme.
"Hei, hei… Hyuuga-san, jangan berpikiran buruk terus. Aku yakin Tenten akan senang meskipun misalnya penampilan kalian tidak bagus. Tapi itu tidak mungkin, kalian bagus sekali kok!" Tayuya menyemangati. Neji hanya mendengus pelan dan memalingkan wajahnya.
"Aku harus kembali ke ruang OSIS. Masih banyak yang harus kukerjakan." Ujar cowok berambut panjang itu sambil memungut tasnya yang ada di lantai dan berlalu keluar ruangan.
"Aku juga harus merevisi laporan penelitianku." Sasuke ikut-ikutan pergi.
"Aku harus menyiapkan sesuatu." Ujar Sai penuh rahasia. Kali ini senyumnya sudah kembali. Cowok itu melambai pada semuanya sebelum menyusul Sasuke ke luar.
"Kalau kalian?" tanya Tayuya.
"Aku mau tidur." Sahut Shikamaru singkat dan langsung pergi tanpa menoleh lagi. Samar-samar Naruto dan Tayuya mendengar Shikamaru terbatuk-batuk karena tenggorokannya sakit dan gatal akibat latihan mereka.
"Aku sih mungkin akan langsung pulang saja. Kalau kau Tayuya?"
"Aku dan teman-teman sekelasku rencananya akan menyiapkan stand untuk bunkasai nanti. Kami akan membuka stand makanan dan minuman." Jawab cewek itu.
"Ohh. Makanan? Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa." Naruto menyampirkan tasnya di bahu dan melambai ke arah Tayuya.
"Sampai jumpa."
.
.
.
.
RUANG KLUB KARATE PUTRI
Rapat dadakan kembali digelar oleh Ino cs. Tentu saja untuk membicarakan cowok-cowok mereka yang bereaksi diluar prediksi.
"Sai tidak pernah menghubungiku. Atau menatapku lagi sejak saat itu." Lapor Ino. Matanya sedikit merah tapi keempat cewek lain tak sempat memperhatikan karena masing-masing sudah banyak pikiran.
"Naruto juga sama. Tapi beberapa hari lalu dia tersenyum ke arahku." Hinata tersenyum kecut kemudian, "Dan saat latihan ia membiarkan para fansnya berada terlalu dekat, bahkan menerima bekal buatan mereka."
"Aku rasa Shikamaru membenciku sekarang. Apalagi aku sudah membentaknya waktu itu." Temari mencoba tidak terdengar menyedihkan tapi gagal.
"Neji sepertinya sudah lupa padaku." Ujar Tenten sedih.
"Tidak usah bahas Sasuke. Dia sibuk dengan cewek lain." Sakura melipat tangannya di atas meja dan menyembunyikan wajahnya.
Hening menyelimuti ruangan itu. Kelimanya larut dalam pikiran masing-masing. Mereka bertanya pada diri sendiri, apa permintaan mereka terlalu banyak? Apa meminta kelima cowok itu bilang 'sayang' itu terlalu berlebihan? Apa ini karma bagi mereka karena sudah mencari-cari masalah?
"Bagaimana dengan ramuan cinta itu?" Tenten menatap Ino yang langsung mengeluarkan botol kristal kecil itu dari dalam tasnya.
"Mungkin ramuan ini bisa membantu kita mengetahui perasaan orang lain. Tapi bagaimana kalau perasaan mereka sudah berubah?"
JEGERRR
Bagai petir di siang bolong, ucapan Ino itu sontak membuat keempat cewek lainnya takut. Berubah? Perasaan kelima cowok itu berubah? Tidak! Jangan sampai terjadi. Semoga tidak terjadi. Semoga tidak terjadi. Semoga tidak terjadi…. Doa kelimanya.
"I-itu tidak mungkin…" Tenten merasa matanya panas membayangkan Neji sudah kehilangan rasa padanya. Tapi ia mencoba menepisnya. Meski dingin begitu, ia tahu Neji bukan tipe cowok yang mudah berubah hati.
"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini." Ujar Temari yang sebenarnya tak berniat membuat kouhai-kouhainya itu nge-down.
"Mungkin sejak awal kita sudah salah dengan memaksa mereka." Hinata ikut bersuara. Refleks keempat kepala yang lain menoleh ke arah Ino.
"Aku minta maaf." Ujar Ino. Semua memang salahnya. "Aku akan bertanggung jawab jika nanti ada apa-apa. Ini, ramuannya kau simpan saja Temari-san." Ino menyerahkan botol kristal itu pada Temari. "Gunakan saja bagianku. Kalau dosisnya ditambah, katanya ramuan ini bisa memanipulasi perasaan. Coba saja, meski aku tidak tahu itu benar atau tidak."
"Lalu kau sendiri tidak menggunakannya?" tanya Sakura yang dibalas senyumana tipis oleh temannya itu.
"Aku memang pernah bilang kalau segala hal itu adil dalam cinta dan peperangan," Ino mendengus geli, "tapi aku tidak mau melakukannya pada Sai. Aku akan bertanya langsung dan mendengarnya bicara tanpa pengaruh ramuan apapun. Aku… aku… aku terlalu cinta padanya. Aku tidak butuh ramuan itu. Aku bisa menghadapi ini." Wajah Ino merah padam usai mengatakannya.
Sakura yang mengerti sifat sahabatnya itu memberikan senyum dukungan. "Kalau begitu aku juga tidak. Aku juga sayang pada Sasuke. Tak peduli jika mungkin sekarang ia sudah berubah."
Hinata tersenyum. Senang rasanya memiliki lingkaran pertemanan seperti ini. "Aku juga sama. Lagi pula Naruto memang ramah pada semua orang, mungkin ia menerima semua itu karena ia ingin berterima kasih saja, bukannya karena apa-apa."
"Aku juga tidak akan menyerah begitu saja." Tenten memasang senyum manisnya. Perasaannya tiba-tiba membaik dan ketakutannya berkurang karena melihat ketiga temannya.
"Sejak awal aku tidak yakin Shikamaru akan terpengaruh yang seperti ini," Temari mengangkat bahu sambil tersenyum. "Tapi aku akan simpan ini. Mungkin saja ada salah satu dari kalian berubah pikiran."
Cewek-cewek itu saling bertukar senyum kemudian. Menyerah? Cewek tidak akan menyerah begitu saja. Apalagi mengenai pacar mereka.
"Kupikir sebaiknya kita bicara duluan saja pada mereka." Usul Temari yang disambut raut wajah ragu.
"Aku belum siap hati. Aku juga harus mengurusi klub fotografiku." Sakura menggeleng pelan.
"Aku juga sibuk dengan klub shado." Tambah Hinata.
"Aku dan Lee juga sibuk merombak dojo supaya terlihat menarik." Tenten menoleh pada Ino.
"Aku bertanggung jawab bukan hanya pada pameran bunga klubku saja. Aku juga harus menyiapkan bunga dekorasi untuk dipasang di aula. Tempat itu kan akan dipakai untuk seremonial pembukaan dan lain-lain."
"Aku juga sama dengan Tenten." Temari mendengus. "Tapi kurasa kelima cowok itu juga sedang sibuk sekarang. Mungkin sebaiknya kita bicaranya setelah bunkasai saja. Ini kan masalah yang cukup sensitif, takutnya malah menambah pikiran mereka. Shikamaru saja sudah harus mengkoordinir acara kelas dan menghapal pidato."
"Naruto juga."
"Sasuke juga."
"Neji juga."
"Sai apalagi. Dia juga nanti memamerkan ulang lukisannya yang menang di pekan seni waktu itu."
"Yah… kalau begitu kita sepakat kalau akan membicarakan masalah ini setelah bunkasai?" Temari menatap satu-satu kouhainya yang mengangguk menyetujui. "Oke. Sudah diputuskan ya!"
"Ano…" Hinata tiba-tiba mengangkat tangannya.
"Apa Hinata-chan?" tanya Tenten.
"Aku punya usul." Katanya pelan. "Anoo… pacar kita kan baru-baru ini memenangkan pertandingan dan lomba-lomba, bagaimana kalau kita buatkan kue perayaan untuk mereka?"
"Ide bagus!" Ino menyambutnya dengan antusias. Yah meski dia tidak bisa buat kue tapi kan ada Hinata yang akan membantunya.
"Hmm, boleh juga." Temari tersenyum. "Meski Shikamaru tidak terlalu suka yang manis-manis."
"Kalau begitu kita buat kue yang sekiranya mereka suka." Usul Tenten.
"Kue tomat, mungkin? Sasuke penggila tomat. Dia pasti suka." Sakura nyengir.
"Eww. Aku lebih pilih cokelat deh!" cibir Ino.
Dan derai tawa memenuhi ruang klub itu.
.
.
.
.
RUANG MUSIK
Tiba-tiba saja bunkasai sudah di depan mata. Akibat tumpukan tugas yang banyak, cowok-cowok itu tidak menyadari cepatnya waktu berlalu. Sekarang Neji, Sai dan Naruto sedang bersiap di ruang musik setelah mereka semua selesai mengikuti tetek-bengek seremonial yang dirangkai sekolah.
"Naruto, jarimu kenapa?" tanya Neji begitu melihat beberapa jari di tangan kanan dan kiri Naruto terbalut plester.
"Hanya luka kecil." Jawab Naruto seadanya tapi entah mengapa Naji merasa ia melihat Naruto merona.
"Apa kau bisa bermain gitar dengan jari seperti itu?" Sai melirik jemari Naruto yang langsung disembunyikan di saku oleh cowok itu.
"Sudah, tak perlu khawatirkan aku, aku baik-baik saja."
"Oh iya, mana Shikamaru dan Tayuya?" tanya Sai pada Neji dan Naruto.
Neji mengangkat bahu. "Sasuke juga belum datang. Padahal kita kan butuh obat itu." Ia menatap ke arah pintu dengan penuh harap. Oh jangan sampai cowok itu tidak datang! Neji tidak akan tahu apa yang akan terjadi nanti jika ia nekat tampil juga.
"Tenang saja. Tadi Shikamaru kan masih mengurusi stand di kelas kita. Kalau Tayuya mungkin sedang berkoordinir dengan panitia acara di aula. Dan aku tadi berpapasan dengan Sasuke, katanya dia mau mengambil sesuatu dari lab." Jelas Naruto. "Sebentar lagi juga mereka datang."
Tak lama setelah Naruto bicara seperti itu, pintu ruangan terbuka dan muncullah sesosok makhluk yang sudah dengan tega mendorong mereka semua untuk tampil di panggung besar yang ada di aula.
"Halo semuanyaaa…" Jiraiya mencoba tersenyum dan menebarkan pesonanya. Belum cukup? Kali ini ia juga memakai setelan jas rapi dengan sepatu yang mengilap. "Kalian siap?"
Naruto dan yang lain hanya bergumam rendah.
"Hei, jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja. Kujamin pacar kalian akan meleleh mendengar kalian bernyanyi." Tangannya menepuk keras bahu Naruto yang sedang sial berdiri bergitu dekat dengan Jiraiya. "Cewek itu suka dirayu dan dipuji. Apalagi kalian akan menyanyi khusus untuk mereka di depan semua orang. Mereka pasti senang."
Mereka tahu niat Jiraiya mulia. Tapi sulit berpikir positif saat kalian gugup luar biasa. Sasuke, cepatlah datang!
"Shikamaru! Tayuya!"
Sai berseru senang saat dilihatnya kedua orang itu muncul dari belakang tubuh Jiraiya. Tayuya mengacungkan jempol tanda ia sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik yaitu mengatur tata letak alat musik dan efek pencahayaan saat lima orang itu akan tampil nanti.
"Apa perlu kuumumkan sekarang?" tanya Tayuya. Mereka berencana memangil kelima cewek-cewek itu lewat pengeras suara milik klub penyiaran.
"Sasuke belum datang." Kata Naruto.
"Oh… eh, Sasuke!"
Baru saja dibicarakan, orangnya muncul. Wajahnya terlihat lebih stoic dari biasanya. Orang yang tidak mengenalnya mungkin mengira Sasuke adalah pasien rumah sakit yang sedang dalam masa perawatan karena urat-urat di wajahnya putus semua yang membuatnya tak bisa mengekspresikan emosi di wajahnya, tapi kalau kau tanya pada Itachi—kakak Sasuke yang 11-12 dengannya—maka dengan singkat Itachi akan menjawab kalau adiknya itu sedang tegang luar biasa.
"Tayuya, tuangkan isi botol ini ke lima gelas." Tanpa banyak bicara, Sasuke menyerahkan botol yang ada di tangannya pada Tayuya. Kalau dalam kondisi normal, cewek itu pasti akan melempar balik botol itu ke kepala Sasuke—memangnya dia pembantu?—tapi ia sangat bersemangat dengan rencana mereka jadi ia menurut saja tanpa bertanya lagi air apa itu sebenarnya.
"Sasuke, kamu pakai kaca mata?" tanya Naruto yang baru tersadar saat melihat kaca mata berframe hitam bertengger di atas hidung si Uchiha. "Huh. Persiapan sekali." Komentarnya.
"Oh, kau sengaja pakai biar dibilang keren?" tanya Sai polos. Sejujurnya Sasuke memang terlihat keren dengan kaca mata itu. Tapi ucapan keduanya malah dibalas death glare oleh Sasuke.
"Mataku memang minus! Kebetulan soft lens ku sudah tidak bisa dipakai lagi dan aku belum beli yang baru." Katanya galak.
"Ooohhh."
"Bagaimana persiapannya?" tanya Sasuke kemudian.
"Baik…kurasa?" Naruto menggaruk tengkuknya.
"Semua alat musik sudah dibawa Tayuya ke panggung." Ucap Sai. Senyum default-nya yang biasanya tersungging sekarang hanya berupa senyum tipis ragu-ragu. Tayuya! Mana airnyaaa!
"Hei, hei, coba dengar." Panggil Jiraiya yang tidak tahan melihat kerobohan mental kelimanya—ralat, empat. Shikamaru malah menguap di sebelah Neji—menjelang detik-detik penampilan mereka. Kelima pasang mata dengan bermacam warna iris itu menatap Jiraiya lesu. "Dengar. Kalian tidak perlu tampil bagus. Kalian hanya harus tulus melakukannya. Mengerti? Yang penting perasaannya. Seburuk apapun penampilan kalian, tapi kalau kalian melakukannya dengan sepenuh hati, pacar kalian pasti bisa melihatnya. Mereka pasti menyukainya. Oke?"
Raut wajah ragu-ragu di depannya masih ada, meski tersirat sedikit keberanian di mata mereka.
"Ba-baiklah." Ujar Neji terbata.
Jiraiya tersenyum.
"Ingat, dibandingkan dengan pacar kalian, perjuangan kalian ini belum seberapa." Kata Jiraiya penuh penekanan. "Jadi beranilah dan katakan dengan lantang pada mereka seberapa mereka berharga di mata kalian."
Kelimanya memalingkan wajah dengan salah tingkah. Itu kalimat yang tidak biasa mereka dengar. Semburat merah merangkak naik hingga ke telinga kelimanya. Jiraiya terkekeh sendiri melihat kelakuan lima muridnya itu. Padahal selama ini ia melihat kelima cowok itu sebagai kebanggan sekolah tanpa cela. Nah, siapa kira mereka lemah dalam hal ini?
"Tayuya kenapa lama sekali?" Neji melirik ke arah pintu tempat Tayuya keluar tadi.
"Kok, samar-samar aku mendengar suara ribut-ribut ya?" Sai mencoba menajamkan telinganya yang diikuti oleh yang lain.
"Tayuya, kau baik-baik saja?" tanya Naruto setengah berteriak.
"Umh… ya-ya. Aku baik-baik saja." Jawab cewek itu setengah tergagap.
"Firasatku tidak enak, biar kususul saja." Sasuke baru saja hendak melangkahkan kaki saat Tayuya muncul dengan nampan berisi lima gelas di atasnya.
"Ini." Katanya sambil membagikannya satu-satu pada Naruto cs.
"Itu apa?" tanya Jiraiya penasaran. Ia melihat kelimanya meneguk minuman itu hingga tandas. Di sebelahnya, Tayuya memasang senyum aneh.
"Hanya suplemen tambahan." Kata Sai. Senyumnya sekarang merekah kembali ke mode super power.
"Hebat. Jantungku langsung berdebar normal lagi." Naruto menatap gelas di tangannya dengan takjub. "Kau hebat Teme!"
"Hn."
"Kalau begitu cepat kita lakukan." Shikamaru meletakkan gelasnya kembali ke atas nampan. "Aku ingin ini semua selesai."
.
.
.
.
RUANG KLUB IKEBANA
Ino sedang menjelaskan maksud yang ingin disampaikan dari rangkaian bunga anthurium pada seorang ibu-ibu yang mendengarkannya dengan antusias saat teriakan seorang cewek berambut pink mengagetkannya.
"Permisi sebentar ya Bu, eh… Shion-san, tolong temani ibu ini sebentar!" Panggil Ino pada anggotanya yang lain sebelum menghampiri Sakura yang terengah-engah sambil bersandar di rangka pintu klub.
"Kau kenapa Sakura?"
"..rang…hhh…"
"Hah?"
"Seka…rang…"
"Sakura, kamu ngomong apa sih?" Ino makin bingung. Sekarang? Apanya yang sekarang?
"Ke aula! Sekarang!"
"Hah? Apa? Uwwwaagh!"
Ino belum sempat menangkap maksud Sakura atau mengajukan protes karena cewek itu keburu menariknya ganas.
.
.
.
.
RUANG KLUB SENI RUPA
"Temari-san!"
Temari yang sedang menemani Gaara di ruang seni rupa—yang diketuai Gaara by the way, dia ahli membuat miniatur bangunan menggunakan pasir pantai. Sebenarnya ketua sebelumnya belum habis masa jabatannya tapi dipaksa lengser akibat ideologi 'seni itu ledakan' yang membahayakan nyawa semua anggota—langsung menoleh saat Tenten dan Hinata berteriak memanggilnya. Keduanya tiba di sebelahnya dengan wajah memerah karena berlari.
"Kalian kenapa?" tanya Temari panik. "Gaara, ambilkan minum."
Gaara hanya berkedip dan membalik tubuhnya tapi Tenten mencegahnya. "Tidak perlu Gaara-kun!"
"Temari-san juga ayo ikut!" Hinata yang masih mencoba mengatur napasnya menarik-narik lengan Temari.
SRIINGGG
Tatapan tak suka Gaara langsung muncul. Dengan tegas ia memisahkan keduanya. "Memangnya ada apa?" tanyanya ketus.
"Shikamaru-kun dan lainnya ada di aula! Kita harus ke sana!" kata Tenten cepat. Ia lah yang pertama mendengar pengumuman yang disiarkan oleh Tayuya dan mencari Hinata. Mereka kemudian berpapasan dengan Sakura yang mendengarnya juga dan memutuskan untuk berpencar mencari Ino dan Temari. Mungkin saja mereka tidak mendengarnya dan ternyata dugaan mereka benar.
"Shikamaru?" Temari masih juga bingung. "Maksudnya bagaimana sih?"
"Sudah pokoknya ikut saja!" Tenten dan Hinata menarik Temari serempak, membuat Temari terseok dan nyaris tersandung.
"Nee-chan!"
.
.
.
.
AULA
Bangunan besar yang bisa menampung seluruh siswa Konoha Gakuen itu sekarang disesaki kembali setelah acara seremonial berakhir sekitar jam 10 tadi. Semuanya heboh berteriak dan bersiul, menciptakan keriuhan yang tidak biasa. Jeritan-jeritan terpesona cewek-cewek siswi Konoha Gakuen juga terdengar di mana-mana. Tentu saja mereka tidak sedang menyoraki Jiraiya yang notabene-nya adalah kepala sekolah Konoha Gakuen—yang berdiri di tepi panggung sambil menginstruksikan sesuatu pada Naruto cs—melainkan sedang menyoraki kelima cowok super keren yang sedang menyetem alat musik masing-masing di atas panggung.
"GYAAAA SASUKE SENPAIIII!"
"Hyuuga Seitokaichouuuu!"
"Kakkoiiii!"
"SAI-KUN GANBAREEE!"
"SHIKAMARU SENPAIII KAKKOOIIII!"
"Naruto-kun! Naruto-kunn! Daisuki dayoooo!"
Oke. Yang terakhir itu sungguh sangat menyakiti baik telinga dan hati Hinata yang baru saja tiba bersama Temari, Tenten dan Gaara. Mereka menyelinap di antara rapatnya tubuh para siswa yang tak sabar menanti apa yang akan ditampilkan kelima cowok di atas panggung sana. Begitu mereka berada cukup dekat dengan panggung, mereka bisa melihat dengan jelas wajah-wajah pacar yang sudah membuat mereka gelisah akhir-akhir ini.
Apa sih yang sedang mereka lakukan? Dan kenapa memanggil mereka?
Itu hanya sebagian pertanyaan yang ada di dalam pikiran mereka. Misalnya Tenten yang melongo menatap Neji yang duduk di belakang drum dengan dua stik panjang siap di tangan. Ia tidak tahu Neji bisa main drum, sejak kapan coba? Kalau benar bisa, Tenten pasti tahu.
Hinata juga menatap Naruto takjub. Pacarnya itu terlihat serius sekali menyetem gitarnya dan menyamakan nadanya dengan Sai yang juga menyandang gitar putih entah punya siapa. Wajah seperti itu hanya Hinata lihat saat Naruto sedang tanding sepak bola—tanda bahwa dirinya sedang dalam kondisi serius dan pikiran terfokus pada satu hal. Kalau Naruto saja tidak pernah berwajah seserius itu saat ujian, lantas kenapa wajahnya sekarang seperti itu? Tapi sekilas Hinata menangkap gerakan bibir Naruto yang seolah meringis kesakitan. Dia kenapa?
Shikamaru yang hanya berdiri saja—ia hanya kebagian rap dan tidak memegang alat musik apapun—menyapu seisi ruangan itu dengan matanya yang sekarang tidak terlihat mengantuk sama sekali. Dengan cepat ia bisa menemukan Temari yang berdiri kaku saking terkejutnya. Di sebelahnya, Gaara melempar tatapan tak suka. Apapun rencana cowok nanas itu, Gaara pasti tidak akan suka.
Tatapan kesal itu tertangkap oleh lensa mata Shikamaru yang langsung menyunggingkan seringaiannya. "Tayuya, apa mik milikku ini sudah on?" tanya Shikamaru pada Tayuya yang berjalan mendekat dengan biola sedia di tangan.
"Sudah." Jawab Tayuya meski agak bingung.
"Hei, apa mereka sudah datang?" di sisi lain panggung, Sai berbisik cemas pada Sasuke. Si cowok stoic itu melirik dari atas bahunya, menyisir ke segala penjuru ruangan untuk menemukan sosok pinky di antara kerumunan itu. Untungnya Sakura memiliki warna rambut yang mencolok.
"Mereka sudah datang, ada di sebelah kiri. Cukup dekat." Bisik Sasuke rendah saat ia sudah menemukan yang dicarinya.
"Benar. Ada Ino di sana…" gumam Sai. Ia sungguh berharap penerangan ruangan itu bisa ditambah—Tayuya meng-set supaya hanya lampu sorot di atas panggung yang dinyalakan untuk menciptakan suasana temaram—supaya ia bisa melihat jelas wajah pacarnya. Nyaris sebulan tak memandangi atau mendengar suaranya ternyata juga tidak baik bagi jantung.
"Eh, Naruto apa kau melihat Tenten?" panggil Neji sambil menatap hamparan manusia di hadapan mereka.
"Dia di sana dengan Hinata dan Temari." Malah Shikamaru yang menjawab. Kedua orang yang nama pacarnya di sebut langsung menoleh ke arah yang ditunjuk Shikamaru.
"Uh… kurang jelas," gumam Naruto sambil memicingkan mata.
"Temari!"
Suara nyaring yang berasa dari speaker besar di sisi-sisi panggung membuat keriuhan orang-orang sedikit teredam. Semua pasang mata sekarang menatap Shikamaru yang tampak tidak peduli.
"Awas saja kalau setelah ini aku masih melihatmu suap-suapan dengan dia." Kata Shikamaru tegas sementara semua kepala berputar ke arah Temari yang langsung salting di tempat karena ditatap ratusan pasang mata. Jantungnya berdebar dan pipinya memanas. Kapan pacarnya melihat ia dan Gaara suap-suapan? Dan kenapa juga ia mengatakannya sekarang? Di depan semua orang?
Shikamaru tersenyum puas melihat reaksi Temari. Terlebih Gaara yang menyerangnya dengan death glare mata jade-nya. "Aku tidak suka. Kau dengar itu? Kau itu pacarku."
Blushhh
Sudah. Temari tidak bisa berpikir lagi. Bahkan dari jarak sejauh ini, Temari bisa merasakan aura posesif Shikamaru lewat tatapan matanya. Temari tidak pernah melihat yang seperti itu. Apalagi seringai Shikamaru yang seperti menggodanya. Ya Tuhaannn~~~
"Shikamaru sudah gila!" Naruto hanya bisa melempar pandang dengan Sai dan Neji yang mengangguk mengiyakan. Sementara sorakan penonton pada dua orang itu sekarang semakin jelas terdengar.
"Ah masa bodohlah. Sebaiknya cepat kita lakukan!" Sasuke menepuk bahu Shikamaru yang membuatnya melepas kontak mata dengan sang pacar. Dengan anggukan paham Shikamaru mengambil posisi di sebelah Naruto.
"Yosh! Ayo kita mulaiiii!"
.
.
.
.
(MASIH) AULA
Suasana mendadak hening saat Tayuya melangkah maju dengan biola siap di tangan, senyum tipis menghiasi wajahnya. Ia menarik mik miliknya agar lebih rendah. "Ano… maaf mengganggu kalian semua dan terima kasih pada kalian yang sudah datang. Sebelumnya saya ingin memberi tahu bahwa ini diluar rangkaian kegiatan sekolah dan murni gagasan kami bersama," Tayuya mengibaskan tangannya ke arah lima cowok yang terdiam di posisinya masing-masing. "Ini hanya sebuah pertunjukkan kecil yang kami siapkan selama sebulan ini. Semuanya…" senyum itu berubah menjadi seringai nakal, "ini adalah pertunjukkan yang kami persiapkan untuk Hyuuga Hinata-san," Hinata terlonjak di tempatnya, "Yamanaka Ino-san, Sabaku no Temari-san, Haruno Sakura-san, dan Liu Tenten-san."
Keriuhan kembali tercipta dan kelima cewek yang disebut namanya berusaha untuk tidak pingsan saat itu juga.
"Semuanya, selamat mendengarkan!"
Tayuya dan kelima cowok-cowok itu saling bertukar pandang dan mengangguk. Dengan mengambil satu langkah ke depan, Tayuya memosisikan biola di atas bahunya. Penggesek siap di tangan.
Suasana kembali hening. Semua mata terfokus pada tangan Tayuya yang mulai bergerak menggesekkan biolanya.
"Oh…ye-e-e-eh~"
Begitu suara Tayuya menghilang, suara keempat alat musik lain lantas menyerbu dan langsung menciptakan harmoni melodi yang indah, memenuhi seluruh penjuru aula. Begitu intro selesai dimainkan, suara Naruto—yang tak disangka cukup merdu—terdengar.
Semua orang terlalu terkejut untuk bisa bersuara. Tidak hanya pilihan lagunya—ya, mereka tahu benar lagu itu. Lagu yang menjadi OST sebuah anime american football—tapi juga semuanya! Suara Naruto, musik yang terdengar begitu indah dan wajah-wajah tampan kelima cowok itu. Dan seakan belum cukup, begitu Naruto selesai dengan bagiannya, kelima cowok itu menyanyikan bagian reff bersama-sama yang artinya—dalam keadaan normal, bukan dinyanyaikan begini—tidak akan bisa mereka ucapkan dengan mudah.
Ku tak bisa jujur untuk berkata 'terima kasih' padamu,
ku benar-benar benci bagian dari diriku ini
Meskipun ini hanya satu kata, aku tak bisa mengatakannya sendiri dengan mulutku
Dalam hati ku mencoba tuk temukan jalan keluar*
Sorakan datang bertubi-tubi, hingar-bingarnya hingga terasa mengguncang gedung. Tepuk tangan riuh bergulung-gulung seperti ombak di dalam aula itu. Semua mata terkesima, semuanya terpana.
Tapi tidak ada yang lebih terkejut dan bahagia dibanding kelima cewek itu.
Hinata lah yang duluan menangis. Wajahnya memerah dan air mata yang bening jatuh hingga dagu melihat pacarnya bernyanyi untuknya di depan semua siswa Konoha Gakuen. Semua perasaan gundahnya hilang terbilas perasaan berbunga-bunga yang membuat Hinata luar biasa bahagia. Padahal ia hanya berdoa agar Naruto sudi bicara dengannya lagi tapi Tuhan memberikannya lebih. Pacarnya bernyanyi untuknya!
Lain Hinata, lain Sakura. Cewek pinky itu sibuk mengacungkan kamera yang beruntung terbawa olehnya untuk mengabadikan tiap momen menakjubkan itu. Meski pandangannya kabur dan jantungnya seolah akan meledak, Sakura tidak berhenti membidikkan kameranya ke arah sang pacar tercinta yang terlihat amat sangat keren dengan menyandang bass dan kaca mata minus yang menutupi sepasang onyx bersorot tajam.
Temari yang berdiri di sebelah Gaara bisa merasakan adiknya itu merapatkan tubuh padanya karena Shikamaru terus menatap ke arah mereka saat tiba gilirannya membawakan rap dengan Tayuya ikut bernyanyi sebagai latar. Tak ada yang bisa Temari lakukan selain tersenyum bodoh.
"Dasar…" bisiknya pelan sambil mengerjapkan mata untuk mengusir selapis bening cairan yang menutupinya.
Tenten tak lepas menatap Neji yang sebenarnya tidak terlalu terlihat jelas karena posisinya yang berada di paling belakang. Tapi Tenten bisa melihatnya lebih jelas dari siapa pun. Kerutan di dahinya yang dibanjiri keringat, gerakan kaki dan tangannya yang sinkron, juga bibir yang digigit pertanda pacarnya sedang mencoba berkonsentrasi. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaan seorang Tenten selain 'bahagia'.
Dan sementara itu kelima cowok di atas sana masih melanjutkan aksi 'merayu' mereka. Jiraiya yang berdiri di tepi mengacung-acungkan kedua jempolnya karena sambutan luar biasa itu membuktikan teorinya. Mau tak mau, kelima orang itu juga mulai merasa tenang dan rileks untuk melanjutkan sisanya.
Naruto melirik Shikamaru yang mengangguk kecil. Di sebelahnya, Sasuke dan Sai yang tersenyum sambil memainkan bass dan gitarnya serta tabuhan drum yang dihasilkan Neji dari belakang membuat jantungnya berdebar lebih keras. Ia ingin lebih. Lebih lagi mengeluarkan semua kemampuannya. Semuanya! Semua demi Hinata-nya.
Perasaan Naruto juga dirasakan oleh keempat cowok lain. Apalagi Sai yang memasang senyum terlembutnya bagi Ino yang berdiri di sana. Meski Sai tidak bisa melihatnya dengan jelas, ia tahu Ino pasti sedang sekuat tenaga menahan tangis.
Memang benar. Ino berdiri gemetar di tempatnya dengan kuku-kuku jari menancap di telapak tangannya yang mengepal. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat dan menggosok matanya cepat agar air mata itu tidak jatuh. Lega, bahagia, gembira… dan juga merasa luar biasa dicintai. Perasaan yang bercampur aduk itu menimbulkan perasaan penuh dan sesak dalam dadanya.
Kembali ke panggung, kelimanya tersenyum puas menyadari usaha mereka tidak sia-sia—terutama Neji yang dipaksa mencincang bawang dengan kedua tangan sebagai bentuk latihan, matanya perih luar biasa saat itu dan tangannya pegal-pegal karena pisau yang dipakai cukup berat. Dan bukan tipuan mata namanya saat kelimanya terlihat begitu bersinar. Bukan karena lampu sorot yang ada di belakang mereka. Semuanya terlihat bersinar karena kelimanya sedang bernyanyi sepenuh hati, dan kita tahu segala yang berasal dari hati itu sangat indah.
Dua bait terakhir sebelum semua fenomena aneh yang langka—melebihi langkanya melihat Komet Halley—itu berakhir, Sai dan Sasuke menyejajarkan diri di depan mik masing-masing, tepat di sebelah Naruto dan Shikamaru sedangkan Neji tetap di tempatnya. Untuk yang terakhir, dua bait lagi. Mereka akan menyanyikannya bersama-sama sekali lagi. Hanya untuk memastikan pacar mereka mendengar dan akhirnya tersadar. Dan begitu bagian Shikamaru dan Tayuya berakhir, koor suara kelimanya terdengar memenuhi penjuru aula.
Ku tak bisa jujur untuk berkata 'terima kasih' padamu,
aku sangat sangat menyukaimu,
jadi kenangan antara kau dan aku kan selalu dan selamanya bersinar didalam hati kita.
Ku tak bisa jujur untuk berkata 'terima kasih' padamu,
aku sangat sangat menyukaimu,
jadi meskipun waktu berlalu seperti sekarang,
aku akan terus membuat bunga bersemi di tempat ini, selamanya.
Lima pasang mata saling bertatapan di antara keriuhan yang semakin membahana. Dalam waktu sepersekian detik yang bahkan lebih cepat dari kecepatan cahaya, sebuah pesan tersampaikan dari kelima cowok di atas panggung pada kelima cewek di seberang sana.
Satu pesan berisi tiga kata yang tidak lagi harus diucapkan karena mereka sudah merasakannya lebih dari cukup.
Tiga kata saja.
Aku cinta kamu—
I love you.
.
.
.
.
(MASIH) AULA [LAGI]
Ino meremas tangannya kuat saat dirasakannya semua mata menatapnya. Sudah tak ada lagi lima orang yang tadi bernyanyi. Suasana hening tercipta dengan bisik-bisik yang samar terdengar karena apa yang terjadi barusan.
Segera saja setelah semuanya berakhir, Shikamaru meloncat turun dari panggung, menarik Temari pergi dan mengabaikan teriakan Gaara. Tentu saja Gaara tidak terima dan aksi kejar-kejaran pun terjadi. Entah sedang berada di mana mereka sekarang.
Aksi Shikamaru kemudian diikuti oleh Naruto dan Neji yang membawa pacar masing-masing keluar dari tengah-tengah kerumunan itu dengan diikuti sorakan ramai yang membuat Hinata dan Tenten merona hingga ke telinga.
Bahkan Sakura pun dibawa kabur oleh Sasuke. Anehnya, Sakura masih saja terus memfoto Sasuke sepanjang jalan hingga ke luar aula.
"Ino-san," Ino terlonjak saat mendengar suara Sai—dia hampir saja lupa sedang berada di mana. "Ada yang ingin kukatakan padamu." Kata Sai lagi dengan senyum yang sangat manis hingga membuat seluruh siswi di aula itu histeris. Kali ini Ino akan membiarkan semua cewek-cewek itu ikut melihatnya karena ia sedang sangat senang.
Lampu tiba-tiba mati semua dan aula menjadi gelap gulita. Entah siapa yang sudah menutup pintu dan jendela, tapi itu tidak penting. Tiba-tiba layar putih yang biasa dijadikan proyeksi in fokus, turun dari langit-langit dan terbentang beberapa meter di atas lantai. Di atasnya tertera tulisan kanji 'yama' berwarna hitam.
Tiba-tiba sebuah alunan piano yang lembut mengalun entah dari mana diikuti perubahan gambar di layar itu menjadi lukisan dua orang cowok-cewek yang sedang duduk bersisian di halte bus dengan syal warna merah mengalungi leher keduanya. Rinai hujan tampak mengelilingi mereka.
Ah. Ino tahu lukisan itu—ralat, ia tahu kejadian itu. Sai melukis awal hubungan mereka. Mereka pertama bertemu di halte bus dan mulai berpacaran di tempat itu juga. Saat itu hujan turun dan mereka memakai bersama syal milik Sai untuk menghangatkan tubuh karena lagi-lagi mereka melewatkan bus yang hendak mereka naiki.
"Maaf," suara Sai terdengar lagi meski wujudnya tak nampak. "sudah 8 bulan, ah tidak… sembilan bulan sejak kita memulainya. Aku terlalu bahagia memilikimu hingga melupakan hal yang penting. Maaf." Akhirnya, Sai ingat juga.
Gambar berganti menjadi lukisan bunga azalea pink yang cantik. Azalea—cinta perama.
"Kau adalah azalea-ku. Orang pertama yang mengajariku cinta. Orang yang pertama menggenggam tanganku. Untuk itu aku berterima kasih. Selamanya, kamu akan selalu jadi yang pertama untukku."
Kali ini lukisan bunga daffodil berwarna-warni dan bunga marygold yang berwarna mencolok menggantikan lukisan bunga azalea. Lukisan itu terlihat begitu nyata hingga ke pewarnaannya.
"Kau seperti daffodil yang ceria. Keceriaanmu membuatku terus tersenyum seolah dunia selalu dalam musim semi saat aku bersamamu." Iris mata Ino tak lepas menatap lukisan itu dengan air mata yang membayang, mengancam untuk turun dan membanjir. Sai menyiapkan ini semua? Untuknya? Dan bunga… Sai tahu betapa ia sangat menyukai bunga. Ternyata pacarnya tidak sedingin itu.
"Kau juga seperti marygold yang mencerminkan kehangatan yang disertai kecemburuan. Meski begitu, aku sangat menyukaimu."
"Aku menyukaimu seperti bunga matahari yang terus menengadah dan mengikuti cahaya matahari. Selalu."
Sekarang lukisan bunga matahari berwarna kuning cerah muncul di layar. "Dan seperti primerose…" gambar bunga itu muncul, seolah menjalar dari balik lukisan bunga matahari. "Aku tidak bisa hidup tanpamu."
Napas Ino semakin sesak karena ia sekuat tenaga menahan tangisnya. Tidak mungkin… tidak mungkin pacarnya sampai berbuat sejauh ini jika tidak benar-benar menyayanginya kan? Bahkan setelah perlakuannya yang tak selalu lembut, Sai tetap menyayanginya.
"Meski tak selamanya hubungan kita baik, meski kau sering membuatku bingung, aku menyukaimu. Mungkin perasaanku tak seperti tulip yang menggambarkan kesempurnaan cinta. Mungkin aku hanya—baru, bunga mataharimu. Yang akan selalu mengagumimu. Tapi Ino…"
Tiba-tiba bunga tulip digantikan dengan lukisan padang bunga mawar merah dengan beberapa mawar lain yang menyembul di antaranya. Sulur-sulur berduri di atas lukisan itu membentuk sebuah kanji. Kanji yang juga tertoreh di dahi Gaara.
'Ai'
"Daisuki dayo."
Bisik Sai lembut dari belakang tubuh Ino. Napas cowok itu terasa menggelitik telinga Ino saat dia mengatakannya. Entah sejak kapan Sai ada di sana—ino terlalu fokus dengan layar di depan. Yang jelas, tanpa banyak kata lagi Ino berbalik dan memeluk Sai yang balas memeluknya, menenggelamkan wajahnya di dada Sai.
Lampu yang tadinya mati tiba-tiba menyala kembali dan membuat semua orang melihat pertunjukkan Sai-Ino live di depan mata mereka.
Dengan lembut Sai mengelus rambut pirang panjang pacarnya. Ia tersenyum dan mencium puncak kepala Ino sekilas.
"Ma-maaf…" Ino mencoba mengeluarkan satu kalimat utuh. Tapi tangisannya sudah tidak bisa tertahan lagi. Akhirnya suara tangis Ino yang kencang memecah keheningan sekaligus mengagetkan siswa-siwa yang masih berada di sana. "Ma-maaf. Aku tidak—"
"Shhh… aku tahu, aku tahu." Sai memotong ucapan Ino dan memeluknya lebih erat lagi. "Lagi pula harusnya aku yang meminta maaf. Maaf ya, Ino." Satu anggukan kecil terasa menggesek bagian depan seragam Sai. "Dan satu lagi…"
"…aku sayang kamu."
.
.
.
.
LABORATORIUM
Sakura masih juga membidikkan kameranya ke arah Sasuke dan suara flash kamera terus terdengar sejak mereka tiba.
"Bisa kau hentikan itu?" Sasuke mendelik ke arah Sakura. Saat dilihatnya cewek itu hanya terkikik dan terus mengambil gambarnya, Sasuke tak tahan untuk tidak merampas kamera di tangan Sakura. Sayang, Sakura masih bisa berkelit.
"Wajahmu lucu Sasuke-kun! Ahahaha!" Sakura menghindari Sasuke dengan berdiri di balik meja penelitian yang terbuat dari marmer.
"Sakura! Hentikan!" Sasuke tahu, death glare-nya tidak mempan pada cewek itu. Dan rasanya matanya seolah akan keluar dari rongganya karena ia sudah memelototi Sakura sejak tadi.
"Kenapa Sasuke-kun? Aku kan hanya mengambil gambarmu saja. Kamu keren sekali kok, tadi juga di aula…"
Sasuke menaikkan sebelah alisnya karena menyadari nada suara Sakura yang aneh. Seperti tercekat… akhirnya Sasuke hanya berdiri diam saja sambil balik menatap tepat mata Sakura yang terlindung di balik lensa kamera.
Sadar Sasuke sedang memerhatikannya, gerakan jari Sakura yang sejak tadi memencet shutter terhenti. Tapi kamera masih menutupi wajahnya. Kamera itu bahkan menutupi wajahnya sejak di aula tadi. Sebenarnya bukan untuk memfoto Sasuke, ia tahu film di kameranya sudah habis sejak di aula tadi. Ia hanya ingin menutupi wajahnya saja karena…
Dengan satu gerakan cepat Sasuke menangkap tangan Sakura yang refleks menunduk saat kameranya dirampas dan diletakkan ke atas meja. Tangan Sasuke meremas pergelangan tangannya kuat, membuatnya meringis. Tapi Sakura tidak berani mendongakkan wajahnya.
Selama beberapa saat, hanya deru napas keduanya saja yang terdengar. Sesekali dengusan dari Sakura juga tertangkap telinga keduanya.
"Kenapa kau menunduk?" Sasuke mencoba mendongakkan wajah Sakura tapi cewek itu berkelit.
"Le-lepas!"
Sakura masih juga memberontak, tapi ia tak berkutik saat jemari Sasuke menangkap dagunya dan memaksa wajah itu menghadap ke atas.
Dan di situ, Sasuke terdiam. Mata onyx-nya terbelalak saat dilihatnya air mata terkumpul di sudut mata Sakura lantas jatuh ke pipi, mengalir turun dan menetes ke kerah seragam. Ini pertama kalinya Sasuke melihat Sakura menangis. Setahunya Sakura adalah cewek kuat yang jarang menangis. Lantas kenapa sekarang ia menangis?
"Ada apa?" Sasuke melepas cengkramannya dan ganti memegang kedua bahu Sakura. Tapi cewek itu hanya menggeleng dan mencoba menegerem tangisnya. "Jangan seperti ini. Apa aku sudah berbuat kesalahan?"
Sakura bisa mendengar jelas kekhawatiran dalam nada suara Sasuke dan ia menggeleng. Kesalahan? Tidak.
"A-aku senang…" kata Sakura lirih. Sasuke hanya diam dan menunggu Sakura menyelesaikan ucapannya. "Aku hanya senang saja… dan lega. Kupikir kau marah karena aku memaksamu. Akhir-akhir ini kamu menghindariku padahal sebelumnya tidak pernah."
Sasuke tidak tahu harus bagaimana. Apa ia harus membalas ucapan Sakura? Atau menghapus air matanya? Atau berterima kasih pada Jiraiya atas bentuannya? Karena merasa tidak yakin, Sasuke memutuskan untuk melakukan semuanya.
Dengan lembut dihapusnya air mata yang tersisia di bulu mata sakura dengan tepi jari telunjuknya. "Bodoh." Katanya. "Jangan menangis. Aku takut melihatmu begini."
"Puh."
Sakura akhirnya tertawa juga. Mata emeraldnya tidak lagi berkaca-kaca. Sinar jenaka itu sudah kembali.
"Dan jangan dekat-dekat Sasori lagi." Sasuke menambahkan dengan wajah sedikit merona. Melihatnya, Sakura tidak tahan untuk menggodanya lagi.
"Kalau aku tidak mau?"
Sasuke terdiam sebentar. Kemudian ia menarik keluar sesuatu dari saku celananya. Sebuah kalung dengan untaian batu opal fire yang diukir menjadi bentuk bunga mawar kecil-kecil. Sakura terperangah melihat kalung cantik itu.
"Kalau kau tidak mau, aku tidak jadi memberikan ini. Kusimpan untuk cewek lain yang mau mendengarkanku saja."
"Sasuke!" Sakura menghentakkan kakinya dan mencoba merampas kalung itu. Tapi dengan mudahnya Sasuke menjauhannya dari jangkauan tangan Sakura.
"Katakan dulu. Katakan kau akan jauh-jauh dari orang itu."
Sakura cemberut. Sebenarnya Sasuke yang cemburu terlihat manis, tapi wajahnya yang kembali jutek membuat kadar kemanisannya turun hingga ke titik terendah. Sasuke juga sadar apa yang ia lakukan ini sungguh memalukan. Tapi mau bagaimana lagi? Ia ingin mendengar pembuktian verbal dari Sakura kalau ia akan jauh-jauh dari si merah itu.
"Baik." Sakura mengerucutkan bibir. Meski begitu rona kemerahan kembali muncul ke permukaan. "Aku tidak akan dekat-dekat dengan Sasori lagi. Puas?"
Sasuke tersenyum puas dan mundur selangkah. Kedua tangannya melepaskan kait kalung itu. Sebenarnya kalung itu dibuatnya sendiri. Dengan maksud lebih dari sekedar aksesori—tentu saja. Selain cantik, beberapa khasiat lain batu opal fire ini adalah untuk menghilangkan kemurungan dan membantu melupakan masa lalu. Ha! Untung saja ia suka iseng membaca bagaimana cara membuat kalung orgonite ini di internet.
Sakura berbalik memunggungi Sasuke dan mengangkat rambut pink sebahunya. Perasaannya belum tenang sepenuhnya. Masih ada yang ingin ia katakan tapi helaan napas Sasuke yang terasa di tengkuknya membuat Sakura merinding.
"Sa-Sasuke-kun?" panggilnya terbata.
"Apa?" tangan Sasuke sibuk mengaitkan kalung itu.
"Boleh aku meminta satu hal lagi?"
Gerakan tangan Sasuke terhenti sebentar sebelum kembali membenarkan kaitan itu dan benar-benar berhenti setelahnya. "Apa?"
"Bisakah… kamu jangan terlalu dekat dengan fans mu?"
"Aku memang tidak suka dekat-dekat mereka kan?" Sasuke menaikkan satu alisnya.
"I-iya… dan satu lagi…" Sakura menggantung ucapannya, suaranya benar-benar kecil saat ia kembali melanjutkan tapi Sasuke bisa mendengarnya dengan jelas. "Bisa kau katakan kalau kau sayang padaku atau sesuatu seperti itu…?"
Sasuke mendengus. "Baka." Katanya sambil merengkuh tubuh Sakura dari belakang. Sasuke meletakkan dagunya di bahu Sakura dan terdiam sebentar sebelum akhirnya mengatakan, "Aishiteru yo…"
Rasanya hati Sakura berbunga-bunga mendengarnya. Dengan gerakan cepat ia berbalik dan mengecup pipi Sasuke. Sayangnya, ia malah terantuk kaca mata yang dipakai cowok itu.
"Bodoh," Sasuke melepas kaca matanya dan menangkap pergelangan tangan Sakura, sebuah smirk muncul tiba-tiba. "Ciuman itu seperti ini."
Detik berikutnya, Sakura hanya bisa melihat bulu mata Sasuke yang lentik.
.
.
.
.
RUANG KLUB SEPAK BOLA
Naruto melepas genggaman tangannya pada tangan Hinata begitu mereka sampai di ruang klub yang dipimpinnya dan langsung menjaga jarak. Ruangan itu sepi. Hanya ada loker-loker dan lemari yang menyimpan duplikat piala yang aslinya berada di kantor kepala sekolah. Foto-foto anggota klub yang dibingkai juga tergantung di dinding.
Keheningan yang aneh tercipta. Tak seperti biasanya, kali ini terasa sangat menyiksa bagi Naruto. Jelas saja, ia yang terkenal hiper aktif sekarang kehilangan kata-kata. Ia sampai berpikir apa efek obatnya sudah habis?
Tapi ini sudah terlanjur. Ia bahkan sudah menyiapkan segalanya hingga tangannya terluka. Rasa sakit karena harus menekan senar gitar masih terasa sampai sekarang, bahkan lebih perih. Setelah ia sampai sejauh ini, bagaimana mungkin ia mundur?
"Naruto-kun?" panggil Hinata dengan suara lembutnya. Suara langkah kaki Hinata yang mendekat membuat Naruto terlonjak dan segera berbalik dan bertemu pandang dengan ametis yang menenangkan itu.
"Hi-Hinata-chan…"
Melihat pacarnya yang terbata, membuat senyuman muncul di wajah Hinata. "Apa?" tanyanya.
"Etoo… ano…" Argh! Kenapa ia masih juga gugup? Ayo cepat katakan! Omel Naruto pada dirinya sendiri. Di sisi tubuhnya, kedua tangannya mengepal.
"Et-tooo…" tapi tetap saja sulit. Debaran jantungnya yang keras membuat telinganya sedikit aneh seolah ia tuli. Wajahnya juga pasti sudah memerah sekarang. Bahkan melebihi merahnya wajah Hinata yang tadi menangis.
"Naruto-kun, tanganmu tak apa-apa?"
"Eh? Apa? Ini? Ti-tidak apa-apa!" Naruto terkejut saat tangannya ditarik lembut oleh Hinata ke depan mata cewek itu untuk diamati. Beberapa plester terlihat sedikit koyak.
"Sakit?" Hinata menyentuhnya pelan. Naruto hanya menggeleng sebagai jawaban. "Bohong, pasti ini sakit sekali kan? Apalagi kamu memainkan gitar tadi. Pasti rasanya berdenyut-denyut kan?"
Ametis itu menatapnya tajam, membuat Naruto akhirnya nyengir lebar. "Sedikit sih…" akunya.
Hinata menghela napas pelan dan mengusap lembut jemari Naruto yang terluka. Tatapannya tiba-tiba berubah sendu. "Maaf aku memaksamu sejauh ini Naruto-kun. Lain kali, jangan seperti ini lagi. Lihat," Hinata menyentak kecil tangan mereka. "Ini pasti karena kamu terlalu memaksakan diri bermain gitar hingga jarimu lecet begini…"
Main gitar?
"Aku tidak perlu Naruto-kun mengatakannya di depan semua orang. Meski aku sungguh senang. Tapi asal Naruto-kun ada di sisiku saja, itu sudah lebih dari cukup…"
Entah keberanian dari mana, Hinata mengucapkan isi hatinya yang belum pernah ia ungkapkan sebelumnya. Ya benar. Baginya sekarang, entah Naruto nanti dikerumuni cewek-cewek lagi, entah mungkin nanti cowoknya itu terlalu sibuk dengan kegiatan sepak bolanya hingga melupakan Hinata, tapi asal Naruto ingat untuk kembali ke sisinya, Hinata tak keberatan.
"Terima kasih, Naruto-kun…" ucapnya lirih. Air matanya tiba-tiba saja terkumpul dan menetes dari sudut mata. Saat ia kembali teringat dengan penampilan Naruto tadi, ia merasa sangat tersentuh.
"Aku yang harusnya berterima kasih!" Naruto tak tahan melihat pacarnya menangis meski itu tangis bahagia. Dengan cepat diusapnya air itu dengan ibu jari. Lembut, rasanya seperti kapas. Naruto takut melukai Hinata jika menyentuhnya terlalu kasar. Ia tahu cewek macam apa pacarnya ini. Dan Naruto tidak ingin membuatnya terluka.
"Hinata-chan." Safir Naruto menatap tajam ametis yang berada sedikit di bawahnya. Ia sedikit menyesal karena lapisan bening air mata masih terdapat di sana. "Sejak dulu, sejak awal, aku tidak pernah berlaku baik padamu…"
"Tidak, Naru—"
"Jangan bicara dulu!" Naruto menangkupkan kedua tangannya di pipi Hinata. "Aku ingin mengatakannya dulu."
Hinata diam membeku sementara Naruto terus saja menatapnya dengan intens. Sekelebat emosi di mata safir Naruto membuat jantung Hinata berdebar lebih keras lagi.
"Aishiteru yo, Hinata-hime."
Helaan napas Naruto yang hangat menerpa wajah Hinata saat pacarnya itu mengucapkan satu kalimat yang ia tunggu-tunggu selama ini. Seolah belum cukup dengan pertunjukkan tadi, Naruto mengucapkannya lagi. Kali ini, hanya ada dia dan dirinya. Keheningan yang menyelimuti mereka pun tak lagi terasa menyesakkan. Mereka terlalu bahagia untuk merasa seperti itu. Kegugupan Naruto juga terasa terbang ditiup angin setelah ia mengucapkannya.
Tapi lagi-lagi Hinata menangis dan kali ini sedikit lebih keras.
"Hime! Aduuhh… jangan menangis dong!"
"Habisnya…" Hinata mendengus, "habisnya aku suka Naruto-kun. Habisnya Naruto-kun bilang sayang padaku."
Naruto akhirnya hanya bisa tersenyum dan mengusap lembut air mata yang terasa lengket itu dari pipi Hinata yang merona.
"Habisnya Naruto-kun suka aku. Aku sangat bahagia, hingga jantungku terhenti." Ucap Hinata lagi. Kali ini Naruto tidak tahan untuk memeluk Hinata. Argh! Dia juga sangat sayang pada Hinata. Dan kenapa juga kemarin ia bisa berdelusi kalau Neji dan Sasuke adalah Hinata? Jelas-jelas pacarnya lebih cantik dan manis!
"Kalau kamu begitu senang mendengarnya, aku akan terus mengatakannya sebanyak yang kau mau. Aishiteru! Aishiteru! Aishiteru! Apa itu cukup?"
Hinata terkikik geli di dada Naruto. "Belum." Katanya. "Aku ingin terus mendengarnya selama hidupku. Bisa kau lakukan?"
Naruto lagi-lagi dibuat tersenyum oleh ucapan Hinata. Selama hidupnya? Ia ingin bilang bisa. Tapi ia bukan cowok pengumbar janji. Cinta tidak dibangun di atas janji-janji.
"Aku tidak bisa menjanjikan masa yang akan datang. Tapi untuk saat ini aku tahu kalau aku hanya mencintaimu." Kata Naruto.
Sekarang Hinata yang dibuat kehilangan kata-kata. Hanya ada wajah terperangah yang Naruto lihat. Tapi kemudian senyum yang selalu disukainya terkembang di wajah Hinata. "Asal kau tidak asal mengucapkannya pada fansmu kurasa cukup untuk sekarang."
"Tentu saja aku tidak akan mengatakannya!" wajah Naruto berubah cemberut. "Akhir-akhir ini mereka agak berlebihan. Mungkin mereka mengira kita putus makanya banyak sekali yang memberikanku bekal makan. Aku tidak enak hati menolaknya, makanya kuterima semua."
"Baiklah. Setelah ini aku akan membuatkan bekal untukmu lagi."
"Benarkah? Asik! Kalau begitu aku mau karaage asam manis dan telur dadar."
"Baik, baik. Kebetulan hari ini aku juga membawa banyak makanan. Mau makan siang denganku?" Hinata melepas pelukannya dan sekarang hanya menggenggam tangan Naruto.
"Eh itu… sepertinya tidak bisa." Dengan canggung Naruto menggaruk belakang kepalanya. Perlahan Naruto melepaskan tangan Hinata dan pergi ke arah loker miliknya. Hinata menatap bingung saat melihat ada satu kotak bekal berukuran lumayan besar yang Naruto bawa kembali bersamanya.
"Ano…" Naruto terlihat malu—entah kenapa. "I-ibuku membuatkan bekal untukku—untukmu sebenarnya. Apa kau mau memakannya?"
Hinata berjalan mendekat dan meraih kotak bekal itu. Saat dibuka, isinya adalah sushi gulung dengan macam-macam isi. Tapi jika dilihat dari bentuknya, mustahil sekali jika ini buatan ibu Naruto. Bentuknya terlalu jelek—bahkan menyedihkan. Namun hal itu malah membuat perih terasa menusuk-nusuk mata Hinata.
Bekal ini buatan Naruto sendiri. Itulah mengapa tangannya terluka. Dan memang benar begitu kenyataannya. Naruto memohon-mohon pada Kushina untuk dibantu membuat bekal. Meski akhirnya tidak sebagus milik Kushina dan jarinya teriris pisau—plus mendapat hinaan dari ayahnya yang tidak berhenti menertawai Naruto yang memakai apron dan bergelut dengan nasi dkk untuk membuat sushi, Naruto harap Hinata senang.
Hinata senang, tentu saja. Tapi ia tidak mengerti kenapa Naruto berbohong dengan mengatakan kalau ini buatan ibunya. Jadi dengan satu gerakan cepat, Hinata berjingkat dan mengecup pipi Naruto.
"Terima kasih untuk bekalnya."
Naruto hanya bisa berkedip-kedip mendapat kecupan itu. Tapi sedetik kemudian, senyum lebar terpampang di wajahnya. Ia lalu merunduk dan balas mencium Hinata singkat. Di bibir.
"Terima kasih sudah mencintaiku, Hime."
.
.
.
.
RUANG OSIS
"Neji-kun, apa boleh dilepas sekarang?"
"Tunggu sebentar lagi."
Tenten mengerutkan alis. Ia tidak paham dengan kelakuan pacarnya. Kenapa ia diminta memakai penutup mata dan disuruh duduk diam di kursi milik Neji sementara pacarnya itu entah melakukan apa. Yang jelas Tenten mendengar suara meja dan kursi yang digeser juga dentingan gelas. Ia juga mencium aroma manis buah-buahan.
Aneh kan?
Suara langkah kaki terdengar mendekatinya dan Tenten hanya bisa diam saat kemudian dirasanya tangan Neji bergerak melepaskan simpul ikatan matanya.
"Maaf menunggu lama, Ojou-sama."
Tenten mengerjap tak percaya. Apa benar ini ruang OSIS yang tadi dimasukinya? Tapi dari mana datangnya meja bundar dengan banyak kue dan poci teh itu? Kenapa juga jadi ada banyak mawar di ruangan ini? Dan kenapa—
"Neji-kun?"
—Neji memakai jas buntut panjang?!
Tenten terbelalak melihat transformasi pacarnya dari seorang cowok kalem yang biasanya berwajah kusut karena sibuk mengurus berkas-berkas menjadi seorang butler keren dengan wajah penuh senyum plus rambut yang dukuncir. Tenten bahkan tidak bisa merespon saat tangan Neji yang terbungkus sarung tangan putih menarik tangannya den menuntunnya ke arah meja lantas mendudukkannya disalah satu kursi.
Neji juga tidak terlihat ingin bicara. Ia hanya tersenyum saja dan menuangkan segelas teh earl grey di cangkir kecil di hadapan Tenten.
"Neji-kun, kau… sedang apa?" akhirnya Tenten bisa mengeluarkan kata-kata juga.
Neji masih juga diam. Cowok itu hanya menarik kursi di seberang Tenten dan duduk di sana. Ia menautkan jemarinya di bawah dagu dan menatap Tenten lurus-lurus. Yang ditatap cuma bisa jawsdrop mendapati perubahan kepribadian pacarnya.
"Seharian penuh ini, aku, Hyuuga Neji, akan menjadi butler pribadi Anda, Ojou-sama," Neji tersenyum.
"Hah?" hanya itu respon yang bisa diberikan Tenten. Ia tidak mengerti lagi ada apa ini sebenarnya. Untuk apa Neji begini? Apa hanya ingin ber-cosplay ria atau bagaimana?
Neji berdiri lagi dan meletakkan sebuah piring dengan satu potong kue cokelat-strawberry yang menguarkan aroma manis di hadapan Tenten.
Alis Tenten masih juga mengerut. "Ini apa lagi?"
"Kue," sahut Neji polos. "Kenapa?" ia malah balik bertanya karena dilihatnya Tenten hanya melongo menatapnya.
"Neji-kun?"
"Apa?"
"Kau… baik-baik saja?"
"Ya."
"Benar? Apa kau tidak sedang sakit?"
"Tidak."
"Apa kau salah makan atau bagaimana?"
"Tidak."
"Apa kepalamu terantuk sesuatu?"
"Tidak."
"Serius?"
"Iya."
"Sungguh?"
"SUNGGUH!"
Tenten berkedip-kedip di tempat karena mendengar suara keras Neji. Ini pertama kalinya ia mendengar Neji bersuara sekeras itu dan makin menambah daftar keanehan cowok itu hari ini.
Neji sendiri menghela napas. Padahal rencananya ini sederhana saja. Ia hanya berpura-pura menjadi butler dan melayani pacarnya seharian ini sebagai bentuk terima kasihnya atas perhatian Tenten padanya selama ini. Hanya itu. Tapi karena hal ini tiba-tiba sekali, jelas saja pacarnya bingung.
Sepertinya ia memang harus mengatakannya ya?
Neji meneguk liurnya dengan susah payah dan mencoba tenang. Ia rasa efek obatnya masih bekerja jadi ia tidak perlu terlalu khawatir. Perlahan ia mengangkat wajah dan menatap manik cokelat Tenten yang masih mengawasinya dengan ekspresi bingung.
"Setiap hari, aku akan duduk di ruangan ini dan menunggumu. Entah sejak kapan itu sudah menjadi kebiasaan." Neji memulai 'pernyataannya'. "Entah sejak kapan aku jadi sangat egois padamu." Sampai di sini, Tenten masih mengerutkan alis. "Apa kau tahu? Setiap hari aku berusaha mencari kesibukan dan sering 'membuat' kesibukan sendiri hanya agar kamu lebih memerhatikanku. Aku akan duduk, berpura-pura mengoreksi sesuatu setiap pagi dan menunggumu datang hanya untuk menyuapiku. Aku bisa saja makan sendiri, tentu saja. Tapi entah sejak kapan, aku tidak suka kalau tidak makan dari tanganmu. Dan tanpa sadar aku sering memperlakukanmu seolah pembantu. Menyuapi, mengambilkan minum, bahkan kau juga membelikan sarapan dari kantin untukku…"
Sekarang Tenten hanya bisa mengerjap di tempatnya. Apa itu barusan? Serius itu yang sebenarnya dilakukan Neji selama ini? Pacarnya sengaja hanya agar disuapi olehnya? Memang sih Tenten sempat curiga tapi ia tidak menyangka kalau kecurigaannya benar.
"Etoo…"
"Aku belum selesai!" Sambar Neji cepat. "Aku juga ingin meminta maaf karena tidak pernah berterima kasih untuk semuanya yang kau lakukan. Aku sungguh minta maaf." Neji membungkukkan badannya di seberang Tenten.
Tenten diam. Terharu? Tentu saja. Kaget? Jangan tanya lagi. Ia tidak menyangka ternyata hubungan yang mereka bina selama sepuluh—sebelas bulan ini sudah tumbuh menjadi suatu hubungan yang lebih serius dari sekadar percintaan remaja. Cinta Tenten ternyata bukan hanya sekedar terbalaskan, tapi lebih dari itu. Penampilan Neji di aula tadi juga sudah membuktikan keseriusan cowok itu karena setahu Tenten, Neji bukan jenis orang yang suka mengumbar romantisme di depan umum.
"Penampilan tadi… sejak kapan kau bisa main drum?" tanya Tenten.
Neji mengangkat wajahnya perlahan. "Baru-baru saja. Tayuya yang mengajariku."
"Yang lainnya juga?"
"Ya."
Hening tiba-tiba menyelimuti saat Tenten tidak berkata atau bertanya lagi. Neji pun memutuskan untuk diam saja saat dilihatnya wajah Tenten seolah sedang memikirkan sesuatu. Manik cokelanya mengamati tiap inci wajah Neji dan membuat cowok itu sedikit salting.
Ah… Tenten sangat menyayangi pacarnya ini. Terlepas dari sikap dinginnya, Tenten tau kalau seorang Hyuuga Neji adalah orang yang baik dan lembut. Dan sekarang ia semakin menyayanginya saja. Syukurlah ketakutannya kemarin-kemarin itu tidak terbukti dan Neji ada di sini, bersamanya.
"Kau tahu Neji?" Tenten berdiri dan mendorong kursinya. "Aku tidak butuh ini." Katanya. Tangannya menarik kursi miliknya hingga berada tepat di sebelah kursi Neji lantas ia duduk kembali. "Tapi karena kamu sudah menyiapkan semuanya dan kalau boleh memilih, aku ingin yang rasa vanilla saja."
Neji mengerutkan alisnya bingung sebelum tersenyum dan menarik sepiring kue beraroma vanilla dari tengah meja. Di atasnya ada buah beri hitam yang dikelilingi krim. Dan sedikit melenceng dari rencana awal, Neji mengambil garpu, memotong sedikit kue itu dan menyodorkannya ke depan mulut Tenten.
"Ini dia, Ojou-sama." Neji menyunggingkan senyumnya yang paling manis. Bahkan Tenten belum pernah melihatnya. Akhirnya dengan wajah merona Tenten memakan kue itu. Rasanya bahkan lebih manis dari yang Tenten kira. Ah, ini pasti karena efek senyuman Neji. "Enak?"
Tenten hanya mengangguk. Tanpa sadar, ia mengangguk terlalu kencang hingga pipinya menyentuh garpu kue penuh krim yang berada tak jauh dari bibirnya, membuat jejak krim memanjang dari pipi hingga sudut kiri bibirnya.
"Ah—"
Cepat-cepat Tenten mengangkat tangan untuk mengusapnya tapi tangan Neji sudah menangkapnya duluan. Ametis itu menatap manik cokelat Tenten dengan tajam.
"Tenten, aishiteru…" bisik Neji lirih. Dan yang berikutnya tidak perlu diceritakan karena ketua OSIS kita langsung mendekatkan wajahnya, mencoba 'membersihkan' krim itu sekalian juga bibirnya dari sisa-sisa kejadian nista beberapa hari lalu.
"Ne-Neji kun…!"
.
.
.
.
LANTAI SATU DAN DUA
Oke. Temari merasa napasnya sudah terengah-engah dan cowok nanas itu harus melepaskan tangannya. Tapi Shikamaru malah menambah kecepatannya.
"Berhenti kau NARA!"
Apalagi ditambah teriakan membahana Gaara yang mengejar mereka dari belakang.
"Cepat, kenapa kau lelet?" Shikamaru mendecih dan berbelok, menaiki tangga ke lantai dua.
"Shika-kun! Kita berhenti saja! Memangnya kenapa harus lari?" Temari meloncati anak-anak tangga itu dua-dua agar bisa mengikuti langkah Shikamaru.
"Masih tanya juga?" jawab pacarnya itu. "Aku tidak suka bocah muka papan itu!"
"HEI! Dia adikku tahu!"
"Lalu? Apa aku tidak boleh membencinya hanya karena dia adikmu?"
"Tentu saja!"
"Che." Shikamaru mendecih lagi demi mendengar jawaban Temari. Dengan satu tarikan kuat ia membawa pacarnya itu bersembunyi di dalam lemari sapu di depan toilet. Lemari itu setengah kosong, memungkinkan mereka bersembunyi di sana sampai Gaara pergi dan mencari ke tempat lain.
"Shika-kun!" Temari berontak karena tubuhnya terhimpit lengan Shikamaru. Lemari ini memang cukup menyembunyikan mereka tapi tetap sempit.
"Jangan banyak bergerak, nanti kita ketahuan." Shikamaru memalang kedua sisi kepala Temari dengan kedua tangannya. Mereka tidak memiliki cukup banyak ruang dan sekarang lemari itu terasa panas dan pengap.
"Shika…"
Temari benar-benar harus cepat keluar dari dalam sini! Selain pengap, hidungnya juga dipaksa menghirup aroma cologne yang dipakai Shikamaru dan itu tidak bagus.
Sama sekali tidak bagus karena sekarang ia mulai kehilangan pikirannya. Ingatannya kembali pada saat terakhir kali ia membentak Shikamaru di depan umum. Setelah kejadian di aula tadi, sedikit banyak Temari bisa merasa tenang tapi ia tetap harus membuktikan.
"Shikamaru?" panggilnya. Dilihatnya Shikamaru melirik ke wajahnya.
"Apa?"
Temari terdiam sebentar untuk memilih kata-katanya. Ia sudah tidak bisa bertengkar lagi dengan Shikamaru. Cukup sudah. "Aku minta maaf."
Shikamaru menoleh ke arah Temari seakan ia tidak percaya dengan yang didengarnya. Minta maaf? Bukankah harusnya dirinya yang meminta maaf?
"Sudahlah." Tapi demi egonya, Shikamaru menerima begitu saja lantas kembali mengamati keadaan di luar lewat celah sempit yang menjadi vetilasi.
Shikamaru tentu ingin mengucapkan sesuatu. Tapi toh ia memang bukan tipe romantis. Bahkan kekanakkan. Terbukti dari tindakannya yang tidak ingin berbagi Temari meski itu dengan Gaara sekalipun. Tapi ucapan Jiraiya terus terngiang di pikirannya dan Shikamaru pada akhirnya menyerah.
"Shikamaru-kun? Kau sedang apa?" Temari menarik tubuhnya ke belakang tapi badan lemari menahannya.
Shikamaru bisa melihat rasa was-was di mata Temari tapi ia tidak menghentikan gerakannya. One action means thousands words…
"Kau mau apa?!" nada suara Temari meninggi dan membuat Shikamaru khawatir mereka akan ketahuan.
"Apa… aku hanya berimprovisasi." Ujarnya lirih. Samar-samar ia mendengar suara langkah kaki yang mendekat tapi mengabaikannya. Sekarang perhatiannya sepenuhnya tertuju pada cewek di hadapannya.
"Hah? Apa? Eh—"
Karena aku pacarmu makanya aku tidak suka Gaara. Bagaimana mungkin kamu tidak mengerti? Karena aku juga menyayangimu makanya jadi egois begini… kenapa kamu tidak juga sadar?
Aku ingin kau hanya memperhatikanku, tahu!
Dasar…
"Shika!"
Shikamaru akhirnya menarik wajahnya dan tersenyum puas melihat Temari nampak tidak fokus. Wajah dan bibirnya memerah. Matanya bergerak-gerak gelisah. Jantungnya? Jangan tanya. Rasanya bisa meledak kapan saja akibat aksi Shikamaru barusan.
"Jangan sampai membuatku mengatakannya lagi." Ujar Shikamaru lamat-lamat. Ia memaksa Temari mendongakkan wajahnya. "Jangan dekat-dekat dengan cowok manapun termasuk Gaara dan Kankurou. Jangan coba-coba mengacuhkanku lagi. Dan jangan pernah berteriak lagi padaku. Mengerti?"
"Bagaimana kau melarangku untuk tidak dekat-dekat dengan Gaara dan Kankurou? Mereka kan saudaraku!" sergah Temari cepat yang sudah tersadar dari kekagetannya barusan.
"Mereka juga nantinya akan jadi saudaraku kan? Jadi tidak apa-apa." Sahut Shikamaru malas sambil menyibak poni depan Temari.
Menyadari maksud di balik kata-kata Shikamaru malah menambah parah rona merah di wajah Temari. Apalagi ditambah perlakuan cowok itu. Kalau sudah begini, ia benar-benar tidak perlu memakai ramuan itu kan?
Eh?
Temari meraba saku roknya tapi botol kristal kecil itu tidak ada!
"Hilang!" katanya terkejut dan semakin heboh memeriksa sakunya.
"Apanya yang hilang? Hatimu?" tanya Shikamaru asal yang langsung dihadiahi jitakan oleh sang pacar. Dengan paksa, Temari mendorong Shikamaru hingga jatuh terguling ke luar lemari.
"Duh! Ini karena kamu menarikku sih! Jadi hilang kan!"
Shikamaru yang sudah bangkit, hanya bisa menggerutu panjang-pendek. "Memangnya apa yang hilang?"
Temari agak sungkan untuk cerita tapi akhirnya ia mengatakannya juga.
"He? Kalian perempuan memang makhluk yang mengerikan. Bisa-bisanya memikirkan cara licik seperti itu."
Sudut bibir Temari berkedut mendengar komentar pacarnya. Hilang! Hilang sudah debarannya tadi. Untuk apa ia berdebar-debar hanya karena bibir yang lebih sering mengejek itu. "Ck. Aku tidak ingin bertengkar denganmu. Aku mau cari botol itu!" lantas ia berbalik dan berjalan meninggalkan Shikamaru.
Tiba-tiba saja Shikamaru menarik Temari dan melingkarkan lengannya di bahu cewek itu. "Baka. Aku sudah menyukaimu. Untuk apa kau gunakan ramuan itu?"
Dan—blushh. Sekali lagi rona merah itu menyebar cepat hingga ke telinga. Membuat Shikamaru tertawa puas dan makin mengeratkan dekapannya.
.
.
.
.
RUANG OSIS
Jiraiya memakan kuenya dengan diringi derai air mata. Oke. Ini sangat lebay dan menjijikkan membayangkan ada seorang pria lanjut usia memakan strawberry cake sambil menangis hanya karena merasa bahagia dengan keberhasilan kelima 'murid didikannya'.
Segera setelah sukses dengan misi masing-masing, keempat cowok itu membawa pacarnya ke ruang OSIS. Mereka agak terkejut melihat tampilan Neji tapi akhirnya mengabaikannya saja. Sekarang mereka sedang berdiri melingkari meja dengan kue besar di atasnya. Kue itu adalah kue buatan Hinata cs sebagai ucapan selamat. Ada juga sushi gulung buatan Naruto yang masih tersisa. Shikamaru ikut mencobanya karena ia kelaparan dan mengeluh kalau rasanya sedikit keasinan.
"Kalian hebat sekali," Kakashi—yang entah bagaimana caranya bisa menghabiskan kuenya dengan masker menutupi muka—tersenyum haru pada kelima pejuang cinta itu. Ia juga sudah menceritakan perjuangan kelimanya pada pacar masing-masing yang tentu saja mengagetkan semuanya—dasar jiwa penggosip.
"Na-Naruto-kun dan Neji-nii?" Hinata menatap horor. Sungguh? Tidak mungkin!
Seolah bisa membaca pikiran Hinata, Sai merogoh ponsel di sakunya dan berniat menunjukkan foto jepretannya waktu itu sebagai bukti.
"TUNGGU! KAKASHI-SENSEI TOLONG JANGAN BICARA SEMBARANGAN!" Naruto menjambak rambutnya frustasi karena aibnya dibuka di depan umum begini.
"Loh? Memang begitu kok," Kakashi angkat bahu dan meneruskan makannya.
"SAI! AWAS KALAU KAU BERANI MENUNJUKKAN FOTO ITU! KULEMPAR KAU KELUAR JENDELA!" Naruto melempar death glare tepat sebelum cowok itu menunjukkan fotonya.
"Ahahahaha~~" Sai hanya tertawa jahat dan berlari-lari menghindari serangan Naruto yang nafsu sekali ingin membunuhnya.
"Astaga, tidak kusangka ternyata separah ini." Ino memijat pangkal hidungnya. "Tahu begini aku tidak perlu repot segala menyiapkan ramuan itu."
"Eh iya… kita apakan ramuan itu jadinya?" Sakura yang iseng mengambil foto Sai dan Naruto yang sibuk berkejaran—pada akhirnya Naruto nyusruk karena dijegal Sasuke, yeah, cowoknya juga bisa iseng—bertanya pada kedua cewek lain semetara Hinata rusuh sendiri menenangkan pacarnya dan Tenten mencoba membangun mental Neji yang runtuh lagi hanya karena mengingat kejadian itu.
"Kita simpan saja dulu. Mungkin nanti berguna…" Ino mencomot satu strawberry dan tertawa saat melihat cowoknya ditarik jatuh oleh Naruto.
"Anooo…" Temari menggosok belakang kepalanya. Mendengar nada suara mencurigakan itu Ino dan Sakura langsung menoleh ke arah Temari. "Sebenarnya… botol itu hilang."
Sekura dan Ino mengerjap-ngerjap.
"Hilang?"
"Um…ya," Temari merasa tidak enak. "Maaf ya."
"Tidak apa." Ino tersenyum dan mengangkat bahu. "Kita tidak butuh itu kan?" lalu ia melempar pandang ke arah Sai yang masih bergelut dengan Naruto. Shikamaru yang ada di dekat mereka akhirnya berhasil memisahkan keduanya. Ino terkikik geli sendiri mengetahui perubahan besar pribadi pacarnya itu. Sekarang Sai sudah bisa berinteraksi dengan cukup baik.
"Ya… mereka—" Sakura meraba kalungnya dan menatap Sasuke yang juga kebetulan menoleh ke arahnya. Senyum tipis tersungging di bibir sang Uchiha.
"—mencintai kita."
Ya. Semua berakhir bahagia. Kelima cowok itu berhasil menyelesaikan misi dengan baik, pacar mereka senang, mereka juga senang, Jiraiya senang, Kakashi bahkan juga ikut senang. Semua yang terlibat dalam 'kekacauan' ini ikut berbahagia dan merayakannya dengan kue dan teh. Tapi, ups—kemana Tayuya?
Cewek berambut merah itu sebenarnya langsung kabur begitu acara selesai. Kenapa? Karena ia sudah menumpahkan air dalam botol yang Sasuke beri dan menggantinya dengan air biasa. Ia memang tidak tahu apa khasiat air itu tapi ia pikir ada bagusnya mundur dulu sekarang. Jadi ya, sebenarnya cowok itu maju tanpa back up apapun. Kesungguhan hati sudah cukup menyokong mereka. Sugesti karena meminum ramuan itu malah membuat mereka benar-benar percaya bahwa mereka bisa. Memang bisa sih, dan mereka bahkan tidak butuh ramuan itu. Semoga saja suatu hari nanti mereka sadar bahwa tidak ada obat paling mujarab selain tekad yang kuat karena Tayuya berencana untuk tutup mulut soal insiden itu.
Tapi sekali lagi—selamat untuk semuanya!
.
.
.
.
Fin
.
—27 Maret 2014—
CherryMintAzzule
.
.
.
.
—0: Omake :0—
Gaara mempercepat langkah kakinya tapi ia kehilangan keduanya di lantai dua. Sial. Tapi ia punya firasat keduanya berada tak jauh dari situ. Perlahan, ia mencoba mendengarkan suara-suara yang mencurigakan.
Mungkin mereka bersembunyi di toilet? Pikir Gaara. Ia pun melangkahkan kakinya ke sudut lorong tempat toilet berada. Enak saja Shikamaru membawa kabur kakaknya! Dia bukan suaminya kan!
Mata Gaara melirik lemari yang ada di sebelah pintu toilet. Sepertinya lemari itu cukup besar untuk dimasuki dua orang. Hmm…
"Eh!"
Baru saja ia ingin menggapai pintu lemari, ia dikagetkan karena sebuah botol kecil yang diinjaknya dan nyaris membuatnya tergelincir. Gaara membungkuk dan memungutnya. Mata jade-nya mengamati botol bening itu bingung, sama sekali mengabaikan lemari yang sedikit bergoyang di sampingnya.
Cukup lama Gaara mengamati botol itu sebelum memasukkannya ke saku lantas berdiri. Matanya kembali awas mengamati sekitar. Sepertinya tidak ada yang mencurigakan. Gaara mengangkat bahu dan berbalik pergi. Andai ia berdiri lebih lama lagi di situ, ia pasti akan bertemu Temari yang beberapa detik kemudian menendang Shikamaru keluar dari dalam lemari.
Sayangnya, Gaara sudah pergi. Kembali dalam misi mencari kakak tercinta yang diculik cowok nanas itu, sama sekali tidak tahu-menahu pertengkaran kecil pasangan di depan toilet sana akibat botol di saku celananya.
.
.
.
.
OOC TO THE MAXXXX! Dan pada akhirnya semua berimprovisasi. Yap. Jiraiya pasti kaget karena sarannya untuk Shikamaru dipraktekan oleh kelimanya.
OKE. Saya sangat-sangat meminta maaf atas fic penutup yang tidak seberapa ini. Jujur, saja juga merasa fic yang ini gagal. Entah pergi ke mana inspirasi saya. Yang jelas, saya minta maaf untuk:
- Lamanya update fic ini. Selain masalah miskin ide, rombak plot dll~ saya juga sibuk bolak-balik cek guidelines dan cari informasi apa boleh mencantumkan lirik lagu dan ternyata saya tetap bingung dan mutusin mencantumkan liriknya setelah membaca di beberapa forum diskusi. Untuk disclaimer lagu yang dinyanyikan Naruto cs di atas belongs to BACK-ON untuk lagunya yang berjudul FLOWER. Sedikit tambahan, saya mengambil artinya dari blog ini 2011/10/16/back-on-flower-lyrics-indotranslate/ dengan beberapa penyesuaian. Kenapa lagu ini? Karena saya SUKA BANGET! Dan sebenernya fic ini lahir karena saya terinspirasi lagu ini. Kalau gak percaya, coba aja baca artiannya. Menurut saya, lagu ini tuh persembahan cowok pada ceweknya sekalian meminta maaf karena udah bersikap 'kurang'—kurang apa gitu. Ya kurang perhatian, ya kurang jujur, sama ceweknya. Lagu yang saya harap ada yang bersedia menyanyikannya untuk saya :") Tolong kasih tahu pendapat kalian apa fic ini melanggar atau gak. Kalau iya, akan saya rombak lagi.
- Cerita yang diluar ekspektasi semuanya. Ya ya. Saya tahu pasti banyak yang kecewa kan? Lama nunggu ternyata hasilnya begini doang. Oke. Maaf yo. Bedewey, untuk membayarnya, saya berencana membuat fic sequel dari omake-nya. Psst.. saya juga ngefans Gaara dan nyesel membuat dia sangat OOC di sini. Jadi saya mau buat satu fic khusus buat dia. Semoga aja bisa kelar cepet.
- Request yang tidak terpenuhi. Siapa kemarin yang minta supaya scene Naruto-Hinata super manis? Gimana? Kurang ya? XD eh iya Durara yang minta ya? Gomen neee~ saya hilang fokus dan tidak bisa maksimal menulisnya. Maaf juga karena membuat Naruto terlalu OOC di chap kemarin. Saya hanya menulis mengikuti insting jadi yaaa… maaf ya. Dan buat rangerbiru, saya rasa ini tidak cukup untuk membuat gempar dunia persilatan XD dan bagi yang mengharapkan fic ini menjadi fic humor… sayang sekali. Ini bukan fic humor. Jelas sekali fic ini terlalu fluffy (meski gagal juga) dan pasti membuat reader cowok geli sendiri bacanya. Haha. Dan buat andypraze, gimana? Sesuaikah dengan selera Anda? Style mereka benar" saya pikirin tapi berakhir seperti ini. Sori yo.
Saya juga berterima kasih untuk rei yang sudah menunjukkan typo di chapter kemarin. Yaya. Saya juga bingung waktu itu. Udah ada niat untuk merubah jadi 'f' tapi lupa. Tenang. Sudah saya perbaiki jadi tolong ingatkan lagi kalau ada typo ya. Saya ngebut soalnya, sepertinya ada yang terlewat.
Nah. Cukup sekian dari saya~~ review ditunggu loh~~
Thanks to~~~JihanFitrina-chan;Bunshin Anugrah ET;marukocan;Niizuma Eiji;hanazonorin444; ;Dattebane;Iced Cherry;june25;lovelly uchiha;41;login;Durara;Hanawa Seika;rhimadayo;Blue-senpai;Nyuga totong;almira-chan;robyzek;Guest;aeni hibiki;hana;namikaze yuli; .39566;thank;HideYuki's;art69;sierrafujoshiakut;Natsuyakiko32;Kyouka Hime;Ymd;Yuzuru;TheBrownEyes'129;HimeAkai11;sinuza;HIME;oni;7th ChohoLava;hqhqhq;Hiruma Enma 01; Guest n Guest [namanya sama dan atas bawah, tak jadiin satu aja];rei;Abrory-The-Kaijin27;Guest[lagi];mangetsuNaru;rangerbiru;Racchan Cherry-desu;DarkCrowds;Fuyu no MiyuHana; ;aimseven;login;N achiles;sayciesalamiena;NaruHina-Lover;Jim;Namikaze-Emon;ren;kirei-neko;Misti Chan;andypraze;Namikaze Ichza;August Atcherryd;~~~terima kasih sudah memberi semangat pada author ini untuk menulis dengan lebih baik dan mengikuti cerita sampai akhir. Maaf kalau ada salah tulis atau ada yang terlewat.
See ya di fic selanjutnya :")