Hey, Guys!

Especially, NaruHina Lovers. ;D

17 authors NHLs bergabung bersama untuk melaksanakan proyek yang didedikasikan untuk OTP kita tercinta serta event #FromAndromedatoBimasakti—yang terselenggara karena kontroversi beberapa chapter terkini manga Naruto. Jangan galau lagi ya, NHLs. :"

Keep stay cool and support NaruHina!

.

Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto. We don't own Naruto. We did not taking any commercial advantage from making this fanfiction.

Cover belongs to Azro Azizah Rossi

.

~NaruHina~

.

We proudly presents to you

GALAXY OF NARUHINA

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-

Author : crystallized cherry

ID : 1964748

Warning : K+ / Hurt/Comfort/Romance/ Canon

.

Aku, Bulanmu

.

Saat Naruto merayakan keberhasilannya naik tahta sebagai Hokage, Hinata tidak hadir. Cedera akibat peperangan masih menjerat tubuhnya dari kebebasan, mata yang belum sembuh benar membuatnya tak bisa menjelajah lebih dari sebatas pekarangan belaka, dan aliran chakra yang masih kacau membuatnya tak bertenaga.

Hinata tak ada di saat Naruto sedang berada di puncak kejayaan, menikmati mimpinya yang telah tergenggam dengan seribu macam kepuasan melengkapi tawanya.

.

Saat Naruto merayakan ulang tahunnya yang kedua puluh, yang habis-habisan dirayakan oleh para rookie dalam sebuah pesta yang dirancang langsung oleh mereka, Hinata tak datang karena misinya yang molor berhari-hari hanya karena strategi yang meleset dan musuh yang begitu lihai.

Naruto sempat menelan rasa kecewa di sela-sela kenikmatan hidangan ulang tahun yang dibuatkan oleh Shizune, karenanya.

Lagi-lagi, Hinata tak ada saat sinar kebahagiaan memandikan Naruto.

.

Dan hal itu terjadi berkali-kali, lebih dari sekadar dua kali.

.

Tetapi di malam itu, ketika Naruto pulang ke desa setelah berkeliling mengawasi perbatasan sendirian, dan terluka setelah sempat terjebak oleh musuh yang pro, Hinata-lah yang kali pertama datang menyelamatkannya, yang berlari ke arahnya, kemudian memapahnya menuju rumah Naruto sendiri.

Alasan mengapa gadis itu bisa tahu tentang keadaan Naruto yang buruk sementara semuanya tak tahu, gadis itu hanya berkata bahwa semua berkaitan dengan firasat. Firasat yang menuntunnya untuk keluar rumah dan menuju perbatasan, bukan gerbang desa, dan ternyata membuatnya menemukan Naruto di sana.

Setelah gadis itu selesai mengobatinya, Naruto berkata dengan suara rendah namun senyum kecil karena dia juga cukup puas mengetahui fakta bahwa dia dan kekasihnya memang memiliki ikatan tertentu, "Aku tidak mengerti ini, Hinata."

"Tentang apa, Naruto-kun?"

"Kau sangat jarang bisa datang di saat-saat bahagiaku. Tetapi ... berkali-kali ... kaulah yang menyelamatkanku, yang menolongku saat aku terluka ... ah, kaupasti masih ingat saat-saat sebelum final ujian chuunin dan saat kematian Neji, 'kan?"

Hinata tersenyum kecil, kemudian dia berjalan menjauhi Naruto, memunggunginya, dan menatap jendela dengan tirai terbuka itu. Bulan sedang purnama.

"Karena ... mungkin ... aku adalah bulanmu, Naruto-kun. Dan kau adalah bumi."

"Maksudmu?"

"Bulan telah bersumpah untuk terus bersama bumi, selamanya. Tetapi dia hanya datang dan bersinar saat bumi diliputi kegelapan, bukan saat bumi mendapat sinar kebahagiaan dari matahari."

Dan Naruto mengangkat tangannya yang masih sakit, untuk meraih obi Hinata, menarik gadis itu ke arahnya. "Teruslah begitu, Hinata."

Lalu ketika gadis itu berbalik, Naruto mengambil tangannya dan mencium punggung tangan halus gadis itu.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-

Author : Liekichi-Chan

ID : 2195607

Warning : OOC, a little bit humor

.

Aku Mencintaimu

.

"Hey, Naruto, kenapa sejak tadi kau tersenyum seperti orang gila begitu? Kau kelainan atau bagaimana?"

"Hahaha. Entahlah~ hanya saja dia sangat manis."

"Dia? Dia siapa?" kulit pucat lelaki itu terlihat menjadi semakin lebih pucat setelah melihat reaksi teman kerja dihadapannya. Naruto terlihat seperti orang gila yang lepas dari kurungan.

"Sai, ketika jantungmu berdebar kencang dan menyenangkan saat melihat seorang gadis, apa itu artinya kau mencintainya? Um~ maksudku seperti takdir begitu? Atau saat kau berharap bisa terus melihatnya, berpapasan dengannya, memimpikannya dan berharap ia melihat kearahmu apa perasaan semacam itu bisa disebut cinta?" Naruto berbicara tanpa mengendurkan sedikitpun senyum di bibirnya. Lelaki itu beberapa kali menyentuh dada kirinya yang tak bisa ia kontrol sejak tadi.

"Keh, kau menjijikkan, Naruto. Padahal usiamu sudah 25 tahun tapi perasaan seperti itu saja kau tidak mengerti. Kau ingin terlihat sok manis, hah? Seperti anak SMA yang sedang jatuh cinta saat pertama kali begitu? Hey, ayolah~ tidak mungkin kau tidak pernah merasakan yang seperti itu." Seringainya tanpa ampun.

"Aku pernah jatuh cinta. Tapi yang kali ini benar-benar berbeda."

"Kalau begitu kau harus periksakan kejiwaanmu itu. Jangan-jangan kau tidak normal! Dasar aneh!"

"Iya, aku akan ke psikiater setelah selesai bekerja. Aku rasa aku juga mulai gila. Belakangan ini aku sering senyum sendiri. Mungkin berbicara dengan orang-orang seperti mereka akan memberikan sedikit penenangan untukku."

"Hahaha. Dasar!"

.

"Sensei, ini adalah pasien terakhir kita untuk hari ini. Beliau ingin melakukan konsultasi tentang kejiwaannya. Sensei masih bisa menangani yang ini kan? Atau Sensei sudah akan pergi?"

"Ah, tidak, Sakura-san, tidak apa. Biarkan ia masuk. Aku akan ulur waktu untuk pertemuan dengan yang lain. Berhubung ini adalah pasien terakhir untuk hari ini, aku rasa tidak apa. Lagipula aku tidak ingin mengecewakan pasienku." Sang dokter tersenyum sangat manis–terlihat ramah dan menawan.

Rambut indigonya ia ikat membentuk cepolan pada bagian atas, dan itu menambah kesan profesional dari apa yang tengah ia kerjakan. Kacamatanya membingkai manik abu-abu rembulannya – bukan memberikan kesan dewasa namun sebaliknya. Ia malah terlihat seperti remaja berumur 15 tahun. Fresh.

Tangan mungilnya masih sibuk untuk mempersiapkan beberapa dokumen yang akan ia bawa untuk pertemuan selanjutnya. Selesai, berlanjut sosoknya menuangkan air didalam gelas dan lantas meneguk air tersebut untuk membasahi kerongkongannya yang terasa sangat kering dan tak bersahabat.

Sedikit tersentak saat merasakan pintu ruangannya dibuka, sang dokter lantas membalikkan wajahnya. Biru dan abu-abu. Langit dan bulan. Kedua manik itu saling bertemu dan seketika sang dokter cantik sedikit membungkukkan badannya sebagai bentuk permintaan maaf karena tidak berada dalam posisi siapnya.

Lelaki itu tertegun sebelum akhirnya mengembangkan senyumannya dengan sangat lebar.

"Hyuuga Hinata." bibirnya bergumam nyaris tak terdengar ketika membaca papan kecil bertuliskan rangkaian huruf tersebut diatas meja kerja sang dokter.

"Nah, apa kataku. Ini takdir namanya."

Meletakkan gelas yang kini airnya sudah kosong, Hinata langsung mempersilahkan pasiennya untuk duduk tepat dihadapannya dengan pembatas meja kerja dan sesegera mungkin ia juga medudukkan tubuhnya.

"Ah, maaf atas ketidaksiapan saya. Tadi itu saya sangat haus. Maaf." Sang dokter memberikan senyuman manis dengan semburat merah muda menghiasi kedua belah pipinya. Naruto masih memperhatikan sosok cantik itu dalam diam – namun fantasinya sudah melambung ke nirwana karena bertemu dengan faktor penyebab debaran tak normal jantungnya.

'Oh, jadi dia seorang dokter~ terlihat masih seperti anak SMA. Sial! Aku tidak bisa menghentkan senyumanku,' batinnya berbicara dengan gila.

Sang dokter mulai menunjukkan tatapan iba, orang di hadapannya mungkin benar-benar sudah terganggu kejiwaannya.

"Bisa beritahu keluhan Anda?"

Lama, ia menunggu jawaban sebelum akhirnya...

"Aku sedang jatuh cinta."

"Ah, hahaha, ternyata cinta. Tapi apa Anda tidak salah menemui orang? Saya kira Anda punya masalah hebat yang membuat depresi, ingin bunuh diri, dan menjadi terganggu." Sedikit bercanda mungkin tak apa.

Bentangan biru langitnya masih menatap lurus kearah abu rembulan didepannya. Lurus–tak bergerak–senyuman permanen juga tak kendur pada bibirnya. Sang dokter bahkan sampai salah tingkah dibuatnya.

"Tapi yang ini benar-benar membuatku depresi, Sensei."

"Ah~ kenapa bisa sampai begitu? Apa dia menduakan Anda?"

"Tidak."

"Meninggalkan Anda?"

"Tidak."

"Um~ mari kita tebak? Atau jangan-jangan Anda yang meninggalkannya?"

"Tidak juga."

"Lantas?"

"Aku jatuh cinta dengannya."

"Lalu kenapa tidak mencoba untuk mengungkapkannya?"

"Aku bahkan baru tahu namanya beberapa menit yang lalu."

"Kalau begitu Anda harus cari tahu lebih banyak tentangnya, lalu cobalah ungkapkan perasaan yang membuat Anda selalu mencintainya."

"Apa menurut Sensei itu tidak terlalu cepat?"

"Tentu tidak, selama itu bisa membebaskan semua beban Anda, waktu tidak akan menjadi masalah. Masih lebih baik Anda sudah mengetahui namanya. Bahkan ada banyak orang diluar sana yang akan menikah dengan orang yang bahkan namanya saja ia tidak tahu."

"Kalau begitu, aku mencintaimu." Ekspresinya masih sama. Menatap lurus kearah sang dokter.

"Eh? Anda ingin menjadikan saya sebagai modelnya? Hahaha, lucu sekali."

"Namaku Namikaze Naruto dan aku mencintaimu."

"Hahaha, ada-ada saja Anda ini. Baiklah, sekarang masuk ke inti masalahnya. Bagaimana ciri-ciri orang yang membuat hati Anda tak tenang begini?"

"Dia cantik, bermanik abu-abu rembulan, memakai kacamata, berambut indigo yang sedang dicepol saat ini, seorang psikiater."

"Hey, ayolah tuan. Itu semua seperti mengarah pada ciri-ciri saya." Sedikit berkeringat, sang dokter mencoba untuk tetap tenang.

"Memang iya."

"Aku mencintai sosok di hadapanku. Sangat!"

"To-tolong, hentikan ucapan Anda! Ini benar-benar tidak lucu. Maaf, tapi saya tidak punya banyak waktu. Mungkin Anda bisa berkonsultasi dengan psikiater yang lain."

"Tapi aku hanya ingin dengan kau, Hinata-Sensei."

"Keluar-"

"Aku mencintaimu."

"Hey!"

"Aku mencintaimu."

"Hentikan!"

"Aku mencintaimu."

"Sakura-san, tolong keluarkan orang ini!"

"Aku mencintaimu."

"Kau, cepat keluar dari ruanganku!"

"Aku mencintaimu."

Lelaki itu tersenyum semakin menjadi-jadi dan menikmati ekspresi ketakutan yang ditunjukkan wanita dihadapannya. Sepertinya dia benar-benar sudah gila.

"AKU CINTA HYUUGA HINATA~~"

"AKU CINTA PADAMU~"

"AKU MENCINTAIMU~"

"Siapa saja, tolong bawa orang gila ini!"

"Aku mencintaimu."

"Pergi sana!"

"Aku mencintaimu."

"Aku mencintaimu."

"Aku mencintaimu."

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-

Author: Kaname Mizutani

ID: 4052442

.

Amanogawa

.

Malam itu adalah malam yang indah, bintang-bintang bertaburan di langit serta terangnya rembulan menambah eloknya pesona sang malam. Membuat beberapa orang terjaga untuk mengagumi keindahannya. Tak terkecuali, seorang gadis bernama Hyuuga Hinata, calon pewaris keluarga Hyuuga yang tengah keluar secara diam-diam dari kamarnya. Gadis itu ingin menjelajahi desa Konoha. Jujur, malam ini dia tidak merasa mengantuk sama sekali. Gadis itu lebih tertarik untuk jalan-jalan daripada harus melanglang ke pulau kapas miliknya. Dengan perlahan Hinata melompat dari pagar rumahnya. Memang itu memang terkesan tidak sopan, tapi dia hanya tidak mau membangunkan para penjaga rumah yang memilih tertidur daripada menjalankan tugas mereka. 'Dasar.' Hinata menggelengkan kepalanya dan terkikik geli melihat kelakuan mereka.

Bruuk!

"Ittai…"

Suara keluhan dan suara terjatuh terdengar. Hal ini, disebabkan tabrakan kecil antara Hyuuga Hinata dan temannya Uzumaki Naruto.

"Gomen, aku tidak sengaja. Lain kali aku akan lebih berhati-hati, Naruto-kun." Ucap Hinata yang merasa bersalah.

"Ahahaha… tidak apa-apa Hinata." Naruto hanya tertawa canggung.

'Sebenarnya kau tabrak pun tidak masalah bagiku. Karena aku bisa merasakan hangatnya tubuhmu menimpa diriku. Uups, apa-apaan aku ini,' Naruto segera mengenyahkan pikiran kotornya itu.

"Arigatou." Hinata menundukkan wajahnya, malu bertatapan lama-lama dengan si Uzumaki. Sedankan Naruto hanya mengangguk.

Mereka terdiam. Tentu saja karena canggung. Siapa sih yang tidak tahu apa yang terjadi antara Hinata dan Naruto. Itu lho, tentang kisah cinta mereka yang masih menggantung. Semenjak perang berakhir pun masih seperti itu, hubungan tanpa arah yang jelas membuat mereka merasa agak canggung satu sama lain apalagi jika betemu dengan keadaan seperti ini. Tapi walau agak canggung bukan berarti mereka tak mengharapkan kehadiran masing-masing. Mereka malah berusaha mendekatkan diri satu sama lain, seperti Naruto yang mengajak Hinata makan di Kedai Ramen setelah pulang dari misi, atau Hinata yang terkadang membuatkan bento untuk Naruto setelah latihan. Dan sebenarnya mereka pun bisa mengira-ira bahwa mereka memiliki hubungan yang spesial.

"Ne, Hinata. Kenapa kau keluar malam-malam begini?" Naruto berusaha mencairkan suasana.

"Ano, aku hanya ingin jalan-jalan sebentar," ucap Hinata disertai senyuman manisnya.

"Oh… kalau begitu, ayo ikut denganku! Aku akan menunjukanmu tempat yang indah, Hinata!" ajak Naruto menggengam tangan Hinata. Namun, gadis itu diam saja tidak merepon, membuat Naruto menyadari yang dia lakukan. Dengan cepat dia melepaskan genggaman mereka. Membuat Hinata agak malu sekaligus senang. Dengan malu-malu Hinata ganti menggenggam Naruto yang disambut raut wajah terkejut pemuda itu. Tak menyia-nyiakan kesempatan, pemuda itu menarik tangan gadisnya ke suatu tempat.

"Yoosh… kita sampai Hinata!"

Naruto melepaskan genggaman mereka dan melebarkan kedua tangannya, diikuti jatuhnya badannya ke tanah lapang dekat sungai Konoha. Mata pemuda itu terpejam menyembunyikan safirnya yang indah, akan tetapi segera terbuka kembali untuk menatap gadis yang duduk di sampingnya itu. Rasanya hilang sudah kecanggungan yang mereka rasakan.

Melihat Hinata tersenyum dari dekat membuat Naruto merasakan getaran aneh di dadanya. Hal ini sudah sering dia rasakan ketika dia dekat dengan Hinata. Seperti sekarang ini. Dan dia sangat menyayangi orang yang membuatnya merasa seperti ini.

"Tempat ini i-indah sekali, ya Naruto-kun?"

"Umm… tentu saja! Aku sering ke sini saat aku merasa bosan. Memandangi langit dari sini terasa menyenangkan! Aah kenapa aku jadi seperti Shikamaru sih!" Hinata hanya terkiki geli mendengar celotehan Naruto.

"Hihihi… A-ada ada saja kau ini, Naruto-kun!" Alhasil, muka Naruto pun memerah ditertawakan Hinata.

Tiba-tiba saja sebuah bintang meluncur indah di langit. Membuat perhatian Hinata dan Naruto teralihkan.

"Indah, ya…" gumam Hinata.

Naruto tersenyum melihat Hinata yang terkagum-kagum.

"Ne… Naruto-kun, terima kasih sudah menunjukannku te-tempat ini." Hinata tesenyum manis dengan kedua pipi merona. Membuat Naruto tidak tahan melihatnya.

"Um, tentu saja. Ngomong-ngomong Hinata… Apakah kau melihat Segitiga Musim Panas?"

"Eh? A-apa itu?"

"Itu adalah tiga bintang yang membentuk segitiga. Nah, lihat itu!" Naruto menunjuk tiga bintang yang membentuk segitiga. Diikuti berbagai penjelasannya.

Tanpa sepengetahuan Naruto, Hinata menatap wajah tampan Naruto dengan pandangan kagum. 'Naruto-kun.'

"Eh? Hinata? Kau mendengarkanku?"

"N-Nani?"

"Aku bilang bintang manakah yang kamu sukai?"

"Oooh ... a-ano, Kaa-san-kudulu pernah menceritakan padaku tentang Kisah Orihime-sama dan Hikoboshi-sama. Jadi aku dari dulu menyukai kedua bintang itu. Aah, a-aku menemukan Orihime-sama, tapi dimana Hikoboshi-sama?" kata Hinata sambil menatap langit.

Naruto mengikuti arah pandangan Hinata dan tertawa, "Hahaha … itu bukan mereka, Hinata. Orihime dan Hikoboshi adalah dua dari ketiga bintang yang kutunjuk tadi."

"Eeep." Wajah Hinata merah padam.

"Apakah di dalam kisah yang diceritakan Ibumu, Orihime dan Hikoboshi bertemu di sungai Amanogawa, Hinata?"

"I-Iya… Naruto-kun. Ada apa?"

"Karena aku ingin kita seperti mereka, bukan dalam artian berpisah dan bertemu disuatu tempat tetapi karena aku ingin kita selalu bersama, berbagi kisah bersama, bagaimana ne, Hinata? Apa kau mau bersama denganku memiliki tempat ini sebagai Amanogawa kita?" Naruto bangun dari posisinya menghadap Hinata, kedua tangannya lantas menggenggam tangan mungil Hinata. Menyalurkan kehangatan disetiap sentuhannya.

Hinata sendiri kebingungan memahami maksud Naruto. Iya hanya mengiyakan. "Tentu saja."

"Yosh, arigatou, Hinata! Aku menyayangimu."

Cup!

Satu kecupan mendarat di kening Hinata. Sedangkan Hinata sendiri baru menyadari apa yang sedang terjadi saat ini antara dirinya dan Naruto.

'Barusan Naruto-kun mengungkapkan persaannya padaku dan aku menerimanya. Hwaa…'

Bruuuuk.

Dan Hinata pun pingsan dipelukan Uzumaki yang kini terbahak-bahak.

"Baru nyadar dia."

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-

Author : Livylaval

ID : 4430518

.

Antara Hinata, Naruto, dan Petir

.

Naruto menatap lucu pada sesosok gadis kecil yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya, dengan mata sembab dan hidung meler beringus. Piyama kebesaran yang dipakai seolah membuatnya tenggelam dan jauh lebih mungil dari biasanya.

"Hinata-chan kenapa?" ucapnya berpura-pura.

Hinata tak menjawab, justru melangkah mendekat pada bocah laki-laki yang duduk tenang di selimut berwarna kuningnya.

"Hinata mau tidur sama Nii-chan aja," ujarnya lirih, menaiki kasur, dan mendesak si bocah untuk berbagi selimut dengan dia.

"Memang kenapa?" Pertanyaan ini tentu saja masih pura-pura, Naruto hanya ingin lebih lama melihat wajah malu-malu si surai indigo pendek.

"Pe-petir, Nii-chan."

Hinata menatap Naruto dengan mata perak yang hampir menumpahkan likuid bening, dia sudah menangis sendirian tadi dikamar.

Bersusah payah mencapai kamar sang kakak ditengah hujan deras disertai guntur menggelegar yang menakutkan.

Hinata suka hujan, tapi tidak dengan petir menyebalkan itu.

"Lalu?"

"Aku numpang tidur dengan Nii-chan ya?" pinta Hinata serius, tak sadar kalau yang diminta tidak mungkin menolak.

Naruto mengerutkan dahi seolah berpikir, ingin menggoda sang adik lebih lama.

"B-boleh ya?" Likuid bening itu sudah mengambang di kelopak mata, sekali berkedip saja dan Hinata sudah bisa dipastikan menangis.

Naruto tak menjawab, tapi bocah berumur delapan tahun itu merangkul sang adik —yang usianya tiga tahun lebih muda—sampai terjatuh di ranjang empuk.

"Memang kapan aku melarangmu, hah?"

Hinata tersenyum senang, lalu mengecup pipi bergaris tiga sang kakak.

"Arigato, Onii-chan."

Naruto mengacak rambut tebal Hinata, lalu membelai pipi tembem gadis cilik yang diangkat menjadi adiknya itu.

"Payah sekali jika sampai besarpun kau takut dengan petir seperti ini," ejek Naruto.

Hinata, yang berbaring dan berhadap-hadapan langsung dengan Naruto sedikit mengembungkan pipi tak terima, "Tentu saja kalau aku besar sudah gak takut petir lagi."

Naruto mencibir tak percaya.

"Kalaupun masih takut, aku kan bisa ke kamar Nii-chan lagi."

"Aku yang gak mau," tolak Naruto, lalu menjulurkan lidah bermaksud menggoda.

Wajah Hinata berubah tegang, tak mengira bahwa kakak yang paling dia sayang sedunia tega berbuat seperti itu.

"Nii-chan gak serius, kan?"

"Aku serius kok."

"Kok gak mau?"

"Kan kalau udah besar harus tidur sendiri-sendiri."

"Kenapa?"

Naruto mengangkat bahu sebagai pengganti jawaban bahwa dia tak tahu alasannya.

"Kalau gitu Hinata gak usah besar aja, ya?" Gadis cilik itu menimbang-nimbang seolah pertumbuhan yang terhenti itu adalah kemungkinan yang bisa terjadi.

"Biar tetep bisa ditemenin pas takut petir kayak sekarang ini?" tebak Naruto.

Hinata mengangguk cepat. Tapi kemudian dia terdiam sejenak.

"Tapi kenapa Kaa-chan dan Tou-chan bisa tidur sama-sama?"

"Kan mereka udah jadi Kaa-chan sama Tou-chan."

"Jadi kalau aku udah jadi Kaa-chan, dan Nii-chan udah jadi Tou-chan boleh tidur kayak gini lagi, gitu?"

"Mungkin," jawab Naruto mengambang.

"Ya udah, kita jadi Kaa-san Tou-chan aja, Nii-chan. "

"Itu sih supaya Hinata-chan punya teman pas lagi takut gini," gerutu Naruto mencemooh.

"Gak juga kok," bantah Hinata, "Kalau gak sama Nii-chan aku gak bisa tenang kalau tidur. Nanti kalau aku udah besar terus gak boleh tidur sama Nii-chan karena bukan Kaa-chan sama Tou-chan, dan akhirnya gak bisa tidur-tidur, gimana dong?"

"Alasan aja." Naruto masih mencibir.

JEDDDEEERRRRRR

Petir besar yang tiba-tiba, menyusul sehabis kilat. Menjadikan pengang telinga.

Membuat Hinata yang tadinya masih akan berbicara, otomatis menarik kuat baju depan sang kakak, dan menenggelamkan diri lebih jauh ke tubuh Naruto yang lebih besar daripada tubuh gadis cilik itu.

JEDDDDEEERRRR

Petir lain menyusul.

Si surai indigo melesak ketat pada Naruto, tubuhnya bergetar takut, dan seperti yang sudah-sudah, Naruto akan menutupi kedua telinga sang adik dengan tangannya. Bersenandung untuk menyamarkan suara guntur yang menggelegar.

Satu menit berlalu, dan tak ada tanda lain petir akan muncul kembali.

Naruto menoleh ke samping bahunya, pada Hinata yang masih gemetar dan sedikit terisak.

"Sudah, kayaknya petirnya udah gak ada tuh."

Hinata menarik wajahnya yang tertempel dipundak Naruto, satu dua helai anak rambutnya menempel di wajah, tercampur peluh yang hadir akibat ketatnya dia menempel pada sang kakak.

"Tuh kan." Hinata memulai, "kalau bukan Nii-chan pasti jadi repot. Susah kalau bukan Nii-chan."

Naruto menghela napas pelan, "Iya, Hinata-chan yang cengeng sama takut petir. Kalau udah besar Nii-chan bakal jadi Tou-chan dan Hinata jadi Kaa-chan. Gimana? Udah seneng?"

Mata bulan Hinata berbinar, wajahnya berseri, dan senyuman manis terpahat diwajah mungilnya yang cantik.

"Bener?"

"Iya."

Hinata memeluk sekali lagi sang kakak yang meski tak sedarah dengannya tapi sangat dia sayang. Tanda terima kasih karena sudah mau mengabulkan permintaan kecil darinya.

.

.

"Jadi masih takut petir lagi?"

Sang gadis yang suka bersemu merah menunjukan kebiasaannya lagi. Dia merona cantik sekali.
Lalu beringsut mendekat ke arah sang suami yang terduduk di sofa ruang tamu. Kemudian menggeleng sebagai jawaban.

"Aku kan sudah dua puluh lima tahun sekarang, Naruto-kun."

"Lalu siapa yang kemarin malam, ketika hujan deras, memeluk erat sampai hampir mencekik aku?"

Hinata tertawa kecil, terdengar bak dentingan lonceng.

"Aku mengaku kalah saja deh, Naruto-kun."

Naruto mengacak rambut indigo sang belahan jiwa dan akhirnya beralih mengusap perut si wanita, "Kaa-san tadi bertanya apakah dia boleh ikut menemanimu periksa ke dokter besok."

Hinata mengangguk pertanda setuju, "Sudah lama aku tak bertemu Okaa-san, rindu sekali rasanya."

"Hati-hati ya? Besok aku tak bisa menemani. Dan berdoa saja kalau 'dia' tidak takut petir seperti ibunya," goda Naruto.

Yang digoda mendengus sebal, memukul sang suami meski tak benar-benar serius dan kembali tertawa bahagia.

.

.

Jadi, sekarang mereka sudah menjadi Kaa-san dan Tou-chan kan ya ...

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-

Author : Kitazawa Nami
ID : 2462804
Warning : AU, K, family

.

Another E.T. Story

.

Hari Minggu yang cerah, Naruto mengajak keluarganya untuk berpiknik ke taman, Hinata duduk di rerumputan hijau di bawah pohon rindang sambil memangku putranya yang masih delapan bulan dan Naruto berjalan ke arah penjual makanan.

"Neji-chan, lihat ini apa yang Tou-san bawa!" seru seorang pria. Kemudian pria tersebut menyodorkan permen kapas berwarna pink pada balita yang berada di pangkuan istrinya, si balita terlihat bersemangat dan girang kedua tangannya menggapai – gapai permen kapas yang masih dipegang ayahnya.

"Naruto-kun! Jangan menggoda Neji-chan seperti itu," ucap lembut sang istri yang kasihan pada Neji yang masih digoda ayahnya.

"Ne ... Hinata-chan, aku kan hanya ingin bermain dengan Neji-chan," jawab Naruto yang kemudian duduk didekat istrinya dan menyodorkan permen kapas pada Neji yang langsung dipegang – pegang balita itu dengan senang.

"Kau menyukainya, Neji-chan!" ucap Naruto masih bermain dengan putra tercintanya.

Hinata hendak beranjak pergi ketika tangan Neji kecil menggapai–gapai ke bawah. Hinata mengikuti gerakan putra mungilnya itu dan menemukan sebuah boneka hijau mirip katak. Hinata berpikir sepertinya itu bukan milik Neji, lalu sebelum Hinata mengambil benda itu Naruto sudah memanggilnya untuk kembali.

"Tunggu sebentar, Naruto-kun, sepertinya Neji-chan menginginkan boneka itu tetapi sepertinya bukan milik Neji-chan." Hinata memungut boneka katak itu dan menyodorkannya pada Naruto yang berdiri disampingnya.

"Biarkan Neji-chan memilikinya Hinata-chan," Naruto mengingat sekarang sudah waktunya pulang dan Neji pasti akan menangis jika tidak boleh membawa benda itu, kemudian Naruto mengambil boneka itu dari tangan Hinata dan memberikannya kepada Neji. Tak jauh dari tempat mereka berdua bercengkerama ada dua sosok yang mengawasi.

Pada malam hari Hinata mengecup kening putra mungilnya "oyasuminasai Neji-chan" lalu segera beranjak ke atas ranjangnya untuk tidur. Tanpa Hnata sadari di halaman rumahnya ada sebuah piring terbang mendarat dan dua makhluk berpakaian aneh keluar dari dalamnya. Keduanya berbicara lalumengangguk satu sama lain kemudian menyusup ke kamar Neji.

"Dei, ayo cepat kesini! Bossu-tachi ada disini," seru Tobi pada kawannya yang melompat – lompat mencari di sekitar tempat tidur Hinata dan Naruto.

"Ayo cepat bangunkan!" seru Dei lalu menghampiri Tobi yang masih berusaha menggapai tempat tidur mungil Neji.

"Aku tidak bisa mencapainya ini terlalu tinggi!" ucap Tobi yang masih berusaha memanjat tempat tidur itu.

"Kau memang pendek, sini aku saja!" ucap Dei yang memang memiliki tinggi tiga centi meter diatas Tobi yang hanya memiliki tinggi dua puluh lima centi meter.

"Tidak ini terlalu tinggi, kau juga takkan bisa!" seru Tobi.

Dan kedua makhluk alien itu saling berebut menggapai–gapai ranjang Neji yang meyebabkan bayi yang masih tertidur menjadi terbagun dan menangis keras-keras. Hnata mendengar raungan Neji segera bangun dan menyalakan lampu. Saat Hinata menyadari ada dua makhluk kecil asing Hinata berteriak kencang, "Kyaaa~!"

"Ada apa, Hinata-chan?" tanya Naruto yang juga terbangun karena mendengar teriakan Hinata. Jari telunjuk Hinata menunjuk ke arah mahkluk yang berdiri ketakutan di bawah tempat tidur Neji.

"Si—siapa kalian?" tanya Naruto bergetar agak takut kalau mereka adalah sejenis siluman.

"Kami adalah alien dari planet Konoha dan akan menginvasi planetmu!" teriak Tobi pada Naruto sambil mengacungkan jari telunjuk tangan kanannya lalu tertawa terbahak - bahak.

"Baka, kau jangan membocorkan misi ini!" seru Dei pada Tobi yang ceroboh kemudian menonjok Tobi dan merekapun saling berkelahi.

Hinata yang melihat kejadian itu segera mengambil dan menggendong Neji yang masih menangis di ranjangnya "Neji-chan, cup, cup, tidak apa–apa. Jangan menangis, nee, Neji-chan lihat ada katak berkelahi," kemudian Hinata menunjukkan ke arah Dei dan Tobi yang masih saling menjatuhkan, Neji yang masih sesenggukan akhirnya tersenyum dan tertawa–tawa.

Tiba–tiba Naruto datang membawa sapu dan mengusir kedua mahkluk hijau itu, Neji yang melihatnya langsung menangis.

"Naruto-kun sepertinya Neji-chan tak ingin kau memukul mereka," ucap Hinata mencegah Naruto memukul dua mahkluk yang sedang meringkuk setelah terguling–guling dua meter.

"Benarkah, Hinata-chan?" tanya Naruto yang masih tidak percaya.

Saat Naruto berhenti memukul, Neji kecil ingin turun dari gendongan Hinata, dan Hinata sedikit menurunkannya. Tangan kecil Neji mengelus rambut Dei dan Tobi secara bergantian kemudian tangannya menunjuk ke arah tempat tidurnya. Naruto mengamati hal itu masih tidak percaya.

"Ada yang ingin Neji-chan ambil?" tanya Hinata kalem lalu menggendong Neji ke arah tempat tidur dan benar saja disana ada sesosok mahkluk kecil yang mirip seperti yang baru saja Naruto sapu sedang tertidur. Dengan Pelan Hinata mengambil mahkluk tersebut dan membawanya ke arah dua mahkluk yang memandang kagum kejadian itu.

"Bos Tachi!" seru Dei dan Tobi bersamaan lalu memeluk bos mereka yang masih belum terbangun, mereka pun menangis bersama. Mata Neji berkaca–kaca melihat kejadian itu ingin ikut menangis, Naruto masih terdiam tak percaya dengan apa yang dilihatnya mungkin dia sedang bermimpi kemudia Naruto meletakkan sapunya dan kembali ke tempat tidur.

"Ayo, Hinata-chan!" ajak Naruto sambil merangkul pundak istrinya. Hinata mengikuti Naruto dan meletakkan Neji ke tempat tidur dan mereka bertigapun mulai tertiur kembali.

Saat Tachi terbangun, dia disambut dua anak buah setianya yang masih memeluknya erat. "Mereka tertidur," gumam Tachi, kemudian melihat ke arah sekeliling lalu mengucapkan "Arigatou, Neji-chan," dia pun menghilang bersama kedua kawannya, begitu pun dengan piring terbang yang berada di halaman keluarga Uzumaki.

Ketika pagi datang, Hinata sangat terkejut di kamar mereka ada banyak sekali boneka katak hijau kecil berserakan dimana–mana. Naruto yang baru saja terbangun juga tidak kalah terkejutnya seperti Hinata, Neji yang menggeliat membuka mata setelah menengar alarm Naruto berbunyi. "Kyaaa~" jerit Neji senang dengan semua boneka – boneka itu.

"Bagaimana cara menyingkirkan benda–benda ini. Kuso!" umpat Naruto kesal saat berjalan menuju televisi, kemudian pria berambut oranye itu menyalakan televisi dan melihat berita bahwa Tokyo diserang mahkluk luar angkasa.

"Mahkluk – mahkluk ini menjatuhkan serangan boneka di beberapa wilayah dan ini mengganggu lalu lintas wilayah Tokyo–" selebihnya Naruto tak memperhatikan berita itu lalu memandang neji yang masih senang bermain diantara boneka itu dan Hinata masih berdiri dengan tatapan kosong di belakang Naruto.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-

Author : crystallized cherry

ID : 1964748

Warning : K+ / Hurt/Comfort/Romance/ AU

.

Aurora

.

Adalah sebuah kecelakaan yang menyebabkan Hinata menjadi seperti ini. Ada sebuah acara pariwisata yang diadakan kampusnya, begitu semangat Hinata menyambut hal itu—karena dia begitu menyenangi travelling dan fotografi, pasangan hobi yang sering sekali dikorelasikan satu sama lain. Tetapi, belum sampai setengah perjalanan ditempuh, kemalangan harus terjadi karena nasib pasrah ditawan goresan takdir. Ini membuat Hinata begitu syok karena keputusan dokter membuat banyak perubahan dalam hidupnya, setidaknya untuk beberapa waktu ke depan.

Dia tidak boleh menggunakan netranya selama satu bulan penuh.

Tentu saja keadaan ini membuat Naruto bergerak. Sebuah ketidaksetiaan jika dia diam saja melihat kekasihnya menderita. Meski dia tak terbiasa mengurus seseorang yang sakit, dia tetap melakukan banyak hal. Dia selalu datang setiap hari. Memapah Hinata ketika dia ingin membebaskan diri dari belenggu kebosanan di tempat tidur, menyuapinya makanan (walau Naruto kadang ujung-ujungnya hanya mengotori wajah Hinata karema kecerobohannya, namun tak mengapa sebab Hinata akhirnya sedikit terhibur), dan hal-hal lain.

Sepertinya, kedatangan Naruto setiap hari membawakan hikmah lain untuk Hinata, tidakkah begitu? Mereka jadi punya lebih banyak waktu untuk bercengkerama, untuk membahas hal-hal penting yang berkaitan dengan rencana pernikahan mereka enam bulan yang akan datang ...

... tetapi tetap saja, itu semua belum bisa membayar kekecewaan Hinata karena kecelakaan itu menggagalkan sebuah rencana besar yang dia rancang beberapa waktu yang lalu.

.

"Ayolah Hinata, kembang api tidak cuma sekali setahun! Jangan kecewa seperti itu."

Hinata diam saja, sambil menggigit sejumput daging sudut bibirnya, dia menunduk. Tidak tahu Naruto bahwa dia sudah mengkhayalkan banyak hal yang akan terjadi di pesta khusus kembang api musim panas yang diadakan kampus mereka minggu depan.

"Apa yang istimewa dari pesta kembang api kampus, sih? Huh, aku juga bisa bikin yang lebih hebat dari itu. Kalau perlu akan kubuat khusus untukmu saat kausembuh nanti."

Naruto tak mengerti.

"Jawab, dong, Hinata. Kenapa? Apa yang kaucari di pesta itu? Nanti akan kuberikan untukmu!"

Hinata menarik napas panjang, menahan untuk tidak menangis karena hal itu hanya akan memperburuk kondisi matanya.

"Aku ... menyiapkan beberapa kejutan untukmu, Naruto-kun ... karena hari festival itu adalah hari jadi kita yang kelima ..."

Naruto terdiam. Keheningan melesak masuk ke ruangan, ke antara mereka berdua, menumbuhkan ketidaknyamanan yang berbuah kecanggungan.

"Aku akan menggantinya suatu saat nanti, Hinata."

"Tapi—"

"Tugasku adalah untuk membuatmu bahagia, 'kan?" senyum lebar itu mengekspos gigi putihnya yang rapi, ada pancaran harapan dari sana; namun sayang Hinata tak mampu melihatnya.

.

Malam itu, ketika Naruto dan orang tuanya bertandang ke rumah keluarga Hyuuga untuk meminang si gadis, lima bulan setelah kejadian, Naruto memperlihatkan sesuatu pada Hinata sebelum dia pulang.

Sebuah amplop.

"Apa itu, Naruto-kun?"

"Aku akan membayar utangku," pemuda itu tertawa jahil.

"Utang ... apa?"

"Yang di rumah sakit. Akan kuperlihatkan isinya di hari pernikahan nanti."

Hinata tak dapat menebaknya, bahkan ketika Naruto telah pulang.

.

Di hari pernikahan, ketika pengucapan ikrar sudah dilaksanakan dan semua tamu sedang turut merasakan kebahagiaan dengan menikmati hidangan yang disajikan, Naruto akhirnya menunjukkan apa yang dia janjikan.

"Tiket ... bulan madu ke Norwegia?" Hinata berujar tak percaya.

"Ya!"

Hinata langsung menyandarkan diri ke lengan Naruto saat itu, berterima kasih sambil menyesap aroma lelakinya dalam-dalam, "Terima kasih, Naruto-kun."

.

Yang dihadiahkan Naruto bukan sebuah liburan biasa, melainkan liburan tengah malam di temgah dinginnya suasana, untuk menonton sesuatu yang tak biasa.

"Kaukecewa karena waktu itu batal memberikan kejutan untukku lewat pesta kembang api, 'kan?" Naruto merapatkan Hinata ke dalam rangkulannya. "Yang ini lebih indah dari sekadar kembang api, tahu."

Hamburan cahaya itu menakjubkan. Jilatan warna-warninya mengisi langit dengan warna hijau, biru, kemerahan, tak menyilaukan tapi amat menakjubkan. Tidak seperti kembang api yang hanya berumur sekian detik dalam menguasai langit dengan pesonanya, namun yang ini lebih lama, lebih luar biasa, tanpa batasan waktu.

Aurora.

"Terima kasih sekali lagi, Naruto-kun, aku mencintaimu."

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-

Tsuzuku~

.

Tenang saja. Masih ada banyaaak sekali drabble yang menunggu untuk dibaca. Santai saja dan tidak perlu tergesa-gesa. Silakan RnR chapter ini terlebih dahulu sebelum klik "next", ya.

Jangan lupa—tepat satu bulan lagi kita menyongsong NARUHINA FLUFFY DAY #5! Untuk informasi lebih lanjut, silakan cek profil akun NaruHina Annual Events.

Keep stay cool and keep reading~