Mediant

Disclaimer: Shingeki no Kyojin © Hajime Isayama. Tidak ada keuntungan material apapun yang didapat dari pembuatan karya ini. Ditulis hanya untuk hiburan dan berbagi kesenangan semata.

Pairing: Levi/Hanji Zoe. Genre: Family/Hurt/Comfort. Rating: K+. Other notes: AU. Slice-of-Life. Family problems-oriented.

(Katanya, Dokter Hanji itu jenius. Dokter Levi juga hampir tidak pernah gagal dalam menangani operasi. Hidup pasangan dokter itu kelihatannya sempurna, tetapi, memangnya hidup siapa yang tidak memiliki kekurangan? Hukum yang sama berlaku untuk keluarga Levi dan Hanji.)


#epilogue


"Kau tidak lapar, Mikasa? Aku punya dua roti di dalam tas."

Mikasa menenggelamkan separuh dagunya di dalam lilitan syal merah di leher, enggan menatap Eren entah karena alasan apa. Dia kemudian menjawab dengan suara rendah, "Aku masih kenyang."

Eren masih menatapnya. Ada sedikit kehangatan yang mulai menyeruak menyusup ke dalam hatinya ketika matanya berkontak dengan sosok Mikasa, yang membuatnya tersenyum sesaat.

"Apa kau tidak kepanasan?" ia mengulurkan tangan, jarinya diselipkan ke lilitan syal Mikasa dan secara tak disengaja menyentuh kulit leher gadis itu, dia berusaha mencoba melonggarkan kain itu dari kerapatan pada kulit Mikasa. "Syalmu rapat sekali."

Ada sebaran warna merah di pipi Mikasa yang tak disadari Eren.

"Tidak ... juga."

Mereka lanjut berjalan di koridor yang sepi itu. Masih berseragam, masih dengan tas berat mereka karena Eren tak pulang ke rumah dan Mikasa pun menurut saja pada permintaan Eren untuk tidak pulang ke panti, dan langsung ikut dengannya ke rumah sakit dengan naik bus. Bahkan lelaki itu mau membayarkan untuknya.

Eren mulai nampak antusias setelah mereka mulai mendekat pada ruangan yang dituju. Apalagi, setelah dia membaca nomor yang tertera di pintu.

"Ibu pasti senang bertemu denganmu," ucapnya sambil mendorong pintu itu.

Hanji tak perlu waktu untuk menyadari bahwa yang datang itu adalah Eren, dan langsung menyambutnya, "Aa, Eren! Selamat datang, Sayang! Dan—oh, astaga, ada Mikasa! Halooo!"

Levi mendesis. Dia langsung menjewer telinga sang istri, "Pelankan suaramu, bodoh!"

"Adududuh, sakit, Levi! Aduh, bahkan setelah aku memberimu seorang anak, kau masih memanggilku bodoh? Umumu, kau jahat," wanita itu mengerucutkan bibirnya.

"... Maaf," mata Levi turun pada apa yang ada di pelukan Hanji, suaranya barusan rendah sekali.

"Eh? Kok—" Hanji menaikkan alisnya, "Hei, ini bukan Levi yang biasanya. Haloo, Ayah, ada apa denganmu?"

Sinar lain muncul di tatapan Levi ketika mendengar sebutan yang diberikan Hanji. Ya, sudah hampir empat tahun dia disebut 'ayah' tapi yang kali ini berbeda. Sungguh-sungguh lain. Ada yang menggetarkannya, sepertinya. Dan tangannya terulur, dengan penuh kehati-hatian dia mengusapkan jarinya di helai-helai hitam lebat itu.

Perubahan status kadang seringkali menjadi faktor pengubah pribadi, Levi mengalaminya. Setelah menjadi ayah yang 'sebenarnya', dia tahu ada bagian di dalam dirinya yang telah berkembang ke arah yang lebih bagus.

"Haaa, lihat, Eren, ayahmu jadi agak beda sekarang. Kenapa sih dia?" Hanji mendelik sesaat, lantas beralih lagi untuk memandang Eren dan Mikasa, "Eh astaga! Aku belum mempersilahkan kalian duduk, Levi, tolong ambilkan mereka kursi di pojok itu—"

"Tidak usah, kami mau duduk di sini saja," Eren duduk di tepi ranjang, Mikasa mengikutinya. "Aku dan Mikasa mau melihat adik lebih dekat."

Hanji tersenyum, lantas memandang lagi pada sosok mungil yang terbungkus selimut biru muda. Dia tersenyum, senyumnya susah berhenti. Jemarinya mengelus pipi halus itu dengan penuh kasih—sebuah pemandangan yang mampu membuat Levi tak berpindah tatapan matanya.

"Namanya siapa?" tanya Mikasa pelan.

Hanji nyengir, "Sebenarnya ... kami belum memutuskan, hehehe ... kami terlalu bingung."

Eren memandang Mikasa sesaat. Hanji memperhatikannya, dan dia pun mendapat sebuah ide baru.

"Mungkin Mikasa punya ide? Kami akan senang mendengarnya."

Mikasa memandang bayi laki-laki itu lekat-lekat. Ia bisa melihat bentuk wajah Hanji di sana, dan rambut Levi yang sangat lebat memenuhi kepala mungilnya. Dia berpikir, dia diam cukup lama.

"Bahasa Jepang tidak apa-apa?"

"Oh, boleh, boleh sekali! Aku dan Levi sebenarnya juga mencari nama-nama dari bahasa lain supaya lebih menarik dan berbeda."

"Aku memikirkan satu nama. Maaf kalau aku hanya bisa menyebutkan satu kata—sisanya terserah Anda untuk menambahkan yang lainnya. Bagaimana dengan 'taka'?"

Hanji dan Levi berpandangan.

Mikasa ternyata belum selesai, "Dan kata 'taka' itu artinya ... elang. Atau rajawali."

"Bagus juga! Kita bisa membuat itu jadi nama panggilan," tanggap Hanji, "Elang adalah binatang yang keren. Matanya tajam dan semoga saja dia menjadi anak yang teliti—"

"—Tidak mewarisi sifat ceroboh ibunya."

"Iya, iya Leviii, aku hanya mewariskan hal-hal baik untuknya, percayalah itu," Hanji mendekap putranya lebih erat. "Dan elang itu warnanya didominasi hitam, 'kan? Sama dengan warna rambutnya. Aah, Mikasa, kau jenius! Bagaimana, Levi, kau setuju?"

Levi diam saja.

Eren melirik Mikasa. Tak dia duga, Mikasa juga lantas meliriknya di waktu bersamaan.

"Baiklah. Aku setuju."

Hanji tersenyum begitu lebar. "Oke! Nah, Sayang, kau akan jadi orang pertama di keluarga ayah dan ibumu yang memakai nama Jepang. Kau keren," dia pun mencium pipi anaknya. Levi, yang berdiri di samping Hanji sedari tadi, kemudian membungkuk untuk mencium kening Takao. Pipinya dan pipi Hanji bersentuhan sesaat.

"Halo, Taka. Bukalah matamu. Ada Ibu, Ayah, kakak, dan calon kakak iparmu."

Mari lihatlah reaksi dua anak SMP itu. Mikasa langsung membuang wajah dan Eren merengut namun rengutan belaka tak cukup menjadi penutup untuk rona merah wajahnya. Hanji hanya tertawa, dia begitu senang menggoda keduanya setelah seringkali dia dapati Eren membawa Mikasa ke rumah dan mengajak gadis itu mengobrol sambil menampakkan senyuman yang bertahan lama, tak tertinggal juga raut malu-malu yang kerap tampak di wajah Eren ketika Mikasa tersenyum.

"Kalian ini lucu sekali," Hanji bergantian mencubit pipi keduanya. "Mikasa, terima kasih, ya. Kami akan memakai nama pemberianmu. Itu doa dan harapan yang bagus sekali untuk anak ini."

Mikasa mengangguk perlahan. "Ya, sama-sama."


Taka sudah ditaruh Hanji kembali di boks yang tak jauh dari tempat tidurnya, dan Eren serta Mikasa sedang berada di tepiannya untuk berbicara sambil menatap bayi kecil yang tidur sangat pulas itu.

Hanji, masih bersandar pada ranjang, pelan-pelan mengarahkan tangannya pada tangan Levi yang ada di sampingnya. Lelaki itu tampaknya sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya, lirikan sesaatnya di ujung mata adalah tanda dia sedikit kaget dengan apa yang Hanji lakukan.

"Mungkin kau sudah bosan mendengarnya, Levi, tapi seribu kali pun aku tidak bosan mengatakannya. Aku senang. Aku bahagia. Dan aku tak percaya hal ini."

Levi hanya membalas genggaman tangan Hanji.

"Ini mimpi kita, Levi. Semuanya jadi nyata—dan, oh, ya ampun, ini sungguhan? Aku punya anak yang sesungguhnya? Dia datang dari dalam tubuhku, Levi, dia nyata!"

"Berhenti mengagumi kenyataan seperti itu, ini waktunya untuk mempersiapkan hal lain. Merawat seseorang dari kecil itu bukan tugas mudah. Tidak seperti Eren, kitalah yang harus membentuknya."

"Aku mengerti," Hanji mengecup pipi Levi. "Levi, tahu sesuatu, tidak?"

"Hn?"

"Dulu, aku pernah berpikir bahwa hidupku benar-benar belum lengkap karena beberapa tahun belum memiliki anak."

"Hm."

Hanji mengeratkan pegangan tangannya lebih kuat lagi. "Tapi sebenarnya hidupku sudah lengkap sedari awal, karena aku punya suami yang mau mendampingiku meski aku punya banyak kekurangan, meski aku belum bisa memberinya keturunan selama beberapa tahun."

Levi mengacak poni Hanji. "Ya."

"Aku mencintaimu, Levi."

"Hn. Dan Eren. Dan Taka," Levi menambahkan.

"Ya. Kau benar."

Nada ketiga untuk sepasang melodi yang menjalin cinta itu benar-benar hadir, melengkapinya, membentuk harmoni yang nyaris sempurna.

end.


A/N: finally it's dooooone! sorry for the late update, lagi bagi waktu buat nulis yang lain dan project dunia nyata juga :") dan aku mau ucapin terima kasih banyak buat kalian semua yang udah baca (baik silent atau nggak), yang review, fave, follow, dan ngasih saran serta pendapat. kalian yang terbaik! aku ngga bisa nyebut satu per satu, karena aku yakin ada banyak orang yang nggak bilang bahwa baca ini hehe. awalnya aku ngga nyangka tanggapannya sampai kayak ini. kalian benar-benar ngasih semangat aku buat berkarya lebih banyak lagi. semoga kalian juga mendapat semangat dari karyaku, aamiin \o/

sampai jumpa di fanfic lain! dan sekali lagi, terima kasih banyak buat dukungannya *throws love-shaped confetti*