Hola minna (:

Hehe, aku bawa fict baru nih.. kali ini pairing nya bukan Sasufemnaru seperti biasa.. ngga tau kenapa lagi kepingin ngetik ff dengan pair GaaHina, yah mungkin aku kena effect membaca ff GaaHina, jadi begini deh :v dengan judul Vi Aspetto ^^" aku lupa itu bahasa apa dan artinnya apa –sweaar -_- tapi pokoknya menceritakan tentang ..

Ah baca aja sendiri ! :)

Summary : Hinata Hyuuga, gadis miskin yang kuper dan selalu dijauhi. Suatu hari, dia mendapatkan pekerjaan yang sangat menguntungkan bagi kehidupannya, menjadi pembantu. Bagaimana kalau sang majikan adalah orang yang sangat menyebalkan dan keras kepala ? bad summary :') Gaahina don't like don't read ! RnR please ^^

Warning : Seperti biasa, gaje.. miss typo(s), alur gaje , word yang pendek dan masih banyak kesalahan yang lain..

Selamat membaca ! ^^

"Hinata.. uhuk uhuk.." seorang laki-laki tua yang nampak pucat terbatuk dengan keras sambil memegangi dadanya yang terasa sakit. Sekali lihat saja, semua pasti tahu kalau laki-laki itu samasekali tidak sehat. Beberapa orang yang berada dalam bus itu nampak tidak nyaman akan kehadirannya. Takut kalau penyakit yang diderita laki-laki itu jangkit pada mereka.

TBC.. (aduh aku lupa kepanjangannya, tuberklosis [typo] apaan itu beneran deh lupa –-v) itulah penyakit yang diterita laki-laki tua ini. Rambut cokelatnya yang sudah dihiasi banyak rambut putih nampak kusam dengan iris lavendernya yang sayu. Badannya kurus dan sering batu-batuk.

Itulah tujuan utama mereka pergi ke kota, agar laki-laki tua itu mendapat pengobatan dengan penyakitnya. Menurut kabar, ada rumah sakit besar milik pemerintah yang mau merawat orang-orang tidak mampu seperti mereka. Jadi orang tidak mampu itu hanya dikenakan biaya 30% dari biaya sesungguhnya. Bermodalkan uang secukupnya, mereka pergi menuju Konoha.

"Ya, ayah ?" tanya seorang anak perempuan kecil yang nampak imut. Tubuh dan wajahnya menunjukan bahwa perempuan itu masih duduk dibangku sekolah menengah pertama. Tetapi sebenarnya ia sudah duduk dibangku kelas XI sekolah menengah akhir. Selain membawa ayahnya untuk berobat, tujuan mereka untuk pindah dari desa adalah karena dirinya mendapat beasiswa setahun penuh di sebuah SMA Konoha yang membuatnya bisa bersekolah gratis sampai lulus disana.

"Minum." kata sang ayah dengan suara serak. Hinata segera mengambil botol air yang berada disamping tas tuanya yang lusuh, membukakan tutupnya dan menyerahkan air itu pada sang ayah. Dia sendiri merasa sangat haus saat ini. Tetapi persediaan air mereka sisa sebotol air mineral saja sementara perjalanan masih memakan waktu 3 jam lagi.

Dengan sabar, ia mengelus punggung ayahnya yang sedang meminum air tersebut dengan perlahan. Pandangannya menatap sedih pada sang ayah. Sudah satu tahun sejak kematian ibu dan adiknya, ia tinggal berdua dengan sang ayah. Ayahnya itu selalu berusaha mencari kerja , tetapi tidak ada yang menerimanya karena penyakitnya yang membahayakan.

Mungkin dikota nanti, dia bisa bekerja part time disebuah toko atau apalah itu, yang penting halal dan bisa mencukupi kebutuhan ia dan ayahnya.. juga biaya pengobatan sang ayah, yang mungkin akan memakan separuh dari gajih yang diterimanya per bulan. Semua juga tahu kalau harga obat saat ini samasekali tidak murah.

Hinata dan ayahnya, Hiashi, turun dari bus yang mereka tumpangi di sebuah halte di Konoha, bersama beberapa orang lainnya. Nah, sekarang mereka akan kemana ?

"Ano, permisi." Hinata menepuk bahu seorang perempuan berkepang empat yang sedang memunggunginya. Perempuan itu menoleh pada Hinata dan mengernyit heran sebelum menjawab datar, "Ada apa ?" tanyanya.

"A-apakah disini a-ada k-kontrakan yang cukup untukku d-dan ayahku ?" tanya Hinata dengan perkataan gagapnya seperti biasa, dan melirik sang ayah sebentar. Si perempuan berkuncir nampak tersenyum tipis. "Aku baru saja membuka beberapa rumah sewaan. Peralatan didalamnya kurasa cukup lengkap. Bagaimana ?" tanyanya.

Lavender hinata berkilat-kilat, senang sekali mendengar penuturan perempuan ini. "B-berapa uang s-sewa nya per bulan ? s-supaya s-saya mencari p-pekerjaan yang pantas untuk m-membayarnya." jelas Hinata. Si perempuan nampak tertarik dengan perempuan didepannya.

"Apakah kau mau bekerja sebagai pembantu kami ? salah satu pembantu kami menikah dan meninggalkan pekerjaannya. Gaji yang kamu terima sebanyak lima ratus ribu yen per bulannya. Dan biaya rumah sewaan ku , seratus ribu yen ber bulan. Aku bisa memotong gajihmu untuk itu. Bagaimana ?" tawar perempuan itu.

Hinata sangat bahagia. Lima puluh ribu yen sangat cukup untuk kehidupannya dengan sang ayah yang terbiasa dengan tingkat kemiskinan tinggi. Karena biasanya sang ayah hanya mendapat paling banyak lima puluh ribu dalam seminggu, dan sangat sulit mengatur pembelanjaan mereka. Sampai kadang tidak ada jatah makan siang samasekali.

"A-aku mau !" kata Hinata bahagia. Suaranya sangat lega , air matanya sudah menggenang saking senangnya. Si perempuan mengangguk setuju akan itu. "Kamu sekolah ?" tanyanya. Hinata mengangguk kemudian menambahkan, "Aku mendapatkan beasiswa di Konoha Gakuen sampai lulus nanti."imbuhnya.

"Ah, kalian masuk pukul enam pagi hingga dua belas siang, kan ? kau bisa mulai bekerja setelah makan siang hingga sebelum makan malam." jelas si perempuan. Hinata mengangguk. Sedikit bingung karena perempuan itu tahu jadwal sekolahnya , wajahnya samasekali tidak menunjukan bahwa dia adalah murid sekolah.

"Baiklah. Kalian bisa ikut mobilku. Rumah sewaan dan rumah kami hanya berjarak sekitar tiga ratus meter. Cukup dekat, jadi kau tidak perlu menaiki angkutan umum." jelas si perempuan dengan nada halus. Hinata menangis haru, "A-arigato gozaimasu !" katanya sambil memusut air matanya.

"Yah, sama-sama. Siapa namamu ?" tanya perempuan pirang itu. "H-hinata Hyuuga." jawab Hinata sambil mengangguk hormat. "Ah, nama yang cantik." kata perempuan itu lagi. "A-ah, arigatou um—" Hinata sedikit bingung karena dari tadi perempuan itu samasekali tidak menyebutkan namanya.

"Sabaku Temari." jawab perempuan itu pasti sambil tersenyum manis. "Arigatou Sabaku-sama." kata Hinata dan ayahnya secara bersamaan. "Hai, ayo masuk akan kuantarkan kalian." jelas Temari sambil membuka pintu mobilnya dan mempersilahkan Hinata dan ayahnya untuk masuk.

Hinata terkagum-kagum melihat isi mobil itu. Begitu mewah. Musik klasik mengalun lembut membuatnya memejamkan mata menikmati alunan musik tersebut. Rasa dingin dari mobil itu juga menyambutnya, dan dia juga tidak terlalu bodoh untuk tidak mengetahui kalau itu adalah air conditioner.

"S-sabaku Sama.. ini masih pagi buta. S-sabaku sama dari mana ?" tanya Hinata , mencoba membuka percakapan dengan sang majikan. "Aku menunggu Ibu dan Ayahku tiba , katanya mereka tiba di halte yang tadi. Tapi aku ketiduran , sehingga ketika aku tiba di halte, mereka sudah lebih dulu naik taksi." Jelas Temari.

"O-oh.. begitu, ya ?" kata Hinata. "Oh ya, tugasmu hanya menyapu dan mengepel isi rumah. Sesekali kau juga harus bantu aku ya kalau disuruh memasak. Hehe." Temari tertawa kecil. "A-ah pasti Sabaku-sama." Jawab Hinata ramah. "Panggil Temari saja, dipanggil Sabaku membuat aku seperti laki-laki saja" Ucap Temari. "B-baik Temari-sama." "Ah, begitu terdengar lebih baik."

...

"Ini rumah kami." Temari menunjuk rumah bertingkat dua yang sangaaaat besar. Mungkin seribu kali lebih besar dari rumah Hinata dan ayahnya dikampung dulu. Rumah itu berwarna putih susu dengan warna keemasan disetiap ujungnya yang mendetail, membentuk pola-pola tertentu dengan pagar tinggi dan pos kemanan.

Hinata menutup mulutnya dengan telapak tangan yang tidak sengaja menganga melihat kemegahan rumah tersebut. Perlahan akhirnya mereka melewati –menurut Hinata itu adalah istana- rumah besar Sabaku.

Temari memarkirkan mobilnya disebuah tanah luas yang diisi 6 bangunan serupa, dan sekali lihat saja Hinata tahu kalau itu adalah rumah sewaan yang dimaksud. Lebih besar dari rumahnya bersama sang ayah. Dia sangat bersyukur pada Tuhan, karena dia langsung menemukan rumah dan pekerjaan.

"Ayah, bangun." Hinata menepuk pelan pipi ayahnya . dipunggungnya sudah membawa ransel besar, sepertinya barang mereka untuk tinggal disana. Perjalanan yang memakan waktu satu jam penuh membuat sang ayah terlena dan jatuh tertidur.

"Sekali lagi , A-arigatou Temari-s-sama." Hinata mengangguk dan menutup pintu rumah baru mereka ketika Temari membalasnya dengan senyum tipis dan membalikan mobilnya untuk kembali pulang. Hiashi langsung duduk di sofa dengan penuh syukur. Sementara Hinata langsung merapikan barang mereka.

"Ayah, aku tidur dulu, ya.. aku harus sekolah nanti." Kata Hinata pelan sambil memasuki satu dari dua kamar yang tersedia. Hiashi hanya mengangguk dalam diam, entah apa yang dipikirkan laki-laki tua itu. Sementara Hinata langsung terlelap dengan mudah dikasur empuknya yang baru.

Well, ini adalah kehidupan baru untuknya.

...

Jam berapapun tidurnya, Hinata pasti bangun pukul setengah enam pagi , walaupun matanya masih terasa berat karena mengantuk. Segeralah ia mencuci mukanya dan mengenakan seragam sekolahnya yang baru.

Seragam putih lengan pendek, dengan dasi berbentuk pita dengan bahan kain yang bercorak sama dengan rok panjangnya, biru kotak-kotak hitam. Rambut indigonya diikat tinggi-tinggi , menampilkan leher jenjangnya yang putih seperti susu. Mungkin aneh karena sekolah itu menyediakan rok 10 cm diatas lutut, sementara rok miliknya panjang sampai selutut.

Entahlah, bukannya tidak menaati peraturan sekolah. Tetapi membayangkan rok pendek saja aneh, apalagi memakainya. Astaga.. apa tidak masuk angin yah kalau musim dingin nanti ? sementara kaki mereka hanya terbalut kaos kaki tipis yang panjang. Pikir Hinata sambil mengenakan kaos kakinya selutut. Bodoh. Kakinya samasekali tak nampak karena rok panjangnya dan kaos kakinya yang ditarik kelewat tinggi.

Dia menyiapkan roti yang tersedia didapur menjadi roti bakar dengan praktis. Dan memakannya sebagai sarapan, lalu meninggalkan dua potong roti bakar lagi untuk sang ayah. Dia meneguk air minumnya sebagai pelarut dengan cepat dan langsung keluar rumah dengan uang seadanya.

Awalnya ia sedikit kebingungan untuk mencari jalan menuju sekolahnya. Namun ia langsung memutuskan untuk mengikuti gerombolan siswi yang berseragam yang sama dengannya. 'Aku pasti sampai disekolah, dan aku tinggal menghafal jalannya saja.' Gumam Hinata sambil mengikuti siswi itu dalam diam.

Setelah beberapa saat kemudian, Hinata sedikit terkejut ketika gerombolan siswi itu berlari dengan cepat sambil berteriak histeris. Hinata yang mengira ada sebuah perkelahian, pembunuhan, pencurian dan sebagainnya tanpa ba bi bu lagi langsung ikut berlari dengan kecepatan larinya yang biasa saja.

Setibanya ditempat siswi-siswi yang ternyata sudah banyak yang bergerombol dan berteriak, Hinata jadi bingung sendiri ketika tidak mendapati apa-apa disana. Mengira siswi-siswi itu sinting, ia berjalan sambil sesekali melihat genangan air yang memantulkan wajahnya.

Brumm..

Pcaak !

Hinata terdiam, tidak ada ekspresi yang berlebih kecuali matanya yang membulat sempurna. Sebuah mobil lamborgini merah melaju dengan cepat melewatinya, dan sukses membuatnya jadi tersiram genangan air. Rambutnya juga langsung acak-acakan ketika ada angin dahsyat sesaat yang timbul karena kecepatan yang digunakan lamborgini itu.

Siswi siswi yang awalnya berteriak dan memekik begitu berisik ketika pandangan mereka teralih pada satu hal yang lebih menarik saat ini, Hinata. "Lihat, murid baru yang malang ! sekolah ini benar-benar tidak suka dengan murid beasiswa seperti dia !" entah siapa yang berkata begitu, semua jadi tertawa dan membenarkan perkataan –entah siapa itu-

Hinata memandang dirinya yang tampak menyedihkan saat ini, seragamnya basah dibeberapa titik dengan meninggalkan noda kuning kecokelatan, alias lumpur. Rambutnya juga sudah jauh dari kata rapi. Dia menundukkan kepalanya begitu dalam, dan berjalan kedalam gerbang sekolah tak tentu arah.

Tetapi yang terjadi ia malah berputar kembali menuju ke parkiran. Tetapi kali ini tempat parkiran yang sepi , tidak seperti tadi. Hinata nyaris menangis. Dia sangat malu dengan kejadian tadi , dan sangat malu dengan tampilannya saat ini. Tapi, seseorang yang turun dari mobil lamborgini merah tadi tiba-tiba membuatnya jengkel.

Laki-laki tanpa alis itu, mata jade nya yang agak sipit nampak memandang dingin dan tajam, dengan harga diri tinggi hanya dengan sekali lihat saja. Lagipula , dari penampilannya saja sudah ketahuan, anak orang berduit. Tidak sepertinya. Rambut merah bata laki-laki itu tertiup angin dengan pelan, yang membuatnya nampak mudah dikenali adalah dengan adanya tato 'Ai' pada dahi kirinya.

"K-kau." Hinata memandang tajam laki-laki itu. Laki-laki berambut merah tadi memandang Hinata tidak tertarik. Namun berhasil menarik perhatiannya ketika ia melihat penampilan gadis itu saat ini. "Kau yang melewati genangan air itu dan membuatku dipermalukan !" Hinata berkacak pinggang.

Yang harus diketahui dari seorang Hinata Hyuuga adalah.. ketika gadis itu sedang diliputi rasa jengkel dan marah.. ia samasekali tidak gagap , tidak pemalu dan tidak perduli pada kesopanan. Yah, seperti saat ini. "Ho, jadi kau murid baru itu, ya ?" dengus si tato Ai. Hinata menggembungkan pipinya karena si laki-laki tampak tak perduli dengan kemarahannya.

"Kau harus tanggung jawab !"

"Apa ? jadi aku harus melucuti pakaianmu dan mencucinya.. sehingga kau tidak mengenakan seragam, begitu ?"

"K-kau gila." Hinata memandang horor laki-laki itu dengan wajah sedikit memerah.

"P-pokoknya kau harus lebih hati-hati berkendara ! a-awas saja kalau aku kembali jadi korbannya, menyebalkan." dengus Hinata kecil sambil berbalik meninggalkan laki-laki itu yang memandangnya datar, mungkin hanya Hinata yang tidak sadar kalau ada seseorang yang memandang mereka berdua tak kalah horor. Gaara sendiri mengacuhkan orang tersebut.

Jadilah dia harus bolos jam pertama karena me laundry pakaiannya , sementara dia hanya dipinjami baju kaos oleh pemilik laundry. Nice. Hari pertama masuk yang benar-benar sial. Hinata jadi takut dimarahi mengingat ini pertama kalinya dia bolos sekolah.

Sekembalinya dari laundry, Hinata berjalan kikuk menuju ruang administrasi untuk menayakan kelasnya. Dan ternyata dia duduk dikelas XB. Beruntung baginya, ia tidak dimarahi seorangpun ketika ia bolos jam pertama karena guru yang seharusnya mengajar malah tidak masuk sekolah hari ini.

"Beraninya !"

PLAK !

Hinata memegang pipinya yang terasa panas. Air matanya mulai menumpuk dipelupuk matanya, tetapi ia berusaha menahan laju air mata itu , dan memandang keempat gadis berwajah garang didepannya ini. Apalagi yang berambut cokelat sebahu, Hinata tidak tahu itu siapa tapi pandangan onyx nya benar-benar menusuk.

"A-apa salahku ?" meskipun sulit Hinata berusaha bertanya pada keempat orang itu. Tiba-tiba saja ia ditarik kebelakang sekolah dan ditampar dengan keras. "Apa salahku katamu ? kau berani sekali mebentak Gaara-kun !" teriak gadis berambut cokelat tadi , iris basah Hinata membulat, tahu penyebab ini semua.

Ia mendunduk ketika keempat gadis itu memakinya dengan kata-kata kasar, membuat nyalinya ciut. "Ini akan membekas dan membuatmu ingat kalau Gaara-kun tidak boleh dibentak seperti itu ! dasar murid baru sialan ! ayo potong rambutnya !" kata gadis itu lagi. Ketiga kaki tangannya mulai mengepung Hinata supaya tidak lari.

Hinata hanya menunduk ketakutan sambil berusaha dalam hatinya untuk berlari sekuat tenaga dalam hitungan ketiga.

Crashh ! rambut ikat kudanya terurai begitu saja saat rambut indigonya jatuh ke tanah.

Satu ..

"Bagus, gunduli saja, biar aku yang lakukan selanjutnya.."

Dua…

Tiga !

Hinata menubruk gadis berambut cokelat itu tadi, tidak lagi perduli pada norma kesopanan yang berlaku, membuat si gadis yang tanpa persiapan langsung jatuh terjerembab menimpa ketiga teman-temannya. Sayangnya, di saat terakhir ia terkena sebuah pukulan keras pada lehernya, mungkin inginnya ditengkuk, tapi meleset.

Hinata nyaris saja limbung dan jatuh pingsan disana, tetapi ia kembali menguatkan dirinya Hinata tidak perduli orang orang yang memandangnya dengan tatapan aneh, dia langsung berlari menuju kelas matematika nya dengan wajah yang sangat pucat, menyedihkan.

Semua pandangan tertuju padanya dikelas. Ketika awalnya ia memiliki rambut indigo sepinggang yang diikat kuda , sekarang

sisa sebahu (potongannya lurus biasa aja, bukan seperti Hinata waktu kecil. Soalnya menurutku rambutnya waktu kecil itu jelek sekali.)

Parahnya, gadis itu cemberut sepanjang pelajaran. Tetapi orang-orang memilih untuk tidak perduli dan mengacuhkannya ketika sang guru yang galak jauh lebih menarik perhatian mereka. Hinata menghela nafas berat sambil memejamkan matanya. ' . . .' tekadnya.

.

TBC ^^

Word ku pendek-pendek aja, ya ? xD 2k+ cukuplah kurasa *dipukulpakepalu*

Review ? :)

11