Haloooo semuanyaaa..

Buat yg udah pada request, sabar ya.. Chapter depan mungkin lagunya muncul. ;;)

Buat yang mungkin belum terlalu mengerti, fic ini adalah drabble. Jadi, perchapter langsung tamat, perchapter engga ada hubungan loh. Dan perchapter itu based on satu lagu atau song fic.

(!) Tidak diharuskan mengenal lagu sebelum membaca, karena pada dasarnya lagu itu hanya menginspirasi.

Enjoy..

Disclaimer : Masashi Kishimoto.

Warning chapter ini : OOc kah? :l typos as always. AU. So many flashbacks, gomen buat yang ngebaca lewat hp, mungkin bakal tidak kelihatan flashbacknya. Jadi, tau-tau sendiri aja yaaa. #duakh. Ending gantung bikin geram.

Song#4

Missing You - 2NE1, special made for Riki Inuzuka.

.

.

Italic: Past (Flashback)

Non italic: Present

.

.

.

Hinata Hyuuga menerawang jauh, menikmati hiruk pikuk kehidupan kota maju di depan matanya. Menikmati aktivitas setiap manusia instan di kotanya, dari atas jendela kantornya di lantai 22 adalah yang terbaik. Ia juga bisa sekalian melihat pemandangan kota dari tempatnya berdiri.

Kini, setiap teman di kantornya mengerubungi atasan marketing tempat kerjanya yang baru, Naruto Namikaze. Seorang pemuda tampan dan cakap, yang tiga tahun lalu lulus di universitas taraf internasional terkenal di kota itu.

Saat pertama kali masuk, ia langsung mendapat jabatan yang lumayan tinggi, seorang manager, ruangan untuk dirinya sendiri, dan tunjangan pribadi.

Hinata memang tidak lebih tinggi dari jabatannya dari Naruto. Atau bisa dibilang mereka setara. Namun, Hinata memang sudah lebih dulu bekerja di sana.

Namun bukan itu yang membuatnya tidak betah dengan keberadaan Naruto sejak tadi, namun karena ia dan Naruto pernah menjadi sepasang kekasih ketika kuliah.

Naruto keluar dari kerubungan teman-teman barunya karena jam makan siang sudah berakhir, sementara Hinata kembali ke ruangannya. Hinata membuka kacamatanya, meletakkannya di kotak, dan mulai membuka laptopnya yang tertutup.

Tiga buah tepukan pintu terdengar di pintu membuat Hinata sejenak menengadah.

"Masuk," Sapanya dari dalam.

Pintu terbuka, dan beberapa detik kemudian sebuah kepala muncul dari sisi kanan pintu, kepala berambut kuning jabrik seperti durian.

"Hai, Hinata-chan." Sapanya ramah seperti biasa.

.

.

Jangan merasa nyaman seperti itu.

.

.

'Kemana Naruto-kun?'

Hinata meraung-raungkan keberadaan Naruto dalam hatinya, yang tak kunjung datang dan menemaninya.

Pada hari itu, mereka sebagai asisten dosen harus menggantikan sang dosen mengajar. Namun, yang kini muncul di kelas hanya Hinata, sementara Naruto belum datang. Bagi Hinata, ini adalah pengalaman pertamanya mengajar, tapi bagi Naruto ini adalah kebiasaannya sehari-hari.

'Bagaimana, ini? Apa aku mulai saja, ya?' Batinnya dalam hati. Ragu.

Hinata kembali bingung. Ia gugup. Ia memang hanya seorang mahasiswi biasa yang pemalu. Mengajar puluhan manusia sendirian akan membuatnya pingsan.

"Ja-ja-jadi, semua su-sudah disini, ya?" Pertanyaan Hinata di depan kelas tak terjawab, atau lebih tepatnya tidak ada yang mau menjawab. Hal ini membuatnya menjadi lebih kacau dari sebelumnya. "K-kita absen dulu, ya."

Tiga ketukan di pintu membuat Hinata berpaling sebentar.

Pintu terbuka, dan beberapa detik kemudian sebuah kepala berambut kuning jabrik seperti durian muncul dari sisi kanan pintu, lalu tersenyum lebar kepada Hinata.

"Selamat pagi semua! Maaf aku terlambat!" Teriak Naruto di depan kelas dengan semangat, membuat seisi kelas tertular semangatnya. Para mahasiswa disana seketika tersenyum, sementara Hinata menghembuskan nafas lega.

Naruto mendekat ke arah Hinata, lalu berbisik, "Maafkan aku, Hinata-chan. Tadi mobilku bannya kempes di jalan. Lalu aku langsung berlari ke sini."

"Ka-kamu berlari?" Tanya Hinata kaget.

"Ya. Aku tidak mau meninggalkanmu sendirian." Jawab Naruto sambil mengecup singkat pipi Hinata, dan membuat seisi kelas heboh melihat dua buah manusia yang sedang mabuk cinta pamer kemesraan di depan kelas.

.

.

Karena kita masih begitu asing.

.

.

"Ada yang bisa saya bantu, Namikaze Naruto-kun?" Tanya Hinata ramah dan sopan namun terkesan acuh tak acuh, terlebih dengan mata tidak berani menatap Naruto. Ia tetap fokus dengan laptopnya, sementara jari tangan kanannya sibuk menekan-nekan mouse.

"A-a, tidak usah terlalu formal begitu, Hinata-chan." Naruto menggaruk kepalanya dengan canggung.

"Ini kantor, Namikaze-kun. Kita harus bersikap seformal mungkin." Hinata membuka kotak kacamatanya, lalu memakai kedua kaca berlensa itu di matanya.

"Bahkan denganku?"

Hinata terkesiap. Ia menoleh dengan cepat dan menatap Naruto.

"Bahkan. Denganmu. Namikaze-kun." Katanya lambat-lambat.

"Hinata-chan, maafkan aku." Naruto berkata demikian, lalu melangkah keluar dari ruang pribadi Hinata.

Setelah pintu tertutup, Hinata membuka kacamatanya yang terasa berembun karena nafasnya begitu berat.

"Ah, sial."

.

.

"Mau pulang bersama?" Naruto tiba-tiba mendekat ke arah Hinata saat ia keluar dari ruangannya. Hinata yang semula kaget, berusaha berjalan seperti biasa.

"Aku bawa mobil sendiri, Namikaze-kun." Kata Hinata santai, tanpa menghentikan langkahnya. Ia menuju lift dan menekan tombol untuk turun. Tampak angka-angka lantai yang naik di atas lift.

"Kita bisa konvoi." Ide Naruto tercetus tiba-tiba, membuat Hinata menoleh ke arahnya.

Ting.

Lift terbuka, Hinata yang sudah membuka mulut untuk membantah langsung terdiam tiba-tiba, dan melangkah masuk ke dalan lift.

"Bagaimana?" Tanya Naruto setelah sebelumnya mengikuti masuk ke dalam lift.

"Tidak, Namikaze-kun. Itu boros biaya dan waktu." Hinata menatap ke arah pintu lift yang sudah tertutup, berusaha sebisa mungkin menghindari kontak mata dengan Naruto.

.

.

Jangan mendesakku seperti anak kecil.

.

.

"Hinata-chan, ayo aku antar pulang." Naruto berjalan santai sambil menggenggam tangan Hinata, lalu mengayun-ayunkan tangan itu tinggi sambil tersenyum senang.

"Aku bawa mobil sendiri, loh." Jawab Hinata mengikuti ayunan tangan Naruto.

"Bagaimana kalau kita konvoi?" Usul Naruto. Hinata tertawa. Mereka tidak mungkin konvoi menggunakan mobil. Kalau dengan sepeda motor sih, oke. Hinata menggeleng, membuat Naruto mencari opsi lain di benaknya.

"Kalau begitu, mobilku tinggal disini saja. Kamu antar aku pulang ya." Usul Naruto ketika mereka sudah sampai di tempat parkir. Mobil Hinata dan Naruto yang terparkir bersebelahan sudah nampak di depan mata.

"Kenapa begitu?" Tanya Hinata sambil mengambil kunci mobilnya dari kantung.

"Supaya kita bisa lebih lama bersama." Balas Naruto enteng dengan cengirannya yang biasa.

Pipi Hinata memerah, membuat Naruto tertawa senang.

"Tidak apa-apa mobil Naruto-kun disini?"

"Tidak apa, nanti sore aku akan mengambilnya lagi."

Hinata tersenyum, Naruto selalu punya cara untuk membuat hatinya terasa hangat.

.

.

Karena ini bahkan belum dimulai.

.

.

Mereka berpisah di basement, dimana Naruto melangkah ke kiri, sementara Hinata melangkah ke kanan. Di tengah jalan, Naruto berbalik untuk melihat Hinata, yang saat itu berjalan cepat dan memunggunginya. Setelah itu ia kembali berjalan.

Tak lama kemudian, Hinata tak kuasa menahan keinginannya untuk berbalik menghadap ke belakang, dan melihat punggung Naruto yang sedang berjalan membelakanginya.

Hinata menghela nafas berat, merogoh tasnya untuk mencari kunci mobilnya. Namun, sudah beberapa kali mencari, ia tidak mendapatkannya. Hinata sempat bingung, lalu membongkar isi tasnya satu per satu. Masih diterpa kebingungan, tiba-tiba ia ingat meminjamkan kunci mobilnya pada vallet kantornya, dan saat kunci mobil itu dikembalikan, ia tidak menyimpannya di tas, melainkan di laci mejanya.

Berarti, ia harus naik lagi ke lantai 22 dan kembali ke mobilnya.

Tidak menghiraukan barang-barangnya yang berserakan di kap mobil, Hinata hanya mengambil hp dan dompet dan membawanya kembali masuk kantor. Sementara tas dan isinya ia biarkan di kap mobil sedan itu.

Toh, juga tak ada barang berharga di dalamnya.

Ketika ia masuk, lobby sudah sangat kosong. Lampu-lampu malam dipasang dan membuat kantor itu terang. Hinata berjalan santai menuju ke lift, namun ternyata lift sudah dimatikan.

Ia mencoba lift lain di seberang, namun lift itu juga sudah dimatikan. Hinata menggigit bibirnya bingung. Sempat terpikirnya untuk menaiki tangga darurat, namun jika kantornya ada di lantai dua atau empat sih tidak masalah. Tapi sekarang, kantornya ada di lantai 22.

Hinata menghela nafas, tidak mungkin ia naik-turun tangga hingga lantai 22 demi seonggok kunci mobil dengan gantungan Miku Hatsune itu. Bisa-bisa ia terjebak sampai pagi di gedung itu.

Berjalan gontai, Hinata kembali ke basement untuk mengambil tasnya dan berniat memanggil taksi. Namun, ketika ia sudah sampai di basement, ia melihat mobil Lexus Naruto terparkir di samping mobilnya.

"Kamu tidak pulang?" Tanya Naruto setelah menurunkan kaca mobilnya.

"Tidak. Kunci mobilku tinggal di meja." Balas Hinata singkat, lalu merapikan barang-barangnya yang masih berserakan di kap mobil. Setelah semua barang ia masukkan, ia menunduk hormat basa-basi sebentar dan berjalan keluar basement.

Hinata berjalan di trotoar. Hari itu sudah malam dan tumben sekali jalanan sudah sangat sepi. Selain itu, tidak ada taksi yang akan lewat dan kakinya terasa sakit.

Hinata berhenti dan mengangkat kakinya, membuka sepatu hak tingginya dan berjalan tanpa alas kaki. Lebih baik begitu daripada kakinya lecet karena hampir 12 jam lebih memakai sepatu hak tinggi itu, pikirnya. Lagipula, trotoar jalan di kotanya bebas duri dan bebas kotoran. Mungkin setelah pulang kakinya hanya dipenuhi debu dan tanah.

Suara mobil yang halus membuat Hinata sedikit menoleh, dan mendapati Naruto dan mobilnya membuntutinya dari belakang dengan kecepatan sangat rendah, berusaha menyamai kecepatannya dengan langkah kaki kecil Hinata.

"Mau aku antar, Hinata?" Tawar Naruto ramah, sementara Hinata hanya tersenyum sedikit dan melanjutkan perjalanannya.

"Ayolah, Hinata. Kakimu bisa sakit kalau terus-terusan berjalan tanpa alas seperti itu." Naruto membujuk Hinata, membuat Hinata akhirnya mau menatap Naruto.

"Ayo, naik."

.

.

Lagu-lagu dari radio terdengar sendu, dan ac di mobil Naruto sangat dingin. Suasana yang sepi dan hening membuat Hinata hanya bisa melamun dan sesekali menguap.

"Apa apartemenmu masih yang dulu?" Tanya Naruto sambil memutar stirnya ke kanan.

Hinata mengangguk.

Naruto tersenyum. Apartemen Hinata masih lumayan jauh, dan ia sengaja menyetir lambat-lambat karena ia ingin lebih lama bersama Hinata.

Lampu-lampu jalan yang membosankan, malam yang gelap, dan pekerjaan yang melelahkan membuat Hinata mengantuk, kepalanya mengangguk-angguk mengikuti hasratnya yang sudah hampir tertidur. Lagipula, jok mobil Naruto sangat nyaman, membuat ia dengan mudah terlelap dalam tidurnya.

"Hinata, kita sudah sampai." Naruto berkata lambat dan pelan menuju akhir kalimatnya, terkejut melihat Hinata yang sudah nyaman dengan posisi tidurnya sambil terduduk bertumpu bahunya dan jok sebelah kanan.

Naruto tersenyum simpul, lalu tatapannya berubah sendu.

Ia menatap Hinata lama, menelusuri setiap inchi wajah mantan kekasihnya itu.

"Hei, aku kangen."

Naruto membuka dompetnya dan mengeluarkan sebuah kunci yang disimpannya dari dulu. Ia lalu keluar dari mobil.

Ia memanggil petugas keamanan dan menyerahkan kunci itu, meminta satpam itu untuk mengikutinya dan membukakan pintu mobilnya untuk Hinata.

Setelah itu ia dan satpam kembali ke mobil dan membuka pintu mobil tempat Hinata duduk.

Naruto mengambil tas Hinata dan memberikannya ke satpam, yang diterima dengan senang hati. Setelah itu ia membuka seat belt dan menggendong gadis itu di depannya. Setelah itu ia berbalik dan sang satpam menutupkan pintu mobil untuknya.

"Lantai sembilan, pak." Ujar Naruto ketika mereka sudah masuk lift, membuat satpam itu mengangguk.

Setelah menemukan apartemen nomor 926, sang satpam membukakan pintu rumah Hinata dengan kunci yang diberikan oleh Naruto.

"Hmm... Bapak pasti orang berharga untuk Nona Hinata." Ujarnya sambil tersenyum memandang Hinata yang sudah nyaman berada di dekapan Naruto.

"Mengapa begitu?"

"Yah, karena pintu-pintu disini sudah lama memakai password. Kalau Nona Hinata memberikan kunci cadangan rumahnya, berarti ia sudah sangat dekat dengan bapak."

Naruto hanya tersenyum. Ia pandangi lagi Hinata yang kepalanya bersandar penuh di dadanya.

Setelah membukakan pintu, satpam itu mengangguk dan berlalu, dan Naruto masuk ke dalam rumah Hinata.

Tempat itu belum berubah, pikirnya. Ia akan selalu melihat foto keluarga Hinata terpajang diatas perapian, dan beberapa figurin Miku Hatsune ada di lemari kacanya.

Ia menemukan kamar Hinata dan membukanya. Kamar itu pun belum berubah, interior dan hiasan khas Hinata sangat kentara di kamar berwallpaper floral itu.

Ia baringkan sang hime di tempat tidur, lalu membukakan sepatunya. Setelah itu ia menghidupkan ac dan memakaikan Hinata selimut.

Naruto menatap Hinata yang damai dalam mimpinya itu pelan, lalu membelai rambut birunya. "Setelah semua yang terjadi, aku tak menyangka kunci itu masih bisa membuka pintu rumahmu, Hinata."

.

.

Jangan begitu cerah seperti itu

.

.

Hinata punya masalah dengan bangun pagi. Ia memang tidak bisa bangun dengan cepat, sehingga kadang ia harus menyetel tiga alarm dengan rentang waktu sepuluh menit untuk membangunkannya di pagi hari.

Malam itu Hinata terjaga hingga larut malam untuk membuat manuskrip untuk sebuah kontes manga di kotanya, dan sialnya ia lupa menyetel alarm untuk membangunkannya besok jam 6tepat.

Hinata baru berangkat menuju dunia mimpinya jam 2 pagi, dan ia lupa segalanya termasuk lupa mencuci muka dan menggosok giginya. Ia terjatuh di tempat tidur dan dengan cepat terlelap tidur.

Padahal esok pagi jam 8 ia punya kencan dengan Naruto.

Paginya Naruto sudah tepat waktu berdiri di depan apartemen Hinata. Ia sudah mengetuk beberapa kali, namun Hinata tidak menjawabnya. Ia juga sudah berkali-kali menelepon ke hp Hinata, namun hp gadis itu tidak aktif. Satu-satunya yang ia harapkan adalah telefon rumah yang letakknya di dapur dan sangat jauh dengan kamar Hinata. Mustahil tukang tidur seperti Hinata bisa mendengarnya.

Sudah setengah jam Naruto menunggu Hinata, kakinya sudah sangat pegal dan tahu-tahu ia sudah terduduk di pintu depan pintu apartemen Hinata.

Saat itu sekuritas apartemen dengan password belum dipasang, membuat Naruto sepenuhnya tidak bisa masuk ke dalam apartemen Hinata.

Sementara Hinata yang masih terlelap di tempat tidur ungunya bermimpi sedang berjalan-jalan di taman dan berkeliling sendirian. Ia berjalan santai dan selalu berpapasan dengan pasangan kekasih yang sedang kencan.

'Huuh, besok aku juga ada kencan dengan Naruto-kun.'

Dan selelap-lelapnya seseorang dalam tidur, ia teringat dengan kata-katanya sendiri lalu terbangun dengan mata membelalak.

"Ini kan sudah besok!" Serunya sambil melihat jamnya di dinding.

"Haaah?! Jam setengah sepuluh? Matilah aku!" Paniknya pada diri sendiri dan segera berlari dari kamarnya menuju pintu depan.

Sebuah hentakan keras yang Hinata buat di pintu depan membuat seorang dengan rambut pirang jabrik terjatuh dan terlentang di depan kaki Hinata.

Melihat Hinata yang sudah bangun dan membukakan pintu –walau dengan cara kasar, membuat Naruto pasti berpikir kalau gadis itu pasti ketiduran. Tampak dari muka bantalnya dan rambut birunya yang masih acak-acakan. Ia pasti tidak sempat untuk mencuci muka dan menggosok gigi saking terburu-burunya menerjang pintu depan.

Namun gadis itu masih terlihat imut dimatanya. Seakan di mata safir Naruto sudah terpasang photoshop setiap kali ia melihat Hinata. Selalu imut dan manis.

"Morning, princess." Sapanya setelah tersenyum dari posisi berbaringnya.

"Maaf, Naruto-kun. Kau pasti menunggu lama, ya." Hinata terduduk lemah di samping Naruto. Sementara Naruto yang mendengarnya bangun, dan ikut duduk disamping Hinata.

Hinata tertunduk dalam, tampak menyesali kelalaiannya yang membuat Naruto menunggu. Naruto tersenyum, lalu menyibak lembut rambut Hinata yang seperti tirai menutup muka tertunduknya.

"Hei..."

Hinata menengadah, menatap Naruto dengan mata yang berkaca-kaca.

"Tidak apa-apa, kok. Aku tidak masalah kalaupun aku harus menunggumu sampai malam. Lagipula, ini masih jam sepuluh, kan?" Naruto tersenyum, menyampirkan rambut yang tadi ia sibak ke belakang telinga Hinata. Setelah itu dengan tangan yang sama ia mengangkat dagu Hinata agar menghadapnya dengan jelas.

"Sekarang senyum, lalu mandi. Aku akan beli sarapan diluar. Okay?"

Hinata mengangguk dan tersenyum. Naruto yang melihatnya ikut tersenyum sekilas dan berdiri. Ia lantas mengulurkan tangan dan membantu Hinata berdiri.

"Mandilah, lalu dandan yang cantik ya."

Hinata mengangguk, lalu berbalik dan berjalan menuju kamarnya.

Namun ketika ia melihat gantungan tempat semua kunci-kuncinya, ia menyambar suatu kunci dan berbalik, berlari menuju Naruto.

"Naruto-kun!" Seru Hinata ketika Naruto sudah setengah membuka pintu untuk keluar.

Naruto berbalik, dan menemukan Hinata dengan wajah tertunduk berjalan ke arahnya. "Ada apa, Hinata?"

Hinata berhenti ketika ia tepat berada di depan Naruto. Ia menggapai tangan kanan Naruto yang tersampir santai di sisi badannya lalu membukanya, menyerahkan sebuah kunci dan menutup tangan Naruto hingga membentuk sebuah kepalan tangan.

"Apa ini?" Tanya Naruto lembut.

"I-itu kunci ca-cadangan rumahku." Cicit Hinata pelan.

Naruto yang melihat Hinata dengan wajah super merah dan terbata-bata mengatakan itu hanya tersenyum lebar dan menundukkan badannya hingga menjadi sejajar dengan Hinata. Ia lalu mendekat ke telinga Hinata dan berbisik.

"Kau tau, Hinata-chan? Kalau seseorang kekasih memberikan kekasihnya kunci cadangan rumahnya, berarti secara tidak langsung ia melamarnya loh." Goda Naruto dengan nada yang nakal.

Wajah Hinata semakin memerah, dan Naruto semakin gencar menggodanya. "Kamu sedang melamarku ya?"

Hinata semakin merasa panas, kini semburat merah hinggap hampir di sekujur tubuhnya. Ia segera membalikkan tubuh Naruto secara paksa dan mendorongnya keluar dari pintu rumahnya.

Ia termangu bersandar di depan pintu rumahnya. "Me-melamar?" Sejenak terlintas di kepalanya gambaran kehidupan rumah tangganya dengan Naruto. Bagaimana dekorasi pesta pernikahannya, baju pernikahannya, hingga malam pertamanya.

Ah, pemikirannya yang terakhir membuat wajahnya semakin merah.

"Kurasa aku harus mandi dengan air yang paling dingin."

.

.

Karena dunia ini begitu gelap

.

.

Hinata terbangun di pagi hari dengan wajah berantakan. Ia sama sekali tidak ingat turun dari mobilnya ataupun saat membuka pintu apartemennya. Lagipula, sengantuk apapun, ia pasti ingat untuk mengganti baju kerjanya dengan piyama bersih dan nyaman.

Hinata beranjak turun dan menemukan tasnya tergeletak di meja riasnya, dan lambat laun ingatannya akan tadi malam berangsur-berangsur jelas.

'Naruto...'

Hinata terdiam dan nafasnya tertahan beberapa detik ketika ia mengetahui siapa yang membawanya ke kamar dan menidurkannya di tempat tidur.

Bel di depan rumahnya membuat Hinata terlonjak dan segera berlari ke pintu depan rumahnya. Hatinya berdebar, menebak seseorang yang ada di depan pintu adalah Naruto.

"Naru–"

Ternyata bukan Naruto.

Hanya seorang salesman yang menatap Hinata heran.

"Ma-maaf." Kata Hinata pelan, lalu segera menutup pintu.

Ia menghela nafas, lalu kembali berjalan menuju kamarnya. Namun di ruang tengah, ia terdiam menatap ke arah suatu benda yang tergeletak di atas meja. Dengan cepat ia menghampirinya.

Sebuah kunci.

Jantung Hinata berdetak kencang, dengan segera ia mengambil kunci yang familiar itu dan berlari ke ruang depannya. Jantungnya hampir berlari keluar ketika kunci itu masuk ke lubang kuncinya dan berhasil digunakan.

Seketika pikirannya melayang ke memori beberapa tahun lalu, seiring dengan merosotnya tubuh Hinata menuju lantai. Ketika ia terduduk, matanya panas mengingat apa yang telah diingatnya, dengan kenyataan Naruto masih menyimpan kunci cadangan itu setelah semua yang terjadi.

Hinata menangis dalam diam, air matanya meluncur deras walaupun tanpa isakan. Tangannya bergetar menggenggam kunci itu.

"Na-naruto-kun... Aku, a-aku rindu."

Akhirnya satu kata itu lolos dari Hinata, ketika otaknya menyerah pada hatinya, membolehkan Hinata jujur pada perasaannya. Ia merindukan pemuda itu, ia berbohong kalau mengatakan ia membenci ataupun sudah tak mengacuhkan dia.

Hinata masih merindukan Naruto.

Walaupun hatinya masih kecewa, namun ia tak bisa mengelak, ia masih ingin bersamanya.

Hatinya mencelos, menyayangkan cinta masa mudanya, mengingat masa-masa ketika mereka masih bersama, merindukan masa-masa penuh bahagia mereka.

.

.

Bahkan jika waktu telah lama berlalu, kita masih akan mengingat satu sama lain

Saat-saat ketika masih ada kata "kita"

.

.

.

Tamat.

Tenong.

*dilempari sendal besi*

Maaf, maaaaf, maaafkaann akuuu! Aku tau ini gantung, tapi aku berusaha menyesuaikan dengan lagunyaaa. Cuma ini yang ada di otak saya. :(

Gomen kalau gaje, apalagi gantung gini kan. Wkwkwkw. Tapi tak apalah. Rasakan. *duagh!*

Terimakasih untuk para reader, reviewer, yang jadi alarm buat ijel untuk update setiap bulannya, dan semua yang sudah menambahkan ijel dan ficnya yang abal-abal kedalam alert maupun ke favoritnya. Itu apresiasi terbesar yang pernah ijel dapat sebagai seorang author.

Oh, ya. Aku masih buka request looh. Jadi kalau ada lagu kesayangan kalian yang mau dibuatin fic, aku akan senang kalau bisa membuatkannya. Silahkan pm atau review. Pasti bakal dibuat, cepat atau lambat hehehe.

Aku akan sangat senang kalau kalian mau berbagi komentar di review. Hehee.

See you at 5th.

Ciaooo,

Chrizzle

.

.

Replies,

Yamanakavidi: thanks, okedeh. Ditunggu ya lagunya.

Tayuya: thanks, ohiya, lagu kamu nunggu ya sayangg, nee buatin plg romantis deh buat kamuu.

Furura: thanks, okedeh kalau canon aku bakal pake desa. ;) sipp, jel usahakan buat chappie depan canon yaa.

Ahn: thanks, cieehh, yg udah kepengen dilamar ajaa, iyadehh ijel doain biar ahn-san dilamar romantis seperti itu hehehe.

Kireineko: thanks, *peluk kirei balik* hehe. Beneran terharuu? Wahh ijel senang. Baca yg ini lagi yaa kirei yang beneran kireei. ;;)

Gilang363: thankksss.

KandaNHL: thanks, emang Naruto so(ĸ) sweet yahh. Imperfect tunggu chap5 5 atau 6 hari lagi yaa.

Cueekujana: thanks, I'm glad to write your request! Hehehe, syukurlah kamu suka.

7thChocolava: thanks, yap! Aku juga setuju asalkan nh! Hehehe

OryIzzati: thanks, narunya kasiann deh. Udah in love banget sama Hinata. Okey, konflik ya? Sip sip. Nanti kalau ada lagu yg sesuai, akan ijel buatinnn. Sebenarnya chapter ini juga ada, tapi ga begitu ijel gambarkan, lebih ke perasaan masing" hehehe.

Amu: hayy amu! Sudah lama tak bersuaaa. Wkkw hurt? Wah, jel dah kebanyakan bikin hurt looh. Tapi iyadeh, kalau ada yg udah sesuai yaa. Thanks!

Misti: thanks, school-life yaa? Okedehhh. Ini sudah AU.

Narnialow: thank you! Hehee, tapi yg ini ga terlalu manis, loh. Hehehe. Review lagi ya?

Otsukarenia14: thanks! Hope u like it!

Blue-temple of the king: Τhankyou! Hope you like it!

Yohanes: okedeh, requestnya ditampung dulu yaa. Thankyouu

Divaa: beneran nangisss? Huweeeee. Ijel merasa terharu wkwkw. Makasihh ya divaaa *pelukk

SagaraAi: thankyouu! Lagu jepang udah ada yang request looh. Ditunggu yaa.

Chimunk: haii, ini drabble loh. Tapi kalau drabble yg lain pendek, yg satu ini panjang hehee. Dan semua ceritanya berdasarkan lagu. Gitudehh. Wwkwk. Okedeeh, lain kali kalau ijel bingung ijel bakal minta bantuannya chimunk, okeee?

Michellehadiwijaya: thanks!

Ayu: thankyouu! Makasih udh mau nunggu loh ayuu! Makasih jugaaa udh mau ngingetin soal release. Itu udh jadi kotornya. Tinggal di editedit lagi. Wkwkkw. Makasih ya ayuu! Reviewnya kamu aku tunggu looooooh. *peluk*