Naruto FanFiction, Du_uN presents
SUFFER
Ch 02 "The Truth"
Disclaimer : Masashi kishimoto
WARNING!: VIOLENCE. (Ada sedikit adegan kekerasan yang dibuat agak berlebihan pada ff gaje ini. Hanya berusaha agar feel dan hurt nya dapet. Maaf sebelumnya.)
Genre : Drama
Auth : Du_uN
Summary: Berkali-kali Naruto berlaku kasar pada seorang wanita yang sudah tak berdaya, dan kini kebenaran pun datang.
Note from author :
Maaaf, updetnya lama.
-Happy reading—
"Mudah kan? Kau tampak tegang sekali sebelumnya." Ujar polisi wanita menyelesaikan pekerjaannya. "Iruka, masukkan nama Uzumaki Naruto kedalam database seperti yang lain."
"Baik bos." Pria itu berjalan ke arah sebuah laptop dan mengerjakan apa yang diperintahkan polisi wanita tersebut.
"Maaf, aku tak pernah di interogasi polisi sebelumnya." Naruto menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.
"Ingat baik-baik pesanku. Masih ada dua orang lagi di luar. Jangan katakan apapun pada mereka." Kata polwan itu.
"Baiklah."
Polisi wanita itu memperhatikan Pemuda pirang di depannya yang membungkuk tanda hendak beranjak. "Terima kasih atas kerjasamamu..." sahut polisi itu tanpa mendapat balasan lagi dari pemuda yang telah menyelesaikan interogasinya.
Diluar ruangan, dua orang laki-laki dengan ciri si 'dingin' dan si alis tebal yang tak lain adalah Sasuke dan Lee, sedang menunggu dengan santai. Mereka duduk di lantai bersandarkan dinding , dan berdekatan layaknya gay. Tapi mereka bukanlah gay.
"Menurutmu, apa yang polisi itu tanyakan Sasuke?" tanya lee.
"Entahlah... kenapa kau bertanya? Kau ingin jadi polisi?" Pemuda itu malah bersikap dingin, namun itulah wataknya.
"Bukan begitu... hei lihat... Naruto sudah selesai." Ujar Lee kemudian melihat temannya muncul dari balik pintu.
Di dalam ruangan interogasi, si polwan berdiri dan berjalan ke arah pintu setelah menulis sesuatu. Sesampainya di mulut ruangan ia memanggil pemuda dengan alis tebalnya. "Kau, giliranmu."
"Hhhh, cepatlah. Ini buang-buang waktu..." Sasuke menggumam dalam keluhnya.
"Bagaimana hasilnya, Anko?" Tanya pak polisi bernama Umino pada seragamnya.
"Nihil, tapi bisakah kau cek nama Uzumaki Naruto Dan Hyuuga Hinata? Periksa semua informasi yang ada dan apa saja yang pernah mereka alami." Polwan bernama Mitarashi segera menghampiri.
"Kenapa hanya dua orang ini?" laki-laki itu heran.
"Ini intuisi wanita. Lakukan saja!" wanita itu lantas tak senang saat keinginannya malah dipertanyakan.
"Baiklah." Rekannya itu dengan cekatan langsung membuka sebuah program bernama 'Civil Info' dan memasukkan nama yang dimaksud pada kolom 'search Query' . 'Uzumaki Naruto'
"Nama Uzumaki Naruto, Usia saat ini 20 tahun, profesi... tak ada?" rekan polwan itu tertegun saat membaca bagian profesi. "... lalu, status belum menikah , pelajar mahasiswa, dan..."
"Cepat lihat catatan terakhirnya" Polisi wanita itu menyela karena informasi yang tersedia sepertinya bukan yang dia cari.
"Errr, ya..." rekannya itu menklik kesana kemari, dan ia mendapatkan informasi lain. "... disini... dia punya catatan tilang sebanyak 63 kali dengan dua tilang terakhir di hari yang sama."
"Dua tilang sekaligus di hari yang sama?" polwan itu menggumam. "Bisa lihat tanggal berapa?"
"errr..." rekannya menggulung layar keatas dan kebawah mencari informasi yang dimaksud dan, "tanggal 13... i..ini...!?"
"Tanggal setelah kejadian dalam rekaman."
Polisi bernama iruka itu melanjutkan, "petugas terakhir yang menilang Uzumaki adalah seorang polantas wanita bernama Nanako."
"Nanako... baiklah lanjutkan." Kata Anko menggumam.
"Tidak ada informasi profesi di masa lampau, tidak memiliki catatan kriminal. Semua bersih."
"Tunggu..." Tiba-tiba polwan itu menyadari sesuatu.
"Hn...?" rekannya tertegun saat melihat Wanita itu sedang berpikir. "Uzumaki... Naruto." Ia mengusap-usap dagunya dan terus berpikir. "Uzumaki..."
"Dia anak Uzumaki Kushina!"
"Ya. Dilihat dari namanya. Dan suami Uzumaki Kushina adalah isteri Minato Namikaze." Polisi bernama iruka menambahkan.
"Bukankah perusahaan milik orang tuanya sedang dijalankan oleh anak ini?" Anko berspekulasi.
"Ya, aku dengar orang tuanya sedang berlibur keluar negeri sejak beberapa bulan lalu. Anak itu menjadi presdir di dua perusahaan milik orangtuanya. Tapi... mungkin Anak itu hanya menggantikan sementara."
"Ya, memang. Tapi walaupun hanya sementara catatan kepemilikan perusahaan akan tercatat di kolom profesi anak itu, karena perusahaan orang tuanya terdaftar di kepolisian dan perpajakan. Nama pimpinan akan tertera di informasi lengkap perusahaan, dan profesi anak ini seharusnya adalah seorang presdir atau setidaknya direktur utama atau apa saja." Wanita itu terus berspekulasi. "Tapi di catatannya, tak ada profesi..."
"Ini aneh..." sambung rekannya.
"Sejak awal dia yang paling ku curigai, tapi dia sama mencurigakan dengan yang lainnya, makanya aku mengabaikannya. Tapi sekarang... petunjuk bertambah."
"Sekarang bisa kuperiksa nama Hyuuga Hinata?" Pria itu meletakkan tangannya diatas papan tombol namun masih menunggu perintah.
"Tak perlu..."
Saat berpikir, wanita ini mendengar langkah seseorang di luar. Langkah ini terdengar cukup jelas dan bersumber dari satu orang. Dari jendela terlihat bagian kepalanya saja yang berjalan menyusuri lorong. Dari bentuk kepala, rambut dan setengah wajahnya, itu adalah Hinata.
"Beruntung sekali. Aku tak perlu repot repot mengelabui banyak orang." Gumam wanita itu terdengar oleh rekannya.
"Hey itu Hyuuga Hinata." Rekannya juga menyadari keberadaan gadis yang sedang berjalan di luar .
"Ya. Dia Hinata."
Melihat sikap rekannya, Polisi bernama Iruka ini heran, "Kau mau apa, Anko?"
Rekannya ini tak menjawab. Sorot mata dingin muncul saat gadis itu terlihat jelas dari mulut pintu yang terbuka lebar.
Wanita itu berjalan keluar ruangan setelah mengeluarkan isi plastik tersebut dan menentengnya. Ia mengikuti gadis tadi yang kelihatannya sedang menuju toilet, tak jauh dari ruangan para polisi itu berada.
Rekannya hanya tercengang tak bergerak. Alisnya naik sebelah tanda ia bingung apa yang hendak temannya itu lakukan. Apa maksudnya ia mencuri barang bukti untuk investigasi?
Di dalam Kamar kecil wanita, ia melihat gadis yang dilihatnya tadi sedang mencuci muka di wastafel. Setelah selesai, gadis itu hendak masuk kedalam toilet namun dicegah oleh petugas polisi wanita yang mengikutinya.
"Hey... errr, Hinata...?"
"Ya?" Gadis itu menyadari seorang polisi yang memanggilnya. Ia cukup terkejut namun ia bersikap biasa. Sepertinya itu tak menakutinya.
Polisi itu menunjukkan sebuah Bra di tangannya. "Begini, maaf sebelumnya..." Polisi itu tampak canggung. "...Aku mau kau coba pakai ini. Apakah ini muat di dadamu?"
Gadis ini terkejut saat benda itu merasa ia kenali. Sepertinya Hinata cukup menguasai keadaan sehingga ia tak memperlihatkan sikap terkejutnya.
"Kenapa..."
"Err, sebenarnya aku tak paham soal ukuran-ukurannya. Sepertinya aku salah membeli tadi pagi. Dan aku bingung bagaimana mencobanya." Ujar polisi wanita itu.
"Uh, tapi apa yang ingin kau ketahui?" Hinata tak mengerti apa yang diinginkan polisi tersebut.
"Aku hanya ingin tahu berapa ukuran ini. Aku belum mencobanya saat beli tadi." Ujar polisi tersebut dengan ramah namun canggung sedikit malu-malu.
Gadis itu mengambil benda hitam yang sisodorkan polisi tersebut. Saat mengambilnya ia merasa mengenali itu namun sepertinya sudah berbeda dengan yang dia pakai waktu itu. Mungkin begitulah jika memakai bra namun tak begitu memperhatikan yang mana yang telah ia pakai.
"Jangan berpikir yang aneh-aneh. Aku hanya bingung bagaimana untuk mencobanya. Aku tak mengerti soal ukuran Bra." Kata polisi wanita itu. "Kau tahu, tidak ada kamar pas di pasar obral..."
Lorong-lorong gedung kampus tampak lengang dan sepi. Sekitar satu sampai 3 orang saja yang berjalan-jalan kesana kemari dengan kesibukannya masing-masing, tapi tak satupun masuk ke dalam kamar kecil. Gema hentakan sepatu mereka yang melewati lorong sayup sayup terdengar dari dalam ruangan berukuran 5x8m itu.
Sang polisi kini sedang memegangi pakaian milik gadis yang sedang bersamanya. Hinata harus melepasnya agar ia bisa memakaikan benda penyangga yang dimintakan padanya untuk dicoba. Ia melakukannya tanpa berat hati. Tapi, Hinata sendiri tampak kesulitan mengaitkan pengait penyangga itu.
"sepertinya ini cukup kecil bagiku." Kata Hinata masih tetap berusaha. "Tapi, ibu polisi, tempat ini cukup sepi. Kenapa kau tidak mencobanya sendiri."
"Beritahu padaku ukurannya setelah kau memakainya." Polisi itu malah tak menjawab.
Gadis berambut indigo itu harus memindahkan uraian rambutnya ke depan agar ia bisa memutar penyangga itu dengan benar. Ia berusaha memutarkan penyangga itu agar dapat posisi yang tepat. Hingga akhirnya hal itu terjadi, ia tetap terlihat kesulitan.
"Ini terlalu sempit, dadaku sedikit naik. Aku merasa sesak."
"ptass!" Pengait benda itu terlepas. Mungkin karena terlalu kecil dan terlalu dipaksa akhirnya benda itu malah terlepas. Refleks kedua tangan Hinata menutupi 'miliknya'.
"Ya ampun. Ini terlalu kecil untukmu." Kata polisi tu yang ikut terkejut.
Hinata berusaha melepaskan benda itu dan mengembalikannya pada pollisi wanita itu. Sebelah tangannya tetap sibuk menutupi 'miliknya'.
"Sepertinya ukurannya 34B. Ukuranku 38E." Polisi itu meraih kembali apa yang disodorkan Hinata.
"Benarkah?" Kata polisi itu. "Kau punya ukuran yang besar untuk seorang gadis remaja. Aku sendiri tak sebesar itu." Ujar polisi tersebut.
Hinata mengambil kembali pakaian yang tadi ia lepas dari tangan polisi tersebut dengan senyum yang ramah. Merasa telah mendapat jawaban, polisi tersebut hendak beranjak dari kamar kecil itu.
"kelihatannya ukuran ini juga terlalu kecil untukku, berarti aku harus menukarnya dengan yang lebih besar."
Hinata mendengar gumaman polisi itu dan sepertinya ia hendak memberi saran.
"Cobalah beli yang baru di pasar swalayan. Disana terdapat kamar pas yang bisa bisa dimanfaatkan sebelum membeli." Ujar Hinata sembari sibuk memakai pakaian miliknya didepan cermin wastafel.
Polisi itu tertegun saat Hinata memberinya saran. "Ah iya. Kau benar. Aku terlalu tertarik pada model dan bahan yang bagus dengan harga murah pada pasar itu." Polisi itu tersenyum. "Terima kasih atas waktunya, Hinata."
"Ya." Gadis itu membalasnya lewat pantulan cermin, dimana ia melihat sosok polisi itu melangkah menjauh menuju pintu keluar. Kemudian pintu itu dibuka dan tertutup hingga sosok polisi itu menghilang dari balik pintu tersebut. Kini ia bisa tenang memakai pakaiannya sendiri.
Setelah dirasa keberadaannya tak lagi terlihat oleh gadis di dalam kamar kecil, polisi ini langsung berlari menuju ruangan tempat rekannya berada. Rekannya itu tampak sedang tenang memainkan game mini favoritnya. Begitu tenangnya hingga kehadiran rekan wanitanya membuyarkan suasana.
"Ayo pergi dari sini!" polisi wanita itu mengajak rekannya untuk mengakhiri investigasi hari ini. Namun sikap wanita ini membuat kening rekan lelakinya mengkerut.
"Bukankah kita masih harus menginvestigasi ruangan lain?" kata pria itu.
"Kita bicarakan nanti di kantor. Kita bisa lanjutkan nanti. Sekarang bereskan semua barang-barangmu." Wanita itu membuat suasana tenang menjadi repot.
Dari dalam ruang kelas, si pemuda berambut kuning berdiri dari tempat duduknya. Ruang itu terasa hening karena semuanya sedang sibuk dengan tugas yang telah diberikan di papan tulis putih oleh sang dosen yang kini entah dimana. Meja si dosen tampak hanya terdapat kursi kosong dan beberapa buah buku.
Hinata masih sedang mencari posisi yang tepat untuk bra-nya. Ia menggeser-geser, dan menaik-turunkan penyangga itu agar terpasang dengan benar. Yang dilakukannya tak terlalu sulit dibandingkan penyangga milik polisi tadi. Merasa sudah pas, ia meraih pakaian di hadapannya dan hendak memakainya, namun aktivitasnya ini terganggu oleh kehadiran seseorang dari balik pintu masuk kamar kecil. Pantulan cermin memperlihatkan sesosok manusia berambut pirang yang ternyata adalah lelaki. Aneh, untuk apa seorang lelaki masuk ke kamar kecil khusus wanita?
Tentu saja ia tahu siapa pemuda pirang itu. Pakaian yang belum sempat ia pakai pun jatuh tanpa ia sadari. Perhatiannya terpecah kepada kehadiran orang yang kini sedang menutup dan menggeser selot-nya. Hal itu membuat siapapun takkan bisa masuk kedalam kamar kecil itu.
Bola mata lavender itu membulat dan diselimuti rasa ketakutan yang luar biasa. Ini bukanlah kamar kecil yang diperuntukkan seorang laki-laki. Jantung gadis ini berdetak tak beraturan, dengan nafas yang mulai terengah. Pemuda itu menghampirinya dengan langkah perlahan dan tatapan sinis. Suasana kamar kecil itu menjadi mencekam, seperti aura pembunuh.
"Kau tak memakai bajumu, Hinata?" perkataan yang terucap dari mulut pemuda ini membuat ketakutan gadis di ruangan itu semakin bertambah. "Sepertinya ini kesempatan bagus. Jam pelajaran masih dua jam lagi."
Gadis yang sedang ketakutan itu perlahan melangkah menjauhi pemuda yang menghampirinya. Sosok yang dilihatnya hanya dari pantulan cermin. Ia tak menoleh sedikitpun untuk menatap pemuda yang telah mengotorinya. Ia bahkan tak menghiraukan kondisi dirinya yang belum memakai pakaian atas. Dengan leluasa pemuda pirang itu bisa melihatnya sesuka hati dengan tatapan mesum.
Seharusnya gadis ini tahu langkah kecilnya untuk menjauhi pemuda itu tak cukup jauh. Ia terhenti di ujung ruangan dan tak bisa kemana-mana lagi. Dinginnya dinding yang berkeramik itu dirasakan pada kulit lengan gadis itu. Yang bisa dilakukannya hanya tertunduk menutupi wajahnya dari laki-laki berambut pirang yang terus mendekati dirinya.
Pemuda itu semakin mendekat dan terus mendekat tanpa mengucapkan kata-kata. Hingga akhirnya ia benar-benar dekat, tangannya meraih wajah gadis yang tertunduk itu dan mengangkatnya di bagian dagu lalu memutarkannya hingga ia bisa melihat wajahnya. Kemudian gadis itu didorong hingga ia bersandar pada dinding dan pemuda itu tepat berada dihadapannya. Yang dilakukannya hanya menatap mata gadis yang sudah berkaca-kaca dan perlahan mengalirkan titik air mengikuti gravitasi bumi hingga membasahi pipinya.
"Kupikir kau akan mengadukanku pada para polisi itu."
Hinata tak bicara. Ia bahkan tak menatap wajah pemuda yang semakin menempelkan tubuhnya dan mengencetnya.
"Dan ternyata, kau memang bukan orang bodoh."
"kau bertindak benar dengan tidak mempermalukan dirimu sendiri dihadapan para polisi itu."
"memang seperti itulah seharusnya..."
Pemuda itu melepaskan gadis yang digencet oleh tubuhnya. Ia mundur perlahan menjauhi gadis tersebut. Seolah kehilangan kekuatan pada kakinya, ia memerosotkan diri hingga duduk terkulai.
"Tapi bukan berarti aku berterima kasih padamu, walaupun itu harus."
"dia memang tak mengadukan ku. Tapi kenapa?" Batin Naruto bergejolak dalam dilema. "kalau dipikir-pikir, akan lebih aman jika ia melaporkan perbuatanku. Tapi dia tak melakukannya... kenapa?" dalam langkah menjauhi gadis tak berdaya itu, walaupun terasa lega karena tak diadukan, kebingungan tetap menghajar pikirannya. Dalam kepalanya berdengung kata-kata "kenapa,kenapa dan kenapa..."
"Jadi kau melepas bra mu sendiri dan memberikannya pada gadis itu untuk mencocokkannya?" Kata si polisi bernama Iruka dengan wajah seolah panik.
"Aku harus mengetahui informasi penting ini. Kita harus cocokkan dengan barang bukti yang kita temukan di TKP." Ujar polwan tersebut.
"Benar juga." Rekannya membenarkan.
Wanita berkuncir itu mengayun-ayunkan tangannya kepada seorang pria yang sedang sibuk didepan komputer. Karena posisinya terlalu jauh ia hanya bisa mengulurkan tangan dan mengayunkannya bermaksud memanggilnya agar tak berisik. Saat pria itu menghampiri, si wanita pun meminta pertolongan.
"Tolong panggilkan aku seorang penyelidik sekaligus seorang peneliti barang bukti. Namanya, Uehara."
"Baik." Karena wanita ini atasan pria tersebut, sikap hormatnya sangat tinggi. Dengan cekatan si pria cepak itu lantas menghilang di balik pintu.
Sembari menunggu, si polwan yang meminta memanggilkan seseorang menyandarkan bokongnya ke tepi meja dengan sikap tangan yang bersedekap. Terlihat wanita itu sedang berpikir. Namun rekan yang duduk bangku dekat meja tersebut, memperhatikan wanita bernama Anko dengan terheran-heran.
"Kalau kau melepas bra mu, dan akan memberikannya pada penyelidik itu untuk di teliti..." pria bernama iruka terus memperhatikan si wanita sembari menggumam. Kata-kata lirih itu masih dapat didengar wanita yang perhatiannya teralihkan pada si polisi yang sedang memperhatikannya. Keniing wanita ini lantas mengerut.
"Berarti..." sepertinya pria itu mulai berspekulasi. "...Kau..."
"Aku apa..." wanita itu terganggu konsentrasinya karena rekannya sendiri memperhatikan dengan seksama. Kelakuan pria itu sedikit membuatnya tersipu.
"hhaaaaahhhhh!? Kau tak memakai bra!" saat mengatakan itu dengan ekspresi yang menakutkan, si wanita mengebelakangkan tubuhnya seolah takut. Kemudian matanya melirik ke arah lain dengan pipi yang berwarna merah gelap.
"Aaah... ya. Begitulah." Sahut si wanita dengan gugup.
"Ya ampun..." si rekan menaruh telapak tangannya ke kening dengan ekspresi 'unbelievable'.
"Aku melakukannya demi investigasi!" wanita itu mulai salah tingkah. Tawanya berusaha menyembunyikan rasa malunya. Dan ia semakin salting saat pria yang mrupakan rekannya itu menatap dada dibalik tangan si wanita yang sedang bersedekap.
"Hei, jangan melihatku seperti itu, dasar mesum!"
Para petugas lain yang sedang bekerja diatas meja pun terusik oleh mereka berdua, dan menatap mereka dengan tatapan 'ya ampun'.
"Kau juga harus hati-hati. Polisi selalu tak mengatakan hal yang sebenarnya didepan orang yang mereka curigai." Kata seorang pria yang lebih tua dari pemuda berambut pirang yang sedang duduk se meja dengannya. Kantin itu sangat ramai dan padat oleh mereka yang beristirahat setelah masuk waktunya.
Wajah si rambut pirang lantas terkejut. Ia menoleh kesana kemari memastikan tak ada seorang pun yang mengawasi atau mendengarkan pembicaraan mereka. "Benarkah?"
"Dasar bodoh. Kau harus mengelabui tikus sebelum bisa menangkapnya. Bisa saja mereka mencurigaimu atau gadis itu kemudian merencanakan sesuatu untuk mengungkapnya." Ujar pria berkuncir dengan kacamata besar.
"Menangkap tikus?" Entah kenapa si mata biru-safir ini tak menangkap kata-kata pria yang duduk di sebrangnya tersebut.
"Uuhh..." pria itu menghela napas dan terlihat sedikit jengkel karena rupanya pemuda itu tak begitu mengerti. "Begini, kalau mereka melakukan fisum atau semacamnya pada gadis itu, maka mereka akhirnya menemukan petunjuk dan mungkin akan menyeretmu sebagai tersangka."
"Mana mungkin mereka bisa menangkapku jika mereka tak punya bukti." Naruto mencoba menyangkal untuk mengetahui hal lain.
"Sudah kubilang polisi bukan untuk diremehkan. Bekas pemerkosaan yang kau lakukan pada gadis itu, jika mereka berhasil menemukannya, mereka hanya tinggal mencari siapa pelakunya." Jelas pria tersebut kemudian menyedot minuman es buah dalam gelas langsing yang cukup tinggi.
" Jika sudah begitu, dia yang menjadi korban dan terbukti telah diperkosa, ia takkan tutup mulut lagi."
"Apa maksudmu?" Wajah Naruto mulai serius dan ketakutan mulai menjalar di urat syarafnya.
Pria itu menyendok potongan buah dalam gelas yang bercampur dengan parutan es dan susu. Ia memakannya dan kemudian melanjutkan pembicaraan.
"Aku hanya menduga, trauma dan ketakutan pada mu lah yang membuatnya tak melaporkanmu pada polisi." Kata-kata itu menambah resa panik yang mengalir di setiap otak pemuda berambut pirang. "Jika dia sudah merasa terlindungi, pada akhirnya ia akan buka mulut."
Naruto mendengarkan dengan serius.
"Ingat, bukti fisum mungkin bisa hilang, tapi kehamilannya takkan bisa sebelum ia menggugurkannya. Pastikan dia meminum pil itu, atau..."
"Atau apa...?" keringat dingin mengalir dari pelipis si pemuda berambut pirang dan berhenti tepat di pipi bagian bawah. ia menunggu dengan harap-harap cemas.
"...atau kau menggugurkannya dengan paksa."
"glek", Naruto menelan ludahnya sendiri saat mendengar kalimat terakhir yang diutarakan pria tersebut.
"terima kasih sudah mentraktir." Pria tersebut beranjak setelah memakan sesendok terakhir es buah miliknya. Sekian kalinya Naruto merasa dirinya belum aman. Ia kembali terperosok dalam dilema.
"Jadi dia masih trauma, makanya tak melaporkanku?" batinnya berspekulasi. "Apakah dia sudah meminim pil itu?" semakin ia berspekulasi, keringat dinginnya terus mengalir. Ia hanya terdiam di depan meja bundar dengan tangan yang keduanya ia lipat tepat diatas meja tersebut.
"Dia benar..."
"Aku..."
"Akan pastikan ia meminum pil itu, atau..."
"Aku memaksanya..."
Segera rencana mengerikan pun ia dapat hingga ia menyedot minumannya sendiri dengan tatapan kosong.
Gadis berambut pink itu menghampiri temannya yang sedang berjalan agak jauh didepannya. Ia mengejarnya dengan sedikit berlari. "Hinata..." seru gadis itu hingga membuat pemilik nama itu menengok ke belakang.
"Sakura...?" Gumam gadis bernama Hinata tersebut.
Perempuan berambut pink segera berdiri dan berjalan tepat disampingnya. Ia mengatur napas sejenak dan tampak hendak menanyai sesuatu.
"Kau terlihat murung, Hinata?" tanya gadis berambut pink tersebut.
"Uh... Benarkah. Aku baik-baik saja." Kata Hinata.
"jam pulang hari ini lama sekali." Perempuan itu tampak berkeluh. "Lihat, sudah jam 4.30" ia mengungkapkan jarum jam pada arloji miliknya.
"Iya. Ini karena para polisi itu mengambil jadwal kita." Gadis bernama Hinata berkata benar.
"Benar juga." Gadis disebelahnya membenarkan. "Hey, pakaianmu kotor..." Sakura melihat ada yang aneh dengan pakaian putih Hinata di bagian kerah kebawah yang tampak kotor.
"Uh i, iya..." Gadis yang pakaiannya kotor itu mulai gugup.
"Itu kenapa?" Sakura ingin tahu darimana asal noda tipis tersebut.
Ingatan gadis berambut indigo itu langsung muncul saat Naruto tengah menginjakkan kakinya pada Hinata yang tengah terbaring.
"Tidak apa-apa. Tak usah dipedulikan..." Sakura tertegun saat Hinata tak mengatakan yang sebenarnya. Namun ia tak memperdalam itu, saat ia teringat sesuatu.
"Oh, iya... lalu, kenapa siang tadi kau memukul Naruto?" Tanya sakura saat ia ingat Naruto dipukul buku oleh Hinata belum lama ini. "kau memukulnya keras sekali..."
"Uh, itu... aku..." Benak Hinata langsung terbayang saat ia melakukan itu pada Naruto. "Dia..." kesulitan bicara, gadis ini pun memalingkan wajahnya. "dia menyerempetku dengan mobilnya. D..dan..." gadis ini tak mengatakan hal yang sebenarnya.
"dan aku marah karena ia tak mempedulikanku."
Sakura tertegun saat mendengar penjelasan Hinata yang agak terbata-bata. "Benarkah? Jadi itu sebabnya bajumu agak kotor?"
"Begitulah. " Hinata menyunggingkan senyum setelah merasa lega mengatakan hal tersebut.
"Yah, anak itu memang ceroboh sejak dulu. Kadang aku menyesal telah berteman dengannya..."
Mereka berdua terus berjalan diantara kerumunan mahasiswa lain menuju gerbang utama untuk pulang. Lebar halaman itu cukup jauh ditambah langkah mereka yang terbilang lambat. Sepertinya mereka memanfaatkan kesempatan untuk mengobrol di waktu yang jarang mereka dapatkan.
Di suatu tempat di halaman itu, seorang pemuda berdiri diantara kerumunan sambil memperhatikan langkah dua gadis tadi dengan tatapan sinis. Namun hanya satu yang ia fokuskan, yaitu seorang gadis berambut indigo. Gadis itu terlihat senang dan tertawa ria bersama gadis disampingnya. Entah apa yang mereka perbincangkan, pemuda ini terus menatapinya. Dan kemudian ia melangkah perlahan untuk membuntuti.
"Sampai jumpa, Hinata." Gadis berambut pink itu mengucapkan kata perpisahan saat ia berada dalam pintu masuk bus yang ia naiki. Nus itu berjalan dan sosok gadis itu tak lagi tampak. Kemudian Hinata melanjutkan langkahnya. Tempat ia tinggal tak terlalu jauh dari kampus tersebut. Sepertinya ia memutuskan untuk berjalan kaki. Mungkin terdengar aneh bagi gadis yang sedang berada dalam rasa sakit. Seharusnya ia lebih menghindari orang yang mungkin saja menemukannya. Siapa lagi kalau bukan Naruto. Seharusnya ia mengkhawatirkan hal buruk apa lagi yang dilakukan pemuda itu setiap kali bertemu dengannya.
Seperti tak terjadi apa-apa, gadis ini terus berjalan. Persimpangan demi persimpangan ia lewati, dan kini ia melewari sebuah gang. Gang yang cukup lebar dimana setiap ujung gang itu adalah jalan raya yang ramai. Gang itu juga memisahkan dua gedung apartemen yang dibatasi dengan pagar tembok yang cukup tinggi.
Ia terus melangkah dengan santai hingga berada di tengan perjalanan gang tersebut. Setengah perjalanan lagi ia akan sampai di ujung lainnya dan bertemu dangan jalan raya lagi. Namun tiba-tiba rasa tenang itu hilang sekejap saat ada sebuah mobil yang masuk kedalam gang tersebut. Ia mengenali mobil itu dan menghentikan langkahnya. Kendaraan sedan mewah itu tak lain adalah milik seseorang yang juga telah menodainya. Seperti yang seharusnya dikhawatirkan, hal buruk apa lagi yang akan dilakukan pemuda ini pada gadis malang yang mendapat siksaan secara terus menerus?
Kendaraan itu pun berhenti dan sedikit miring hingga memalangi gang tersebut. Hal itu membuat Hinata tak mungkin bisa melewatiny. Ia mencoba mundur dengan perasaan takut untuk kesekian kalinya. Dalam batinnya, ia ingin meneriakkan banyak hal. Batinnya hanya dapat berbicara "Astaga...".
Napas gadis ini mulai tak beraturan. Entah ada kekuatan apa yang membuatnya malah tak bisa berkutik. ia harus mengendalikan dirinya untuk bisa menjauh dari situasi ini.
Seseorang pun akhirnya keluar dari mobil itu. Dan sudah tak lain dia adalah yang Hinata takutkan. Naruto. Sontak ketakutannya berada pada puncak tertinggi. Terlebih saat pemuda itu melangkah mendekatinya. Wajah pemuda itu terlihat marah. Apa lagi yang akan dilakukan pemuda ini?
Langkah mundur Hinata semakin cepat dan terus dipercepat. Merasa langkahnya tak bisa mendekati gadis itu, Naruto pun setengah berlari. Saat melihat itu, sang gadis langsung berbalik dan menghentakkan langkahnya dengan keras untuk berlari.
Namun sayang, larinya tak secepat pemuda yang mengejarnya. Pemuda itu meraih pundak Hinata dan menariknya lalu mendekapnya dan menjatuhkannya. Mereka sempat berguling-guling karena Hinata terus memberontak melepaskan diri.
"Aku tak bisa tenang jika para polisi itu belum meninggalkan tempat ini!" ia berusaha memegangi Hinata yang tangannya tak bisa diam untuk meloloskan diri. Sekali lagi, mereka berguling hingga ia bisa menindih Hinata dibawahnya. "Sebaiknya kau jangan bergerak, Hinata!"
Gadis yang ia tindih terus saja meronta tanpa berhenti dengan susah payah. Pemuda itu melakukan berbagai cara untuk menghentikannya. "DIAMLAH!"
Pemuda itu membentak dan membuat Hinata terkejut. Bentakan itu cukup kuat untuk menghentikan gerakan Hinata yang terus memberontak.
Sekarang pemuda ini harus mencari pil yang baru-baru ini ia berikan pada gadis itu. Ia merogoh-rogoh setiap saku yang ada pada pakaian Hinata. Namun sayang ia tak menemukannya. Pemuda itu terus mencari di tas slempang milik gadis tersebut.
"kau tidak membuangnya kan, Hinata?" 'hhh, hhh, hhh' napas Pemuda itu sedikit tersenggal senggal.
"Kau berniat akan meminumnya untuk menyelamatkan dirimu sendiri kan? Hhh, hhh..."
Pemuda itu tak kunjung menemukannya. Saat ia mulai cemas karena tak menemukan pil yang dicarinya, ia melihat-lihat sekitar. Langsung saja rasa lega muncul dari wajah pemuda ini. Pemuda tega ini menduduki pinggul gadis yang ia tindih. Saat ia duduk untuk merilekskan dirinya, saat itu juga Hinata merasa sakit di bagian yang pemuda itu duduki. Pemuda itu melihat sebuah plastik kecil berisi pil tak jauh dari keberadaan mereka. Sepertinya pil itu terjatuh saat mereka berguling tadi. Ia segera mengambil benda itu.
"Kenapa? Sakit?" pemuda itu bertanya seolah peduli. "Kalau kau ingin semua berakhir, aku ingin kau minum pil ini."
Pemuda itu mengeluarkan pil itu dari dalam plastik. Jumlahnya ada tiga butir. Ia mengeluarkan ketiganya dan hendak menelankannya pada Hinata dengan paksa.
"Sekarang buka mulutmu!"
Hinata merapatkan mulutnya saat Naruto mencoba memasukkan pil itu, benda itu pun jatuh dan Naruto gagal memasukkannya. "PLAK!"
Tamparan itu menyakiti pipi bagian kiri Hinata sebagai akibat ia tak menuruti perintah Naruto. Ia langsung terisak kuat dan air mata mengalir dari matanya yang terpejam.
Naruto mengambil lagi benda itu. Sebelah tangannya bencengkeram kedua pipi gadis malang itu dan tangan lainnya berusaha memasukkan pil itu dengan paksa.
Namun Hinata menutupi mulutnya dengan kuat dan terus memberontak. Tangan gadis itu memegang tangan Naruto yang memegangi pil dan berhasil merebutnya. Kemudian ia melempar pil itu jauh jauh. Melihat itu, tentu saja pemuda tega yang sedang menindihnya semakin gusar. Mereka berhenti bergerak. Hinata hanya bisa memejamkan matanya. "Hiks..." raungan tangis Hinata cukup hebat. Ia mengarahkan wajahnya kesamping untuk mengrurangi rasa sakit akibat tamparan tadi.
"Hinata... maafkan aku..."
Hinata langsung membuka matanya dan membulat sempurna. Napasnya begitu cepat tak beraturan.
Pemuda itu mencengkerang kerah Hinata untuk kedua kalinya hari ini. Pemuda itu pun beranjak untuk berdiri sambil mengangkat tubuh Hinata. Gadis itu hanya bisa menangis hebat saat rasa takut akan hal buruk yang akan menimpanya. Tak bisakah pemuda ini berhenti menyakitinya.
Lalu pemuda itu melemparkan cengkeramannya ke arah dinding dan membenturkan punggung gadis tersebut.
"AAAKKH...!" teriakan gadis malang itu sangat kuat.
Betapa butanya mata pemuda ini tega melakukan hal tersebut pada seorang gadis tak berdaya.
"BUGGGH!" Kepalan tangan pemuda itu langsung menghantam keras tepat di perut gadis ini. "UAAAAAKHHH!" raungan itu lebih kuat dengan disertai isakan tangis saat pukulan itu membuat perutnya terasa amat sakit. Mulut Hinata terbuka lebar dengan mata yang membulat sempurna tanpa suara raungan lagi.
"BUGGH!" sekali lagi pemuda tega itu benar benar keterlaluan. Gadis itu langsung kehilangan kekuatan tubuhnya. Naruto melepaskan cengkeramannya, dan membiarkan tubuh yang sudah benar-benar tak berdaya itu jatuh tersungkur. Wajah gadis yang tersungkur itu menghadap kesamping. Naruto dapat melihatnya. Mulut dan hidungnya mengeluarkan darah. Matanya terbuka sedikit sayup dan kosong.
Gadis ini merasakan sakit yang luar biasa dalam keadaan sadar. Bisa dibayangkan kelakuan pemuda itu adalah siksaan paling menyakitkan.
"HHH, hhh, HHH, hhh..." "Astaga..."
"apa yang..."
"Apa yang telah kulakukan..."
Tiba-tiba batin pemuda ini berkecamuk. Penyesalan muncul sesaat setelah ia melakukan hal keji yang baru saja terjadi. Ia menatap ujung gang yang. Hanya kendaraan demi kendaraan yang berlalu lalang tanpa ada yang mengetahui perbuatannya. Astaga, tak adakah seorang pun yang bisa menolong perempuan malang ini?
Kemudian lelaki kejam itu hendak meninggalkan gadis tak berdaya itu. Sesampainya ia duduk tepat di belakang kemudi, ia memperhatikan kedua tangannya. Tangan kotor yang kejam dan sadis. Ia bahkan sangat ketakutan saat menatap kedua tangannya sendiri.
"A, aku... aku bermaksud menggugurkan kandungan Hinata..."
"Aku memukulnya..."
"Apa yang telah kulakukan..."
Pemuda ini tak menyadari keringat mengucur deras di wajahnya. Terutama yang mengalir dari bawah rambutnya. Saat ia ketakutan melihat kedua tangannya, ia hampir tak mempedulikan perempuan yang baru saja ia sakiti tergeletak tak berdaya dengan mata terbuka yang sedikit sayup dan berlumurkan air mata. Darah mengalir dari sudut mulut dan lubang hidungnya.
Entah apa yang pemuda ini pikirkan, tiba-tiba ia keluar dan berlari menghampiri gadis tak berdaya itu lalu memanggulnya dengan cepat dan cekatan. Kepanikan mulai ia rasakan. Tubuh gadis malang itu dipikul dengan bagian kepala yang menggantung di punggungnya. Tanpa ia sadar darah mengalir lagi dari balik rok perempuan itu, mengalir mengikuti gravitasi dan melumuri kakinya. Itu juga melumuri tangan pemuda yang sedang memanggul tubuh gadis tersebut.
Lalu ia membuka pintu belakang dan membaringkannya. Disitu ia baru menyadari lumuran darah di tangannya. Dia juga baru menyadari asal darah itu dari baik rok perempuan yang tergeletak itu. Dalam kepanikan ia memikirkan suatu hal, dan membayangkannya.
"apakah aku telah menggugurkannya?" batinnya menduga-duga.
Tanpa pikir panjang lagi, mobil itu langsung melesat keluar gang dan menyusuri jalan raya yang sangat ramai kendaraan. Penunjuk kecepatan kendaraan pemuda pirang ini menunjukkan 85 Mph. Ia benar benar menancap pedal gas kendaraan miliknya. Namun, mau kemanakah dia?
"Villa..."
"Villa Hinata..."
"Aku akan membawanya kesana..."
Pemuda ini beruntung vila milik Gadis itu berada di pemukiman yang tak terlalu ramai. Saat ia berhenti tepat di depan bangunan besar itu, tak ada seorang pun di sepanjang jalan bangunan-bangunan itu berjejer. Ia dapat berpikir cepat saat kepanikannya mulai mereda. Ia mencabut tas slempang milik Hinata dan memeriksa isinya. Ada beberapa kunci yang ia temukan. Sebelum ia mengambil salah satu kunci itu, ia periksa kembali bangunan yang merupakan Villa milik Hyuuga Hinata dari dalam jendela mobil. Dapat terlihat dari papan nama yang tertancap, "Hyuuga".
Lalu ia menemukan sebuah kode aneh di salah satu kumpulan kunci dalam tas tersebut.
"Mungkin ini kunci villa ini..." Batin Naruto menebak.
Ia menutup kembali retsleting tas tersebut dan mengembaikannya pada gadis yang tergeletak di kursi belakang. Ia dapat melihat sdikit wajah gadis itu. Matanya masih terbuka dan gadis itu bernapas sedikit cepat. Tanda bahwa perempuan itu masih merasakan sakit yang tak dapat ia tahan lagi.
"Maafkan aku, Hinata..."
"aku..."
"Aku tak bermaksud..."
"Aku hanya tak merasa aman..."
"Aku..."
"Aku tak tahu harus berbuat apa..."
"Aku menyesal..."
Naruto memejamkan matanya meratapi apa yang telah lakukan pada wanita malang itu. Wanita itu benar-benar tak berdaya, layaknya seorang yang sedang menghadapi kematiannya. Namun gadis ini begitu kuat. Bayangkan ia tetap sadar saat rasa sakit yang luar biasa itu...
Rasa sakit itu...
Hinata pun di baringkan di ranjang daam sebuah kamar yang tidak dikunci. Dari tata ruangan itu, memang kelihatannya adalah kamar tidur Hinata sendiri. Mungkin Villa ini sering ia tinggali.
Mata gadis itu tetap sayup. Napasnya masih tersenggal-senggal dan cepat. Terdengar sedikit isakan yang tak bersuara. Naruto semakin ikut merasakan sakit dalam dirinya saat menatapi perempuan tak berdaya itu.
Ia melihat-lihat sekitar dan sepertinya ia harus melakukan sesuatu.
Di dalam dapur, ia melihat sebuah dispenser dengan galon yang berisi air sebanyak setengahnya. Ada juga beberapa gelas yang ditelungkupkan didekatnya. Diraihnya gelas itu dan diisikan oleh air dalam dispenser.
Kembali ke kamar, Naruto mengangkat sedikit kepala Hinata, dan meminumkan air itu. Ia melihat memar dan sedikit luka sobek dengan darah yang sedikit di pipi Hinata. Itu adalah bekas tamparan saat ia bergumul dengan Hinata tadi. Saat meihat itu, Naruto langsung memejamkan matanya dan merasa menyesal telah melakukan itu.
Namun itu terambat. Rasa tidak amannya membuat gadis malang itu harus merasakan penderitaan yang semakin takkan berujung. Ia kembali ke dapur dan mengambil air hangat dalam sebuah baskom kecil. Untung ia memiliki sapu tangan. Setelah mencelup dan memeras kain saputangan itu pada air hangat yang baru saja ia ambilkan, lipatan kecil kain itu ditempelkan pada luka di pipi Hinata dan menggosokkannya berkali kali. Lalu setelah dirasa bersih, ia biarkan kain itu menempel di pipinya. Hal itu bertujuan untuk membersihkan luka dan mengurangi rasa sakit pada memarnya, agar tidak lebam atau membiru.
Kemudian pemuda itu juga ingat saat ia memukulkan kepalan tangannya ke perut gadis itu. Saat hal itu terbayang, untuk kesekian kalinya ia memejamkan mata dan merasakan penyesalan yang lebih besar dari sebelumnya. Bagaimana bisa ia melakukan hal buruk sampai sejauh itu pada seorang gadis yang ia duga tengah hamil gara –gara perbuatannya sendiri.
Dengan saputangan hangatnya, ia gosokkan kembali pada lebam yang sudah membiru di perut Hinata. Tepat di bawah tulang paru sebelah kiri di atas udel-nya. Warna biru itu teruhat jelas dibandingkan kulit Hinata yang amat putih bersih. Bagaimana bisa ia setega itu menyakiti...
Sudahlah...
Kendaraan Naruto tak terparkir lagi di Villa milik gadis itu. Ia meninggalkannya agar tak ada yang mencurigai dirinya. Hinata dibiarkan terbaring dengan saputangan hangat di pipinya. Kondisi Hinata mulai terlihat membaik. Pandangannya kabur seperti mengantuk, lalu terpejam dan tertidur dengan napas yang mulai teratur dan nyaman. Untunglah pemuda kejam yang telah menyakitinya, menyesali perbuatannya dan memberinya sedikit pertolongan.
"Kau memukul perut gadis itu untuk menggugurkannya?" Ekspresi Kabuto terlihat terkejut. Untunglah tak ada yang melihat dirinya didalam bar yang cukup ramai itu. Bahkan sang bartender tak menghiraukan ia dan pemuda pirang yang menaruh kepalanya diatas meja dengan lesu.
"Ya... dia membuang pil itu dan aku panik." Nada bicara Naruto begitu pelan dan lirih. Hampir tak bisa didengar oleh siapapun.
"Masuk akal, tapi..."
"...Kau... benar-benar memukulnya? Kau tahu dia seorang perempuan kan?" Kabuto sedikit tak percaya atas apa yang didengarnya. Seorang pemuda perkasa dan jantan memukul seorang perempuan yang tak berdaya dan jauh lebih lemah.
"Aku tak tahu harus berbuat apa... Aku benar-benar tak berpikir saat melakukan itu." Ia mengangkat kepalanya untuk mengatakan hal tersebut lalu menaruhnya kembali.
"Hmmm..." lelaki berkuncir itu bergumam sambil memperbaiki posisi kacamatanya. Lalu ia mengusap-usap dagunya berkali-kali.
"Kau mengancamnya dengan menginjaknya, lalu mencoba menjejalkan pil itu dengan paksa, dan memukulnya..."
"Kau benar-benar dalam masalah anak muda..."
"..selain pemerkosaan, kau juga akan dikenai pasal penganiayaan, bahkan berlapis."
"...dan hukumanmu adalah eksekusi mati karena korbanmu adalah perempuan."
Pernyataan itu mulai menakuti Naruto. Pemuda itu mulai merasa tertekan.
"Sekarang..."
"Apa yang ingin kau lakukan?"
Pemuda pirang yang lesu itu tak lantas menjawab. Ia diam untuk beberapa detik, berpikir apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
"Aku akan ke perusahaanku." Kata pemuda pirang tersebut.
Kabuto tertegun. Ia tak mengerti. Sepertinya langkah selanjutnya bukan manuver untuk membuatnya merasa lebih aman.
"Kau mau apa?" tanya pria berkacamata itu.
"Entahlah... berkunjung."
Naruto masih tetap lesu dalam perjalanan menggunakan kendaraannya. Tujuannya adalah perusahaan. Mungkin yang terdekat. Dan yang terdekat dari lokasi bar yang baru saja ia kunjungi adalah perusahaan yang memiliki nama seperti Ayahnya. Sekejap, gedung dengan Nama 'Namikaze' di puncaknya pun terlihat.
Sebelum ia masuk ke halaman parkir, pos yang dijaga oleh seorang Sekuriti mencegatnya. Lantas Naruto membukakan jendela mobilnya. Saat melihat siapa yang ada di dalam mobil itu, sang sekuriti setengah terkejut.
"tuan Naruto...!?"
Naruto menanggapinya dengan lesu. "Aku hanya berkunjung..."
Semula sekuriti itu tampak canggung. Sepertinya atas apa yang telah terjadi, ia ragu untuk mengizinkan eks-bos nya masuk. Sepertinya rasa hormat sekuriti itu masih tinggi. Palang pembatas yang menutup jalur menuju parkir bawah tanah pun ia buka. Tanpa bicara, sekuriti itu mempersilahkannya masuk.
Hari mulai menunjukkan akan berakhir. Matahari sudah mulai suntuk. Cahayanya tak seterang beberapa jam sebelumnya. Ruang bawah tanah khusus parkir itu masih menyisakan banyak kendaraan. Mungkin mereka memutuskan untuk lembur. Apakah ini kebijakan dari pemimpin mereka yang beru setelah Naruto disingkirkan?
Pemuda ini merasa ragu untuk memasuki gedung ini mealui sebuah lift. Namun ia bertekad untuk melanjutkan. Kendaraannya ia kunci dan ia berjalan menuju lift yang jaraknya masih cukup jauh. Belum beberapa langkah seseorang muncul dari dalam pintu yang bergeser ke dua arah. Kemudian orang itu merasakan sesuatu dari balik Jas hitamnya. Ternyata sebuah ponsel berdering. Naruto terus berjalan sambil memperhatikan orang itu yang sedang melihat layar ponselnya. Jarak mereka mulai tak terlalu jauh.
Kemudian orang itu terkejut saat melihat ayar ponselnya sendiri. "Tuan Minato...!" rupanya orang itu mendapat panggilan dari seseorang yang dikenal Naruto.
Naruto yang mendengar ucapan orang itu langsung bereaksi.
"Ayah...!?"
Ada sebuah tiang tembok tepat disampingnya. Ia memutuskan bersembunyi dibalik tembok itu dan menguping orang yang sedang menerima panggilan dari Ayahnya.
"Selamat sore, Tuan Minato..."
"Y, ya... semua berjalan lancar."
"aku tak tahu dimana tuan muda Naruto sekarang"
Naruto langsung merespon saat namanya disebut. "Ayah menanyakan keberadaanku? Apa dia tahu perusahaan ini diambil pihak lain?"
Ia bergumam dan terus mendengarkan. Orang itu pun berhenti dan melanjutkan percakapan.
"I, iya. Tuan muda Naruto sudah menandatanganinya. Ku dengar, ia melakukannya tanpa curiga."
"Apa!? Apa maksudnya?" batin Naruto penasaran saat mendengar kata 'tanda tangan'.
"Seorang gadis... entahlah. Aku tak begitu tahu..."
"seorang gadis? Tanda tangan?" Naruto masih tetap tak mengeti. Ia terus menguping orang tersebut.
"Baiklah, akan kucari Tuan muda Naruto."
"Tentu... aku janji akan tetap merahasiakannya"
Respon cepat Naruto langsung menangkap. "Apa yang ayah rahasiakan?"
"Tuan Hyuuga baik-baik saja. Ia melakukan tugasnya dengan baik."
"Tuan hyuuga? Apa mereka bersekongkol untuk menyingkirkanku!?
"Tapi, ayah... kenapa... apa maksudnya semua ini."
*"sampaikan salamku pada Kiashi."* kata seorang pria dibalik telepon orang yang sedang menerima panggilannya.
"Ya, tuan Minato. Sampai nanti."
Tak lama orang itu menutup telepon dan melanjutkan langkahnya. Langkahnya tak lain adal menuju kendaraannya. Namun pria itu langsung terkejut saat Naruto, alias mantan bosnya mencegat dirinya. Pria itu terkejut setengah mati sampai menjatuhkan ponsel yang belum sempat ia selipkan kedalam saku jasnya. Bahkan koper yang ditentengnya pun ikut jatuh saat ia mundur surut.
"Sebaiknya kau jelaskan pada mantan bos mu ini!" Wajah Naruto mulai menakuti pria tersebut.
"Tu... tuan Naruto..." lelaki itu benar benar terkejut dan panik.
"Aku mendengar semuanya. Kau akan menjelaskan padaku apa yang terjadi."
Disaat seperti ini, lelaki ini terlihat begitu menghormati mantan bosnya. Namun disisi lain, ia telah berjanji untuk merahasiakannya.
"A..aku... tu, tuan... aku..."
"Jelaskan padaku!" Naruto mendekat dan aura mengancam mulai dirasakan lelaki tersebut.
Lelaki itu menjelaskannya dengan cepat. Saat mendengar itu, Naruto tampak tak mempercayai apa yang telah ia dengar. Sebuah kenyataan yang kembali membuatnya berada daam dilema.
"Ja... jadi... Ayah..."
"Dia..."
Lelaki itu pun menguang kembali penjelasannya.
"Be, benar. Ayahmu merencanakan penyingkiran tuan Naruto dari perusahaan. Ini hanyalah skenario..."
"Ta... tapi..." Naruto kembali tak mempercayai kenyataan yang telah ia terima.
"Ayahmu marah saat mendengar tuan Naruto membeli mobil baru. Mobil yang berharga mahal. Ayahmu pikir, tuan Naruto mulai boros..."
"percayalah tuan, aku benar-benar tak menginginkan skenario ini tapi..."
"Ayahmu bilang ini hanya untuk membukakan mata tuan..."
"...uang perusahaan bukan untuk di foya-foya..."
"...ayahmu ingin tuan merasakan pahit saat tuan kehilangan segalanya..."
"beliau juga ingin, tuan Naruto memulai kembali dari nol seperti orang tuamu dulu..."
"Karena itu, tuan Minato dan rekan usahanya, Tuan Hyuuga..."
"...merencanakan ini..."
"..rencana penyingkiran tuan, hanyalah agar tuan Naruto bisa lebih bijak dalam menggunakan uang..."
"...Dan..."
"Sudah cukup!" Naruto menyela perkataan pria tersebut. "Aku tak mu dengar lagi."
Keadaannya yang lesu, kini mulai semakin lesu. Seolah kakinya kehilangan kekuatan, ia langsung menjatuhkan tubuhnya dalam keadaan berlutut. Pandangannya kosong. Ia membayangkan kembali segala yang terjadi sesaat ia kehilangan harta-kekayaannya.
Ia teringat pada seorang gadis.
Yang telah ia buat menderita.
Yang kini sedang tak berdaya.
Yang kini sedang lemah.
Yang kini sedang menanggung segala perbuatan dirinya.
Ia teringat pada Hinata.
"Tuan, kau baik-baik saja?" pria itu khawatir melihat kondisi Naruto, pimpinannya. "tuan, aku..."
"Jangan katakan apapun pada ayahku..." Kata Naruto menyela.
"...Jangan katakan padanya kalau aku sudah tau..."
"ada yang harus kuselesaikan..."
"..." pria itu terdiam untuk sejenak. "uh... y, ya... tentu."
"dan jangan katakan pada siapapun. Ini hanya diantara kita. Berjanjilah, Yamada-san..."
Pria bernama Yamada itu ternyata menaruh oyalitas yang tinggi pada mantan bosnya. Rupanya, ia tak berpihak pada sandiwara yang direncanakan ayah Pemuda pirang ini.
"Aku berjanji..."
"Sekarang pergilah..." Naruto menginginkan pria itu untuk pergi meninggalkannya.
"Tapi, tuan... kau..."
"Tinggalkan aku...!" Naruto menyela-nya agar pria itu pergi.
Pria itu sangat santun padanya. Sebelum ia meninggalkanya, ia menegakkan tubuhnya, lalu membungkuk. Kemudian pria itu pergi.
Kini Naruto tetap pada posisinya.
Ia sendirian.
Pandangannya tetap kosong.
Ia tak henti-hentinya membayangkan apa yang belakangan ini telah terjadi.
Setitik air mata pun mengalir dari balik kelopak matanya. Menyisakan kilauan kesedihan dan penyesalan.
###Bersambung.
sinopsis next chapter. "I'M SORRY"
"Maafkan aku, Hinata... aku... menyesal."
akankan kata maaf bisa mengobati segala penderitaan yang ia terima dari pemuda kejam ini. apakah saat ia menyiksanya, ia teringat penderitaan dahsyat yang Hinata rasakan?
"Kenapa kau diam saja. katakan sesuatu..."
"bicaralah Hinata..."
"...gunakan air matamu."
Naruto sendiri mulai menitikkan air mata. Mentari membuat kilauan dari titik mata biru-safir yang belum sempat turun mengalir.
"kumohon... katakan sesuatu..."
Terima kasih buat para reviewer setia ff SUFFER yang gaje dan ngga mendidik ini, hehe
maaf updetnya lama karena emang ane kudet sih.
balasan buat para reviewer : terma kasih banyak ajah.