Naruto FanFiction, Du_uN presents
SUFFER
Ch 01 "Secret"
Disclaimer : Masashi kishimoto
Genre : Drama
Auth : Du_uN
Summary:
Malam paling pahit yang pernah dialami oleh gadis lugu berambut biru indigo. Tak tahu apa kesalahannya apa, ia menjadi pelampiasan seorang pemuda yang merupakan pujaaan hatinya. Ia harus ternodai, dan membiarkan luka yang membekas tersebut.
-Happy reading-
*Aku tak mengerti apa yang terjadi belakangan ini pada sosok pemuda yang selama ini menjadi pujaan hatiku. Ia menaruh dendam atas sesuatu yang tak pernah kutahu. Kadang sorot bola mata biru-nya memuat ku ketakutan. Jika saja aku tahu apa yang telah kulakukan, kuharap aku bisa mengembalikan senyum yang selalu ia perlihatkan pada ku. hanya padaku ia tak memperlihatkan senyumnya. Hanya padaku ia menatap penuh kebencian.
Malam ini, Selasa 12 januari pukul hampir sepuluh malam, aku mencari teman yang bisa menemaniku saat gundah. Genangan air yang mereka sebut danau, pohon kesemek yang tumbuh subur, dan rerumputan lembut yang terkadang membuatku gatal-gatal menjadi sahabatku saat ini. Meski bulan setengah bulat menyerupai keripik kentang yang sinarnya kekuningan, lampu taman yang tak menyala dengan terang, dan gelapnya bumi disaat mentari beristirahat semuanya menakutiku, rasa takut itu tak lebih besar dari takutnya kehilangan orang yang selama ini kupuja. Kengerian malam ini ditambah dengan tidak hadirnya angin malam yang biasa berhembus untuk menemani setiap manusia yang berada di luar rumah. Disini, hanya aku seorang diri.*
Gadis muda yang duduk beralaskan rumput dibawah pohon kesemek yang rimbun, ditepi danau kecil yang tenang, dan ditengah kelamnya malam itu tampak murung. Tatapannya kosong menghadap permukaan danau yang tenang memperhatikan bayangan bulan setengah bulat mirip keripik kentang. Sesekali kepalanya menoleh kearah lain setiap kali ada gerakan yang mengusik lamunannya. Tanpa sengaja, ia melihat Seorang pemuda yang tak asing baginya. Pemuda itu melangkah menghampirinya. Meski masih cukup jauh, ia dapat mengenali pemuda di ujung jalan yang menyusuri tepi danau tersebut. Dalam hati ia menyebut nama pemuda yang sedang berjalan itu, "Naruto-kun?".
Ia pun terus menatap pemuda tersebut yang sepertinya terus melangkah ke arahnya. Sesekali angin melintas membuat ia sedikit menggigil hingga memaksanya untuk melipat kedua tangannya. Sweater yang ia kenakan tak cukup menahan dinginnya angin yang berhembus hanya beberapa detik saja. Ditambah ia tak mengenakan kaos tebal dibalik sweaternya. Atau mungkin, dibalik sweaternya itu, ia tak memakai apa-apa, kecuali hanya pakaian dalam saja.
Langkah pemuda itu terbilang lambat. Dan sesekali sempoyongan. Tangan kanannya memegang sesuatu mirip botol bening. Penampilan pemuda yang menghampirinya itu tampak berantakan. Kemeja putih yang dipakai tidak rapi, terlihat dari sebagian kemeja dimasukkan kedalam celana, dan sebagian keluar. Kancing kemejanya dilepas di beberapa bagian kerah sehingga dada bidangnya dapat terlihat. Semakin dekat jarak pemuda itu, ternyata terdapat noda di sebagian kerah hingga perutnya. Pemuda itu meneguk botol yang dipegangnya hingga tak bersisa, lalu membuangnya ke sembarang arah. Semakin dekat jaraknya, mulai tercium bau Alkohol.
Tatapan pemuda itu penuh kebencian. Pupil hitam di bola matanya membesar. Alis mata uang datar, dan dahi yang mengkerut. Mungkin itu karena minuman yang diteguknya. Kini ia berada tepat di hadapan Hinata yang sudah berdiri menyambut kedatangannya. Beberapa rumput kering berjatuhan dari balik rok pendeknya. Rok itu terbilang pendek karena saat ia duduk, rok itu melebar sehingga rerumputan langsung menjadi alas bagian 'belakangnya'. Hinata memukul-mukul bokongnya, sehingga rerumputan yang masih 'menempel' pun berjatuhan. Mencoba bersikap biasa, Hinata menyapanya seramah mungkin. "Selamat malam, Naruto-kun... sedang apa malam-malam begini kau..."
"Harusnya aku yang bertanya begitu. Aku hanya kebetulan lewat." Pemuda itu langsung menyela dengan nada bicara yang sedikit kasar. Jemarinya meraih kancing kemeja yang dikenakannya kemudian melepasnya perlahan. Entah apa yang ingin dilakukannya. Keheningan sempat terjadi diantara mereka, kecuali hanya saling menatap satu sama lain saja. Hingga akhirnya Naruto berhasil melepas semua kancing kemejanya. Bagian tubuh kekarnya sedikit terlihat di bagian tengah.
Hinata yang tak sengaja memperhatikan kelakuan Naruto sempat bertanya-tanya apa maksud dari perbuatannya pada kemejanya itu. "N, Naruto-kun..." ia menyeru nama itu dengan penuh penasaran.
"apa tak ada angin disini? Aku gerah sekali..." kata Naruto sambil melihat-lihat sekitar dan menggoyang-goyangkan kerah kemejanya.
"Umm... Ada yang bisa kubantu... Naruto-...kun?" merasa risih, Hinata pun 'to the point'.
"Ya... tentu saja. Aku ingin kau membantuku. Bisa kau lepas celanaku sekarang? Kau bisa?" tak mau berbelit-belit Naruto pun mengatakan itu dengan jelas dan nada bicara yang masih tidak tertata.
"Huh..?" pernyataan Naruto sempat membuatnya takut. Namun ia hampir tidak mengerti apa yang dimaksud dengan 'melepas celana'. "A, aku... tak mengerti maksud Naruto-kun..."
Tak ada pembicaraan lagi diantara mereka. Kini yang ada, Naruto hanya menatap Hinata tanpa bergeming, penuh kebencian yang membakar jiwanya. Keheningan pun terjadi. Hinata yang mencoba memahami apa yang dimaksud pemuda pirang itu. Kata 'celana' yang menjadi topik pembicaraan pun terlintas di benak Hinata, Hingga ia tanpa sengaja memperhatikan celana bagian 'itu'. Bagian itu menonjol keluar.
"Huh!?" Ia terkejut setengah mati saat sebuah pemikiran mengerikan terlintas dibenaknya. Kedua tangannya refleks menutup mulutnya mengikuti perasaan terkejut yang baru saja terjadi pada Hinata. Ia berpikir "...Apakah Dia akan...?"
"kau ingin mengatakan sesuatu, Hinata-chan..." nada bicara itu sedikit berbeda dengan sebelumnya. Aura sinis terlintas di gendang telinga gadis tersebut. "Jadi kau tahu apa yang kuinginkan...?"
"Naruto-kun... aku... kau..."
"jangan gunakan bahasa aneh itu didepanku!" Dengan sedikit membentak, Naruto membuat Hinata merinding ketakutan. Tubuhnya refleks bergerak saat bentakan itu terlontar. Degup jantungnya meningkat. "Kau bertingkah seolah tak bersalah setelah menjebakku."
"Uh... aku... tak mengerti..."
"Bisa-bisanya kau..." Kata-kata pemuda itu terhenti. "...berapa lama kau merencanakannya?"
Hinata hanya diam. Ia benar-benar tak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Naruto.
Dengan cepat, Sweater Hinata di cengkeram kuat-kuat dibagian kerah. Lalu menariknya kedua arah yang berlawanan, sehingga retsletingnya bergeser kebawah. "Akh...!" sontak gadis ini menjerit menyadari bahwa Naruto memperlakukan dirinya dengan kasar. Ia menyingkirkan cengkeraman Naruto dari kerahnya. Akibat perbuatan Naruto, Retsleting sweaternya terlepas dan terbuka sepenuhnya. Pantas saja tadi ia kedinginan oleh satu kali hembus angin malam musim panas ini. ia tak memakai pakaian rangkap di balik sweaternya kecuali sebuah "tali" Penyangga berwarna Hitam.
Selepas cengkeraman Naruto, ia berusaha melarikan diri menuju kendaraan yang terparkir tepat dipinggir jalan dekat ia duduk tadi. Namun sayang langkah cepatnya itu harus terhenti saat pemuda pirang itu meraih tudung sweaternya dari belakang. Dengan tarikan yang amat kasar, Sweater terbuka yang tak lagi memiliki retsleting itu terlepas dari tubuh Hinata. Atas perlakuan kasar itu, Hinata jatuh tersungkur ke arah ia ditarik oleh pemuda pirang dibelakangnya. Masih dengan ketakutan yang amat sangat, ia tetap terus berusaha untuk bangkit dan menjauh dari Naruto. Namun sayang, pemuda itu menangkap rok Hinata. Menahan langkah Hinata, lalu menjatuhkannya. Tak bisa berdiri, ia berusaha merangkak. Tanpa sadar, air mata mengalir di sudut matanya. Irama detak jantungnya yang cepat menghasilkan isakan yang mendorong air matanya keluar. Sebisa mungkin ia merangkak tanpa memandang pemuda pemarah yang ada di belakangnya. Tiba-tiba, sebilah pisau kecil menempel di leher Hinata. Dan dari belakang, Naruto menindihnya hingga membuat Hinata setengah merangkak, setengah telungkup.
"Sebaiknya kau tak kemana-mana gadis lugu..." Nada berat itu terdengar jelas di telinga Hinata. Bau alkohol semakin pekat di lubang hidung Hinata. Pemuda ini menindihnya dari belakang disaat Hinata setengah merangkak, beserta pisau kecil yang masih menempel. Sesekali pisau tajam itu bergerak dan menggores leher Hinata sehingga mengucur darah. Sempat merasa sakit, ia pun merintih. Sayatan pisau itu tak begitu berarti, karena darah yang mengucur hanya sedikit. "Berani sekai kau menjebakku untuk menandatangani dokumen bodoh itu. Berapa lama kau merencanakan ini, Hinata?" pertanyaan itu mengetarkan buluk kuduk Hinata kuat-kuat.
"a...aku tidak tahu. S..sungguh Naruto..."
Naruto semakin menindih Hinata Hingga membuatnya benar-benar tak bisa bergerak. "Baiklah..." senyum sinis terlukis di bibir Naruto yang berada dekat telinga Hinata. Ia menciumi rambut panjang Hinata dari belakang dan menjalar Hingga ke tengkuknya. Hal itu membuat merinding gadis yang dirinya tengah berada di bawah ancaman.
"Kuharap kau menikmatinya, Hinata..."
Kata-kata itu menimbulkan perasaan buruk dalam benak Hinata.
"Apa yang akan kau lakukan, Naruto...kun..."
Sekali Lagi, Naruto mendekati telinga Hinata dan kali ini benar-benar menempel. "Menjeritlah, jika bisa..."
"Deg...!"
"...hhh... GGGAHHHH!"
_- 0 -_
7 hari sebelumnya, rabu, 6 januari, pukul 16.03.
"Aneh, tidak biasanya Naruto-sama terlambat. Apa karena pekerjaannya semakin membuat ia sibuk?" Hinata tengah duduk di tepi parkiran kendaraan menunggu seseorang yang disebut dalam gumamannya. Universitas Konoha, Favorit mereka yang ingin memulai kehidupan sukses di tengah peliknya ekonomi Konoha. Hanya kalangan ber-'duit' saja yang dapat menuntut ilmu di tempat elit ini. Gedung terdiri atas enam lantai dan melebar sepanjang 125x60 m, dan halaman yang selebar empat kali lapangan sepak bola. Bisa dibayangkan seperti apa fasilitas universitas tersebut.
Tak lama, seorang yang ditunggu-tunggu Gadis berambut indigo dengan kuncir ekor kuda ini datang juga. Menurut jam tangannya, ia terlambat 2 menit. Hanya dua menit? Itu bukan keterlambatan yang berarti. Bisa dilihat betapa ingin bertemunya gadis ini terhadap pemuda yang ditunggu-tunggunya. Dua menit adalah penantian yang cukup lama baginya.
Mobil sedan silver mewah dikenali merupakan milik Naruto Uzumaki. Mobil itu pun masuk ke halaman parkir mobil, kemudian tak lama, sang pengemudi pun keluar. Senyum sumringah terpancar dari gadis berkacamata ini. Baru dua menit menanti, serasa sehari baginya. Rasa gugup seperti biasa pun muncul secara refleks. Irama denyut jantung mulai tak beraturan, sedikit memanas di daerah wajah. Padahal jarak mereka belum ada sepuluh meter. Langkah kecil Hinata menghampiri pemuda pirang tersebut.
"Selamat, sore. Naruto, ...-sama..." ucapannya seperti biasa, terbata-bata.
"Oh, Hinata-chan." Naruto menjawab sapaan gadis tersebut. "...Selamat sore." Senyum hangat pun terlikis di wajah pemuda itu.
Mereka berdua berjalan berdampingan. Hinata sedikit berada di belakang sambil membuka-buka sebuah map yang sejak tadi dikepitnya. Padahal tas model selendang miliknya cukup sesuai dengan ukuran map yang sejak tadi dibawanya. Namun sebelum memulai pembicaraan, Hinata merapikan sedikit penampilannya. Kemeja lengan panjang berwarna putih dan rok 'peplum' Abu-abu sepanjang lututnya. Sebenarnya Rok yang agak ketat itu meninggalkan dua garis diagonal dibelakangnya setiap kali mengencang. Namun kain aksen menjuntai yang merupakan bagian dari rok tersebut, menutupi garis diagonal tersebut.
Setelah dirasa siap, Hinata pun memulai pembicaraan saat langkah mereka sudah sampai di depan anak tangga menuju lantai berikutnya. "Hari ini sesuai janji kita akan bertemu di kedai kopi 'Tanaka' seperti yang dikatakan sekretaris anda." Ujar Hinata.
"Ya, Aku ingat." Sahut Naruto sembari terus melangkah menaiki anak tangga satu demi satu.
"A..aku sedikit canggung karena ini pertama kalinya... aku... membawa dokumen rahasia antar pimpinan perusahaan." Hinata menjelaskan apa inti pertemuannya. "...aku tidak diperkenankan untuk melihat isi dokumen. Jadi aku tak tahu, apa isi dokumen yang akan anda tanda-tangani."
"Ya baiklah. Aku akan melihatnya nanti." Naruto menjawab seadanya tanpa mempertimbangkan atau memikirkan dokumen macam apa yang akan dia tangani. "Dokumen bersifat rahasia? Apa maksudnya?" gumam Naruto dalam hati.
"Kemudian, yang aku tahu, ini mengnai tagihan dan utang piutang serta saham yang meningkat secara fluktuatif, namun menurun di satu saat secara signifikan." Hinata mmbacakan sbuah dokumen namun menggunakan kata-kata tambahannya sendiri. "Pimpinan Hyuuga ingin agar Naruto-sama meningkatkan liquiditas, melihat keadaan ekonomi sedang menuntut kita untuk mempertahankan kebutuhan jangka panjang. Ini berhubungan kualitas dan kuantitas para pkerja yang belakangan ini menurun." Usai mnjelaskan secara singkat dokumen panjang yang ia bacakan, Gadis lugu ini menutup map tersebut dan mengapitnya di antara tangan dan pinggangnya.
"err... Baiklah. Aku mengerti. Kita lanjutkan nanti di tempat yang telah ditentukan." Jawabnya Secara singkat.
"hhh, Sial. Aku tak mengerti sama sekali apa yang dikatakan nya. Kenapa tugas bodoh ini diberikan padaku? Ayah, cepatlah pulang." Naruto menggumam dalam hati.
"Baik, Naruto-sama."
Pemuda pirang ini mengarahkan bola mata biru-safirnya ke Hinata dengan tatapan tertegun. "Ngomong-ngomong..."
"hn...?"
Naruto melanjutkan, "Sejak kapan kau memanggilku 'Naruto-sama'?"
"Kita memang jarang bertemu enam bulan terakhir sejak aku mengambil kuliah sore. Tapi, kau tak perlu bersikap seperti itu kan."
"Uh, aku... kau tahu. Di perusahaan ayah ku, aku mengambil posisi sebagai asisten sekretaris senior. Dan kau adalah... pimpinan partner kami. Jadi, itu..."
"itu tidak ada hubungannya, Hinata. Bagiku, kau tetap temanku. Bukan bawahanku, ataupun bawahan partner ku. Laguipula, partnerku itu seorang yang sudah tua. Yaitu ayahmu." Ujar Naruto setelah menyela perkataan Hinata.
"Uh, memang seharusnya begitu kan, Naruto sama...?"
"Ini karena orang tuaku memberikan tugas ini padaku seorang diri. Sedangkan mereka asik-asikan diluar negeri. Menyebalkan. Aku harus merubah jadwal kuliahku." Naruto menggerutu.
"memegang dua perusahaan besar seorang diri memang rumit. Naruto-sama... memang... hebat." Hinata memuji pemuda itu dengan sikap malu-malu saat ia mengucapkan kata 'hebat'.
"hhh, aku hanya menjalankan sedikit pekerjaan. Kebanyakan aku menyuruh sekretarisku untuk mengurus hampir semua pekerjaan." Tanpa sadar mereka sudah berada di lantai tiga.
"Ruang kuliahmu di lantai ini kan?" Naruto memastikan kalau ruang kuliah Hinata dilantai mereka berada saat ini.
"Ah iya. Kau benar. Sampai nanti, Naruto-sama!" Hinata mengucap perpisahan sebelum mereka benar-benar berpisah di lantai ini. Kedua tangannya saling berpegangan didepan perutnya sambil memegang map yang sejak tadi ia bawa.
Namun sebelum berpisah, Naruto menghentikan langkahnya untuk menyampaikan sesuatu, "Hinata, jangan terlalu kaku seperti ini. Panggil saja aku seperti biasanya. Jangan anggap aku ini atasanmu. Mengerti, Hinata-chan?"
"Uh...?" Hinata sedikit tertegun. "...Ya, Naruto...-kun." Sembari sedikit membungkuk. Kemudian Naruto melontarkan senyum perpisahan yang amat membuat Gadis ini semakin sumringah. Wajar saja dua menit begitu lama untuk menanti pemuda itu, sebab ternyata, Naruto mengambil kuliah sore. Berbeda dengan Hinata yang mengambil kuliah siang seperti para mahasiswa lainnya.
_- 0 -_
Pukul 20.21 malam, Hari yang sama.
"Jadi... sebanyak ini? 24 bundel? Ini ada ratusan lembar!" Naruto sedikit menggerutu saat dokumen dalam sebuah amplop tersegel ia buka.
"Y, ya. Entahlah. Aku tak begitu tahu soal dokumen rahasia itu." Sahut Hinata tak begitu paham. "aku hanya diperintah untuk membawanya padamu. Tapi kelihatannya, membacanya satu persatu akan memakan banyak waktu. Besok pagi-pagi sekali, aku sudah harus menyerahkannya pada ayahku."
"Membacanya satu persatu? Kau pasti bercanda, Hinata. " Naruto sedikit bergurau.
"Haha... kalau begitu mungkin sebaiknya kau harus mencermati isi masing-masing dokumen." Hinata memberi saran. Kemudian ia meraih Cappucino pesanannya dan menyeruput perlahan.
"Hmmm..." Naruto mencermati beberapa dokumen. "...Kelihatannya ini hanya dokumen biasa. Lihat. Tagihan, utang piutang, pajak... sepertinya ini hanya dokumen-dokumen biasa." Naruto langsung menuju lembar akhir masing masing dokumen yang di staples dan mencai kolom tanda tangan. Tanpa mencermati lagi, ia tandatangani banyak dokumen sekaligus.
"Kau yakin itu hanya dokumen biasa? Lalu kenapa sifatnya rahasia?" Hinata masih sempat bingung.
"Percayalah, ini hanya dokumen yang sudah sering aku tangani sehari-hari." Kemudian beberapa menit kemudian, ia berhasil menyelesaikan semuanya. Kamudian ia menyeruput kopi cappucino pesanannya yang sudah tidak terlalu panas hingga habis. "Baiklah, kita sudah selesai. Lalu..."
"errr, Naruto-kun...?" Hinta memanggil Naruto yang sedang bersiap untuk beranjak dari meja.
"hn? Ya?"
"Kau keberatan jika kita... berjalan-jalan sebentar?" ujar Hinata. "Aku janji, takkan lama..."
"Kau bercanda? Menemanimu semalaman pun aku berseda, Hinata?" Sontak gurauan Naruto itu memerahkan pipi Hinata seperti biasa. Sedikit tertunduk malu, namun jiwanya penuh semangat.
"Sudah lama sekali kita... tidak mengobrol." Kata Hinata sedikit memalingkan wajah.
Tiba-tiba Naruto membungkukkan badan dan meraih pipi Hinata dengan jemarinya. Betapa terkejut, Jantung gadis berkacamata ini langsung berdetak sangat kencang. Jemari itu membelai sudut bibir Hinata yang kotor oleh sesuatu.
"Ada busa kopi di pipimu..."
"em, oh, eh... umm, Nna... naruto...!"
_- 0 -_
"Jadi, kau memutuskan untuk pulang dari Amerika setelah lulus sekolah menengah, dan kuliah di Konoha? Kurasa itu tidak begitu bagus." Ujar Naruto ditepi trotoar bersama Hinata. Mereka berada di tengah padatnya kota Konoha. Keramaian sekitar tak mengusik kebersamaan mereka saat ini. Bahkan sebising apapun itu. Arah perjalanan kecil mereka menuju kampus. Sesekali mereka duduk di halte bus hanya sekedar untuk mengistirahatkan kaki atau mengulur waktu untuk mengobrol.
"eh, y, ya. Tadinya kupikir begitu. Tapi, konoha bukan hanya sekedar kampung halamanku. Enam tahun kutinggalkan, rasanya kangan sekali." Hinata bercerita sedikit.
"Saat lulus Sekolah dasar, ayahmu memutuskan untuk menyekolahkanmu di Amerika. Setelah enam tahun, kau kembali ke konoha. Kau yakin hanya Konoha yang kau Rindukan?" Naruto mencoba menggoda Hinata.
"Eh, i, ya. Tentu saja."
"Apa mungkin kau tak merindukan sesuatu yang lain?" Naruto menggodanya Hingga gadis berambut indigo itu tersipu. Sepertinya Naruto mencoba untuk menyinggung perasaan Hinata terhadapnya.
"Maksudmu... apa?"
"Entahlah... Mungkin kau sangat rindu padaku. Makanya kau ingin sekali pulang ke konoha. Ya kan?" Gurauannya semakin hebat ditambah dengan tawa kecil Naruto untuk menggoda Hinata.
"Uh? N, naruto-kun...? yya-yang benar saja... a, aku..., errr tidak... itu, tidak benar."
Dan kelihatannya, itu sangat sukses. Lihat saja sikap Hinata. Tiba-tiba ia salah tingkah. Gadis itu menyembunyikan kedua tangannya di belakang dan jemarinya saling bermain satu sama lain. Pandangannya berpaling ke arah lain, wajahnya merona, dan sesekali menggaruk-garuk pelipisnya yang tidak gatal.
"Lihat, kau semakin bersikap aneh..." telunjuk Naruto mengarah ke wajah Hinata. "Hahaha...!"
"Ingat saat SD dulu? Kau dan aku digosipkan berpacaran. Seisi sekolah menggosipkan kita. Bahkan kita dituduh berbuat mesum dibelakang sekolah, kau ingat!?"
Saat teringat itu, Hinata langsung semakin tersipu. Betapa tidak, baginya masa lalu itu bisa dibilang paling indah ataupun yang terburuk.
"uh, saat itu. Kau tiba-tiba menabrakku. Dan murid lain sedang berkeliaran. Lalu... dan... kita... mereka, aku..."
"Aah, sudahlah. Cara bicaramu semakin aneh." Naruto menyela saat cara bicara Hinata semakin tidak karuan.
Senda gurau mereka harus dihentikan karena waktu sudah menunjukkan pukul 21.45 di Arloji Gadis yang bersama Naruto. Sudah saatnya mereka pulang kerumah masing-masing.
"Uh, sudah selarut ini. Kurasa saatnya aku untuk pulang, Naruto-kun..." Hinata berhenti memeriksa jam tangan di balik lengan kemejanya.
"Hmm, benar juga." Naruto memverifikasi kembali dengan jam tangan digital miliknya.
"Aku akan panggil taksi." Hinata melihat-lihat sekitar lalu lalang kendaraan.
"Aku akan mengantarmu. Tunggulah disini, aku ambil mobilku dulu." Naruto menawarkan diri untuk mengantar Hinata. Sepertinya Hinata menerimanya dengan baik, namun sekedar basa-basi atau memang keberatan, Hinata merasa canggung untuk menerimanya.
"Uh, tak perlu, Naruto-kun. Aku selalu pulang naik taksi. Lagipula..."
"Tunggulah...!" Naruto menyela Hinata kemudian berlari menuju halaman parkir gedung kampus. Meskipun sudah larut malam, ada penjaga gedung yang mengawasi selama 24 jam. Dan di halaman parkir, hanya tinggal Kendaraan sedan milik Naruto saja yang tersisa.
Pos keamanan universitas itu melihat kedatangan Naruto yang berlari kecil. Ternyata jarak cafe, cukup jauh dari universitas. Naruto sudah melintasi 2 halte bus dan 3 persimpangan.
"Hey, kau pemilik mobil itu? kemana saja!? Kami akan menutup gerbangnya!" seorang petugas keamanan memperingati Naruto.
"Maaf, aku berjalan-jalan sebentar." Pemuda pirang itu mengusap-usap belakang kepalanya.
_- 0 -_
Gedung apartemen itu berlantai 50, dan tempat tinggal gadis yang sedang menumpang bersama Naruto ini tinggal di salah satu kamar gedung tersebut. Tak perlu menunggu lama, Naruto berhasil mengantarnya ke tempat tinggal gadis berkacamata dan berambut indigo tersebut. Entah kenapa, kini rambut gadis itu tidak dikuncir lagi.
"Baiklah, sudah sampai." Kata Naruto setelah menepi ke depan pintu masuk gedung apartemen.
Sebelum keluar dari dalam mobil Hinata mengutak-atik tas selendangnya. Mencari sesuatu. Rupanya ponsel 'Smartphone'-nya. "Hhh, Kupikir benda ini tertinggal."
Naruto hanya tersenyum menggelikan melihat tingkah Hinata yang sok panik.
"Terima kasih Naruto-kun... eh..." bola mata Hinata tercengang melihat sesuatu didalam tas selendangnya itu. Ia memperhatikan sebuah amplop coklat yang masih tersegel. Setelah dikeluarkan ternyata amplop berisi dokumen dengan tanda 'Top secret' di ujung amplop-nya. "Uuh, sepertinya aku lupa sesuatu. Kau juga... harus menandatangani dokumen ini. Astaga, aku benar-benar tak ingat dokumen ini."
"Benarkah? Biar kulihat." Pemuda itu mematikan mesin kendaraannya kemudian meraih Amplo yang tengah dipegang Hinata. "Dokumen rahasia lagi? Baiklah. Sepertinya amplop ini jauh lebih tipis dari sebelumnya. Kurasa takkan lama."
"Aku benar-benar minta maaf. Aku hampir lupa menunjukkan dokumen penting itu tadi." Hinata memperlihatkan sikap penyesalannya seperti wanita lugu pada umumnya.
"Ya tidak apa-apa. Hanya 3 lembar dokumen biasa." Naruto langsung meraih bolpoin yang disangkutkan di saku kemeja-nya, kemudian menaruh dokumen itu diatas pahanya. Sekejap, Ketiga lembar dokumen itu ditandatangani. Dari jok penumpang, Hinata memperhatikannya. Sekali kedipan untuk membasahi Mata gadis tersebut.
"Baiklah. Sudah selesai." Pemuda pirang itu memasukkan kembali dokumen kedalam amplop dan memberikannya pada Gadis disampingnya. "Tak perlu waktu lama..." ia malah menunjukkan tawa yang entah apa artinya.
"Y, ya... terima kasih. Sampai ketemu lagi, Naruto-kun." Gadis itu mengucap kata perpisahan sebelum menarik kenop pintu kendaraan.
"Hinata-chan..." Naruto mencegah gadis itu untuk pergi. Dan tentu saja, Hinata mendengar itu. Tangan pemuda itu memegang cukup erat lengan Hinata. "Ummmm... aku..." Pemuda pirang itu kesulitan bicara.
"Ada apa, Naruto kun?" Hinata menampakkan wajah gugupnya ketika lengannya digenggam. Ia belum berani menunjukkan ekspresinya pada pemuda yang hendak menariknya.
Tiba-tiba, Naruto menariknya sedikit keras. Merasa kaget, tanpa disadari Gadis itu menoleh ke arah pmuda yang menariknya. Ternyata wajah pemuda itu sudah berada di dekatnya dan...
"Cup!" kecupan itu menempel cukup lama diantara dua bibir mereka. Dan Naruto melepaskannya dengan lembut.
"hhh...?" Nafas panjang Hinata terhembus tanpa disadari. Perbuatan Naruto sukses membuatnya tersipu untuk kesekian kalinya. Namun kali Ini, Hinata hampir tak berdaya. Ia pun langsung menunduk.
"Na.. Naruto-kun... ka... kau..." kesulitan bicara Gadis ini memalingkan wajahnya ke jendela mobil. "Ummmm..."
Tak berbeda Jauh, pemuda yang mengecup bibir gadis didekatnya pun amat tersipu. Hal itu terjadi begitu saja. "Hinata... aku..."
"Aku sudah lama menyukaimu..."
"Degg!"
"Naruto-kun... "
"Uh, kurasa malam semakin larut..." Naruto mengalihkan pembicaraan melihat sikap Hinata sepertinya terus saja tertunduk.
"I...iya..." gadis itu pun menarik kenop pintu kendaraan hingga terbuka. Balum sempat keluar, ia tampak berhenti. "Kau yakin tak mau membaca dokumen yang barusaja kau tanda-tangani? Uh... kurasa itu perlu."
Pemuda bermata biru itu menyembunyikan bola matanya seraya tersenyum, "Kau tahu? Aku benci membaca..."
"Uh... se.. selamat malam, Naruto ...-sama. Eh, maksudku..."
_- 0 -_
Esok hari, Kamis Sore pukul 15.21.
"Menyebalkan sekali tugas yang diberikan dosen bodoh itu. Sekarang aku tak bisa berangkat ke kampus untuk mengerjakan ini. Dan aku... tak bisa bertemu Hinata. Aku seharian mengerjakan ini." Pemuda pirang ini menggerutu sesaat setelah kendaraannya tiba di kediaman Namikaze. Nama itu menggunakan nama sang kepala keluarga yaitu ayah Naruto, Minato Namikaze.
"Ngomong-ngomong soal gadis itu... ah, Kutelepon saja!" secepat mungkin pemuda ini mengambil ponsel dalam sakunya. Entah darimana ia mempunyai nomor gadis yang hendak dipanggilnya lewat telepon.
"Baiklah..." Naruto tampak girang sekali bahkan saat telponnya belum diangkat. Nada tunggu di telepon menunjukkan bahwa nomor yang ditujunya sudah terhubung.
*"Halo, dengan siapa?"*
"Ini aku. Kau tahu?"
*"Naruto-kun?"*
"Ya... hai, bagaimana kabarmu?"
*"uh, aku... baik. Darimana kau tahu nomor teleponku?"*
Aneh, cara bicara Gadis ini tidak seperti biasanya. Dia selalu gugup apapun yang terjadi jika berhubungan dengan Naruto. Bahkan Naruto sendiri menyadari itu. Hal yang semalam terjadi pun, sepertinya tak pernah terjadi.
"Errrr, hari ini aku tak masuk. Bisa kau beritahu sasuke atau lee? Katakan pada mereka aku... punya banyak pekerjaan."
*"tapi aku sudah pulang, Naruto-kun."*
"Benarkah? Baiklah. Tidak-apa-apa." Naruto berjalan keluar kendaraannya.
*"Ada hal lain yang bisa ku bantu?"*
"Uh... tidak. Tidak ada. Terima kasih, Hinata." Pemuda ini pun masuk kedalam rumahnya setelah membuka pintu yang terkunci dengan klunci yang dibawanya.
*"Baiklah. Sampai nanti..."*
"Uh, Tunggu, Hinata!" cegah dia sebelum telepon ditutup oleh gadis diseberang telepon.
*"...ya?"*
"Soal semalam... aku... minta maaf. Mungkin aku terburu-buru. Tapi, aku sungguh menyukaimu. Entah bagaimana aku mengatakannya."
*"..."* tak ada suara di seberang sana. Naruto mulai sedikit cemas. Pemuda ini mengusap rambut pirangnya berkali-kali sebelum akhirnya ia merebahkan tubuhnya diatas sofa di suang tengah yang sangat megah.
"Hinata? Kau dengar?"
*"Tidak-apa-apa..."*
"Baiklah. Sampai nanti..."
Belum sempat Ia mematikan telepon, gadis diseberang sana sudah mematikannya lebih dulu. Parasaan apa yang dirasakan Naruto kini, tak lain adalah rasa heran yang amat sangat. "apa benar, wanita itu sulit ditebak? Jadi, seperti ini kah?", Katanya berspekulasi. "Atau ciumanku semalam membuatnya gusar?"
Pukul 19.37, Hari yang sama.
"Wahahaha hahaha! Dasar bodoh!" gelak tawa Naruto yang lepas setelah acara komedi yang disaksikannya melalui TV plasma 60 inchi keluaran terbaru. Seperti tak terjadi apa-apa, ia melupakan pmbicaraannya dengan Hinata tadi. Namun sedang seru-serunya, ponselnya berdering. Menderingkan lagi favoritnya yang dijadikan nada panggilan.
"Hn? Telepon?" Langsung saja ia meraih ponsel yang berbunyi itu dari atas meja ruang tengah. Getarannya membuat tangannya ikut bergetar. Saat dilihat nama pemanggil, ternyata itu Hinata.
"Oh, Hinata? Mau apa, dia?"
*"Halo, Naruto-kun?"*
"Ya, Hinata-chan. Ada yang bisa kubantu."
*"...uuh, aku... mengenai sebelum ini... maaf."*
Cara bicara Hinata kembali seperti biasa. Sepertinya memang begitu. Naruto pun menyadarinya. Namun menjaga Imej-nya, ia berpura-pura seolah tadi tak terjadi apa-apa.
"memang-nya apa yang terjadi tadi?" ia tak bisa menyembunyikan senyumnya. Sayang, gadis diseberang sana tak tahu senyum girang Naruto ini.
*"Ah, aku... hanya terpikirkan hal semalam. Kau..."*
"Tak apa. Itu salahku. Apapun itu, aku minta maaf."
*"uh, Baiklah sampai nanti..."* tuuut
Telepon langsung diputus sesaat Hinata mengucap perpisahahn di telepon.
"Yaah, wanita memang sulit ditebak." Gumamnya sambil tersenyum.
"Ding dong..." bel kediaman Namikaze berbunyi. Seseorang telah menunggu di luar sana. Bel hanya dapat dibunyikan dari luar gerbang kediaman Namikaze. Itu berarti, sang pengunjung masih berada di luar sana.
"Siapa sekarang?" gumam Naruto sesaat setelah ia meletakkan Ponslnya ke tempat semula.
Didepan gerbang, seorang dengan setelan lengkap membawa sebuah map. Tak lama, Naruto pun tiba di tempat sang tamu menekan bel.
"cklek, ziiiitt..." selot dan gerbang pun dibuka.
"Selamat malam, Naruto-kun..." sapa pria itu dengan sikap yang tegas.
"Selamat, malam. Siapa kau?"
"Utusan Hyuuga. Saya kemari membawakanmu berita bahwa rumah ini beserta asetnya, 2 perusahaan beserta asetnya, 3 unit villa, dan 1 unit mobil pribadi, telah disita. Kau harus meninggalkan rumah ini, karena besok pagi-pagi sekali, rumah dan aset-aset yang kusebutkan tadi akan kami segel." Tanpa basa-basi pria berpenampilan rapi itu langsung 'to the poin'.
_- 0 -_
"Ini pasti kesalahan. Atas dasar apa kalian para Hyuuga bertindak sewenang-wenang begini. Aku akan menuntut!" naruto dengan geram membentak pria tersebut.
"Berhati-hatilah jika bicara. Bawahanmu, Shimura, akan menjelaskannya." Ujar pria tersebut. "Shimura, kemarilah.! Jelaskan pada mantan atasanmu ini!"
"Mantan?" Gumam Naruto dalam hati.
Tak lama pria yang dipanggil tadi menghampiri pria utusan Hyuuga tersebut. Lalu mengambil map yang dipegang utusan Hyuuga, dan menunjukkannya pada Naruto.
"Apa ini?" Naruto bertanya saat Dokumen dalam map itu ditunjukkan padanya.
"Anda menunggak tagihan sebesar 21 triliun. Dan Uzumaki Corp hampir bangkrut. Pihak bank menyita aset pribadi anda, dan para pemegang saham perusahaan anda mengambil alih semuanya." Jelas pria yang merupakan bawahan Naruto tersebut.
"Tidak mungkin. Aku sudah menyelesaikan semuanya setiap minggu!" Naruto mencoba membantah.
"Tapi anda sudah menandatangani penyitaan dan penyerahan tersebut."
"Apa!?" Naruto semakin naik pitam. Dia yang hanya mengenakan piyama tampak tak beribawa dihadapan bawahannya. "aku takkan pernah menandatangani dokumen bodoh itu! Lagipula ini tidak jelas apa masalahnya!"
"Semua sudah jelas. Sesaat anda pulang, pihak bank dan utusan Hyuuga mencari anda. Dan aku, harus menghadapinya. Aku tak bisa berbuat apa-apa, tuan." Jelas pria bawahan Naruto tersebut.
"Tapi aku tak menandatangani apapun hari ini." Sanggah lagi Naruto mencoba tidak membenarkan kenyataanyang ada.
"Kau sudah menandatanganinya." Pria utusan Hyuuga itu menyela. "Kemarin..."
Naruto tak bisa berbuat apa-apa. Ia membaca isi map yang tadi ditunjukkan padanya. Map itu berisi 4 lembar dokumen pernyataan. Dan di akhir lembar, ia harus menandatangani pernyataan tersebut. Tubuhnya lemas tak berdaya. Nafasnya berat, dan perasaannya pun dalam dilema. Perusahaan besar milik ayahnya, Namikaze Company, dan milik ibunya, Uzumaki Corporation, lenyap dalam sekejap.
"Ini mustahil. Penyitaan dan pengambil alihan ini sangat tak masuk akal." Naruto masih mencoba manyangkal.
"Jika ayahmu, atau orang yang sudah berpengalaman memimpin perusahaan besar ini, pasti takkan terjadi. Penurunan terjadi setelah kekuasaan jatuh ke tanganmu. Dan pihak komisaris memberikan sepenuhnya pada Hyuuga." Jelas pria utusan Hyuuga.
"Tapi soal menandatangani, aku tak pernah menandatangani apapun. Aku tak ingat ada dokumen menyerahkan kekuasaan dan barang yang disita."
"Kami sudah mencoba membahas ini sejak seminggu lalu. Utusan kami bilang bahwa pertemuan sudah ditentukan sesuai dengan keterangan sekretarismu. Yaitu kemarin." Kata pria utusan Hyuuga.
"Kemarin? Utusan kalian? Siapa dia?"
"Dia seorang asisten manajer. Wanita yang baru menjalani karirnya selama setahun ini. Ia putri sulung Pemilik perusahaan Hyuuga." Pria itu membetulkan dasinya seolah pria terhormat.
"Hinata...?"
"Ya, nona Hinata. Kami mengirimkan 3 lembar dokumen rahasia antar pimpinan melalui nona Hinata."
Naruto kembali menyadari bahwa pernyataan itu sama sekali tak benar. Dan ia menyangkal untuk kesekian kalinya, "3 lembar? Kalian memberiku dokumen bodoh sebanyak 24 bundel. Itu ratusan lembar."
"Tidak, hanya 3 lembar. Itu berisi pernyataan tidak membayar tagihan minggu ini dan 3 bulan terakhir, pernyataan pengalihan perusahaan, dan metode pembayaran tagihan. Rekomendasi yang kami berikan adalah dengan menyita semua harta pribadimu." Ujar pria tersebut.
"Hey, aku bilang kalian memberiku ratusan lembar. Kalian menjebakku!" Bantah Naruto semakin hebatnya.
"Ratusan? Dengar, kami menduga bahwa akan ada perselisihan atau perdebatan alot antara kau dan utusan kami, Nona Hinata. Awalnya kami yakin akan sulit mendapatkan tanda tanganmu di dokumen 3 lembar itu."
"a, apa... Apa maksudnya?"
"Kami bilang bahwa lakukan cara apapun agar kau mau menandatangani 3 lembar dokumen itu. Kami berencana menyuntikmu, atau menghipnotismu jika kau sulit menandatanganinya..." Ujar pria itu.
"Hah?"
"Rupanya hanya sekali pertemuan, wanita itu mendapat tandatanganmu, tanpa perselisihan, debat, atau kesulitan apapun. Kami memberikan posisi bagus untuknya."
"Jadi... dia..." Naruto menggumam.
"segera tandatangani dokumen itu. Kami punya banyak urusan. Kau punya waktu hingga besok pagi untuk pergi dari tampat ini."
Mata Naruto membulat sempurna. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya sekarang, selain menandatangani dokumen tersebut.
"Baiklah." Ia pun menandatanganinya dengan pulpen yang diberikan pria utusan Hyuuga tersebut. "Ano... apakah sedan ku juga disita?"
Pria itu hanya diam. Namun bawahan naruto yang menunggu beberapa meter dari pria tersebut menyela, "Tidak. Mobil itu dan rumah kediaman uzumaki tidak ada dalam daftar sitaan."
"Jadi, rumah ibuku tidak disita?"
"Kau yakin Shimura? Sudah kau pastikan?" tanya pria utusan Hyuuga.
"Su, sudah... tuan..."
_- 0 -_
3 hari kemudian, Kediaman Uzumaki, minggu pukul 14.12 siang.
Pemuda pirang yang kini tak lagi menjalankan aktivitasnya seperti biasanya terlihat amat berantakan. Penampilan yang sebelumnya rapi, dan elegan, Kini hanya seorang pemuda pemabuk yang kehilangan segalanya. Ia tengah Duduk di kursi kayu balkon lantai 2 sedang menghabiskan botol minuman yang sepertinya tak bermanfaat sama sekali. Tampak 2 botol kosong tergeletak dengan bentuk dan merek yang sama. Sepertinya ia sudah menghabiskan itu sepanjang hari ini. Dengan tatapan kosong dan berantakan, ia meraih ponsel yang terletak diatas pahanya, kemudian menyeret layar kesana kemari hingga dapat nomor kontak tanpa nama. Lalu nomor itu pun dihubungi.
Setelah menunggu sejenak, telepon itu pun tersambung lalu diangkat oleh seseorang yang dihubungi diseberang sana. Namun, tak ada suara.
"Halo..." Naruto memulai pembicaraan karena tak kunjung terdengar suara.
*"ya. Siapa ini?"* suara seorang lelaki yang.
"Kau punya barang bagus?" Nauro meminta sesuatu pada seseorang diseberang sana.
*"Maaf, aku harus tahu dulu ini siapa. Kamu hanya melayani pengiriman pizza dan softdrink dengan harga, terjangkau."* Lelaki di seberang telepon.
"Berhenti berdalih, Kabuto-san. Aku butuh barang bagus." Kata Naruto sedikit tinggi.
*"wowowo... tenang bung. Aku hanya memastikan bukan polisi yang menghubungiku. coba tebak siapa yang akhirnya membutuhkanku. Datang saja. Aku tak bisa melakukan pengiriman."*
"Berhenti bermain-main!" Nada bicara Naruto sedikit lebih tinggi namun dengan ekspresi yang datar seperti semula.
*"Aku serius. Katakan yang kau inginkan di tempatku."*
"Aku tak tahu dimana..." kata Naruto.
*"aku akan kirimkan alamatku lewan pesan singkat. Oke. Sekarang akan kututup."* *tuuuut...*
Telepon pun terputus.
Kemudian pemuda pirang ini menyeret-nyeret layar ponselnya kembali mencari nama kontak yang lain. Lalu berhenti di nama "Hinata-Chan". Kontak itu pun dihubungi. Tak lama panggilan pun terhubung, dan gadis di seberang sana mengangkatnya.
*"halo. Na, naruto –kun... kau kah itu?"*
Pemuda pirang yang melakukan panggilan terhadapnya ini justru tak bicara.
*"lee dan Sasuke menanyaimu. Kau tidak masuk Selama tiga hari ini."*
-Tambahan: di konoha, kuliah bisa sampai setiap hari meskipun hari sabtu minggu adalah hari libur bagi para pekerja.—
"Hinata..." Naruto memanggil nama gadis itu. Dari balik telinga gadis di seberang telepon, panggilan itu terdengar lembut, padahal Naruto yang sekarang ini sedang senewen.
*"i, iya... Naruto-kun?"*
"Jadi kau sudah mendapat posisi baru?" Naruto merubah nada bicaranya seolah tak terjadi apa-apa.
*"Uh, oh... iya. Aku baru ingat. Direktur perusahaanku bilang aku mendapat posisi..."*
"ya, ya... pimpinan di perusahaan Namikaze atau uzumaki... benar kan."
*"uuuh, ya. Eh, darimana... Naruto-kun tahu? Kudengar... kau..."*
Hinata berhenti bicara dan membuat pemuda bermata biru safir ini menunjukkan sikap geram.
"apa!?"
*"K, kau... diberhentikan."*
*tuuuut*
Naruto langsung memutus panggilan itu. Tanpa sadar ia memperhatikan layar ponselnya, terdapat pesan masuk dari nomor tanpa nama. Itu adalah nomor yang tadi dihubung pertama kali. Dan isi pesan itu adalah sebuah alamat.
_- 0 -_
Pemuda pirang ini sudah tampak lebih rapi. Namun penampilannya memang tak seperti biasanya. Kini ia berada di sebuah tempat. Papan tiang besi di perempatan jalan itu menunjukkan nama jalan tempat tersebut, "NOROIKO street." Nama itu cocok dengan tulisan yang ada di pesan singkatnya tadi. Untuk memastikan, ia pun melihat kembali isi pesan yang berisi alamat tadi. Dan hasilnya, tepat. Namun, ia tak bertemu dengan sesorang yang diteleponnya tadi. Alamat yang ia miliki hanya sebuah nama kota dan jalan. Tidak disebutkan gedung apa dan dimana lokasinya.
"Jadi... kau benar-benar datang ya? Apa yang membuatmu demikian... Hn?" seorang lelaki mengucapkan hal tersebut dibalik tembok bangunan sebuah toko sembari melipat tangan dan bersandar dengan gaya yang terbilang 'cool'.
Menyadari keberadaan lelaki tersebut, pemida pirang ini menoleh ke arah suara dari balik tembok bangunan yang sedikit gelap oleh bayangan gedung. Lelaki itu berambut abu-abu dikuncir dan berkacamata. Pakaian yang dikenakan hanya kaos santai berwarna putih motif tulisan grafiti "THE HELL" di bagian depan, dan "COME TO YOU" dibagian belakang.
"Kau sudah memenuhi permintaanku?" Kata Naruto tak berbasa-basi.
"Hei-hei, sabarlah. Bukan disini pertemuan kita. Aku beritahu tempat ini karena aku takut kau ingin menjebloskanku ke penjara. Jadi kupastikan, bahwa keberadaanku ini aman, Oke!?" ujar lelaki itu. "Mari kita ngobrol di tempat sebenarnya. Tempatnya 2 Kilometer dari sini." Lelaki itu pun merangkul Naruto dengan melingkarkan sebelah tangannya di bahunya. Ayo kita berangkat menggunakan mobilmu.
Tempat tujuan Naruto dan lelaki yang bersamanya ternyata adalah sebuah toko Pizza. Mereka masuk hingga kedapur, dan di dapur toko pizza itu terdapat pintu yang ternyata menuju ke sebuah ruangan luas tersembunyi.
"Selamat datang di pasar gelap. Disini, kita menjual apa saja. Kau ingin apa? Pil 'melayang' dengan harga 'selangit'. Atau pil 'tidur' dengan harga terjangkau?" lelaki itu menggunakan istilah menyerupai kode. Mereka pun duduk di depan seorang bartender.
"Aku tak akan pernah memakan benda itu! Bahkan jika aku sedang gila sekalipun." Naruto menolak mentah-mentah hal yang tak diinginkannya tersebut.
"Lalu... barang bagus apa... yang kau maksudkan?"
"...hhhh..." Pemuda pirang ini menghela napas "... kau tahu kan? 'Wine' dari Eropa, atau 'Bourbon' dari Amerika Latin. Bisa kau berikan?"
Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala dan menatap kesana kemari ke arah kawan-kawannya. Senyum kegembiraan terpancar dari lelaki tersebut. "Ha ha ha... dia memesan yang termahal!" lelaki itu mengatakannya dengan lantang sehinggga kawan-kawannya menoleh dan menyunggingkan senyum. "Sebaiknya kau keluarkan dulu beberapa lembar uang. Ini saaangat... mahal..."
"500 ribu. Aku tahu." Naruto mengeluarkan sejumlah uang dari dompet tebal-nya.
"Hey, Kimimaro!" lelaki itu menyeru seorang lelaki yang entah dimana keberadaannya. Nama pria yang diserukan itu pun muncul dari balik tirai du sudut ruangan. "Ambilkan aku Dua botol Wine Eropa, dan Dua botol Bourbon Amerika."
"Oke!" sahut pria yang tampak lebih tua itu.
"Hey, aku tak bilang pesan masing-masing dua botol." Naruto menyela saat mendengar pesanannya melebihi keinginannya.
"Tenang, itu untukku. Lagi pula aku akan membaginya. Anggap saja bonus."
Entah apa yang pernah terjadi diantara mereka, saat ini mereka berdua tampak akrab dan saling mengisi satu sama lain.
"Mereka semua bawahanmu? Atau pengikutmu." Tanya Naruto sambil melipat kedua tangannya diatas meja bertender.
"Kau salah, mereka semua kawanku. Disini, tak ada bawahan atau atasan. Tak seperti duniamu. Kau paham...?" Jelas lelaki berkacamata tersebut.
"Kau juga salah, Kabuto. Baru-baru ini aku kehilangan duniaku."
"Hn? Benarkah...?" Kata Kabuto.
"Itulah yang akan kuceritakan padamu."
_- 0 -_
Beberapa jam cukup lama bagi kebersamaan mereka untuk berbagi botol minuman yang mereka pesan. Minuman itu membuat mereka bersikap aneh. Dan cara bicara yang semakin aneh. Tiga botol pun sudah kosong.
"hhhh... jadi... kau ingin menuntut balas? Hiks" lelaki bernama Kabuto itu bertanya dengan nada sedikit tidak jelas dan tubuh yang terkulai lemas diatas meja bartender.
"Ya... aku ingin menghabisinya. Tapi itu akan membuatku dipenjara untuk waktu yang lama." Sahut Naruto meneguk minuman itu langsung dari botolnya.
"aku tahu... kau akan mendapatkan hukuman yang saaaangat berat. Hiks" ujar lelaki tersebut. "Tapi aku punya saran." Sambung kabuto.
"Apa itu?"
Lelaki bernama kabuto itu menatap Naruto dengan senyum penuh siasat. Sepertinya lelaki ini punya rencaca untuk membantu Naruto dalam menuntut balas terhadap seseorang.
"Akan kujelaskan Nanti... kau harus sadar dulu agar mendengarkan."
Didalam mobil, Naruto bersama lelaki yang bersamanya tadi. Mereka mendiskusikan sebuah rencana yang dapat membantu naruto menuntut balas namun dengan kemungkinan tidak terjerat oleh hukum. Pemuda pirang itu duduk d depan kemudi. Ia menerima sebuah pil di dalam sebuah plastik klip kecil. Pil itu berwarna kuning dan terdapat garis hijau ditengahnya.
"Kau tahukan aku tak mengonsumsi ini?"
"Ya aku tahu. Aku memang orang baik yang menjauhi Narkoba. Itu bukan Narkoba, itu obat yang akan memperkuat ereksi mu, dan menahan ejakulasi selama mungkin." Jelas lelaki tersebut.
"Berapa lama?"
"Paling cepat satu jam, paling lama semalaman. Tergantung dirimu sendiri. Kalau korbanmu mengadu, kau akan dijerat hukum penjara selama dua tahun bulan dan denda sepuluh juta. Tapi ingat obat itu akan membantumu, dan..." lelaki itu menjelaskan namun terhenti karena ia hendak mengambil sesuatu dari balik sweater yang sepertinya baru ia pakai. Sweaternya memang sedikit menonjol dibagian dalam.
"Dan apa...?"
"Ini..." lelaki berkacamata itu memberikan Naruto sebuah botol minuman yang sama seperti tadi.
Naruto pun mengambilnya namun tak menerti apa maksudnya. "Kenapa minuman ini bisa menolongku?"
"Minuman itu akan merubah kandungan pil yang sudah terserap oleh darahmu. Sehingga saat polisi melakukan penyidikan dan pemeriksaan urin, mereka akan menemukan kandungan yang sudah berubah oleh minuman itu." Jelas lelaki tersebut.
Namun IQ Naruto tak mampu menangkap maksud perkataan kabuto, "Jadi, apa yang akan terjadi?"
"Mereka akan menyimpulkan kau sedang dalam kondisi setengah gila saat berada di TKP, sehingga hukumanmu pun berkurang menjadi sebulan saja tanpa denda, dan menjalani rehabilitasi semlama beberapa hari. Selain itu, kawanku yang lulusan hukum, akan membantumu menjadi pengacaramu, sehingga kau akan bebas lebih cepat. Mengerti?" jelas lelaki itu diakhiri dengan pertanyaan retoris.
"Aku tak mengerti apa yang kau katakan, tapi sepertinya itu adalah hal yang bagus. Aku suka Hukum Konoha!"
"Lagipula, seorang perempuan yang dinodai secara paksa seperti itu, sangat jarang sekali melapor ke polisi ataupun ke kerabat-kerabatnya." Kabuto menyambung beberapa kata sebelum keluar dari kendaraan sedan Naruto.
"Kenapa kau bisa berkata begitu?"
"Kau tahu, seorang wanita yang diperkosa akan merasakan malu yang sangat besar. Luka dan rasa sakit pun membekas. Ia takkan mengambil resiko mengorbankan harga dirinya yang sudah jatuh. Begitulah." Ujar Kabuto. "Intinya kemungkinan besar wanita yang menjadi targetmu itu takkan melapo kepada siapapun."
"Aku mengerti. Tapi aku harus berhati-hati,kan?" Kata naruto menyunggingkan senyum sinis.
"Ya. Kepuasan kau dapat, penderitaan pun kau berikan. Dan penderitaan yang ia dapat menjadi rahasia untuknya sendiri." Sanggah Kabuto menutup pintu mobil. Namun jendela masih dalam keadaan terbuka.
"Tapi yakinlah, rasa penyesalan akan timbul sesaat setelah kau menodainya." Tampik lelaki itu seraya pergi. "dan itu nyata. Semoga berhasil."
Naruto memperhatikan langkah lelaki itu sembari memikirkan kembali setiap kata yang diungkapkan nya. Ia menggumam sendiri tanpa ada yang mendengarnya. "Penyesalan? Nyata?"
Ia memfokuskan pandangannya kedepan seraya menyalakan mobilnya. "Hinata... Kau mengambil semua milikku..."
"Maka penderitaan kuberikan padamu...!"
_- 0 -_
3 hari kemudian, Rabu 12 januari pukul 21.44
"Naruto diberhentikan? Aku tak mengerti apa yang dikatakan Shimura-san padaku. Tapi kenapa aku yang mendapat posisi ini?" Gadis berambut indigo ini menggumam dibawah pohon kesemek yang rimbun. Dengan alas rerumputan, dengan nyamannya ia duduk meski rok lipit yang dikenakannya tidak menjadi alas karena melebar. Akibatnya bokong-nyalah yang langsung menjadi alas tempat duduknya.
"Dia pasti marah padaku. Posisi ini diberikan padaku saat ia diberhentikan. Dan..."
Naruto tengah mengemudikan kendaraannya dengan perlahan. Mobil mewah itu hampir tak berbunyi atau berisik. Mesinnya amat halus, kebanggannya. Dikejauhan ia melihat sebuah mobil terparkir. Ia segera mematikan kendaraannya. "Apa itu dia!?" Gumam Naruto setelah memarkirkan kendaraannya di sembarang tempat.
Lampu tiang tidak menyala sempurnya. Suasana taman umum konoha itu sedikit mencekam. Sinar yang hanya sedikit itu menyorot sebagian besar kendaraan yang terparkir didepan sana. "Huh, aku beruntung. Ini tempat yang tepat." Ia pun mengambul sebuah pil dari sakunya yang terbungkus plastik klip kecil. Dan sebotol minuman persis yang pernah diberikan lelaki bernama Kabuto. Minuman itu berada di laci dasbor.
Beberapa menit kemudian, pemuda ini keluar dari dalam kendarannya. Pintunya dibiarkan terbuka. Langkah Naruto sedikit sempoyongan. Mungkin pengaruh minuman itu penyebabnya.
Ia melihat sesosok gadis yang menyadari kehadirannya sedang duduk dibawah sebuah pohon. Gadis itu pun berdiri, dan mencoba memperjelas penglihatannya di suasana yang kurang cahaya ini. Rupanya gadis itu pun tahu keberadaan Naruto. Gadis itu memperhatikan penampilan Pemuda yang menghampirinya. Sesekali ia memukul-mukul bokongnya yang kotor oleh rumput.
"Selamat malam, Naruto-kun... sedang apa malam-malam begini kau..."
"Harusnya aku yang bertanya begitu. Aku hanya kebetulan lewat." Pemuda itu langsung menyela dengan nada bicara yang sedikit kasar.
"N, Naruto-kun..." ia menyeru nama itu dengan penuh penasaran.
"apa tak ada angin disini? Aku gerah sekali..." kata Naruto sambil melihat-lihat sekitar dan menggoyang-goyangkan kerah kemejanya.
"Umm... Ada yang bisa kubantu... Naruto-...kun?" merasa risih, Hinata pun 'to the point'.
"Ya... tentu saja. Aku ingin kau membantuku. Bisa kau lepas celanaku sekarang? Kau bisa?" tak mau berbelit-belit Naruto pun mengatakan itu dengan jelas dan nada bicara yang masih tidak tertata.
"Huh..?" pernyataan Naruto sempat membuatnya takut
"A, aku... tak mengerti maksud Naruto-kun..."
"Huh!?" Ia terkejut setengah mati saat sebuah pemikiran mengerikan terlintas dibenaknya. Kedua tangannya refleks menutup mulutnya mengikuti perasaan terkejut yang baru saja terjadi pada Hinata. Ia berpikir "...Apakah Dia akan...?"
"kau ingin mengatakan sesuatu, Hinata-chan..." nada bicara itu sedikit sinis.
"Jadi kau tahu apa yang kuinginkan...?"
"Naruto-kun... aku... kau..."
"jangan gunakan bahasa aneh itu didepanku!"
"Uh... aku... aku..."
"...berapa lama kau merencanakannya?"
"Akh...!" jerit Hinata.
"Kuharap kau menikmatinya, Hinata..."
"Apa yang akan kau lakukan, Naruto...kun..."
"Menjeritlah, jika bisa..."
"Deg...!"
"Akh! ...hhh..."
"GGGAHHHH!"
Bersambung
review-review
maaf typo dan ke-tidakjelasan- ff ini. maklum masih pemula
terimakasih sudah membaca.