Normal POV

Malam itu begitu sunyi.

Gemerisik pohon yang saling bergerak, cakrawala tengah bersinar dengan gagah di atas sana, burung-burung tanpa nama sedang memamerkan sayap mereka yang lebar sekaligus indah. Waktu sudah menunjukkan tengah malam, namun orang itu terus saja melompat dengan cepat ke daerah pesisir dahan-dahan pohon di salah satu hutan bagian barat. Langkahnya terkesan pelan, berirama, tempo diatur demikian rupa, tidak terdengar suara; tetapi mata biasa akan selalu berdecak kagum apabila berhasil melihatnya di tengah kegelapan. Jubah pelindung berkibar kala dirinya melayang di bawah sinar rembulan. Hebat, rupawan, tampan, gelap, mematikan. Rambutnya yang mencolok itu melambai tertiup angin saat ia turun menginjak tanah.

Kedua permata biru tidak lagi memiliki setitik cahaya, namun masih memiliki satu tujuan yang terasa mutlak.

Matanya terbuka, menampilkan sepasang sharingan yang kelam, datar, mematikan, juga dilengkapi dengan perasaan kosong yang terkesan hampa.

Uzumaki Naruto mengadah, memperhatikan bulan serta sesuatu yang sekarang menjadi suatu kejelasan. Ia hanya terdiam di sana, memandangi tanjakan gunung yang begitu tinggi dan curam. Menghela napas pelan, kemudian dalam sekejap ia sudah ada di puncaknya dengan posisi yang sama—berdiri sambil melipat kedua tangan di dada.

Naruto menatap kedua batu insan itu dalam diam. Ia berjongkok dan menundukkan kepalanya sebentar—sekedar menghormat pada kedua benda mati tersebut. Pria dengan rambut pirang mencolok itu tersenyum kecil saat melihat sebuah nama yang tak asing di kedua matanya.

Uchiha Madara — 109.

"Hei," Setelah lama dalam keheningan, Naruto akhirnya mulai bersuara. "Sudah lama kita tidak bertemu, ne, Madara?"

Angin berhembus dari atas, Naruto tersenyum tanpa sebab.

Mendadak semuanya berputar menjadi satu-kesatuan. Kilasan memori yang dulunya merupakan sebuah pengalaman tak terlupakan hingga berubah menjadi satu kenyataan yang membuatnya muak. Dari awal pertemuan, menjadi kuat, konflik yang terus berdatangan, hingga mereka semua berada di puncak akhir dari sebuah dunia; perang shinobi keempat. Untuk pertama kalinya, Naruto bisa tahu siapa itu Madara. Bagaimana rupa leluhur dari Klan Uchiha, seperti apa pria yang berhasil memojokkan Hokage Pertama, siapa sosok yang hampir membunuh mereka semua. Kenangan pun terhenti saat berada di masa-masa Naruto bertemu dengannya,

—saat dirinya, Uchiha Madara, telah dibangkitkan menggunakan edo-tensei, mengalahkan semua kage, dan melawan dirinya dengan Sasuke.

Tidak lama, ia pun terkekeh pelan.

Hidup itu memang sulit ditebak.

Naruto yang dulu mengelu-elukan bahwa dia akan melindungi semua teman-teman dan seluruh penduduk desa, berkata bahwa ia akan menjadi Hokage terhebat, serta bersumpah akan melindungi tempat dirinya dilahirkan; kini telah berbelok arah menuju definisi dari sebuah kesesatan.

Akan Naruto tegaskan sekali lagi,

—dia berbeda.

—dia bukan lagi seseorang yang memiliki pemikiran seorang bocah.

—dia tahu apa keinginannya sekarang.

—dia tidak lagi peduli apa itu teman, desa, impian, atau pun kasih sayang.

—dia membenci semua orang.

—dia jahat.

Uzumaki Naruto bukanlah pria baik-baik. Camkan itu, keparat.

—dia sudah tidak bisa lagi dibilang pahlawan desa; lagipula, sebutan seorang pahlawan tidak lagi indah di telinga. Jijik adalah kata paling tepat untuk menggambarkan suasana hatinya jika ada orang yang masih menyebut dirinya demikian.

Jadi, hentikan semua pemikiran bodoh kalian. Tutup mulutmu rapat-rapat atau dia akan membunuhmu sekarang juga.

Sekarang, Naruto kini adalah cerminan dari seorang Uchiha Madara; seorang ninja pelarian dalam dunia shinobi, ninja yang bisa menciptakan mugen tsukiyomi, serta menjadi seorang Uchiha pertama yang membangkitkan rinnegan.

"Kau pasti sudah tertawa jika melihat keadaanku yang seperti ini," Naruto menyeringai, membayangkan kalau Madara kini telah ada di hadapannya. "Aku nuke-nin. Sekarang aku dipandang rendah, seperti dirimu dulu."

Angin berhembus.

"Aku mengerti perasaanmu," Naruto mengubah posisinya menjadi duduk dengan kaki menyilang. "Merasa dikhianati itu memang menyakitkan, 'kan? Aku benar-benar tidak menyangka kalau aku menjadi orang yang sama sepertimu."

Tidak ada yang menjawab. Dari berbagai sudut pandang, mungkin semua orang sudah menganggapnya gila.

"Kau pasti bertanya-tanya," Naruto berkata dengan suara rendah. "Kenapa hidupku menjadi seperti ini; menjadi seorang nuke-nin yang paling diincar oleh Negara Hi, terutama Konoha?" Naruto terkekeh pelan. "Saat mendengar jawabanku, kau pasti tertawa di dalam neraka sana, Madara." Pria itu bertopang dagu."Salahkan saja anak cucumu itu merebut semuanya dariku."

Suara gesekan dedaunan menjadi saksi bisu dari semua pembicaraan sepihak.

"Aku tidak tahu kenapa aku jadi seperti ini," Naruto menghela napas. "Awalnya aku menerimanya. Sasuke-teme memang pantas mendapatkan jabatan hokage, dia bisa memiliki dua kekkai-genkai sekaligus, rinnegan dan sharingan. Jadi, aku tidak heran." Hening. "Tapi entahlah, semakin lama aku tinggal di desa, semakin aku tidak bisa menahan diri—" Suara pelan itu berubah menjadi geraman. "—kalau aku tinggal lebih lama, aku tidak bisa menjamin keselamatannya."

Naruto terdiam lagi.

Jujur, dia mungkin menganggap dirinya sudah tidak lagi waras karena berbicara dengan batu nisan yang nyatanya merupakan benda mati tidak berguna Tapi Naruto tidak bisa memungkiri jika ia butuh seseorang untuk mendengar semua keluh kesahnya. Berkelana selama dua tahun, sendirian, tidak memiliki siapa-siapa ... itu bukan sesuatu yang mudah, 'kan?

Sekarang Naruto sendirian.

Dia sudah tidak punya siapa-siapa.

.

.

ETERNITY

Naruto by Masashi Kishimoto

Eternity by stillewolfie

Naruto U. & Hinata H.

OOC, Alternate Reality, typo(s), etc.

.

.

CHAPTER II. Perasaan

.

.

"...h-hah ... hah."

Siang hari, musim semi. Desa Konoha.

Hinata mencoba mengatur napasnya. Tangan bertumpu pada kedua lutut, sekedar untuk memikul berat tubuhnya yang terasa lelah. Rambut indigo miliknya kusut, wajahnya kotor dipenuhi oleh lumpur tanah, serta kedua telapak tangan terdapat lecet di mana-mana.

Namun, hal tersebut sama sekali tidak memadamkan semangat dari Pewaris Utama dari Keluarga Hyuuga.

Hinata mulai berdiri tegap, kedua tangannya membentuk sebuah segel tangan, gadis itu mulai mempersiapkan kuda-kuda. Tidak lama setelah itu, untuk keenam kalinya pada hari itu, byakugan kembali diaktifkan.

"Shōtei!"

Setelah meneriaki salah satu nama jutsu khas Hyuuga, Hinata segera melancarkan serangan secara telak pada batang pohon yang ada di hadapannya. Dorongan yang dialiri oleh chakra pada telapak tangan tampak menyerang musuh sehingga kulit batang pohon tersebut mengelupas. Hinata terus menyerang, menyerang, dan menyerang; membayangkan batang pohon tersebut adalah seorang lawan. Hingga—

"Oi, Hinata!"

Merasa dipanggil, Hinata segera menghentikan latihan. Ia menolehkan kepala sehingga menemukan Kiba yang sedang melambaikan tangan kepadanya. Gadis itu tersenyum, segeralah ia rapikan pakaiannya yang sempat berantakan akibat latihan rutin yang biasa ia lakukan di pagi hari.

"Hei," Kiba menyapa. Hinata ingin bertanya mengapa Akamaru tidak bersamanya sekarang, namun Kiba sudah berhasil memotong ucapannya. "Nanti malam ada waktu?"

"Eh?" Hinata mengerjap, ia menggelengkan kepalanya. "Tidak ... m-memangnya ada apa?"

Kiba tersenyum lebar. "Mungkin kau akan kaget, tapi—" Kiba meletakkan kedua telapak tangannya di belakang kepala. "—Shikamaru dan Temari-san sudah bertunangan!"

Hinata terdiam. Gadis itu melongo tak percaya.

"B-Benarkah?"

"Ya! Awalnya aku tidak percaya sih, aku tidak menyangka orang seperti itu mendahuluiku." Kiba tertawa keras, ia meminta pada Hinata agar melupakan leluconnya tadi. "Jadi, bagaimana? Kau mau, 'kan?"

"Tentu saja," Hinata tersenyum. "Berarti, keluarga Kazekage-sama akan datang?"

Kiba mengangguk semangat. Dia berbalik pamit dan melambaikan tangan pada Hinata, meminta gadis itu harus datang ke Yakiniku-Q tepat pukul tujuh malam nanti. Hinata pun membalas lambaiannya, tersenyum sambil mengucapkan terima kasih.

Setelah melihat keberadaan Kiba yang sudah tidak ada, Hinata kembali menghela napas pertanda sebuah kelegaan. Ia tidak bisa memungkiri kalau hatinya sedikit tidak nyaman saat pembicaraannya tadi bersama Kiba. Mereka semua sudah berumur delapan belas tahun, tidak banyak shinobi maupun kunoichi yang sudah menikah di usia muda seperti ini. Hinata pun tahu, apabila pasangan Shikamaru dan Temari bisa sampai ke jenjang pernikahan, desa juga mendapatkan keuntungan tersendiri berupa hak politik, pembangunan ekonomi, bahkan sosial. Dengan terjalinnya antara Penasehat Konoha dan Ketua ANBU Suna tentu mampu memicu perjanjian damai desa semakin erat dalam berbagai aspek kehidupan.

Siang itu begitu terik, begitu panas. Namun tidak dapat memadamkan semangat Hyuuga Hinata yang terus saja melanjutkan latihannya. Gadis itu terus berlatih, berlatih, dan berlatih lebih keras sejak insiden paling mengerikan setelah dirinya dilahirkan terjadi; di mana seseorang yang paling dicintai telah pergi meninggalkan mereka semua di sini.

"Jyuuken!"

Hinata tahu, ini bukan keputusan yang mudah. Ia sudah membulatkan tekadnya untuk membawa Naruto pulang. Dia sudah tidak tahan lagi. Dia tidak mau menjadi seseorang yang menunggu tanpa satu hal yang bersifat pasti. Hinata ingin Naruto kembali, pulang, mengelilingi desa seperti biasa, tidur di apartemennya dengan tenang, melakukan misi bersama-sama, dan tumbuh menjadi pria kuat seperti sebelumnya. Ia ingin kembali ke masa-masa mereka; masa-masa di mana Rookie 13 berada dengan tambahan Sasuke kembali ke desa. Canda tawa terus tergelak ketika ada dirinya; si Jinchuuriki Kyuubi yang merupakan pahlawan sekaligus matahari bagi mereka.

Tanpa terasa, satu tetes air mata pun terjatuh di sana. Kembali, Hinata menangis dalam kesendirian.

.

.

eternity —

.

.

"Sasuke."

Sasuke mendelik. Oh, dia tahu suara siapa itu.

Yang dipanggil sama sekali tidak berbalik. Ia hanya menatap Desa Konoha yang ada di bawah sana. Ia benar-benar tidak peduli dengan aura hitam yang sudah menguar dari tubuh tamu tak diundang yang sudah berdiri di belakangnya. Ingin sekali ia menghilang menggunakan rinnegan bersamaan dengan keberadaan orang itu. Namun, karena gelar yang dipakai serta tahta akan kekuasaan tentu membuat Hokage Keenam sukses memutar bola mata.

"Percuma saja, kau tidak akan bisa membawanya kembali."

"Apa maumu, Gaara?" Sasuke melipat kedua tangannya di dada, ia masih tidak mau menampakkan wajah ke arah Kazekage Kelima yang masih diam dalam menahan emosinya. "Kalau ingin mengganggu, sebaiknya kau pergi."

Gaara terdiam. Ia tidak mempedulikan suruhan Sang Uchiha mengenai sebuah pengusiran sepihak. Dia jauh-jauh datang ke Konoha, membatalkan semua rapat, meninggalkan surat-surat berharga yang ada di atas meja, meminta Mitsuri untuk menunda semua jadwal karena ada suatu alasan yang perlu dibicarakan bersama dengan Hokage Keenam. Menghadiri pesta pertunangan Temari adalah faktor utama, namun ia harus berbicara empat mata dengan Uchiha Sasuke mengenai beberapa hal.

Ini mengenai Uzumaki Naruto, sahabat mereka.

"Bagaimana usahamu selama dua tahun ini?" Gaara berkata dengan intonasi yang cukup datar, namun Sasuke tidak memungkiri terdapat nada tidak senang yang terselip didalamnya. "Apa kau berhasil?"

"Aku berhasil atau tidak, itu sama sekali bukan urusanmu." Sasuke menjawabnya dengan nada tak kalah sinis. Ia berbalik dan bersandar di pagar besi yang ada di belakang tubuhnya. "Dan Naruto; dia sudah bukan temanmu lagi, jadi jangan ganggu aku dan sebaiknya kau pergi dari sini."

"Apa maksudmu berbicara seperti itu?" Iris hijau tampak sedikit menyipit, menantang kedua permata elang yang juga memandanginya dengan tidak kalah sengit. "Aku juga sahabatnya. Dia menyelamatkanku saat aku nyaris sekarat. Kau tidak berhak berbicara seperti itu."

"Tidak ada seorang sahabat yang membunuh temannya sendiri." Sasuke melipat kedua tangannya di dada. Helai hitam dengan bentuk unik miliknya bergerak tertiup angin. "Sejak kau menyetujui perjanjian itu, aku bisa mengatakan dengan mutlak bahwa kau bukan sahabatnya lagi, Gaara."

Lantas, tubuh dari Kazekage Kelima menegang. Mulut yang siap melancarkan serangan berbisa mendadak terkatup rapat. Ia tahu apa maksud dari perkataan Sasuke tadi; Perjanjian Para Kage yang rutin diadakan setiap dua tahun sekali.

Saat musim panas tahun lalu, pemimpin dari Kirigakure memutuskan untuk memanggil seluruh para kage untuk membahas suatu masalah; dan masalah tersebut tidak lain dan tidak bukan ialah Uzumaki Naruto, seorang nuke-nin baru saat itu. Dengan lantang Mei Terumi mengatakan kalau pemuda anak dari Hokage Keempat tersebut telah membunuh seseorang dari desanya, yang merupakan seorang pemegang tujuh pedang legendaris, Hozuki Mangetsu. Yang membuat Gaara sekaligus Sasuke terkejut adalah ketika Mei mengatakan kalau pedang mereka telah diambil olehnya.

Pada saat itulah, perburuan untuk menangkap Uzumaki Naruto telah dimulai.

"Aku terpaksa melakukannya," Gaara berkata dengan nada sarkastik. Sejujurnya, dia menyesal telah menyetujui hal bodoh semacam itu. Namun lain di hati lain di mulut, dirinya tetap menganggap Naruto sebagai seorang rekan dekat tak tergantikan.

"Lagipula aku bukanlah seorang teman yang merebut impian temannya sendiri, benar begitu?" anggaplah itu adalah kalimat balasan untuk sindirian Sasuke tadi.

"Aku hanya menggantikannya untuk sementara," Sasuke tahu kalau Gaara berniat membalasnya. Namun perkataan tadi bukan bualan semata, ia akan memutuskan untuk mundur dari jabatan ini dan membuat Naruto menjadi penggantinya, meski itu banyak melakukan pengorbanan. "Setelah semua ini selesai, aku akan berhenti menjadi Hokage, Gaara."

"Oh, benarkah? Baguslah." Sasuke menggertakkan gigi saat melihat Gaara yang tersenyum jengkel. "Tapi aku tidak yakin kalau Naruto akan langsung mempercayainya, Sasuke—" Senyuman Gaara perlahan menghilang. "—dia sudah berubah. Dia bukan Naruto yang dulu kita kenal."

"Aku tahu," Sasuke menghela napas. Ia berjalan memasuki kantornya. Namun saat ingin melewati Gaara, pria itu berbisik tepat di samping telinganya. "Tapi aku akan berusaha untuk membawanya pulang, apapun yang terjadi. Ingat kata-kataku, Gaara."

Dan Sasuke pun menghilang.

Gaara yang ditinggal pun hanya bisa diam di sana, memikirkan berbagai hal yang membuatnya tidak menyangka. Kazekage muda itu hanya menunduk seiring dengan poni panjangnya yang bergerak tertiup angin. Namun perlahan, senyuman tipis mulai muncul di bibirnya. Otak miliknya terus merekam apa yang dikatakan oleh Uchiha Sasuke beberapa detik sebelumnya.

"Tapi aku akan berusaha untuk membawanya pulang, apapun yang terjadi."

"Hn—" Seringai tipis itu semakin mengembang. "—semoga berhasil, Uchiha."

.

.

eternity —

.

.

"APA!?"

Suara seorang wanita tampak menggelegar di suatu ruangan besar. Chojuro Mifune sontak langsung berdiri ketakutan saat melihat pemimpinnya berteriak seperti orang gila. Pria itu mundur beberapa langkah, dengan segera membungkukkan badan dalam kondisi tubuh bergetar hebat. "M-Maafkan saya, M-Mizukage sama! Tapi itulah yang dikatakan oleh H-Hokage-sama..."

Mei Terumi mendengus keras, ia langsung melemparkan tubuh ke kursi duduk miliknya. Ia memijit-mijit kening yang mulai sedikit mengerut, menggigit bibirnya frustasi. "Sebenarnya apa yang diinginkan bocah itu, Chojuro? Aku sama sekali tidak mengerti!"

"M-Mungkin dia hanya ingin kesabaran anda, Mizukage—"

"Kesabaran? AKU SUDAH MENUNGGU SELAMA DUA TAHUN DAN KAU MASIH MENYURUHKU UNTUK SABAR!?" Chojuro langsung menjerit takut dan bersembunyi di lemari kecil yang ada di pojok ruangan. Iris abu-abu miliknya sudah sedikit mengeluarkan air mata ketika melihat Mei mengamuk seperti sekarang.

"K-Kalau s-saya salah bicara, maafkan saya, Mizukage-sama...!"

Mei hanya mengangguk dan kembali menghela napas.

Ini semua berawal dari Chojuro yang membanting pintu ruangannya keras, kemudian berkata bahwa Uchiha Sasuke telah mengirimkan sebuah pesan untuknya. Namun bukan berita yang mampu membuat Mei tersenyum sumringah, isi surat tersebut malah membuat wanita itu mengamuk tidak tertahankan.

Sasuke mengajukan permohonan untuk memberikan perpanjangan waktu mengenai penangkapan Uzumaki Naruto. Lagi.

"Tidak." Suara lantang Mizukage Kelima terdengar menggema di ruangan itu, membuat tubuh Chojuro sontak berdiri tegap. "Aku sudah tidak bisa menunggu lagi, hal ini sudah terjadi terlalu lama..."

Chojuro terdiam.

"Kirim pasukan terkuat dari ANBU dan bawa mereka kesini, Chojuro." Wanita yang kini statusnya masih sendiri itu perlahan mulai tersenyum, menciptakan seringai berarti yang sanggup membuat anak buahnya itu mengernyit pertanda bingung. "Aku akan mendiskusikan sesuatu."

.

.

eternity —

.

.

Naruto memakan kue dango di sebuah desa terpencil di perbatasan antara Konoha dan Suna. Pemuda itu dalam diam memakan makanan yang sudah dipesan, tidak peduli dengan hiruk-pikuk yang dikeluarkan oleh pelanggan di salah satu restoran kecil daerah pinggiran . Rambut pirang miliknya tertutupi oleh topi jubah yang ia gunakan sehingga dengan begitu orang-orang desa tidak terlalu memperhatikannya.

Mereka sama sekali tidak sadar kalau pembunuh nomor satu yang paling dicari seluruh negeri telah ada di antara mereka semua.

Naruto menelan satu dango, lalu memakan satu tusukan lagi.

Dan mereka juga tidak menyadari kalau sudah ada Uzumaki Naruto duduk di sana, sendirian, beristirahat, membawa senjata besar; dilindungi oleh sebuah hawa menakutkan.

Tuk.

"Ini tehnya, Tuan. Silahkan dinikmati."

Seorang gadis pelayan berambut coklat panjang tersenyum manis, kemudian membiarkan sang tamu makan di tempat duduknya dan pergi. Namun hal tersebut malah membuat Naruto menghentikan kunyahannya. Ia menatap gadis itu sekilas; memperhatikan punggungnya yang terkesan kecil dan lemah.

Tidak lama, ia pun menghela napas.

Dengan tenang, Naruto menyesap teh hangat itu dan meminumnya perlahan, membiarkan teh tersebut memasuki tenggorokan dan menghangatkan tubuhnya. Ia tidak peduli dengan cuaca terik yang membuat orang-orang lebih menyukai minuman dingin yang menyegarkan, Naruto senang akan sensasi bau ocha hangat yang sudah menyegarkan dirinya dari rasa lelah tak terkira.

Tapi saat ia ingin meminumnya lagi, pembicaraan dua pemuda yang ada di sampingnya mampu membuatnya berhenti.

Kedua mata safir yang awalnya kosong itu perlahan membulat sempurna.

Hanya sebuah percakapan simpel sebenarnya, mengenai permasalahan keseharian mereka. Namun saat pemuda berambut coklat itu membuka topik mengenai pernikahan seorang penasehat jenius yang berasal dari Konoha itulah yang membuat Naruto tersentak. Tidak perlu berusaha keras untuk memikirkannya, sudah pasti Naruto tahu yang dimaksud adalah Nara Shikamaru, teman kecilnya dulu dan kini menjadi penasehat pribadi dari Hokage Keenam.

Dan berita yang tidak terlalu mengejutkan adalah—Shikamaru menikahi seorang gadis yang berasal dari Suna, Sabaku Temari.

Oh.

Naruto mendengus.

Dengan sentakan Naruto berdiri dan meninggalkan sebuah uang beberapa ribu ryo di atas meja, lalu meninggalkan desa itu secepat kilat. Pria itu pergi menuju arah selatan; tempat Konoha berada.

Ini akan sangat menyenangkan.

.

.

eternity —

.

.

Malam yang disinari oleh cahaya bulan itu kembali muncul bertepatan dengan langkah Naruto di atas pohon. Ia menatap gerbang Konoha itu dalam diam, tidak bersuara sedikit pun. Matanya lurus melihat sepasang jounin Konoha yang sedang bertugas menjaga gerbang sembari mengobrol bersama.

Naruto terdiam sebentar, menatap orang-orang itu dengan tatapan kasihan sekaligus muak.

Pria itu lebih memilih untuk duduk di sana dengan kedua kaki menyilang. Hiramekarei tampak sudah ada di pelukannya. Kedua mata safir itu perlahan berubah menjadi mata berwarna merah dihiasi dengan tiga tomoe yang berputar.

Dan saat ia menemukan suatu objek yang selama ini dicarinya, Naruto tersenyum puas.

.

.

Sabaku Gaara membiarkan semilir angin yang kebetulan lewat menghantam wajah, sehingga rambutnya dapat bergerak mengikuti arah yang diinginkan. Ia lipat sebelah kaki dan meletakkan tangan kanannya sebagai tumpuan, mata sibuk memandang lurus ke depan—memandangi Konoha yang jelas-jelas ada di bawahnya.

Desa yang luas, besar, dan memiliki jumlah penduduk padat. Lampu-lampu telah dinyalakan, membuatnya sangat indah jika dilihat dari bukit paling atas.

Kazekage muda itu memutuskan untuk tidak mengikuti acara yang dibuat oleh Sabaku Temari untuk merayakan pertunangannya dengan Penasehat Konoha, Nara Shikamaru. Banyak hal-hal yang bisa dibuat jadi alasan. Gaara benci keramaian, Gaara benci keributan, Gaara tidak suka daging berlemak, Gaara sedang ingin tidak bertemu dengan Uchiha Sasuke serta sikap datarnya yang mungkin dapat mengundang sikap emosional.

Ia tahu Hokage itu ada disana; diundang oleh seseorang yang Gaara tidak mau tahu siapa dia.

Sepasang hijau susu mengalihkan pandangan dari Konoha menuju gerbang masuk sebelah utara. Mata pemuda itu sedikit menyipit. Tidak butuh sampai satu detik, Gaara langsung membulatkan mata tanpa sebuah alasan pasti.

Beragam ekspresi telah muncul. Padahal Sabaku Gaara dikenal sebagai Kazekage yang memiliki kesan dingin dan mistis.

Gaara tahu, chakra ini tidak pernah ia lupakan. Chakra yang sangat ia kenal, chakra yang dulu begitu hangat namun kini telah ternodai oleh amarah dan kegelapan. Beberapa ratus meter dari desa, Sabaku Gaara dapat merasakan chakra menusuk yang sengaja dilemparkan oleh seorang penyusup luar, Uzumaki Naruto.

Pria yang memiliki rambut dengan warna merah itu segera berdiri. Dan di detik berikutnya, pasirnya sudah mulai berputar-putar di kaki tuannya—kemudian menghilang dalam sekejap.

.

.

eternity —

.

.

"Kau mau ke mana, Sasuke-kun?"

Haruno Sakura yang dari tadi duduk di samping Uchiha Sasuke menoleh ke arah hokage muda itu. Ia melirik Sang Uchiha yang mendadak berdiri, kemudian berjalan menjauh dari antara kerumunan. Tanpa mereka sadari, sepasang biru dan merah muda itu sudah hilang di antara para shinobi maupun kunoichi yang sedang menikmati atmosfer sebuah pesta. Sakura dengan setia mengikuti langkah Sasuke yang berjalan tenang di depannya.

"Sasuke—"

"Sakura."

Langkah Sakura terhenti ketika ia melihat Sasuke berbalik menghadapnya, menatapnya dengan pandangan serius.

"Apa kau merasakannya?"

Sakura terdiam, kebingungan dengan jelas terpatri di wajahnya.

Tanpa berpikir apa maksud pemuda itu, Sakura menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku tidak merasakan apapun, Sasuke-kun."

Sasuke mengangguk mengerti. Kembali ia memfokuskan penglihatan ke arah utara desa, tempat pintu masuk gerbang berada. Sebagai seorang ninja sekaligus hokage yang memiliki intuisi yang tajam, Sasuke memiliki firasat ada sesuatu yang terjadi di luar sana. Entah apa sebabnya, Sasuke belum bisa memastikan.

"Sasuke-kun, kau mau—"

"Panggil Hyuuga Hinata, Nara Shikamaru, dan Inuzuka Kiba, Sakura. Aku membutuhkan mereka, sekarang."

.

.

eternity —

.

.

Uzumaki Naruto dengan santai meniup daun yang ada di tangan, sehingga dengan perlahan daun kecil itu mulai bergerak dan turun ke pangkuannya. Ia tersenyum sinis. Tangan pria itu kembali bergerak dan mengambil daun tersebut lalu menjepitnya dengan jempol dan jari telunjuk. Dengan satu tekanan rendah, daun tersebut sudah hancur menjadi serpihan, membuat seringai kemenangan kembali muncul di bibir miliknya.

Tidak ada yang tahu apa pemikirannya sekarang, jelas hal tersebut bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan candaan.

Tep.

Suara langkah kaki dan desisan angin sontak membuat Naruto terlempar ke dunia nyata. Tanpa bergerak sedikit pun, ia melirik Sabaku Gaara yang sudah berdiri dua ratus meter dari tempatnya. Naruto mendengus malas saat melihat pria itu sudah berada di sikap siaga—tangan terlipat di dada dan pasir yang dengan gelisah sudah mengelilingi tubuh tegapnya.

"Sudah lama tidak bertemu, Gaara." Naruto menaikkan kepala, menyeringai penuh arti kepada Gaara yang hanya memandanginya dengan tatapan tajam. "Bagaimana kabarmu?"

"Apa yang kau lakukan disini ... Uzumaki Naruto?" Bukannya membalas, Gaara malah menjawabnya dengan pertanyaan yang lain. "Tidak seharusnya kau dilarang menginjakkan kaki ke mari."

"Apa kau memiliki hak untuk melarangku ke sini?" Uzumaki Naruto mendengus kesal. Wajahnya kembali serius, namun seringai menyebalkan masih terlihat di raut tampannya. "Kau bukanlah siapa-siapa, Gaara."

"Ingat posisimu, Uzumaki." Gaara berdesis tidak suka, ia merasa diremehkan. "Lihat pada siapa kau berbicara sekarang."

Naruto tertawa pelan. Ia meletakkan hiramekarei di sampingnya, membuat Gaara langsung terfokus ke pedang legendaris tersebut. Kazekage Kelima berdecak, perkataan Mei waktu itu tentu adalah benar.

"Memangnya kau siapa?" Naruto menjawab dengan nada sarkas, pemuda itu tidak mau kalah. "Kau hanyalah seorang pemimpin yang lemah—" Gaara tersentak. Naruto mendengus. "—mengalahkan satu akatsuki saja tidak bisa, memang apa yang bisa diharapkan oleh orang lemah sepertimu?"

"Itu sudah tidak ada hubungannya dengan masa sekarang, Naruto." Gaara mencoba untuk menenangkan amarah pasir yang ada berada di dalam guci miliknya. "Itu hanyalah masa lalu. Aku yakin kau pun merasakan hal yang sama, bukan? Jadi jangan seenaknya kau menyindirku seolah-olah kau belum pernah merasakannya."

"Huh? Tentu saja, aku akui kalau perkataanmu memang benar." Keturunan Uzumaki dengan segera menarik bungkusan yang melindungi pedangnya dari udara luar. Kemudian dengan kepercayaan diri yang tinggi, pemuda itu mengayunkan hiramekarei tepat ke mata Gaara, mencoba untuk menantangnya. "Tapi masa lalu itu telah membuat kita berdua berubah, dan aku bersyukur akan hal itu." Naruto tertawa, Gaara hanya terdiam.

"Sebenarnya apa yang ingin kau katakan di sini?" Gaara merentangkan tangannya, secara otomatis gumpalan pasir yang sedari tadi bergerak gusar di kakinya segera bergerak dengan cepat dan menerjang Naruto. Pria berambut pirang itu menyeringai, nyaris terbahak. Dengan kecepatan yang tidak kalah cepat, Naruto berhasil lolos dari terjangan pasir maut Gaara.

Syat Syat Syat!

Lompat, lompat, dan lompat. Karena tidak tahan lagi, Naruto pun tertawa nyaring saat merasakan hawa chakra Gaara mulai memberat. Seiring itu pun kecepatan pasir yang dikendalikan semakin kencang. Tapi hal itu tidak berhasil membuat Naruto kewalahan, justru pemuda itu malah menikmatinya.

Mata Gaara dengan lihai memperhatikan gerak-gerik Naruto yang lincah. Namun ia tidak kaget saat melihat tiga tomoe yang tidak asing di matanya telah lelaki pirang keluarkan. Sharingan—benar. Naruto menggunakan kekkai-genkai itu untuk memperhatikan gerakan pasir Gaara.

Pemuda yang menjabat sebagai Kazekage Kelima segera merentangkan kedua tangan. Dengan lihai ia gerakkan tangannya ke sebelah kanan, dan hal itu berhasil membuat pasir miliknya ikut bergerak dengan cepat.

Pohon-pohon yang sedari tadi menjadi lindungan Naruto kini tak sanggup untuk menjadi tameng. Naruto mencoba berpikir strategi yang cukup untuk menghambat pasir Gaara dan mengajak pemuda itu untuk bertarung jarak dekat.

Senyumnya mengembang.

Naruto tahu apa yang harus ia lakukan.

.

.

eternity —

.

.

Keadaan desa begitu tenang di malam hari. Hari sudah menunjukkan tengah malam, sudah sewajarnya lampu-lampu desa dimatikan. Pria itu melompat dari atap ke atap menuju arah utara desa, diikuti oleh teman-teman seperjuangannya dari belakang. Kiba beserta Akamaru sudah ada tepat dibelakang Sasuke, pria keturunan Inuzuka itu dengan wajah heran sekali lagi mengecek sesuatu melewati indera penciumannya. Namun nihil. Tidak ada apapun yang dihasilkan dari penciuman Kiba.

"Oi, Sasuke! Kenapa kau tiba-tiba manggil kami ke sini, sih?" Dalam kegelapan malam, Kiba berteriak lantang. "Aku tidak menemukan apapun yang mencurigakan di luar desa!"

"Bisa kecilkan suaramu? Kau bisa membuat penduduk terbangun," Sasuke tanpa menoleh berkata pada Kiba yang cemberut. "Kita akan ke sana untuk mengecek keadaan."

"Lalu kenapa tidak mengirimkan pasukan penjaga?" Memang dasar keras kepala, Kiba malah semakin mengeraskan suaranya. "Kenapa harus kami—"

"Kiba-kun, sudahlah ... ikuti saja perkataan Sasuke-kun." Hinata menginterupsi, gadis itu berlari paling belakang, di depan Shikamaru. "Mungkin Sasuke-kun menyuruh kita karena a-ada maksud tertentu..."

"Hinata benar, Kiba." Shikamaru menguap sebentar, ia pun melanjutkan pembicaraannya. "Sebaiknya kau kembali saja kalau memang tidak mau ikut pergi ke sana."

"Jadi kau ingin mengusirku ya, Shikamaru—!?"

"Hentikan kalian berdua." Perintah mutlak dari Hokage Keenam sanggup membuat mereka berdua bungkam. Sasuke menghela nafas perlahan lalu menutup mata. Munculah sepasang mata semerah darah dengan tiga tomoe yang sangat tidak asing. Sharingan telah diaktifkan. "Sebentar lagi kita akan sampai, jadi siapkan diri kalian untuk keadaan terburuk."

Sasuke dapat merasakannya. Ya, meskipun terasa samar, tapi ia dapat mengetahui kalau ada dua chakra ninja yang begitu ia kenal. Entahlah siapa mereka, yang jelas Sasuke ingin mengetahuinya.

Maka dari itulah, ia ke sana untuk memastikannya sendiri.

Sungguh, untuk Kiba yang pemikirannya dibawah rata-rata, pemuda itu sedikit tidak mengerti apa makna dari perkataan ambigu dari Sasuke. Tapi untuk Hinata dan Shikamaru, mereka berdua tahu apa maksud dari sang hokage. Ia menyuruh mereka untuk bersiap siaga.

Dalam larinya, Hinata menghela napas pelan. Meski di antara mereka berempat gadis itu adalah orang yang paling pasif, tapi nalurinya sebagai kunoichi tidak boleh dianggap remeh. Ia setuju tentang pendapat Sasuke, dia juga dapat merasakan sesuatu yang hebat di luar sana. Hinata tahu Sasuke tidak memberikan perintah langsung untuk pasukan ANBU mau pun penjaga tentu karena ada alasan khusus; Hinata rasa ia bisa menebak apa itu.

Deg.

"Berhenti!"

Teriakan Hinata sanggup membuat para pria tersentak. Setelah instruksi dari Sasuke, mereka segera berhenti di perumahan desa empat ratus meter dari gerbang. Sasuke mendekati Hinata, meminta penjelasan. "Ada apa?"

Kiba begitu terkejut saat melihat pupil serta urat-urat di sekeliling mata Hinata mulai menonjol, menandakan gadis itu sudah mengaktifkan kekkai-genkai miliknya.

"S-Sasuke-kun—" Hinata mendekati Sasuke, gadis itu tampak kebingungan. "Rasanya, d-disana—" Ia menunjuk ke suatu objek di luar desa. "—ada yang m-mengganjal..."

"Apa maksudmu, Hinata?" Kiba mengernyitkan dahinya. Dan sekali lagi ia menciumi aroma yang ada di sekitarnya, namun pada saat itulah, kedua pupil cokelat membulat sempurna. "Bau apa ini—o-oi, Sasuke! Ada yang tidak beres di sini—!"

"Apa—"

"Sekitar beberapa meter dari gerbang, Sasuke-kun. Meski sedikit agak jauh, tapi kami bisa merasakannya..." Hinata menahan napas, wajahnya terlihat sedikit heran sekaligus ketakutan. "D-Di perbatasan desa, ada sesuatu yang terjadi. Aku merasa ada seseorang yang mengakibatkan itu semua..."

Shikamaru dan Sasuke tersentak hebat. Mungkinkah?

"Hinata benar, Sasuke! Aku tahu ini tidak masuk akal, tapi aku yakin aku mencium sesuatu seperti lumpur dan ... d-darah!" Kiba berteriak histeris. "Juga—!"

"Kiba, tenanglah! Oi Kiba!"

"Bagaimana aku bisa tenang, Shikamaru!? Aku tahu ini gila, tapi—"

"S-Sasuke-kun, Kiba-kun benar..." Hinata menggigit bibir bawahnya, menatap Sasuke yang kini menatap tajam dirinya, meminta gadis itu untuk langsung menjelaskan.

"A-Aku merasakan chakra seseorang yang begitu kuat, d-dan juga..." Hinata menelan ludah. "Chakra dari Kazekage-sama yang hampir tidak terasa..."

.

.

TO BE CONTINUED

.

.

Author's Note

halo! akhirnya saya mulai menaruh perhatian pada fiksi ini. :)

EDITED10 November 2019. 18:22 PM.

.

.

SPECIAL THANKS TO

dshadow7x, uchiha leo, MAGENZ, shinobi hunter 003, Guest, Tamma, Yukari, Hayati JeWon, antoni yamada, Guest, Nyuga totong, iibjunior, LyaHoneyDew, Itanatsu, Yami Alay007, Blue-Temple Of The King, mitsuka sakurai, barryjohn7330, atosetiawaw, 2nd silent reader, Dark Namikaze Ryu, Vin'Diesel D' Newgates, juanda blepotan, chrizzle, Hyuuga Divaa Arashii, hqhqhq, Guest, putchy-chan, Guest, rifal-chan, ailla-ansory, alvaro d diara, Naminamifrid, Namikaze Rezpector, Kazehana Koyuki, uchiha drac, Guest, MORPH, issei-shan, Darkshinobi22, Namikaze Naruhina, Guest, Pain Tendou, Nyuga totong, YonaNobunaga, 25june, Guest, uzumakimahendra4, bohdong palacio, ranggagian67, akari yuka, Guest, May, Yogi 35912, muharrom catang, Kyosuke Kitsune, Guest

.

.

a lot of questions

Naruto dapat sharingan darimana? Udah ketebak di chap ini. Kurama dimana? :) Penulisannya rapi. Makasih. Neji masih hidup ya? Silahkan ditebak. Naruto kok bisa dapat sharingan? Nanti dibahas. Hidup NaruHina! Yeay, hidup NaruHina! xD Suka NaruHina yang kayak gini. Hehe, makasih. Chap ini gak ada kesalahan. Makasih atas koreksinya. Panjangin dikit ya. Kuusahain. Suka deh, ada adventure terus ada dramanya juga. Iya, pengen coba yang gak mainstream sih, hehe. Gambar pertarungannya bagus, tapi harus ditingkatkan lagi ya. Iya, makasih ya dukungannya. Kalo bisa pakai taijutsu, biar gak mentok di sharingan ama pedang. Chap tiga nanti ya. Sip, aku berlangganan fict kamu. Haha, makasih. Naruto punya alasan tersendiri 'kan buat hancurin Konoha? Dibahas di chap ke depannya yaa. Jangan lama-lama updatenya. Maaf, aku gak bisa jamin loh. Naruto punya rinnegan? :) Miris banget. Makasih. Kapan Beside Me dilanjutin? Habis fict ini. Gue galau thor. Jangan galau dong :/ Tsunade-nya kemana? Nanti dia muncul, tapi masih agak lama. Pengen tahu usaha Sasuke buat nyelamatin Naru. Hehe, iyaa. Bosen kalo Sasuke yang diselamatin mulu ama Naruto. Maka dari itu terciptalah ff ini :) Alasan Naruto kok simpel banget? Namanya juga fanfict mbak. Pairnya Naruto sama siapa? Hinata. Sharingannya dari Obito ya? Dari mbah Madara tepatnya :) Adakah alasan tertentu yang ngebuat Sasuke jadi hokage? :') Idenya menarik loh. Makasih. Gak mungkin banget kalo Sasu jadi hokage. Adoh, namanya juga fanfiction mbak, segalanya yang gak mungkin jadi mungkin loh. Mimpinya Hinata jadi kejadian gak ya? Silahkan ditebak. Cepet buat Naru ketemu Hina. Iyaa. Naruto jadi dark ya? Bisa jadi. Jangan pisahin NaruHina. :') Rasanya kurang masuk akal kalo Naru jadi evil karena jabatan, kenapa gak kasih alasan kalo desa uzu dihancurkan? Itu mah udah mainstream om. Adventure gak selalu ada pertarungannya, jadi harus lanjut ya. Aku seneng ada ngereview begini, karena kamu, aku jadi semangat loh. Makasih banyak!

.

.

terima kasih sudah membaca!

mind to review?