Normal POV
Pria itu berjalan dengan tenang. Angin semilir menerbangkan helaian pirangnya yang mencuat. Iris biru pucat menatap tajam ke depan. Ia terus berjalan tanpa arah, orang itu hanya mengikuti instingnya untuk terus berjalan lurus, mengikuti udara dalam bergerak. Orang itu tahu ada sesuatu yang mengganjal; hutan tempat dirinya melangkah merupakan salah satu destinasi yang baik dengan tujuan agar bisa beristirahat.
Hanya pohon-pohon besar di samping kiri-kanannya, tidak ada yang istimewa selain binatang liar yang terdiam dan bersembunyi dibaliknya. Tidak peduli, diam, hening, dan sunyi. Ia terus berjalan, berjalan, dan berjalan. Ia mencoba untuk tidak terlalu peduli mengenai seberapa berat beban yang dirinya tanggung di punggungnya. Uzumaki Naruto terus seperti itu mengikuti arah utara, tidak peduli dengan angin yang semakin kencang sampai menerbangkan jubah hitam yang ia gunakan.
Tep.
Mendadak, langkah pria itu berhenti.
Dia merupakan sebuah atensi yang berdiri, jauh karena jarak terlalu membentangi; atau hanya sekedar rasa waspada akan sesuatu yang ditakuti.
Naruto melirik menggunakan ujung mata. Ia mampu merasakan beberapa chakra tingkat rendah sedang menuju ke arahnya. Tetapi seolah tidak terjadi apa-apa, ia tiba-tiba kembali menatap jalan setapak di depannya dengan datar— terlalu datar untuk ukuran seorang manusia. Wajah masih memasang tampang malas saat dua orang jounin berasal Kumogakure berjalan sembari menyeringai kepadanya.
Melihat kedua wajah jounin tersebut, Naruto tahu mereka semua hanyalah orang-orang bodoh.
"Uzumaki Naruto," Naruto menaikkan alis saat salah satu jounin di antara mereka menyebutkan namanya, terkesan sok akrab dan mengolok-oloknya. "Kami tidak menyangka akan bertemu nuke-nin sepertimu di tempat seperti ini."
Pria botak itu terkekeh. Ia dengan segera mengarahkan kunai yang telah dilapisi oleh racun mematikan. Naruto menebak bahwa racun tersebut adalah salah satu jenis racun yang dibuat untuk membunuh seekor hewan buas. "Pilih salah satu; menyerahlah dengan damai, atau kami akan melakukan kekerasan dengan tujuan menyeretmu paksa."
Naruto tidak berniat menjawab, ia malah memasang muka malas.
Benar, 'kan? Mereka semua hanyalah manusia-manusia tak berotak.
Diam-diam, Naruto menghela napas. Jadi kesimpulan yang ia dapat adalah kedua jounin di depannya ini terlalu meremehkan dirinya. Ia pun kembali berjalan ke arah berlawanan dari dua shinobi itu; bermaksud mengabaikan dan kembali berjalan lurus. Dua orang itu pun menggeram pelan—emosi memuncak sampai ke ubun-ubun kepala. Jounin dewasa dengan codet di wajah pun dengan cepat berlari ke arah Naruto, memegang dua buah kunai dan melompat ke arah pria berambut pirang itu.
TRAANG!
"—!"
"..."
Naruto melirik ke atas, keempat mata kedua jounin sama-sama terbelalak.
Ia menyaksikan raut kekagetan kedua jounin tersebut, lagi-lagi menghela napas. Dia bosan. Tidak peduli akan kebosanan yang dirasakannya, dengan segera shinobi berwajah codet itu menjauh, bermaksud memperjauh jarak antar keduanya. Sikap siaga serta rasa waspada sama sekali tidak luntur barang sepersekian detik saja. Mata besarnya mengawasi Naruto yang berdiri dengan jarak sepuluh meter dari dirinya.
Jounin yang lain, bermata cokelat serta berambut klimis pun juga terikut dalam posisi siaga. Ia menarik pedang di punggungnya, menekuk lutut, mengatur napas. Ia sedang menyiapkan kuda-kuda terkuat. Pria paru baya itu telah berdiri di samping si kepala botak dengan codet di wajahnya sembari ikut mengawasi Uzumaki Naruto yang masih diam di depan sana, menunggu untuk kembali diserang. "Hue, pedang itu—"
"Ya," Hue, nama dari si wajah jelek dan berkepala botak, mengangguk, "Tidak salah lagi, itu salah satu pedang legendaris milik Kirigakure."
Naruto menancapkan hiramekarei di tanah, kemudian melipat tangannya di dada.
"Katakan, siapa yang mengirimkan kalian ke sini?"
Ikuto mengacungkan pedangnya, menatap Naruto dengan tatapan tajam. "Raikage."
Naruto menatap pria berambut klimis itu dengan pandangan meremehkan, kemudian mendengus tenang. "...dari permintaan Hokage?"
Hue mengangguk. Rasanya bodoh apabila mengatakan sesuatu yang menguntungkan lawan. Namun apa boleh buat, dia adalah Uzumaki Naruto. Ada beberapa hal yang membuat keduanya harus menuruti segala perkataan dari bocah itu. "Ya. Kami harus memastikan kalau anda akan kami bawa hidup-hidup."
Naruto tampak berpikir sebentar. Kedua iris biru menerawang jauh. Melamun sejenak. "...Begitu," Jawabnya mudah, tanpa merasa terancam. "Aku tidak bahwa mereka semua sangat berharap untuk membawaku kembali—" Permata biru tampak menyipit, "—dengan mengirimkan ninja-ninja bodoh seperti kalian ke sini."
Hue terkejut. Kemurkaan dengan jelas telah terlihat di wajahnya yang penuh luka. Tetapi belum saja ia melangkah maju agar bisa menghajar Naruto sampai mati, Ikuto menarik bahunya agar menenangkan diri dan memutuskan untuk mundur sekarang.
Walau belum memiliki istri dan tidak memiliki latar belakang yang bagus, Nazuma Ikuto adalah pria tenang dengan otak yang cukup cerdas.
Dia tahu dalam sekali lihat, Uzumaki Naruto adalah salah satu ninja pelarian paling berbahaya sepanjang sejarah.
"Konoha masih membutuhkan anda. Para petinggi, pemimpin, teman-teman ada, serta kami sangat memahami itu." Ikuto menjawab, namun tatapannya masih mengawasi raut pemuda pirang yang sama sekali tidak berubah. "Lagipula, anda adalah salah satu orang yang berjasa dalam perang dunia keempat lima tahun lalu."
Angin berhembus menuju permukaan.
Ah, ya. Tentu saja.
—bagaimana dirinya, Uzumaki Naruto yang terhormat, dengan mudah bisa melupakan perjuangannya saat perang besar hampir membunuh semua orang?
Naruto hampir tertawa keras.
"Pedang itu ... bagaimana anda bisa mendapatkannya?"
Naruto terkekeh, masih mencoba untuk menahan tawa. "Ingatlah dengan siapa kalian berbicara, itu sama sekali bukan urusan kalian."
Mata Hue menyipit, mencoba melangkah ke sesuatu yang lebih beresiko; sebuah tebakan konyol namun sangat masuk akal. "Anda ... mencurinya?"
Naruto mengangkat bahu, "Menurut kalian ... bagaimana?" Naruto melirik hiramekarei di sampingnya, "Pedang ini digunakan oleh Hozuki Mangetsu, tapi sekarang menjadi milikku."
Hozuki Mangetsu.
Siapa yang tidak tahu nama itu?
Ikuto menggeram, Naruto tersenyum kecil. "Anda memang pantas disebut buronan kelas atas, Uzumaki Naruto."
Tahu bahwa komitmen tidak bisa dilakukan, dengan segera Hue membentuk sebuah segel tangan. Naruto masih berdiri di sana, memperhatikannya sekilas. Tetapi dua detik setelahnya, ia mendadak tersenyum.
— segel binatang; pertanda hadirnya seekor ular.
"Yoton: Sekkaigyo no jutsu!'
Muncul lava panas yang keluar dari mulut Hue. Dengan cepat lava itu menyebar; membakar segala hal; akar pohon, semak-semak, rerumputan, dan hewan tak berdosa. Perlahan seperti ular yang diam-diam menyerang target yang masih diam di ujung sana. Uzumaki Naruto sedikit menyipitkan mata kala melihat bongkahan kobaran panas sedang mengarah menuju dirinya, begitu gesit dalam waktu sekejap mata. Meleleh, terbakar, panas, dan mengerikan—seperti neraka api di bawah cahaya mentari yang panas.
"Ikuto!"
Ikuto mengangguk mengerti.
"Suiton: Mizui Rappa!"
Gelombang air yang besar tiba-tiba muncul dari belakang mereka. Dengan telak, gelombang layaknya ombak dengan cepat menabrak lahar panas yang sudah mencapai jarak kuasa di sekitar sang pemuda pirang. Tanpa banyak tindakan pula air tersebut menyatu dengan lava; sehingga pelan-pelan mengeras dan terbentuklah sebuah bongkahan-bongkahan besar yang mengering yang perlahan mengeras seperti semen.
Api berhembus, suhu seketika naik dalam beberapa derajat celcius. Keringat membasahi wajah, berharap bahwa keadaan terburuk tidak akan pernah datang.
Dan di sana, terdapat sebuah bongkahan berbentuk lonjong; berbentuk, terukur, dan terstruktur. Ikuto serta Hue dapat menebak di dalam bongkahan tersebut terdapat Uzumaki Naruto, yang sudah jelas tidak dapat menghindari serangan ganda tadi. Teknik kombinasi yang terlalu menguasai daratan, bisa dihindari apabila musuh memiliki sayap atau punya kekuatan mistis seperti sayap. Hanya saja, pohon dengan cepat sudah meleleh dan tidak ada lagi pijakan untuk menghindari serangan. Mata mereka berdua menyipit, kewaspadaan mereka sebagai ninja tetap ada meski lawan mereka sudah tum—
Krak ... krak...
Wajah mereka mengernyit. Ikuto yang sedari tadi berlutut mulai beranjak berdiri.
Krak ... krak ... krak...
Hue menggertakkan gigi. Ikuto berjalan maju, mengeluarkan pedang, ia mempersiapkan kuda-kuda untuk bertahan.
Krak ... krak...
Sudah diduga oleh mereka, seorang Uzumaki Naruto tidak akan kalah begitu saja.
PRAANG!
Dengan telak, semen tersebut hancur dan pecahannya pun menyebar ke mana-mana. Di sana, terdapat Uzumaki Naruto yang masih melipat kedua tangannya di dada. Menatap jounin Kumogakure itu dengan tatapan seperti biasanya, tidak ada perubahan signifikan yang bisa membuatnya kesal sekarang.
"Hanya itu yang kalian bisa?"
"Tsk," Ikuto berlari, mengarahkan pedangnya ke arah Naruto, "JANGAN MEREMEHKAN KAMI, UZUMAKI NARUTO!"
TRANG!
Suara aduan pedang terdengar nyaring di hutan tersebut. Dengan penghitungan yang tepat, Naruto berhasil melepaskan hiramekarei dari sarungnya dan mengayunkannya ke pedang milik Ikuto. Mereka saling membenturkan pedang masing-masing, meskipun jounin tingkat atas itu sedikit kewalahan karena ukuran pedang mereka yang terpaut jauh.
TRANG TRANG TRANG!
"Kau hebat," Naruto berkata selagi bertarung, ia tersenyum kecil. "Aku tak pernah berpikir kalau pedang kecil seperti itu bisa bertahan dari pedangku."
"Hirame sama sekali bukan milik anda," Ikuto menggeram, "Itu harta Kirigakure, salah satu tujuh pedang legendaris yang dikenal oleh semua shinobi. Saya, selaku pengguna pedang dan menghormati beliau sebagai legenda akan berkata bahwa anda, seorang ninja pengkhianat kelima desa besar—" Matanya melotot marah, menyumpahi Naruto yang malah terkekeh pelan. "—SAMA SEKALI TIDAK PANTAS MENYENTUH PEDANG ITU!"
TRAAANG!
"Ikuto!"
Pedang Ikuto yang awalnya bisa bertahan dalam melawan hiramekarei mendadak patah saat Naruto sedikit mengalirkan chakra-nya dan menambah kekuatan dari pedang tersebut. Ikuto terkejut, kedua mata membola dan terdiam ketika pedang yang selama ini menemaninya dalam berperang telah patah tanpa adanya sebuah perlawanan. Syukurlah dirinya adalah shinobi yang kuat mental, dengan segera ia menghindar cepat, menjauh dari jangkauan Naruto yang sudah hampir menghunuskan hiramekarei ke jantungnya.
"Kau hebat, kecepatanmu juga bagus." komentarnya.
Ikuto menggeram. "Saya tidak membutuhkan pujian itu dari mulut anda."
Naruto maju selangkah, hanya satu langkah. Tidak ada yang tahu apa yang sedang dirinya pikirkan. Karena itulah, Ikuto tersentak hebat dan mundur ke belakang. Melihat reaksi yang hampir menuju ketakutan, pemuda pirang lantas mendengus pelan. Tenang, berirama, cepat, namun mematikan; ia menyatukan kedua tangan— membentuk sebuah segel yang terasa familiar di kedua mata mereka.
"Kage bunshin no jutsu."
POOF!
Muncul dua bunshin di samping Naruto. Kedua bunshin itu menatap Ikuto dan Hue dengan pandangan sama datarnya. Naruto asli mengarahkan kedua tangannya ke arah bunshinnya. Seakan mengerti, kedua bunshin tersebut mengarahkan tangan mereka ke tangan Naruto, tidak lama terkumpulah sebuah bola chakra yang awalnya kecil ... perlahan membesar.
Kedua jounin Kumogakure itu membulatkan mata.
Naruto melompat dan mengarahkan jutsu itu kearah mereka.
Tenang, berwibawa, hebat, bersikap seperti pahlawan ... namun berbahaya.
"Fuuton: Oodama Rasengan."
BLAAARR!
Seketika, angin yang berasal dari ledakan itu menyebar ke seluruh hutan, menghasilkan suara bising tak terhingga. Pohon-pohon besar banyak yang tumbang, bahkan hampir setengah hutan itu rata akibat sebuah serangan dahsyat.
Kembali, angin itu berhembus. Naruto menutup mata; menikmat cuaca yang begitu tenang sekaligus hangat.
Naruto menghela napas.
Di tengah-tengah sana, berdiri seorang nuke-nin yang kembali melipat kedua tangannya di dada. Jubahnya kembali terlambai akibat udara yang dihasilkan dari sebuah perbuatan yang mengerikan.
Di sana, tergeletak dua orang jounin shinobi yang kini telah berlumuran darah. Dari deru napas yang terkesan sekarat dan terbata-bata, Naruto tahu kedua orang itu masih hidup; tetapi ia tidak yakin jantung mereka masih bisa berdetak lebih lama. Langkahnya berjalan ke arah pria berambut klimis yang jaraknya paling dekat dengan dirinya saat ini.
Naruto membuka sarung pedangnya, kemudian menghunuskan hiramekarei tepat kearah jantung Ikuto. Seketika, pria itu menjadi lemas dan mematung; tidak ada deru nafas memburu, tidak ada tubuh bergetar, tidak ada kedua mata hitam yang masih bersinar layaknya seorang shinobi kelas atas. Karena yang ada untuk sekarang hanyalah aliran darah yang semakin menderas membasahi tanah.
"K-Kau..." Naruto melirikkan mata saat Hue menatapnya tajam. Salah satu mata dari manusia terbodoh itu menatap sang nuke-nin dengan perasaan membunuh, menantang, dan menyumpah-nyumpah. Naruto hanya bisa menatapnya dengan pandangan datar, tidak ada niat lebih untuk berbuat sesuatu pada pria jelek berkepala botak. Naruto menghela napas, ia langsung berjalan ke arah jounin satu itu, siap menghunuskan pedangnya sekali lagi ke jantung shinobi tersebut.
"Ada pesan terakhir?"
"Kau ... benar-benar brengsek." Hue menyeringai, Naruto menyipitkan mata. "...meninggalkan desa hanya karena dendam. Kau benar-benar seorang pecundang—"
Jleb.
Seketika kepala Hue yang terangkat kembali terjatuh, merasakan dingin serta lembeknya tanah tempat mereka semua berpijak. Darah keluar dari sisa luka, sedikit membasahi sepatu pemuda berambut pirang. Kaku, mendingin, menutup mata, dan mati.
Tanpa membersihkan noda darah yang terhias di pedangnya, Naruto meletakkan hiramekarei di punggung seperti biasa. Tanpa memikirkan perkataan Hue sebelumnya, ia berjalan menjauhi kedua manusia yang tidak lagi bernapas. Ia kini berjalan menuju selatan tanpa sebuah arahan.
Lagipula, keduanya tidak tahu masa-masa hidupnya, 'kan? Pria sialan itu hanya mengetahui sekilas saja.
.
.
.
ETERNITY
Naruto by Masashi Kishimoto
Eternity by stillewolfie
Naruto U. & Hinata H.
OOC, Alternate Reality, typos, etc.
.
.
CHAPTER I. Yang Ditinggalkan
.
.
Di suatu hari yang damai, di Konohagakure.
Nara Shikamaru menyerahkan beberapa berkas pada orang nomor satu di Konoha. Sambil menguap, ia menatap Sang Hokage yang kini meneliti semua laporan yang barusan dirinya berikan. Ia menggaruk rambutnya, berharap kalau laporan itu akan memberikan kepuasan tersendiri bagi Uchiha Sasuke, Rokudaime Hokage.
"Menurut beberapa sanksi, memang terjadi pertarungan besar-besaran di sana. Kemungkinan besar itu adalah jounin yang kau kirim dari Kumo, Sasuke."
Sasuke menegakkan tubuh, menatap penasehatnya itu. "Bagaimana keadaan mereka?"
Shikamaru menghela napas, "Mereka tidak terselamatkan. Kita tidak bisa mengorek informasi apapun, mayat tak mampu lagi untuk berbicara." Shikamaru menundukkan kepala, mata sipit melirik ke arah kanan. Kekesalan dalam dada tidak mampu ia sembunyikan. "Naruto sudah membunuhnya."
Keheningan melanda. Angin bukan lagi sebuah atensi, melainkan salah satu tokoh utama yang menyempil.
Sasuke menghela napas, terkesan kesal akan semuanya. Tanpa sadar ia memijit keningnya, merasa sedikit frustasi karena segala rencana serta semua ninja elit sudah dirinya kirim—bahkan dari luar desa sekali pun—telah hancur dan mati dalam sekali tebas. Ia rela membayar mahal dan berkorban akan hal itu. Namun yang ia dapatkan hanyalah sebuah berita duka yang tidak menghasilkan informasi apapun mengenai Uzumaki Naruto, seorang mantan pahlawan, pengkhianat desa, sang nuke-nin paling diincar oleh lima negara besar.
"Terima kasih, Shikamaru. Kau boleh pergi."
Shikamaru mengangguk, ia menunduk sebentar kemudian berjalan kearah pintu dan menutupnya.
Sasuke berbalik, kedua mata terlihat menerawang jauh. Dibalik kaca kantornya yang transparan, ia menatap Desa Konoha yang kini sedang damai, ramai, dan tentram. Telinga masih bisa mendengar tawa anak-anak yang berlalu lalang di pasar, atau percakapan ANBU yang sedang berpatroli, atau Shikamaru yang kebetulan sedang berbicara dengan Izumo di luar sana. Tidak lama ia pun berdiri, dirinya berjalan ke arah jendela besar itu. Sasuke melipat kedua tangan di dada, angin menggerakkan seluruh frekuensi tubuhnya, melambai-lambai dramatis seperti seorang pahlawan di kisah legenda.
Sebenarnya bukan Sasuke yang harusnya di sini, sebenarnya bukan dirinya yang harus menanggung jabatan ini, sebenarnya bukan dia yang harus menandatangani semua laporan demi kelanjutan sebuah misi, sebenarnya bukan dirinya yang ditakdirkan untuk memimpin desa ini... tapi dia, rekannya, musuhnya, sahabatnya Uzumaki Naruto.
Awalnya, setelah kemenangan shinobi dalam perang dunia ninja keempat, Naruto tidak bertingkah seperti ini. Dia masih mengabdi kepada desa, dia masih ingin melindungi teman-temannya, dia masih memprioritaskan untuk memenangkan perang tersebut— dengan bantuan Sasuke, tentu saja—sampai puncak kemenangan pun diraih oleh mereka dengan susah payah, sebagai Naruto yang menjadi tokoh utamanya.
Tapi semua berubah ketika Tsunade berjalan ke arah dirinya, mengatakan padanya bahwa dialah yang akan memimpin desa selanjutnya. Beliau mengumumkan berita sinting tersebut kepada semuanya. Sasuke tahu, Naruto syok akan hal itu. Tapi ia berusaha menerima keadaan dan kenyataan, bahwa dialah yang tidak akan menjadi Hokage pengganti sannin legendaris tersebut, tapi dia ... Uchiha Sasuke.
Apa nenek tua itu sudah gila?
Kenapa?
Itulah pertanyaan yang setiap malam menghantui Sasuke sampai membuatnya hampir gila. Jawabannya pun masih belum dirinya dapatkan sampai sekarang.
Seharusnya dia di penjara atau di hukum mati karena sudah menjadi nuke-nin pada saat itu. Bukan duduk tenang sambil meminum teh hangat seperti sekarang ini.
Sasuke meremas lipatan pakaiannya, kepala ia miringkan sedikit untuk menatap langit Konoha yang mulai berubah berwarna jingga keoranyean. Mata bak jelaga perlahan tertutup, berusaha fokus akan sesuatu yang sebentar lagi tengah merasuki batin serta otaknya yang kalut.
Meski sudah dua tahun ia menjabat sebagai Hokage, tapi tetap saja ada perasaan tidak rela dari relung hatinya. Ia merasa bersalah kepada sahabatnya. Ia merebut impian Naruto secara tak langsung. Dan perasaan itu semakin melebar ketika mendapat laporan bahwa pemuda pirang telah pergi dari desa, meninggalkan Konoha. Tidak ada ucapan, tidak ada perkataan selamat tinggal, tanpa alasan yang jelas.
Dari situlah, Sasuke akan mengerahkan seluruh tenaganya untuk membawa Naruto kembali.
Jika dulu Naruto yang bertindak, maka sekarang Sasuke lah yang akan melakukannya.
Naruto juga sudah dianggap sebagai nuke-nin yang paling dicari di seluruh negeri. Siapapun yang berhasil membawa kepalanya pasti adalah sosok orang yang hebat.
Uzumaki Naruto, 18 tahun. Harga kepala; 678.500.000 ryo.
Awalnya ketika mengetahui fakta tersebut, Sasuke segera bertindak cepat. Ia memprotes para pemimpin desa mengenai permintaan yang sama sekali tidak dirinya tahu sebelumnya. Hasilnya pun nihil. Ia sama sekali tidak digubris oleh mereka karena Naruto sudah membunuh banyak orang yang ditemuinya. Diketahui pun, Naruto berhasil membunuh beberapa orang penting di Negara Hi. Sehingga para petinggi desa pun tidak tinggal diam, mereka segera mendeklarasikan bahwa Uzumaki Naruto adalah seorang nuke-nin berkepala tinggi.
Maka dari itulah, satu-satunya jalan adalah membawa Naruto kembali dan mengintrogasinya secara perlahan. Tapi itu adalah langkah yang tidak mudah Sasuke seperti membalikkan sebuah tangan.
Dalam waktu dua tahun, Uzumaki Naruto telah menjadi sangat kuat; ia berhasil menguasai kekka-genkai sharingan, entah dimiliki oleh siapa. Meskipun dirinya Hokage, tapi Sasuke sadar kalau kekuatannya sekarang jauh dibawah oleh sahabatnya itu. Sasuke tidak boleh gegabah, saat ini ia hanya bisa mengerahkan seluruh pasukan terkuat untuk membawa Naruto pulang.
Lagipula, ia pasti akan menerima dengan tangan terbuka jika Naruto kembali. Berada di sisinya dan mengabdi kepada Konoha tentu merupakan sebuah mimpi.
Namun terkadang ada beberapa pemikiran kuat yang kini ada di otaknya. Uzumaki Naruto telah pergi dari desa. Sudah pasti si pirang itu pergi untuk menjadi lebih kuat, menguasai keempat elemen sekaligus, dan memiliki dua kekkei-genkai terkuat. Tapi ... Naruto melakukan itu juga pasti ada sesuatu, 'kan?
Apa Naruto berencana untuk membunuhnya?
Ya, itu benar. Terkadang pemikiran itulah yang membuat Sasuke berkali-kali menghela napas. Ia tidak habis pikir, kenapa Naruto harus membuat rencana gila seperti itu? Bisakah ia menerima kenyataan ini dengan lapang dada? Lagipula Sasuke tidak mengajukan diri. Dia hanya dipilih oleh Tsunade secara aklamasi, tidak lebih.
Sasuke tahu satu hal. Sewaktu pertengahan perang, ia pernah mengatakan kalau ia ingin menjadi Hokage selanjutnya. Dan semuanya tahu itu, termasuk para Kage. Tapi, ia sama sekali tidak menyangka bahwa impian gila ini akan terwujud. Dirinya akan memimpin desa ini dan akan memberikan seluruh kekuatannya untuk menjaga desa sebagai seorang pemimpin.
.
.
eternity —
.
.
Gadis itu meletakkan kedua kakinya di dalam kolam. Kepalanya mengadah, menatap sinar rembulan yang kini memantulkan sinar. Cakrawala sedang bertugas untuk menerangi salah satu malam yang indah. Hinata bersenandung pelan, kepala digoyangkan perlahan, seiring dengan rambut panjangnya bergerak karena tindakannya serta angin malam yang kebetulan lewat dalam menggoda pori-pori tubuhnya yang cukup sensitif.
Ditemani oleh ocha hangat, Hinata kembali bersenandung; bernyanyi, menggumam-gumam, menutup mata, dan menikmatinya sebagai seorang individu tunggal. Memecahkan kesunyian malam itu dengan suara yang merdu dan indah, membuat tempat tersebut sama sekali tidak terasa mencekam. Hinata menutup kedua mata, menikmati alunan lagu, udara malam, cahaya cakrawala, serta erangan seekor katak di ujung dari tempatnya beristirahat.
Dua tahun, ya?
Sudah dua tahun orang itu meninggalkan desa, meninggalkan teman-temannya, meninggalkan penduduk, meninggalkan kewajiban sebagai seorang ninja, serta ... dirinya. Pria yang dulu dielu-elukan karena sudah mengalahkan semua musuh tingkat atas seperti Uchiha Madara, si pemimpin Akatsuki Pein, menyelamatkan Sasuke; kini telah mengalihkan jalannya menuju arah yang salah. Pilihan yang menjerumuskan dirinya ke dalam kegelapan, meninggalkan semua harapan dan cahaya yang memang dulu sudah ditakdirkan ada di dalam diri seorang Uzumaki Naruto.
Hanya karena sebuah jabatan Hokage, Naruto rela meninggalkan desa? kenapa ia memiliki pikiran sempit macam itu? Bisakah pria itu menerima dengan tangan terbuka?
Mengapa harus pergi dan meninggalkan segalanya?
Hinata membuka mata, menghela napas sejenak.
Sebelum Naruto meninggalkan desa, sikap pria itu memang agak berubah. Ia jadi sedikit pendiam, sering tidak menghabiskan ramennya, dan bahkan pria itu suka menjauhkan diri dari teman-temannya. Awalnya Hinata tidak mengerti, tapi semuanya perlahan menjadi begitu jelas saat Hinata menyimpulkan bahwa Naruto berubah jadi seperti itu karena satu hal;
Sasuke telah dipilih menjadi Hokage.
Salah satu sahabat sudah merebut impianmu sejak dulu, pasti rasanya sakit. Meski tidak pernah merasakannya, tapi menurut logika, Naruto pasti kecewa berat. Semua yang ia lakukan untuk desa menjadi sia-sia karena satu impian besarnya tidak terwujud. Hinata juga tidak menyangka ... kenapa Petinggi Konoha memilih Sasuke? bukan Naruto yang selalu membantu dan melakukan apapun untuk desa? Kenapa mereka lebih memilih seorang mantan buronan dibandingkan sang pahlawan yang selalu menyelamatkan mereka?
Hinata meletakkan kedua tangan di pangkuannya, gadis itu benar-benar merasa sedikit kesepian karena pria itu sudah meninggalkan Konoha. Lebih parahnya, Naruto telah diputuskan sebagai buronan terbesar yang sangat dicari saat ini. Gadis itu akan sangat cemas kalau tahu Naruto akan terluka seiring berjalannya waktu.
Setidaknya, sebelum pergi ... Naruto bisa memberitahukannya 'kan?
Setelah semua yang ia perbuat, apa dirinya sangat tidak penting di matanya?
Juga, Naruto sama sekali belum menjawab perasaannya...
"Naruto-kun..."
Bibir itu berucap pelan, tubuhnya sedikit mengigil saat angin malam kembali bertiup kencang, sedikit menerbangkan yukata yang kini terbalut di tubuh rampingnya. Hinata kembali menutup kedua mata.
Sekarang ... bagaimana keadaannya?
Apa dia sudah berubah selama dua tahun ini? Apa dia sudah semakin kuat? Apa dia...
—sudah menemukan tujuannya?
Hinata menundukkan kepala dalam-dalam, rambut panjangnya terjatuh secara alami saat ia menunduk. Tak lama, setetes air mata itu terjatuh, kemudian tergabung dengan kolam ikan yang ada di di hadapannya.
Cantik, namun menangis.
Suara itu begitu pelan, namun terdapat memiliki makna yang dalam.
"Cepatlah pulang..."
.
.
eternity —
.
.
Di hari yang sama, di saat yang sama. Di malam yang sama, sinar bulan bersinar di bawahnya, begitu mutlak; seperti mengungkapkan satu kebenaran.
Naruto bersandar di salah satu batang pohon yang cukup besar. Ia melipat kedua tangannya di dada dan menatap kobaran api itu dengan tatapan kosong. Malam ini, ia akan beristirahat di sana, di hutan perbatasan Negara Api. Setelah sadar dalam keadaan aman, Naruto meletakkan hiramekarei di sampingnya. Ia menutup matanya yang sedikit lelah.
'Aku akan membunuh Uchiha...'
Rahang Naruto mengeras, sisi emosional perlahan mulai berkuasa. Namun, raut wajah serta sikap masih menggambarkan sebuah ketenangan.
'Aku akan menghancurkan Konoha...'
'Aku ingin menghancurkan orang tua sialan itu...'
Naruto kembali membuka mata.
Sejak menginjakkan kaki keluar dari gerbang desa, ia memutuskan untuk meninggalkan Konoha dan tidak pernah kembali lagi untuk selamanya. Ia akan berlatih sendirian, mencoba untuk menjadi kuat. Dirinya tidak mau dikalahkan untuk kedua kalinya, ia tidak akan menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang manusia, ia akan membuktikan pada dunia bahwa dia, Uzumaki Naruto, tidak akan terkalahkan oleh kekuatan desa atau pun seorang pemimpin negara.
Ia sudah tidak tahu bagaimana keadaan Konoha itu sekarang. Tapi semuanya tampak biasa saja saat masa-masa Sasuke berkuasa. Tetap sama, tidak ada yang berubah. Hanya beberapa aspek perubahan, seperti peningkatan penjaga dan sebuah kepentingan politik untuk mempererat hubungan desa dengan desa lainnya.
Ia akan menetapkan tujuannya sekarang. Naruto tinggal mengulur waktu, menunggu waktu yang tepat untuk melakukan aksinya.
Benar.
— dalam waktu dekat, ia bisa menjamin kalau desa itu tidak akan bertahan lama.
"..."
Naruto mengadahkan kepala, menatap bulan yang tampaknya begitu indah di kedua permata biru miliknya. Sinar putih keunguannya menyinari tempat Naruto sekarang. Pria itu sedikit terdiam, menatap cahaya bulan itu lama-lama.
'N-Naruto-kun...'
Naruto tersentak kaget saat suara itu tiba-tiba ada di pikirannya, seakan menyadarkannya akan sesuatu hal. Ya, suara lembut itu— sebuah cicitan yang selalu memanggilnya dengan kelembutan, lengkap dengan gagapnya saat bibir itu mengucapkan sebuah nama.
Naruto menundukkan kepala. Tatapan menusuk itu perlahan berubah menjadi tatapan datar.
Dia sangat jelas mengingatnya, ya...
Bagaimana dengan keadaan gadis itu?
Apakah dia baik-baik saja? Apa dia memotong rambutnya? Apa perempuan itu sudah menikah? Apakah dia ... sudah melupakannya?
Naruto menutup mata.
Itu lebih baik daripada gadis itu terus memiliki perasaan bodoh terhadap pria buronan sepertinya.
Entah dari mana, tiba-tiba ada sebuah kunai yang terlempar dari depan Naruto. Ia sedikit menggeser tubuh menggunakan satu tempo pelan dan dengan telak pula kunai itu tertancap ke batang pohon di belakangnya. Naruto berdiri, ia meletakkan hiramekarei di punggungnya, lalu melipat kedua tangannya di dada.
Tidak bisakah manusia-manusia brengsek ini membiarkannya istirahat sebentar saja?
"Tunjukkan diri kalian."
Syat! Syat! Syat!
Para pemuda berjubah hitam mendarat dari atas pohon, mengelilingi Naruto yang berdiri di tengah-tengah. Pria-pria tak dikenal itu menatap Naruto dalam-dalam dari topeng yang mereka pakai. Naruto memiringkan wajah sedikit, tersenyum tipis saat melihat jumlah mereka yang tidak main-main.
"Serahkan dirimu, Uzumaki Naruto." Salah satu di antara mereka mengacungkan katana, tepat di depan muka Naruto yang ada di beberapa meter di bawahnya. "Kami diperintahkan Hokage untuk membawamu kembali ke Konoha."
Dalam hati, Naruto menggelengkan kepala maklum. Kenapa Hokage sialan itu begitu mencampuri urusan hidupnya?
"Hh..." Naruto menarik napas, "Kenapa kalian begitu mencampuri urusanku? Aku tidak ada lagi kaitannya dengan Konoha."
"Maafkan kami, tapi ini perintah." Pria yang ada di samping kanan Naruto berkata, "Meskipun anda menolak, kami akan memaksa."
Kedua permata biru perlahan berubah dingin. Terkesan jahat, berbahaya, kesal, dan murka.
"Kagebunshin no jutsu."
POOF!
Dia akan menyelesaikan ini dengan cepat.
Muncul empat bayangan di samping kiri kanan Naruto. Dengan gerakan waspada, Unir Satuan ANBU itu segera bersikap siaga; siap untuk menerima apa yang akan dilakukan Naruto selanjutnya. Para bunshin dengan cepat menciptakan dua bola angin di masing-masing tangan mereka, sedangkan Naruto asli pun hanya terdiam, namun matanya tertutup—
—kemudian terbuka.
'Sennin Mōdo...'
"—!" Salah satu anggota ANBU bertopeng serigala berdecak kesal, pria itulah yang pertama kali menyadari tingkat chakra Naruto yang meningkat drastis. Ia membentuk segel tangan, lalu meletakkan tangan kanannya di tanah.
"Raiton: kumo-ryu—"
"Senpō: Chō ōdama Rasen Tarengan!"
"—!?"
Setelah mengucapkan itu, dengan cepat para klon segera memperluas dan memfokuskan rasengan ke arah Naruto. Terciptalah sebuah rasengan yang super besar. Cahaya merah tampak berkuasa, menantang sinar bulan yang perlahan menciut dan bersembunyi dibalik awan. Naruto asli melempar bola angin itu ke tanah, dimana letak fokus dan orang-orang ANBU itu berdiri.
DUAAAAR!
Ledakan itu membuat sejumlah kerusakan yang amat besar. Lagi-lagi hutan yang menjadi korban keganasan dari seorang ninja pengkhianat. Pria itu tanpa ampun menyerang musuhnya dengan satu serangan, tidak mau berlama-lama dan membuang waktu. Naruto menghiraukan asap tebal akibat perbuataannya tadi, dengan segera ia berjalan tanpa melihat mayat yang ada di kiri kanannya. Namun, karena merasakan chakra serta kunai beracun yang lagi-lagi dilempar kepadanya, Naruto pun memutuskan untuk mengambil mayat terdekat dan membuat mayat tak berdosa itu sebagai perisainya.
Naruto segera melempar mayat itu. Dirinya benar-benar tidak peduli dengan noda darah yang ada di tangan kanannya. Iris biru lebih memilih agar memfokuskan diri ke arah seseorang yang jatuh bertekuk lutut di jarak lima belas meter dari tempatnya berdiri. Di sana, ada seseorang yang tidak dikenal Naruto sedang mengatur napasnya perlahan. Di sekitar tubuhnya terdapat sengatan listrik yang masih terlihat.
"Shunsin no jutsu?" Naruto melipat kedua tangannya kembali, entah mengapa ia sangat suka dengan tingkahnya ini. Terkesan lebih keren dan misterius. "Kau menghindari seranganku dengan jutsu teleportasi murahan seperti itu?"
"K-Kenapa..." pria itu menggertakkan gigi. Napas terlihat terlalu berat, matanya sudah lelah. "...anda melakukan ini?"
Pertanyaan yang bisa dijawab Naruto dengan mudah, namun berkali-kali juga ia merasa lelah dengan satu pertanyaan yang sama. Topeng pria tanpa nama sudah pecah entah di mana, yang jelas Naruto mampu melihat wajah mudanya yang sudah terluka parah. Ia tahu maksud orang ini; dia bertanya alasan mengapa Naruto meninggalkan Konoha.
"Itu bukan urusanmu," Naruto menjawab dengan datar, kedua mata pun tertutup pelan-pelan. Hawa mulai menusuk dibalik udara. "Kau bukan siapa-siapa. Kau tidak berhak bertanya hal privasi seperti itu."
"T-Tapi Hokage-sama sangat ingin—"
Naruto yang awalnya tadi menutup mata, kini kembali membuka matanya.
"Sharingan."
Deg!
"A-Apa...!"
Tubuhnya terasa kaku, dirinya yang awalnya berdiri lemas itu mulai jatuh berlutut, iris hitam masih terpaku pada mata merah yang ada di depan sana, menatapnya dengan pandangan datar sekaligus mematikan. Efeknya sangat terasa, dirinya seakan sudah terkunci pada sebuah ilusi tidak tertahankan.
Ya. Dia telah terkena genjutsu.
Tubuh pria itu mulai bergetar saat tiga tomoe yang ada di dalam sharingan Naruto mulai berputar dengan cepat.
"Selamat tinggal..." Itulah ucapan terakhirnya, "Hiduplah di neraka, pecundang."
"AAAAAARRRRRRRRGGGGGGGHHHHHHHHHHHH!"
.
.
eternity —
.
.
Hinata membuka mata dalam diam. Waktu sudah menunjukkan tengah malam. Di pandangannya, hanya ada langit-langit kamar yang menggelap akibat lampu temaram telah dimatikan beberapa jam sebelumnya. Hinata terduduk, menatap selimut kusut yang sedari tadi menyelimutinya, melindunginya dari kedinginan.
Penerus Utama dari Klan Hyuuga itu menghela napas. Matanya sedikit memerah, karena pola istirahat yang wajib dilakukan pun mulai menurun. Hinata sering bermimpi buruk, membuatnya sulit untuk tidur dengan tenang.
Kali ini, mimpinya sungguh mengerikan.
Di penglihatannya, yang ada hanyalah warna merah pekat yang menghiasi ruangan hampa mimpinya. Gadis itu bingung, gelisah, namun terpaku saat melihat seseorang yang tak asing di matanya sedang menatapnya dengan pandangan yang sulit ditebak. Hinata terdiam, ia seakan terhipnotis pada mata tersebut. Terkesan tidak asing, terlihat mirip, familiar, tampak sama. Hanya saja terlihat berbeda karena berbagai alasan.
'Hinata...'
Suaranya begitu berat, namun dengan sekejap ia langsung mengenali suara itu. Uzumaki Naruto sedang berada di depannya, menatapnya dengan tatapan yang tidak pernah ia beri sebelumnya. Hinata ingat dengan jelas bahwa Naruto memiliki mata berwarna biru terang, bukan mata merah yang bisa menusuk sekaligus membunuh siapa saja.
Meskipun warna matanya berbeda, tapi Hinata yakin orang itu adalah Naruto ... Naruto-nya.
'N-Naruto-kun...'
Suara itu refleks keluar, Hinata ingin sekali berlari dan memeluk tubuh tegap itu. Tapi sayang, dirinya tidak bisa ... tubuhnya terasa mati rasa. Ia hanya bisa terdiam di tempat, tanpa alas kaki, menatap dengan pandangan rindu sekaligus nanar pada satu-satunya pria yang ada di tempat asing itu.
Satu detik kemudian, ruangan hampa itu seakan menghilang, digantikan dengan latar sebuah hutan lebat. Hinata mengernyitkan alis, namun kedua permata ungu seketika membulat tak percaya saat orang-orang yang dikenalnya tiba-tiba ada di hadapannya, dipenuhi oleh darah dengan keadaan mengenaskan.
Semuanya. Hinata menutup mulut, menahan rasa mual sekaligus takut. Ia perlahan mengeluarkan cairan bening, terisak, nyaris berteriak saat semuanya; Neji, Hanabi, Hiashi, Sakura, Kiba, Shino, Ino, semuanya ... terbaring lemas dengan bergelimpangan darah di depannya.
"T-Tidak ... TIDAK!"
Hinata jatuh berlutut, kedua tangannya yang kecil menutup mata; menangis histeris sambil menggelengkan kepala. Apa ini genjutsu? ilusi? Tapi kenapa semuanya seperti sangat nyata?
— demi tuhan, apa yang terjadi?
Tep.
Hinata menghentikan isakannya saat merasakan hawa kegelapan yang amat kental di depan sana, segera ia mengerjapkan mata dan menatap ke depan. Gadis berambut panjang itu terkejut bukan main saat ada kedua kaki seseorang yang berdiri tegap tanpa dialasi jarak. Dan saat Hinata menaikkan kepala, ia disambut oleh ujung pedang yang sangat runcing, begitu tajam ... dan tepat di kedua matanya, seakan siap untuk ditusuk kapan saja.
Saat Hinata mengerlingkan mata kearah orang yang mengacungkan benda tajam itu kepadanya, ia hanya terpaku saat melihat wajah yang disinari oleh rembulan itu tertangkap jelas di indera penglihatannya. Hinata menatap Naruto. Naruto pun melirik Hinata dengan masih mengacungkan pedang besar yang gadis itu tidak tahu-menahu bagaimana eksistensinya berhasil didapatkan.
Yang membuat mata gadis itu membulat total adalah ... saat Naruto mengeluarkan setetes air di mata kirinya.
Naruto menangis, Hinata pun mengernyit sedih.
'Naruto-kun, a-aku—'
'Maafkan aku.'
Dan semuanya menjadi gelap.
Hinata tersentak begitu hebat saat angin malam lagi-lagi mengagetkannya. Ia segera melirik jendela yang terbuka, menampakkan sinar rembulan yang begitu terang dan bercahaya. Mulutnya sedikit terbuka, menatap kosong langit indah itu dengan penuh kebingungan.
Kenapa ... dia memimpikan hal itu?
Apa ini ada kaitannya dengan Konoha?
"..."
Gadis itu berdiri, berjalan pelan ke arah jendela dan kembali memandang langit bulan di atas langit. Gadis itu memeluk dirinya sendiri, membiarkan rambutnya yang panjang melambai perlahan. Ia menutup kedua mata, merenungkan apa yang dirinya impikan barusan.
Semuanya mati ... termasuk dirinya.
...apa yang sebenarnya kau rencanakan, Naruto-kun?
Hinata sudah lelah, lelah secara mental. Gadis itu benar-benar tak tahan dengan mimpi penuh darah seperti itu. Baru pertama kali dalam hidupnya, Hinata merasa ketakutan. Ia mendapatkan firasat kalau mimpi itu adalah sebuah pertanda, entah pertanda apa; yang jelas hatinya kini sedang tidak tenang. Ia mencengkram kedua tangannya.
Semoga saja ... mimpi itu tidak menjadi kenyataan.
.
.
TO BE CONTINUED
.
.
Author's Note:
Berhasil diedit menjadi lebih baik. Inti cerita tetap sama, namun diksi berusaha diperbaiki agar lebih baik lagi.
.
.
Attention
Hiramekarei — sering disebut twinsword (padahal cuma satu pedang kok) tapi dia punya dua pegangan di masing-masing sisi pedang. Pedang ini juga punya dua lubang besar di ujung atas, katanya itu sering di sebut mata.
Alternate Reality — Hiramekarei hanya digunakan oleh Mangetsu, salah satu legenda dari ketujuh pedang; tidak pernah dipakai oleh Chojuro.
CHAPTER 1 EDITED — 10 November 2019, 3:29 PM.
.
.
terima kasih sudah membaca!
mind to review?